...Happy Reading ...
......................
Debuman suara hantaman akibat kecelakaan di persimpangan jalan itu, terdengar sangat nyaring dan mencekam, decitan rem dan gesekan ban mobil dengan aspal terdengar, membuat siapa saja yang berada di sana akan ikut meraskan kengeriannya.
Siang menjelang sore itu, di persimpangan jalan kota Jakarata, sebuah mobil sedan mewah, terlihat tertabrak oleh sebuah mobil truk dari arah samping, hingga terseret beberapa meter dari tempat kejadian.
Para pengguna jalan dan warga yang berada di sekitar tempat kejadian, langsung menghentikan aktivitasnya dan mengerumuni kejadian nahas yang terjadi.
Polisi dan mobil ambulan pun berdatangan tidak lama kemudian. Mencoba menyelamatkan korban yang semuanya masih berada di dalam mobil.
.
.
"Hah!"
Alvin membuka matanya cepat dengan boleh mata hampir terlihat semuanya, napas memburu pun mengiringinya.
Dia mengedarkan pandangannya, melihat tempatnya berada saat ini. Berharap semua itu hanyalah sebuah mimpi.
Namun, ruangan persis sebuah kamar rumah sakit, dengan infus yang tertancap di tangannya, juga semua rasa sakit yang dia baru saja sadari, membuat harapannya pupus.
Alvin menenteskan air matanya sambil beranjak bangun, dia merasakan kepalanya berdenyut begitu menyakitkan.
"Akh!" erangan itu terdengar dari mulutnya.
Alvin juga baru menyadari kalau di tangan dan kakinya terdapat banyak perban, juga kepalanya yang dililit, menandakan ada luka serius di sana.
"Bapak, Alin, di mana kalian?" lirihnya, sambil berusaha turun dari brankar rumah sakit.
Baru saja menginjakkan kakinya di lantai, seseorang sudah masuk dan mencegahnya untuk turun dari tempat tidur.
"Alvin, kamu sudah bangun, Nak?" ujar perempuan yang terlihat sudah berumur itu, sambil berjalan menghampiri Alvin.
"Nenek?" lirih Alvin, menatap bingung kehadiran neneknya.
"Ayo duduk lagi, kamu baru saja sadar, gak boleh ke mana-mana dulu." Esih–nenek Alvin, langsung membantu Alvin untuk naik lagi ke brankar.
"Nenek kok ada di sini? Bapak sama Alin mana, Nek?" tanya Alvin, menatap bingung wajah Esih.
Perempuan berumur itu terlihat terdiam sebentar, dia tidak langsung menjawab pertanyaan dari cucunya itu.
"Bapak kamu sama Alin ada, tenang saja ya. Kamu istirahat dulu aja," jawab Esih, sambil menekan tombol di belakang tempat tidur, untuk memanggil dokter atau perawat.
Alvin kembali merebahkan tubuhnya, menuruti perkataan neneknya, walau di dalam hati masih ada yang belum terpuaskan.
Beberapa saat kemudian, dokter pun datang untuk memeriksa keadaan Alvin, semua tanda-tanda vitalnya sudah baik, sekarang hanya tinggal pemulihan luka-luka luarnya.
Alvin hanya mendengarkan perbincangan nenek dan juga dokter itu, yang bediri tidak jauh dari tempatnya. Dia tidak bisa mendengar secara jelas karena mereka yang sedikit memelankan suaranya.
Alvin termenung, dengan mata melihat langit-langit rumah sakit, perlahan dia mulai menutup mata, mengingat kembali kejadian yang membuatnya terbaring di sini saat ini.
Flashback
"Alvin, gimana kalau sebelum pulang, kita mampir dulu di warung depan? Aku lapar banget, nih," tanya salah satu teman sekolahnya.
Mereka sedang berjalan beriringan ke luar sekolah, mengingat ini sudah waktunya pulang.
"Boleh juga, aku juga lapar nih," jawab Alvin, menyetujui saran salah satu temannya.
Mereka pun akhirnya berjalan bersama, menuju salah satu warung makan yang tidak jauh dari sekolah. Baru saja sampai di depan warung makan itu, sebuah mobil tampak berhenti di depannya.
Seorang laki-laki yang masih tampak muda terlihat ke luar dari mobil itu, diiringi dengan seorang gadis kecil, berusia kira-kira sepuluh tahun.
