NovelToon NovelToon

The Prince & The Curse Of Granades

Bab 1 - Sebuah Keputusan

Di suatu malam yang temaram ketika bulan membulat sempurna dengan cahaya birunya yang menawan.

Angin berhembus dengan begitu kencang, menyapu dedaunan kering yang menyelimuti jalanan sebuah desa, menggoyangkan pepohonan dan menimbulkan suara gemerisik yang cukup menegangkan.

Anginnya yang begitu kencang membuat para penduduk harus mengunci rapat semua pintu dan jendela mereka yang terbuka-tertutup berulang kali akibat tiupan angin.

Tak terkecuali para penjaga istana yang harus menerobos hembusan angin kencang yang mengelilingi istana untuk menutup gerbang utama. Mereka harus mendorong pintu gerbang yang terbuat dari kayu-besi yang cukup berat dan berukuran besar juga tinggi itu.

Namun tiba-tiba secara perlahan kekacauan angin itu mereda bersama dengan sesuatu yang misterius bercahaya putih terjatuh dari langit di depan gerbang istana.

"Apa itu?" Para penjaga istana saling memandang dengan takut.

Pasalnya sosok itu terlihat seperti manusia tetapi pakaian dan rambutnya yang serba putih dan bercahaya membuat mereka harus waspada. Sosok itu terkulai lemas di tanah sambil terbatuk lirih.

"Tunggu, apakah dia adalah... umoya?"

Di sisi lain, seorang pria berjalan keluar dari istana dan tampak begitu marah. Kakinya melangkah dengan cepat melewati halaman istana yang mulai gelap menuju ke gerbang utama dimana para penjaga masih berusaha mencari tahu akan sosok misterius yang ada di depan mereka itu.

"Jangan mendekat!" Seru pria itu dingin.

Para penjaga memberi jalan untuk pria itu dan membungkukkan badan sejenak untuk menyambutnya. Pria itu berjalan mendekat dan terdiam menatap sosok putih yang masih tergeletak tak berdaya di tanah itu.

Makhluk itu terdengar merintih pelan selagi Ia berusaha bangkit, sementara pria tersebut sudah menyiapkan pedang mengkilat dibalik punggungnya.

Sosok putih itu mengangkat bahunya untuk duduk dengan kedua tangannya yang masih menyanggah di tanah dan masih enggan mengangkat wajahnya. Rambutnya cukup panjang tergerai berwarna putih keabuan, mantel dan baju yang dikenakannya pun berwarna putih dan tampak rapih, di kepalanya terdapat sebuah mahkota dari perak dengan batu permata bercahaya.

Jelas sekali bahwa sosok di depannya ini bukanlah manusia, melainkan salah satu makhluk dari bangsa umoya yang selama ini mereka incar.

"Siapa kau?" Tanya pria itu dengan lantang sembari mengacungkan pedang ke arahnya.

Makhluk itu perlahan mengangkat pandangannya menatap pria itu, sepasang mata silvernya berkilau tajam dan tampak muram penuh dengan dendam. Membuat pria itu terbungkam cukup lama.

Tatapan tajamnya perlahan melunak, mata silver itu mulai berair ketika menatap mata pria di depannya. Jemarinya terangkat menyentuh ujung pedang tersebut yang terasa begitu dingin. Para penjaga sudah siap dengan senjata mereka untuk melindungi pria itu setelah melihat pergerakan makhluk misterius tersebut.

Tak ada yang dilakukannya lebih dari sekedar menggenggam pedang itu dengan erat hingga otot-otot tangannya bermunculan dan pedang itu melukai telapak tangannya yang pucat.

"Itu k-kau...? Apa yang kau lakukan---"

Bibir pria itu tercekat, tak mampu berkata apapun lagi ketika melihat sosok putih itu menatapnya dengan lurus, jika dilihat lebih mendalam maka akan tampak semburat penyesalan di dalam sorot mata yang nampak dingin itu.

"Maafkan aku, Paman."

Makhluk itu berkata lirih dengan suaranya yang berat dan terdengar putus asa. Ia tertunduk dengan lemah dan tak berani menatapnya lagi.

Pedang itu terjatuh di tanah. Dan pria tersebut menekuk lututnya dengan lemah di hadapan sosok misterius itu.

Pria itu masih menatapnya dengan tidak percaya, "Bagaimana bisa--"

"Aku benar-benar minta maaf..."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hai 😊

Salam Kenal, aku Rennydwip!

Selamat datang di cerita pertamaku yang berjudul The Prince & The Curse Of Granades.

Mohon dukungannya untuk cerita ini yaa :)

Kenalan dulu yuk dengan tokoh dalam novel ini.

*Gambar yang diilustrasikan dalam cerita ini bukan milik author

Jeeon Gogh Jerriel / Pangeran Jerriel

Merupakan putra pertama di keluarga Kerajaan Runthera, yang juga seorang kakak tertua dari tiga bersaudara yang dinobatkan sebagai Pangeran Mahkota. Karakternya yang tegas dan angkuh membuatnya disegani oleh semua orang di Kerajaan.

Vantero Keem Vincent / Pangeran Vins

Seorang putra ke dua di keluarga Kerajaan Runthera yang dipercaya sebagai 'perisai' Kerajaan. Karena keahliannya dalam semua bela diri, keberaniannya, kepandaiannya, dan sikapnya yang misterius menjadikannya salah satu Pangeran yang dikagumi banyak orang.

Parque Jeem Pearson / Pangeran Pears

Putra terakhir di keluarga Kerajaan Runthera, yang juga saudara kembarnya Pangeran Vins. Ketertarikannya pada seni membuatnya dianggap remeh oleh beberapa orang, selain itu kondisi tubuhnya yang tidak setangguh dua saudaranya membuatnya mudah berputus asa. Meskipun begitu kepribadian Pears yang lembut, murah hati, keceriaannya, dan kebaikan yang diturunkan sang Ayah padanya membuatnya menjadi salah satu pangeran yang dicintai banyak orang.

Putri Moon Ara

Ketulusan hati yang dimilikinya membuatnya harus diasingkan dari Kerajaannya sendiri. Dia adalah satu-satunya putri dari Granades yang dianggap pembangkang dan menentang setiap aturan yang dibuat oleh Ayahnya, Raja Umoya Granades.

Meskipun selalu ceroboh, polos, dan menyukai kebebasan, Moon Ara memiliki sebuah kekuatan abadi tiada tanding yang tak pernah Ia sadari dan mampu menghancurkan dirinya sendiri

Panglima Swain

Ia memilih untuk meninggalkan kehidupannya sebagai Pangeran yang selalu tersisihkan di masa lalu demi menjadi makhluk abadi, Umoya, dibawah kekuasaan Raja Umoya Shaga dari Pseudowinter. Meskipun selalu terlihat ceria, Swain masih menyimpan dendam di benaknya pada kehidupannya di masa lampau.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 2 - Raja Dan Pohon Keramat

Raja Joon dan Ratu Ryme, pemimpin Kerajaan Runthera yang berada di wilayah Selatan sebuah pulau yang dikelilingi dengan pegunungan dan laut, melakukan sebuah perjalanan seusai menghadiri undangan perjamuan makan malam di Kerajaan seberang yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk di lewatinya.

Para pasukan memimpin jalan. Langkah demi langkah mengawal Raja dan Ratu. Sedangkan sang Perdana Menteri menunggangi seekor kuda hitam di barisan belakang.

Sang Ratu yang duduk di atas kereta kencana tersenyum menatap langit malam yang begitu mendamaikan suasana hati. Begitu menyenangkan mengingat betapa hikmatnya suasana di perjamuan tadi, Kerajaan seberang baru saja menobatkan Putra tunggalnya sebagai seorang Raja. Dia begitu gagah dan tampan, dengan kepandaian dan bakatnya dalam bela diri, dan juga sikapnya yang rendah hati membuatnya sangat disanjung oleh semua orang. Dia tampak sangat hebat memimpin Kerajaannya kelak.

Ia berharap bayi di dalam perutnya saat ini akan menjadi sama hebatnya kelak. Tumbuh menjadi seseorang yang kuat, dan disayangi oleh semua rakyatnya. Dan juga Ia berharap putranya nanti bisa meneruskan Kerajaan dengan kebaikannya.

Sebentar lagi Ia akan melahirkan putra pertamanya ini, semuanya terasa begitu antusias. Terutama sang Raja.

“Ryme, Suatu hari nanti Aku akan menjadikannya sebagai seseorang terkuat di dunia,” Kata Sang Raja sambil mengendalikan dua ekor kuda yang menarik keretanya.

“Terkuat tidak cukup untuk menjadi seseorang yang hebat, Joon.” Timpal Sang Ratu lembut.

“Tapi dia harus pandai dalam bela diri. Memanah, bertarung, dan semuanya. Aku bisa mengajarinya sendiri,”

“Yang mulia, anakku membutuhkan seorang guru yang benar-benar hebat untuk membentuk sifatnya,”

Raja Joon bersendakap sambil membidik istrinya, “Jadi maksudmu aku bukan Raja yang hebat. Yeah?”

“Kau tidak akan menjadi Raja jika tidak hebat, bukan? Kau lebih dari itu buatku,” Raja Joon tersenyum mendengar penuturan Ratunya.

“Tentu saja, dan aku yakin.. Perdana Menteri Hugo mampu menjadi guru yang tepat untuk anakku,”

Perdana Menteri Hugo melompat turun dari kudanya lalu berjalan ke samping kereta Raja dan Ratu. “Aku mendengar seseorang menyebut namaku dalam perdebatan mereka,”

Ratu tersenyum padanya, “Kami sedang membicarakan tentang kelahiran anak kami nanti, dan juga masa depannya kelak,”

“Wah, aku yakin dia akan menjadi pahlawan untuk rakyatnya dan juga semua penghuni bumi, Yang Mulia. Sama sepertimu,”

“Kau dengar itu, Sayangku?” Goda Raja, yang membuat Ratu hanya memutarkan bola matanya.

“Seorang pertapa yang selama puluhan tahun tinggal di Gunung Mountries, namanya Tasaru. Aku dan Raja pernah berguru padanya saat masih kecil, bersama puluhan murid dari berbagai wilayah. Dia dikenal dengan sikapnya yang teguh dan pandai. Aku bisa membawa putramu kesana untuk berlatih.” Ujar Perdana Menteri dengan senyum bijaksana.

“Untuk apa? Jika di Kerajaan sudah ada kau yang sama hebatnya dengan Tasaru? Aku tahu, kau sudah menguasai segala ilmunya, atau bahkan melampaui dari yang Ia ajarkan padamu, bukan? Saat kita masih menjadi muridnya, kau adalah yang paling di kaguminya. Kau jenius dan hebat, Sahabatku.”

Ucapan Raja membuat senyum di wajah Perdana Menteri perlahan memudar.

“Aku percaya, anakku akan menjadi manusia yang hebat di tanganmu.” Imbuh Joon.

“Maafkan aku, Yang Mulia.”

Raja menghentikan laju kudanya ketika mendengar jawaban Perdana Menteri yang terdengar putus asa.

“Yang mulia, jangan memberikan seluruh kepercayaanmu tentang putramu, padaku.” Ujar Hugo lirih.

“Kenapa begitu?”

“Aku hanya merasa.. aku belum pantas menerimanya. Aku bukanlah manusia... yang seperti itu.”

Joon tertawa, “Perdana Menteri, kau selalu merendah. Tapi itulah sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin yang baik. Aku senang bisa mengenalmu, Hugo.”

Sebuah senyuman singkat yang penuh misteri terlihat di wajah dingin sang Perdana Menteri. Kemudian Ia menunduk pada tanah dan memikirkan soal masalahnya sendiri.

Aku bukanlah manusia seutuhnya.. bagaimana cara mengatakannya pada Raja?

Sebuah angin berhembus cukup kencang dari arah hutan di depan mata mereka. Para pasukan menghentikan langkah mereka ketika semua kuda yang turut dalam perjalanan ini mendadak meringik ketakutan. Bersahutan dengan lolongan serigala yang sayup-sayup terdengar.

Angin kencang itu menyibakkan tudung jubah Perdana Menteri yang terlihat begitu misterius. Wajahnya berubah menjadi serius ketika melihat sebuah hutan yang begitu gelap dan berkabut di depannya yang harus mereka lewati itu.