"Kak Alvin!" panggil gadis kecil itu dengan riang.
Alvin tersenyum lebar, melihat kedatangan kedua orang yang sangat disayanginya itu.
"Maaf ya, kayaknya aku gak bisa ikut makan nih. Udah dijemput sama bapak dan Alin," ujar Alvin pada teman-temannya.
"Yah, gak seru deh kalau kamu gak ikutan." Mereka berkata lemas.
"Nanti lagi deh, aku traktir kalian semua. Aku duluan," jawab Alvin sambil berpamitan.
Setelah mendapatkan anggukkan dari semua teman-temannya, remaja itu pun pergi menghampiri ayah dan juga adiknya.
"Kok tumben, kalian jemput aku? Bapak gak kerja?" tanya Alvin, setelah berada di depan kedua orang itu.
"Aku yang mau jemput Kak Alvin," ujar Alin, sambil menggoyangkan manja tangan sang kakak.
"Kenapa, kok tumben? Biasanya juga kamu asik main sama temen-temen kamu," tanya Alvin, dia sedikit merasa aneh, melihat ayah dan adiknya menjemputnya ke sekolah.
Setelah dia masuk ke sekolah menengah pertama, dia memang tidak pernah lagi diantar jemput, dirinya lebih suka pulang dan pergi ke sekolah bersama dengan para teman-temannya.
Lagi pula jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, dia hanya perlu waktu kurang lebih lima belas menit, bila menggunakan kendaraan umum.
"Kakak bener-bener lupa ya, hari ini hari apa? Astaga!" ujar Alin, dengan wajah yang dibuat kesal.
Alvin memgerutkan keningnya, mendengar pertanyaan dari adiknya, dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi pada hari ini.
"Memangnya ada apa?" tanya Alvin menatap ayah dan adiknya bergantian.
"Sudahlah, lebih baik kita masuk ke mobil sekarang, tidak baik ngobrol di pinggir jalan gini," ujar Hardi Bramantya–ayah Alvin.
"Iya, ayo masuk ke mobil," ajak Alvin, membuka pintu mobil di bagian belakang untuk adiknya.
Setelah memastikan Alin masuk dengan selamat, Avin pun masuk ke dalam mobil di kursi penumpang bagian depan.
"Lets go, Bapak!" ujar Alvin dan Alin bersamaan.
Hardi tersenyum, melihat keceriaan kedua anaknya, dia kemudian mulai mengemudikan mobil milik bos barunya, setelah mengalami kebangkrutan satu tahun yang lalu.
Dia bersyukur di dalam hati, saat kedua anaknya kini sudah bisa menjalani hidup yang sederhana.
Alvin dan Alin terus berbicara di sepanjang perjalanan, mereka saling bercanda satu sama lain, membuat senyum dan tawa itu seakan tidak pernah mau pergi dari wajah ketiganya.
"Kak Alvin, masa belum ingat juga sih, hari ini hari apa!" ujar kesal Alin pada akhirnya, karena Alvin terus saja berucap lupa akan acara hari itu.
Alvin sedikit memiringkan tubuhnya, demi melihat keberadaan adiknya yang terlihat sedang mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Tentu saja kakak ingat, hari ini adalah hari ulang tahun kamu kan? Selamat ulang tahun ya, gadis kecil ku," ujar Alvin, dengan tangan mengacak puncak kepala adiknya itu.
"Terima kasih, kakakku yang tersayang. Aku kira, Kak Alvin, beneran lupa ... ish, ternyata cuman mau ngerjain aku aja," cebik Alin, membuat tawa Alvin dan Hardi pecah bersamaan.
"Kamu itu kayak gak tau kakak kamu saja, dia itu kan memang suka jahil," ujar Hardi, diiringi dengan tawanya.
Mobil hendak berbelok di persimpangan jalan, saat tiba-tiba dari arah samping, terlihat mobil truk dengan kecepatan tinggi.
Alvin yang saat itu memang sedang menghadap samping, karena sedang berbicara dengan adiknya pun, melebarkan matanya dan berteriak memperingatkan sang ayah.
"Bapak, awas!"
Kejadian nahas siang itu pun terjadi, semuanya begitu cepat hingga Alvin, Hardi, dan Alin, seakan tidak menyadarinya.