“Yang mulia, di depan ada sebuah hutan yang terlihat menyeramkan. Disana begitu gelap dan tampak berbahaya,” Kata salah satu pemimpin pengawal Kerajaan.

“Bukankah kita sudah melewati tempat ini saat pagi? Dan kita bisa melewatinya tanpa kesulitan, bukan?” Kata Joon.

“Ya, yang mulia. Tapi situasinya berbeda ketika malam, kita tidak tahu apa yang terjadi nanti.”

Sang Ratu merasakan hal aneh ketika Raja meninggalkannya sendirian di kereta untuk mengecek keadaan hutan secara dekat.

Rasanya seperti ada yang mengawasi mereka dengan sebuah serangan yang sedang mereka tahan. Angin yang begitu dingin berhembus, sekaligus suasana sunyi yang terasa mencekam. Ditambah lagi kegelapan di dalam hutan itu, cahaya bulan pun tidak dapat menembus pepohonan lebat dan tinggi yang menaungi hutan misterius itu.

Perlahan langit mulai tampak suram, awan gelap menyelimuti bulan dan bintang, dan segerombolan burung gagak menguasai langit dan membuat suara gemuruh yang terdengar cukup mengerikan.

Joon mengerutkan dahinya, “Aku tidak ingat jika kita pernah melewati hutan selebat ini sebelumnya.”

“Ya, aku juga merasa heran.” Jawab Sang Perdana Menteri. “Apakah kita harus mencari jalan lain?”

“Kita sudah berada di tengah perjalanan. Dan hutan Ini jalan terdekat menuju Istana, Hugo.” Timpal Joon.

Tanpa menunggu persetujuan perdana menteri, Joon mengumumkan kepada para pasukan. "Baiklah, jika gelapnya hutan membuat kalian khawatir akan datangnya bahaya, kita bisa berhenti disini untuk sementara. Dan melanjutkan perjalanan pulang ketika hari sudah terang.”

“Tunggu, Yang Mulia.” Perdana Menteri mengedarkan pandangannya ke sekeliling jalan masuk menuju hutan itu. Pandangannya yang tajam membidik seolah menerawang sesuatu.

Suara-suara samar seperti bisikan misterius terdengar di telinga Ratu. Dan membuat Ratu mulai ketakutan. Ia merasakan seperti sedang diincar oleh sesuatu, namun Ia tidak tahu apa itu. Ia hanya merasa ada sesuatu yang mengawasinya dan juga bayinya, dan siap untuk menerkam mereka. “Yang mulia, bisakah kita melanjutkan perjalanan? Aku ingin segera tiba di Istana. Aku merasa tidak aman jika terus berada disini,”

Tepat saat itu, Perdana Menteri Hugo melihat sekelebat bayangan putih yang langsung melesat begitu menangkap pandangannya.

Dan perdana Menteri tahu, makhluk seperti apa yang sedang mengawasi mereka.

“Hutan ini aman untuk di lalui, biarkan aku yang memimpin jalannya.” Perdana menteri Hugo melompat naik menunggangi kuda hitamnya dan menuntun para pasukan yang mengawal kereta kencana Sang Raja.

Suasana semakin terasa mencekam ketika beberapa langkah mereka memasuki hutan pinus tua yang lebat dan gelap itu. Joon merasa heran, bagaimana bisa pohon-pohon ini tumbuh di tanah yang begitu tandus?

Pandangan Perdana Menteri terus menerawang suasana di sekitarnya yang tertutup kabut, sembari mengangkat obornya tinggi-tinggi.

“Baiklah, kalian hanya perlu mengikuti saja jalan ini, dan kita akan keluar dari hutan ini. aku harap kalian tetap menjaga fokus kalian sepanjang perjalanan, jangan sampai ada yang lengah. Jika merasakan hal yang aneh, katakan padaku. Aku akan berjaga-jaga di belakang.”

Perdana menteri Hugo membiarkan mereka berjalan lebih dulu, sementara Ia menunggangi kudanya dengan lambat. Bibirnya terus bergerak membaca mantra, dan seketika sebuah gelembung besar dan bercahaya menaungi para pasukan juga Raja dan Ratu selama perjalanan. Hanya Ia yang bisa melihat gelembung itu. Ia hanya terus mengulangi mantranya sambil sesekali mengawasi sekitar dan merasakan ada yang sedang mengikuti mereka di balik pepohonan itu.

Sosok seorang putri cantik bergaun panjang ,dengan cahaya merah menyala yang mengelilingi tubuhnya itu tiba-tiba terhempas ke tanah dan menimbulkan angin yang cukup besar.

“Apa yang kau lakukan, Moon Ara!!” Teriaknya marah.

“Apa yang aku katakan soal berhenti mengusik manusia, Fiers?” Kata Putri bergaun serba putih dan bersinar merah yang agak meredup dengan wajah teduh yang menenangkan hati itu, kepada kakaknya.

“Kau, menginginkan jiwa bayi di dalam perut Ratu itu, kan?” Cecarnya.

“Ini bukan urusanmu.” Timpal Fiers menggeram.

“Tentu saja ini menjadi urusanku, berhentilah membunuh jiwa tak berdosa hanya demi kekuatanmu!”

Fiers tersenyum sinis, “Kau tahu apa soal kekuatan Umoya Granades yang aku miliki? Lihatlah dirimu, cahaya merah kebangaan Granades sudah memudar dari tubuhmu, auramu berubah menjadi Umoya yang kehilangan arah. Itulah sebabnya jika kau berani membangkang Ayahmu yang seorang Raja Umoya terkuat dari Granades.”

Moon Ara menatap Fiers dengan sendu, “Kau kakakku, aku hanya ingin menyelamatkanmu dari sini.”

“Menyelamatkan apa?" Sergah Fiers. "ini rumahku, dan juga rumahmu jika kau tidak bersikap seolah kau yang paling suci!”

Moon Ara begumam pelan, “Bukan rumah jika kau merasa seperti berada di dalam siksaan,”

“Oh, kau tersiksa berada disini?" Ujar Fiers lantang, lalu melangkah mendekati Moon Ara hingga adiknya itu tersudut di salah satu pohon pinus. "Kalau begitu pergilah! Pergilah sejauh yang kau bisa, dan jangan pernah kembali!”

Melihat Moon Ara hanya terdiam menatapnya, Fiers melesat di antara pepohonan itu.

Ia melemah setiap kali mendengar ucapan seperti itu berkali-kali, seolah Ia memang tidak diharapkan di Kerajaan ini.

Ia hanya berharap kakaknya itu melupakan niat buruknya terhadap segerombolan manusia yang melewati Kerajaan tak kasat mata miliknya itu. Dengan hati-hati Ia membuntuti mereka di sepanjang perjalanan.

Tanpa diketahuinya bahwa salah satu dari mereka menyadari keberadaannya, hanya saja Ia berpura-pura tidak melihatnya.

“Di depan, beloklah ke kiri. Jika ke kanan, itu akan berbahaya. Disana ada sebuah kuil tersembunyi yang keramat.”

Perdana Menteri Hugo bisa mendengar jelas bisikan halus lewat helaian angin yang ada di belakangnya.

“Yang Mulia, ada sebuah jalan terpisah. Arah mana yang harus kita lewati?” Seru pemimpin pasukan.

“Perhatikan kemana arah angin ini berhembus,” Jawab Perdana Menteri Hugo.

“Semuanya, berbelok ke kiri!!” Koor pemimpin pasukan. Mereka melanjutkan perjalanan di tengah kegelapan ini.

Di sebuah jalan, terdapat sebuah batang pohon tak terlihat yang menghalangi. Moon Ara berusaha mengangkatnya menggunakan sihir supaya mereka bisa melewatinya, namun karena Ia masih kurang kuat maka pohon itu hanya terangkat sebelah.

Ia terkejut ketika mendengar Sang Perdana Menteri itu berseru kepada para pasukannya, “Semuanya, merunduklah sambil berjalan!”

Lalu, dengan sebuah hempasan tangan ke udara, Perdana Menteri Hugo membantu Moon Ara mengangkat pohon itu. dan membuat Kereta Kencana Sang Raja bisa melintas dengan aman.

“Yang Mulia, di depan Ada sebuah sungai.” Seru pemimpin pasukan lagi.

Joon bangkit dari duduknya, “Apakah cukup dalam? Kita bisa mencari jalan yang lain,”

Moon Ara berlari ke depan lalu meniupkan sihirnya sehingga dasar sungai itu perlahan meninggi dan mengurangi kedalamannya.

“Tidak perlu, kita hanya perlu melewatinya saja,” Kata Hugo dengan begitu tenang.

Joon menatap sahabatnya itu dengan takjub, “Bagaimana kau bisa tahu tentang itu, Hugo?”

Perdana Menteri Hugo tersenyum bangga, “Aku hanya mengikuti kata hatiku,”

Moon Ara mulai curiga, ia mendekat ke Hugo dan mencoba berbicara dengannya meskipun Ia tahu bahwa dirinya tidak terlihat, “Kau berbohong! Kau bisa mendengarku, kan? Hey, kau bisa merasakan kehadiranku? Kau bisa melihat semua sihirku! Kau mendengarkan semua petunjukku kan? Siapa kau? Heyy!!”

“Lanjutkan perjalanan,” Hanya itu yang Hugo katakan sambil tersenyum tipis tanpa mempedulikan Moon Ara yang sedang berceloteh di telinganya.

GESSP!

Sebuah cahaya merah menyala melesat secepat kilat menembus kerumunan pasukan dan menabrak tubuh Ryme.

“Aaakh!!” Pekikan Ratu membuat semua orang terkejut.

“Ryme! Kau kenapa??” Joon melepaskan kendali kudanya dan melihat keadaan Ratunya. Ryme merasakan kesakitan di perutnya ketika sebuah angin menerpanya dengan cepat. Para kuda kerajaan bersikap tidak tenang seolah sama-sama merasakan yang dirasakan Sang Ratu.

Perdana menteri Hugo melompat turun lalu berlari mendekati kereta. Sedangkan Moon Ara berusaha menenangkan para kuda, dan menemukan sisa cahaya api merah yang mengelilingi perut Ratu. Ia tahu Umoya Granades baru saja menyerang bayi dalam perut Ratu itu.

Moon Ara marah, dan melesat ke sekeliling mereka mencari sosok Umoya yang nekat menyerang mereka secara misterius. Dan Ia menemukan Fiers yang sedang tertawa sinis itu berada di atas pohon dengan tongkat sihirnya sekilas sebelum akhirnya Ia menghilang di telan kegelapan.

Sementara Ratu terus memekik kesakitan.

“Apa yang terjadi, Hugo?!” Joon berseru kebingungan.

“Dia hanya mengalami sedikit gangguan misterius. Tenangkanlah dirimu, izinkan aku menyembuhkannya,” Perdana Menteri Hugo melayangkan tangannya di atas perut Ratu, dan dengan sebuah ilusi misterius perlahan rasa sakitnya menghilang. Kemudian Ia membaca mantra dan gelembung pelindung itu kembali menaungi mereka. Ia sempat lengah berhenti membaca mantra pelindung itu ketika mendengar celotehan Moon Ara di telinganya tadi.

“Joon..” Ratu merintih dengan lemah.

Raja menyentuh jemarinya dengan erat, “Apakah kau baik-baik saja?”

Ratu mengangguk sambil menepuk bahu suaminya agar tak lagi mencemaskan keadaannya.

“Lanjutkan perjalanan, sedikit lebih cepat.” Perintah Perdana Menteri yang kini mengendarai kuda kereta kencana dan meminta Joon untuk menjaga Ryme.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan terburu-buru, hingga sampailah mereka di sebuah jalan buntu. Pepohonan itu seolah mengepung mereka dan membuat mereka kesulitan untuk mencari jalan keluar. Diujung jalan itu terdapat sebuah pohon yang sangat besar dan di rambati dengan tumbuhan liar yang seolah mengelilingi mereka. Anehnya, pohon itu tidak memiliki akar, hanya batang pohon yang langsung menembus tanah.

“Kita harus kemana, Yang Mulia? Jalan ini tertutup oleh pepohonan. Kereta kta tidak bisa melewatinya,”

“Apakah kita harus berputar dan mencari jalan lain?” Joon menatap Hugo dan menunggu pendapatnya.