Alvin meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama kepala, dia sempat tersadar dan melihat ayah juga adiknya sudah tidak sadarkan diri dengan luka yang parah, hingga akhirnya kegelapan merenggut semua kesadarannya lagi.
Flashback off
...Bersambung...
...Happy Reading...
......................
"Alvin," panggil Esih, sambil menggoyangkan pelan tubuh cucunya.
Alvin terperanjat dari lamunannya, dia mengalihkan pandangannya pada wanita tua di sampingnya.
"Iya, Nek," jawabnya kemudian.
"Kamu kenapa? Melamun ya?" tanya Esih.
Avin tersenyum, dia mengalihkan pandangannya ke jendela di samping kirinya, menatap jauh langit yang terlihat berwarna kelabu, tertutup awan yang siap mencurahkan air di dalamnya.
"Alvin cuman lagi inget sama Alin, hari ini dia ulang tahun kan, Nek. Nenek, pasti datang ke sini, karena mau ngerayain ulang tahun Alin," ujar Alvin, dengan senyum miris di wajahnya.
Mata Esih tampak berkaca-kaca, saat melihat Alvin bercerita tentang adiknya, ada rasa sesak di dalam dada, walau berusaha terus dia tahan sekuat tenaga.
Alvin mengalihkan pandangannya pada sang nenek, dengan senyum tipisnya.
"Nek, aku mau ketemu sama Alin. Aku udah siapin kado buat dia, di kamar. Pasti dia seneng banget kalau tau!" ujar Alvin, dengan tatapan berharap pada neneknya.
Esih berusaha tersenyum, di depan Alvin, bibirnya terasa sulit untuk digerakkan, saat hatinya seakan tidak mengizinkan.
Bagaimana ini, Ya Allah? Apa aku harus memberitahu yang sebenarnya pada cucuku? batin Esih, menjerit perih.
"Iya, nanti kamu kakek sama nenek bawa kamu ketemu sama Alin, kalau kamu sudah sembuh ya. Sekarang kamu istirahat dulu, biar lukanya cepat sembuh dan kesehatan kamu pulih lagi."
Suara seorang laki-laki terdengar dari arah pintu, hingga membuat Esih dan Alvin mengalihkan pandangannya.
"Kakek? Kakek juga ada di sini?" tanya Alvin, menatap bingung kehadiran kakeknya.
Selama ini kakeknya itu paling sulit untuk diajak berkunjung ke rumah anaknya, dengan alasan pekerjaannya sebagai petani tidak bisa ditinggalkan.
Kakeknya hanya mau datang di saat-saat tertentu saja, biasanya kalau sedang mau bersantai atau ada acara penting.
"Iya. Bagaimana kakek bisa diam saja di kampung, kalau cucunya seperti ini?" gurau Darman – kakeknya Alvin.
Alvin tersenyum mendengar canda dari sang kakek. Dia cukup senang dengan kehadiran kedua orang tua ayahnya itu. Walaupun di dalam hati, masih ada sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.
.
.
"Sus, bisa tolong antar aku ke ruangan adik dan ayahku? Aku mau melihat mereka," ujar Alvin, menatap penuh harap seorang perempuan yang sedang memeriksa dirinya.
Suster itu tampak terdiam, dia terlihat canggung seakan bingung mau menjawab apa.
"Adek, belum boleh banyak bergerak. Jadi, lebih baik, Adek, istirahat saja ya," jawab perawat tersebut.
Alvin menghembuskan napas kasar, mendengar jawaban dari perawat itu. Lagi-lagi, dia mendapatkan penolakan halus dari orang yang dia mintai tolong.
"Sus, boleh tanya gak, sudah berapa hari aku ada di sini?" tanya Alvin lagi.
Dia sudah dua hari sadar, akan tetapi, sampai saat ini tidak ada keluarga yang menjenguknya, selain dari kakek dan neneknya.
Alvin hanya ingin tau, ke mana perginya ayah, ibu, dan, saudara perempuannya, kenapa hingga sampai saat ini tidak ada yang datang.
"Adek, belum tau ya? Adek, sudah tiga hari terbaring tidak sadarkan diri, dan sekarang ke dua harinya adek sadar. Jadi kalau dijumlahkan, Adek, sudah lima hari berada di rumah sakit," jawab perawat tadi, menjelaskan.