Hugo menatap lurus ke arah pohon besar di depannya, “Tidak bisa, kita sudah berada ujung jalan. Kita sudah dekat dengan Kerajaan. Jika kita kembali, itu akan berbahaya, dan akan membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan keadaan Ratu sedang lemah. Kita harus tetap melewati jalan ini,”

“Apakah kita harus menebangnya?” Tanya para pasukan.

“Ya!” Sang Raja memutuskan tanpa berpikir panjang tentang konsekuensi yang akan di terimanya jika menebang pohon sembarangan di tempat antah berantah ini.

Pikirannya hanya terpusat pada keadaan Ratunya, supaya mereka bisa cepat sampai di Istana.

“Tidak!” Seru Moon Ara, namun tak terdengar oleh Joon.

Para pasukan bersiap menebang pohon dengan pedang-pedang mereka.

“Tidak, tidak. Kumohon, jangan tebang pohon itu, Tuan!” Seru Moon Ara yang berlari ke arah para pasukan dan berusaha melarang mereka menebaskan pedang ke arah pohon itu. Namun tak ada yang melihatnya, tak ada yang mendengarnya.

Moon Ara beralih kepada Raja dan Ratu namun juga tak didengar.

Ia memohon pada Perdana Menteri yang hanya diam, dia terlihat geram setelah Umoya menyerang sang Ratu. Moon Ara mengerti bagaimana perasaan mereka, namun dengan menebang pohon keramat itu akan menyulut suatu masalah besar di antara mereka.

“Yang Mulia, kami tidak sanggup menebangnya. Pohon ini terlalu kuat,” Ujar para pasukan yang mulai kelelahan karena bersikeras menebang pohon.

Joon merasa heran, Ia melompat turun, dan mencabut pedangnya yang bersinar. “Hugo, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku hanya harus menebaskan pedang ini? atau adakah cara lain?”

“Jangan! Jangan biarkan dia menebang pohon itu, Tuan!! Ku mohon dengarkan aku! Kerajaan ini akan berakhir jika kau melakukan itu! Ku mohon, pohon itu adalah sumber kekuatan dari Kerajaan kami. Jangan menebangnya, ku mohon!!” Seruan Moon Ara seperti sebuah motivasi di kepala Perdana Menteri Hugo. Ia berharap serangan misterius dari Kerajaan Umoya Antah Berantah ini bisa berhenti jika pohon keramat mereka di tebang oleh Raja.

“Tebanglah pohon itu, Raja. Pedangmu adalah pedang terkuat,” Ujar Hugo lantang.

“Kumohon jangaaan!!” Jerit Moon Ara.

Namun pedang Joon yang terdapat kekuatan yang dikirimkan juga oleh Perdana Menteri Hugo itu sudah melibas keras batang pohon tersebut dan membuatnya seketika roboh.

Suasana terasa berbeda setelah hal itu terjadi. Para kuda mulai bersikap aneh kembali, mereka meringik dan meloncat dengan tidak tenang seolah ada sesuatu yang mengganggu.

Perdana Menteri Hugo berseru agar mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan cepat. Dan berusaha mengendalikan kuda yang menggila.

Seiring mereka mempercepat perjalanan, para kuda mulai terkendali dan membawa mereka meninggalkan hutan itu.

Perdana menteri melihat bagaimana kekacauan mulai terjadi setelah pohon itu di tebang, Ia tahu hutan ini memiliki kekuatan mistis yang sangat besar, dan mereka sedang di kejar bahaya. Ratusan pasukan gaib berwujud aneh mulai bermunculan.

Namun ketika berada di perbatasan wilayah Perdana menteri menjatuhkan sebuah api yang langsung membakar hutan atau Kerajaan Tak Kasat Mata yang misterius itu. Dan seketika menutup akses untuk ke wilayah Runthera dengan sebuah pelapis perlindungan yang cukup kuat dan tak dapat di tembus oleh makhluk misterius seperti mereka.

...^^^............................^^^...

Hai :)

Aku Renny.

Terimakasih sudah berkunjung ke ceritaku, btw ini adalah cerita pertamaku.

Mohon maaf kalau ada beberapa kesalahan dalam tulisanku yaa

Mohon dukungannya dan jangan lupa tinggalkan jejak yaa ;)

Terimakasih banyak!

Bab 3 - The Betrayer

Moon Ara menyapukan kuasnya di gambar terakhir.

Ia meletakkan kuasnya dan memeluk lutut memandangi hasil karyanya. Ia melukis sebuah alam yang luas dan hijau. Mengartikan kebebasan. Ia hanya menginginkan kebebasan untuk dirinya saat ini.

Setelah cukup puas dengan hasilnya, Ia menghela nafas. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan luas yang kosong, namun dindingnya penuh dengan lukisan tangannya. Ia beranjak mendekati jendela besi yang sangat sempit, bahkan Ia tidak bisa mengulurkan tangannya keluar.

Yang Ia tahu, Ia berada di dalam sebuah menara yang sangat tinggi. Menara tertutup. Dan tidak ada jalan turun kecuali dengan merusak temboknya dan terjun ke bawah. Namun jangan lupa dengan pelindung misterius yang mengelilingi menara tinggi itu. Siapapun pasti akan kesulitan menembus pelindung itu.

Entah sudah berapa tahun Ia ditahan dalam penjara Kerajaan itu sejak kejadian penebangan dan kebakaran Kerajaan mereka oleh Raja Kerajaan Runthera. Ia dituduh telah membantu pihak musuh dan memprovokator mereka untuk menghancurkan kerajaannya sendiri.

Tidak salah jika Moon Ara dituduh seperti itu, sebab hanya dirinyalah putri yang bertentangan dengan peraturan dalam kerajaan mereka.

Ayahnya, Sang Raja Granades, benar-benar tidak menganggapnya sebagai seorang putrinya lagi. Saudara-saudaranya memusuhinya. Ia tidak memiliki siapapun lagi yang dapat membelanya. Ia hanya sendirian.

Sejak kejadian itu, Moon Ara benar-benar tidak pernah melihat para keluarganya sama sekali. Tak ada satupun dari mereka yang mengunjungi Moon Ara. Seolah Ia dianggap sudah lenyap.

Dan kelanjutan kerajaan ini pun ia tidak tahu lagi kabarnya. Yang bisa Ia lihat hanya dinding tinggi dengan penuh lukisannya.

Namun suatu hari ada seorang Umoya yang melintas dan mengetahui bahwa ada kehidupan seseorang di dalam menara tinggi antah berantah ini, dan berjanji padanya untuk membebaskannya.

Sebuah kilatan cahaya yang sangat menyilaukan baru saja melintas di depan jendela besi menara itu. Moon Ara mengira Ia sedang diserang, Ia bersiap-siap menggunakan sihirnya meskipun Ia tahu kekuatannya tidak akan berhasil melindunginya dari dinding menara yang begitu kuat.

“Putri Moon Ara!! Tenanglah di dalam dan berusaha berlindunglah. Aku akan menghancurkan menara ini!!” Teriak seseorang dari luar.

Moon Ara tidak menjawab dan hanya mengawasi setiap sudut menara untuk menjaga dirinya dari serangan yang akan terjadi. Namun belum sempat Ia menyadari dari sisi mana menara ini akan diruntuhkan, sedetik setelah pelindung itu hancur semuanya menjadi gelap dan hening.

Tetapi gerbang kebebasan itu sudah mulai terbuka lebar untuknya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Suatu hari di Kerajaan Runthera..

Taks.. Taks.. Taks...

Sepasang kaki tanpa alas berlari di atas tanah yang di penuhi daun kering yang berguguran.

Sesekali Ia melompat ketika akar pohon menghalangi jalannya. Menembus hutan yang lebat dengan begitu kencang. Pandangannya tertuju pada seekor burung elang yang terbang kencang menjauh.

“Minggir!!” Terdengar sebuah teriakan dari belakangnya.

Ia merunduk ketika sebuah panah hampir menembus kepalanya dari arah belakang.

“Berhati-hatilah!” Umpatnya, lalu mencabut panah di tasnya dan bersiap dengan busurnya membidik burung elang yang harus di dapatkannya itu.

“Ayolah! Ini tidak akan berhasil!!” Seru suara lain yang melemah, jauh dari belakang.

Mencoba memanah untuk yang kesekian kalinya, namun tetap meleset. Ia mengerang terus berlari mengejar elang itu, panah terakhir baru saja di lepaskannya sebelum Ia menghentikan larinya di ujung tebing.

Sedangkan dari sisi lain seseorang juga melepaskan panah ke sasaran yang sama sebelum akhirnya Ia melompat dari ujung tebing dan terjatuh ke danau di bawahnya.

“Siapa yang menang?” Tanyanya lantang, yang masih mematung di ujung tebing sambil mengatur nafas. Pegas panahnya masih bergetar di tangannya.

“Lain kali Jangan gunakan elang itu sebagai latihan!” Seru yang berada di paling belakang sambil menyeret pedangnya dengan kelelahan.

Burung elang naas yang tertusuk panah itu terjatuh ke danau. Dan sebuah tangan dari dalam danau langsung menangkapnya dengan cepat.

Seseorang bangkit dari dalam air. Pakaiannya, rambutnya, dan wajahnya yang tampan telah basah kuyup. Kedua mata itu menatap dengan tajam. Lalu sebuah senyum kecil yang sinis mendefinisikan betapa sombongnya dia atas apa yang sudah Ia lakukan.

Darah elang itu mengalir di lengannya, dengan dua anak panah yang menancap di tubuh hewan itu.

Ia menatapnya sebentar lalu mengangkatnya lagi dan berseru kepada dua saudaranya yang berada di ujung tebing.

“Aku memanah matanya! Hahaha..” Gelaknya, senang bukan main.

“Dasar tidak punya hati!” Seru si pemegang pedang dari atas tebing yang kesal sendiri.

Yang satunya hanya bersendakap sambil memutar bola matanya.

“Pangeran Pears, Pangeran Jerriel,”

Perdana menteri Hugo melangkah menghampiri mereka bersama tiga pengawal.

Pears, yang membawa pedang itu menoleh dan langsung tersenyum sambil membungkuk memberi penghormatan. Sedangkan Jerriel, yang memanah hanya menatapnya sekilas sambil menyandang busur panahnya di bahu kiri.

“Dimana Vins?” Tanya pria itu.

“Aku disini, Guru!!” Sahut si pemilik nama dari tengah danau di bawah tebing.

Ia menepi dan mulai memanjat tebing yang tidak terlalu tinggi itu, supaya bisa berkumpul dengan mereka. Saat sudah di atas, Ia membungkuk sambil menenteng busur panahnya dan seekor elang yang di panahnya.

Perdana menteri tampak takjub dengan hasil memanah para Pangeran yang di ajarinya selama dua puluh tahun terakhir itu.

“Kalian masih terus latihan?”

“Yeah, Jerriel yang memanah perutnya.” Kata Pangeran Vins.

“Lalu siapa yang memanah matanya?” Tanyanya dengan senyum aneh.

“Tentu saja bukan aku, senjataku hanya pedang!” Sahut Pangeran Pears sebal.

Tanpa mengatakan apapun, Jerriel meletakkan telunjuknya di kepala Pangeran Vins yang cuma tersenyum lebar.

Hugo tersenyum bangga, “Bagus, Pangeran Vins! Tapi Pangeran Pears, berusahalah lebih keras.”

“Aku harus berusaha lebih keras bagaimana, Guru? Jika semua tantanganmu adalah harus memburu seekor hewan yang tidak berdosa! Ah, aku mana tega melakukan itu!” Omel Pangeran Pears.

"Ah, bilang saja kalau kau payah dalam hal memanah." Tukas Jerriel.

"Hey!" Pears berkacak pinggang menatap Jerriel dengan pura-pura marah, "Aku hanya masih butuh latihan. Tapi.. jangan meremehkan kemampuanku dalam hal adu pedang ya!"

Vins menjentikkan jarinya dan ikut bersuara, "Ya! Aku ingat saat pedangmu menancap di jubah milik Jerriel dan membuatnya tersangkut di dinding hingga jubahnya robek. Saat itu kau melakukannya dalam keadaan mata tertutup, bukan?"

Pears tersenyum bangga mendengar penuturan saudara kembarnya itu.

“Lalu tantangan seperti apa yang kau inginkan, Pears?” Tanya Hugo.

“Seperti.. membelah sesuatu. Pohon tumbang, batu, atau sebuah daging panggang. Aku pasti bisa melakukannya. Jangan memburu makhluk hidup, kasihan mereka!” Sontak semua orang tertawa mendengar penuturan Pangeran Pears, Pangeran termuda di Runthera yang sifatnya begitu lugu.