"Lima hari?" Alvin seakan tidak percaya dengan apa yang didengar olehnya.
Perawat itu mengangguk, tanpa curiga sedikit pun.
Tidak mungkin, bagaimana bisa aku sudah di sini selama lima hari? Kenapa kakek dan nenek juga gak kasih tau aku?' batin Alvin.
Mata Alvin berkaca-kaca, mengingat kejadian itu, berbagai hal yang mungkin saja terjadi, kini memenuhi setiap celah pikirannya.
Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa mereka seakan menyembunyikan sesuatu? Alvin terus bertanya di dalam hati.
Beranjak bangun dan duduk di tepi brankar, dia bertekad untuk mencari tau semuanya sekarang juga, berdiri dengan memegang tiang infus, Alvin mulai melangkah ke luar dari kamar rawat inapnya.
Dia sedikit menunduk untuk menutupi wajahnya, agar tidak terlihat oleh petugas kesehatan yang lainnya.
Sampai di luar, dia mendengar perawat yang baru saja selesai memeriksanya sedang berbincang dengan temannya.
"Kamu tau pasien remaja, korban kecelakaan lima hari lalu?" tanya perawat itu.
"Iya. Bukannya kamu baru saja memeriksanya?" ujar salah satu temannya.
Alvin terdiam di balik tembok, mendengarkan percakapan para perawat itu.
"Dia bertanya padaku kabar kedua orang tuanya dan adiknya. Ya Tuhan, aku merasa sangat kasihan padanya, sepertinya dia sangat merindukan mereka," ujar perawat tadi mulai bercerita.
"Iya, aku juga merasa kasihan kepadanya. Dia masih sangat kecil untuk menerima musibah ini. Aku takut dia tidak bisa menerima kalau sampai tau, ayah dan adiknya tidak selamat dalam kecelakaan itu."
Alvin melebarkan matanya, mendengar perkataan salah satu perawat itu, dia mengepalkan tangannya, menahan gejolak rasa di dalam dirinya.
"Gak, itu gak mungkin. Bapak dan Alin gak mungkin ninggalin aku sama mama," lirih Alvin, menggeleng lemah.
Dia benar-benar terkejut dengan apa yang didengarnya, itu memang terlalu mengejutkan. Dia bahkan masih dalam masa pemulihan setelah cedera yang lumayan parah.
Dengan seklera mata yang memerah, dia berjalan menghampiri kerumunan para perawat itu.
"Apa benar apa yang tadi kalian katakan?" tanya Alvin, menatap para perawat itu bergantian.
Para wanita berusia muda itu terkejut melihat kedatangan Avin, mereka refleks menutup mulut masing-masing dengan mata yang terlihat melebar.
"Tolong katakan yang sebenarnya, aku mau tau apa bapak dan adikku masih hidup?" tanya Alvin, dengan pandangan memohon dan menuntut sebuah jawaban.
Para perawat itu, saling pandang satu sama lain, mereka bingung hendak menjawab apa, pada seorang anak remaja yang baru saja kehilangan dua orang keluarganya sekaligus.
"M–mereka ... mereka sudah meninggal, saat di dalam perjalanan menuju rumah sakit," jawab salah satu perawat dengan kepala menunduk.
Pertahanan anak remaja itu akhirnya runtuh, dia tidak bisa lagi menahan rasa sakit di dalam hatinya.
Tetes air mata yang sebelumnya dia tahan, kini sudah tidak bisa lagi dia bendung, dia tidak bisa lagi berpura-pura terlihat kuat.
"Gak, kalian bercanda kan?! Bapak dan adikku adalah orang yang kuat, mereka tidak mungkin meninggalkan aku begitu aja!" teriak Alvin, melihat para perawat itu bergantian.
"Gak mungkin, Bapak! Alin!" teriak Alvin, dengan tubuh bersimpuh di lantai.
Kakinya terasa lemas tak bertenaga, walaupun hanya untuk menahan bobot tubuhnya yang tidak seberapa.
Dia menangis meraung dengan tubuh lemahnya, melampiaskan rasa sakit dan sesak yang selama ini dia tahan dengan harapan akan ada kabar baik.