Vins tertawa sambil merangkul saudaranya itu, sedangkan Jerriel hanya tersenyum tipis. Dia memang saudara tertua dan sifatnya sangat dingin.

“Baiklah, sekarang saatnya menantang kemampuanmu, Pangeran Pears. Sasaranmu sudah berada di meja makan,” Kata Perdana Menteri dengan senyuman hangat.

“Benarkah? Daging panggang? Ini sudah waktunya makan yaa?!” Sahut Pangeran Pears yang mulai heboh.

Vins menyerahkan busur panah dan pedang di punggungnya kepada pengawalnya. Pears menyerahkan pedangnya. Dan Jerriel menyerahkan busur panahnya lalu meninggalkan mereka begitu saja.

Sambil sedikit berlari Vins menyamai langkah Kakaknya yang dingin itu. “Jerriel, panahanmu tadi bagus juga.”

Jerriel meliriknya sekilas dan hanya tersenyum singkat.

“Aku memang memanah matanya, tapi panahmu menembus perut elang itu dengan begitu cepat.”

“Jadi kau hanya ingin membicarakan sasaranku yang meleset huh?”

Vins menggeleng cepat, “Tidak. Bukan begitu.”

“Yeah, kemampuan memanahku memang tidak sepandai dirimu, Vins."

Vins tertawa kecil mendengar penuturan Jerriel yang terdengar sarkastik.

“Aku tidak membicarakan soal kemampuan. Itu sudah jelas bahwa kaulah yang lebih menguasai panahan ini daripada aku. Aku hanya kagum dengan gayamu dalam memanah, aku berharap suatu hari kau mau mengajariku. Dan tidak bersaing seperti yang diminta Guru, bisakah?”

Jerriel menghela nafas, lalu menatap adiknya penuh perhitungan, “Dengar ya, Vins. Kau bisa melakukannya sendiri, kenapa harus meminta bantuanku. Aku tahu kemampuanmu sudah sangat baik, kan?”

Terlihat raut wajah sedikit kecewa di wajah Vins, yang kemudian disembunyikannya dengan seulas senyuman manis, “Baiklah.. tapi, bolehkah anak panahmu ini untukku? Aku ingin menyimpannya,”

Vins menunjukkan sebuah anak panah milik Jerriel yang dicabutnya dari perut elang itu.

“Ambil saja,” Jawab Jerriel acuh lalu berjalan mendahului Vins.

Vins sontak bersorai senang, “Terimakasih!”

Selagi kedua saudaranya berbicara seru bersama Sang Perdana Menteri sekaligus guru bagi mereka. Jerriel mendahului mereka hingga berpapasan dengan Ayahnya yang sedang memandangi mereka di dalam Istana.

“Bagaimana hari ini, Nak?” Tanya Ayahnya, Raja Joon. Seorang Ayah yang sempurna bagi ketiga Pangeran ini.

“Aku lelah karena berlatih seharian,” Ujar Jerriel.

“Kau sudah berjalan-jalan mengelilingi kerajaan? Untuk bertemu dengan para rakyatmu.”

“Aku tidak sempat berkeliling, Ayah. Seharian ini, aku harus berlatih dengan Vins dan Pears.”

“Baiklah. Tapi kapan kau akan meluangkan waktu untuk melihat rakyatmu?”

“Lain kali akan ku coba, Ayah.”

Raja Joon tersenyum lembut, “Kau perlu menemui mereka sebagai Pangeran mahkota yang mereka kagumi, nak. Mereka pasti akan senang dengan melihatmu sebentar, dan memeriksa keadaan mereka."

Pangeran Jerriel menatap Ayahnya dengan serius, “Sebagai Pangeran Mahkota, aku juga perlu memperbaiki kemampuanku kan Ayah? Lagipula, menemui mereka adalah tugas Pears juga, dia menyukai hal-hal seperti itu bukan?”

“Tapi kau adalah putra pertama Ayah. Kau juga harus lebih banyak membantu mereka. Dan tersenyum kepada mereka. Jika Ayah tiada, kaulah satu-satunya harapan mereka.”

Pangeran Jerriel termenung mendengar penuturan Ayahnya, “Apa yang Ayah katakan? Jangan bicara seperti orang yang mau mati, Ayah.”

Raja Joon tertawa kecil sambil menepuk bahu putra pertamanya, “Tapi ucapanku benar, bukan? Kau harus meneruskan Ayah jika Ayah sudah tiada.”

Pangeran Jerriel merasakan hal yang aneh ketika mendengar penuturan Ayahnya. Suaranya terdengar nanar, dan wajahnya tampak muram. Firasatnya tidak mengatakan apapun ketika melihat sikap Ayahnya yang mendadak terdengar putus asa.

Namun Ia tahu, Ayahnya masih sangat terpukul sejak Ibunya mengalami sakit parah yang melumpuhkan tubuhnya setelah melahirkan Pangeran Vins dan Pears lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

“Bagaimana Keadaan Ibu, Ayah?” Tanya Jerriel, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Dia masih berbaring di ranjangnya,” Jawab Raja dengan nada pilu, namun berusaha di sembunyikannya di balik senyuman seorang Ayah. "Cuaca diluar sedang sangat cerah, setidaknya dia tidak merasa kedinginan."

Jerriel menuntun langkah mereka menuju kamar dimana Ratu berada.

Raja Joon melangkah mendekati ranjang Sang Ratu berbaring, lalu berlutut di depannya. Raja menggenggam erat jemari lembut istrinya sembari menahan tangis. Namun mata sang Ratu masih tetap terpejam. Tubuhnya begitu dingin dan pucat, namun kondisi tubuhnya masih menunjukkan bahwa Ia masih bisa melanjutkan kehidupan. Meskipun tidak ada yang tahu kapankah Ia akan membuka matanya kembali.

“Beberapa tahun yang lalu Ibumu membuka matanya setelah tidur panjang. Saat mendengar adikmu semakin mahir dalam memanah. Tapi sihir terkutuk di dalam tubuhnya itu menyerangnya kembali dan membuat kesehatannya menurun. Dan hingga sekarang, dia tidak pernah membuka matanya lagi,” Ujar Raja lirih.