Namun, kini semua harapan itu telah sirna, oleh kabar yang baru saja dia dengar. Harapan untuk bertemu kembali dengan ayah dan juga adiknya kini sudah tenggelam, dia bahkan masih belum percaya, walaupun begitu hatinya tetap terasa sangat menyakitkan.
......................
...Berambung...
...Happy Reading...
......................
Alvin tersadar saat matahari sudah mulai meninggi. Ya, saat mendengar kabar mengejutkan kemarin malam, Alvin kembali tidak sadarkan diri.
"Nek," lirihnya, saat melihat wanita berumur itu tengah duduk di samping brankarnya.
Esih melihat wajah pucat sang cucu, matanya penuh binar bahagia, walau masih ada air mata yang menggenang di sana.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak," ujar Esih kemudian, sambil mengusap pelan wajah Alvin.
Alvin mengangguk samar dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kenapa, Nenek, gak bilang sama Alvin, tentang bapak dan Alin?" tanya Alvin dengan mata yang tampak berkaca-kaca.
Ingatan tentang kejadian tadi malam dan jawaban yang diberikan oleh salah satu perawat, masih tentang di kepalanya.
"Maaf, Nak. Nenek, takut kamu belum bisa menerima semua kabar itu," jawab Esih, sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Alvin menggeleng lemah, dia memegang tangan Esih dengan begitu lembut.
"Mama, gimana? Kenapa mama gak pernah nengok aku, Nek?" Alvin menatap Esih penuh tanya.
"Ganis, gak apa-apa, dia cuman butuh waktu untuk menenangkan diri, setelah kehilangan bapak dan adikmu," jawab Esih.
"Kapan aku bisa pulang dari rumah sakit, Nek? Aku mau ketemu sama mama," ujar Alvin, menatap penuh harap pada neneknya.
"Kalau kamu pulih, kamu pasti bisa cepet pulang. Makanya, kamu harus istirahat biar cepet sembuh, ya." Esih sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh di depan sang cucu.
"Nek, besok hari ketujuh bapak dan Alin meninggal kan? Apa aku bisa pulang besok? Aku udah sembuh kok," tanya Alvin.
"Nanti nenek bicara dulu sama dokter ya, sekarang kamu istirahat, gak boleh banyak gerak biar besok bisa pulang."
Alvin mengangguk, dia pun akhirnya memilih untuk kembali menutup matanya. Remaja itu tau, kalau sang nenek sudah tidak mampu menahan air yang menggenang di pelupuk matanya.
Esih berjalan ke luar dari ruangan rawat Alvin. Saat dia menutup pintu, disanalah air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya keluar.
"Kamu kok di luar, ada apa?" Darman yang baru saja sampai langsung duduk di samping istrinya.
"Alvin minta pulang besok, Pak. Bagaimana ini?" tanya Esih.
Wanita sudah berumur lima puluh tujuh tahun itu, terlihat sangat bingung sekaligus tidak bisa menahan kesedihannya.
Darman mengelus punggung Esih, walau sebenarnya di dalam hati dia juga merasa bingung saat nanti Alvin pulang ke rumah.
"Harus bagaimana lagi? Mungkin memang sudah saatnya Alvin tau yang sebenarnya," lirih Darman.
Esih menatap wajah Darman yang terlihat tenang, dia masih merasa ragu untuk memberitahukan keadaan menantunya pada Alvin.
"Tapi, gimana kalau kesehatan Alvin memburuk lagi? Aku gak mau itu terjadi, Pak," ujar Esih.
"Aku yakin dia anak yang kuat, dia pasti bisa menerima semua cobaan ini." Darman berkata yakin.
Akhirnya Esih tidak bisa membantah lagi, walau di dalam hatinya masih meragukan keputusan sang suami.
.
.
Hari sudah berganti, siang ini Alvin sudah diperbolehkan untuk pulang, walau masih harus menjalani rawat jalan.
"Hai, Alvin!" seruan tiba-tiba dari para teman-temannya yang baru saja datang mengejutkan Alvin dan Esih yang sedang bersiap-siap.
Semua itu tentu saja mampu membuat senyum di wajah Alvin tampak terlihat.
"Maaf ya, kita baru bisa jenguk kamu sekarang, kamu tau kita semua sibuk mengurus keperluan acara perpisahan sekolah," ujar salah satu temannya.
Alvin mengangguk, "Gak apa-apa, yang penting kan sekarang aku udah sembuh."
Mereka pun akhirnya mengobrol bersama hingga saat waktunya Alvin untuk pulang, semua bermaksud untuk mengantarkan Alvin ke rumahnya.
"Gak usah, aku udah senang kok kalian bisa dateng ke sini. Lebih baik kalian pulang saja ke rumah maising-masing, lagian waktunya juga udah sore," tolak Alvin.
Ketiga temannya itu pun saling pandang, lalu merekamengangguk menyetujui permintaan Alvin.
"Ya udah, kalau gitu kita pulang bareng aja, nanti kita pisah di jalan," saran dari temannya yang lain.
Alvin pun akhirnya mengangguk menyetujui permintaan teman-temannya itu. Mereka akhirnya berjalan bersama menuju parkiran, di sana sudah ada Darman yang menunggu dengan taksi.
Beberapa saat kemudian, Alvin bersama Darman dan Esih sudah sampai di rumah kedua orang tua Alvin.
Alvin ke luar dengan tatapan nanar, kepada rumah yang sudah satu tahun ini mereka tinggali bersama.
Ada rasa sakit begitu bayangan ayah dan juga adiknya terlintas di kepala. Dibantu oleh Darman, Alvin turun dari taksi, dia berdiri beberapa saat sebelum melangkah masuk ke dalam pelataran rumahnya.
Kerutan di kening Alvin tampak terlihat, saat dia mulai masuk ke dalam rumah. Di sana rumah tampak sepi, seperti tidak ada orang di rumah itu.
"Mama ke mana, Nek? Kok rumah sepi," tanya Alvin.
Esih tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil terus berjalan.
Alvin semakin bingung melihat sikap neneknya itu. Dia beralih menatap sang kakek yang berjalan di sampingnya.
"Kek?" tanyanya, menatap penuh tanya.
"Ibu kamu ada, dia ada di kamarnya," jawab Darman.
"Kalau gitu aku mau ke kamar mama dulu," ujar Alvin.
Darman dan Esih saling memandang, seakan sedang beradu argumen melalui mata.
"Nenek taruh baju kamu di kamar dulu." Esih memilih menghindar, dia tidak mau melihat cucunya semakin hancur saat mengetahui kondisi ibunya.
"Ayo biar kakek bantu kamu ke kamar ibumu," ujar Darman, setelah melihat Esih masuk ke kamar Alvin.
Alvin mengangguk, mereka kemudian meneruskan langkahnya menuju ke kamar yang berada paling dalam itu.
Perlahan Darman membuka kamar milik anak dan menantunya itu.
Alvin bisa melihat ibunya sedang duduk di pinggir ranjang, dengan posisi memunggunginya.
"Masuklah, kakek akan tunggu di luar," ujar Darman yang langsung diangguki oleh Alvin.
Dengan perasaan bercampur aduk, Alvin mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
"Assalamualaikum, Mah?" Alvin memberi salam dengan tutur kata yang terdengar lembut.
Rengganis atau yang sering dipanggil Ganis itu terlihat berbalik, dia menatap kedatangan Alvin dengan wajah yang sangat senang.
Alvin tersenyum haru saat melihat tubuh ibunya yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya juga terlihat pucat dengan lingkaran gelap di sekitar matanya.
"Mamah." Ucapan dari Alvin terputus saat Rengganis tampak berlari dan memeluk tubuhnya erat.
"Kamu sudah datang, Mas? Kenapa lama sekali kamu pergi? Aku rindu," ujar Ganis sambil memeluk erat Alvin.
Alvin terperanjat, dia melebarkan matanya dengan seklera yang mulai berubah menjadi merah. Dia baru sadar kalau ibunya mengira kalau dirinya adalah sang ayah.
"Mah, ini Alvin," lirih Alvin sambil membalas pelukan ibunya.
"Alin mana, Mas? Kenapa kamu membawanya pergi, aku kesepian di sini."
Rengganis seperti tidak mendengar kata-kata Alvin, dia terus menganggap Alvin adalah suaminya.
"Mah, ini Alvin bukan bapak," ujar Alvin lagi dengan suara parau.
Satu tetes air mata pun terlihat jatuh membasahi pipi, menyadari kondisi sang ibu saat ini.
......................
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!