Raja menaruh tangan Ratu di pipinya sambil tersenyum sedih, “Kapan itu bisa terulang lagi? Dan jangan izinkan dia untuk tidur seperti ini lagi.”

Jerriel mendekati Ayahnya dan mengusap bahunya lembut.

“Apakah Ayah sudah yakin bahwa paman Hugo tidak bisa mengangkat sihir yang sudah merusak raga ibu?”

“Hugo sudah pernah mengerahkan seluruh kekuatannya, tapi sihir dari makhluk kerajaan tak kasat mata itu telah merusak raga ibumu terlalu dalam.”

“Ketika melahirkan adik-adikmu, keadaan ibumu membuat kami semua hampir putus asa. Beruntung Vins dan Pears selamat sebelum akhirnya Ibumu kehilangan kesadarannya untuk waktu yang lama. Mereka bilang, sihir itu masih tertanam di dalam tubuh ibumu.” Sambung Raja yang kini mulai menitihkan air matanya mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu itu.

Sejak melahirkan Pangeran Jerriel yang sempat di serang oleh makhluk misterius ketika perjalanan di kerajaan tak kasat mata waktu itu, Ratu seolah kehilangan energi di dalam tubuhnya. Dan, setelah lahirnya Pangeran Vins dan Pangeran Pears, keadaan Ratu benar-benar semakin tak berdaya.

Ia terus mengalami kesakitan yang tak di mengerti oleh para tabib dan juga serangan misterius di dalam rahimnya sehingga membuatnya koma dalam waktu yang lama.

Pada tahun ke-8 setelah tidur panjangnya, Ratu memang sempat tersadar dan menunjukkan bahwa Ia tampak baik-baik saja setelah mendengar kabar Pangeran Vins yang mulai menguasai panahan di usianya yang masih belia. Namun setelah beberapa hari, keadaannya kembali memburuk dan membuatnya koma.

Tak jarang Jerriel berpikir mengapa Ia tidak pernah bisa sepaham dengan adik-adiknya, Ia masih merasa tidak terima begitu mengingat keadaan ibunya memburuk sejak melahirkan kedua adiknya itu.

Namun sebagai seorang kakak tertua, tidak pantas jika Ia terus menyalahkan semua kemalangan ini kepada kedua adiknya yang tidak bersalah. Mungkin ini memang jalan hidup yang harus mereka terima.

“Ini bukan kesalahan Vins dan Pears. Jangan menghakimi mereka, mereka sangat menyayangimu,” Rupanya Raja menyadari perubahan raut wajah Pangeran Jerriel dengan rahang yang mengeras itu.

Namun Ia berusaha tersenyum dan menggeleng. “Aku masih terus mencari tahu tentang Kerajaan Misterius itu, tapi tidak pernah bisa menemukan petunjuk sedikitpun tentangnya. Kita hanya harus mengetahui makhluk seperti apa yang telah menyerang Ibumu, dan seperti apa yang harus kita hadapi.”

“Ternyata kalian di sini? Kami sudah menunggu di meja makan!” Tiba-tiba Pears muncul, lalu berlari menghampiri Ayah dan Kakak tertuanya itu.

Senyum di wajahnya yang ceria perlahan luntur begitu melihat raut wajah mereka yang murung, “Apa yang terjadi? Kenapa Ayah menangis? Apakah ibu baik-baik saja?” Tanya Pears sambil berlutut di antara mereka dengan khawatir.

“Kami baru saja membicarakan kalian,” Jawab Jerriel dengan ekspresi yang datar.

“Aku? Kenapa?”

“Jerriel..” Raja khawatir jika Jerriel benar-benar akan mengatakan tentang perasaan kecewanya terhadap kesakitan yang dialami Ratu yang konon di sebabkan oleh adik-adiknya.

“Karena kemampuan memanahmu sangat buruk, dan kapankah kau bisa dewasa?”

Ucapan Jerriel yang selalu terdengar serius itu kali ini diringi sebuah senyuman manis yang membuat Raja tertawa, kekhawatirannya tidak sungguh terjadi.

Sedangkan Pears menggerutu tidak terima disebut begitu oleh kakaknya.

“Tentu saja, senjataku kan pedang dari gading terkuat. Bukan panah seperti kalian berdua! Soal kedewasaan. Ya, karena aku memang termuda disini, bukan?” Timpalnya.

Pangeran Vins datang dengan di iringi beberapa pelayan yang membawakan nampan berisi makanan.

“Melihat kalian yang sedang seru berkumpul disini, maka aku membawa makanan kalian kesini saja.” Katanya.

“Kami baru saja akan pergi ke meja makan, Vins. Tidak perlu repot-repot mengusung makanan kemari,” Ujar Raja Joon.

“Tapi, Ayah, mereka sudah terlanjur repot membawakan makanan kemari. Apa Ayah tega menyuruh mereka mengembalikannya ke meja makan? Jika kita bisa makan bersama disini,”

“Makanlah di meja makan, jangan di kamar Ibu.” Kata Jerriel.

“Aku hanya ingin makan bersama dengan Ibu di dekatku. Apakah itu dilarang?” Sahutnya dengan senyum menyebalkan.

Pangeran Pears berseru menyetujui. “Ide bagus! Ayo kita makan bersama ibu!”

Kemudian tanpa persetujuan kakaknya, Ia sudah menyuruh para pelayan untuk memberikan makanan kepada kedua saudaranya dan Ayahnya.

Mereka akhirnya makan bersama di depan sang Ratu yang masih dalam tidur panjangnya.

Raja Joon tersenyum melihat ketiga putranya yang sedang bersenda gurau sambil menyantap makanan di ranjang Ratu.

Dalam hati Ia terus mengeluh betapa Ia merindukan momen kebersamaan Ratunya dengan ketiga putra mereka. Ia berharap Ratu Ryme terbangun dan melihat ketiga putra mereka yang telah tumbuh sebagai pangeran yang tampan dan gagah.

Memikirkannya semakin membuat Raja sedih, mengingat sihir terkutuk yang menyerang Ratunya. Ia berjanji akan memusnahkan makhluk misterius itu karena telah mengurangi satu kebahagiaannya.

Hanya keceriaan di wajah Jerriel, Vins, dan Pears yang dapat memberinya semangat untuk terus berjuang.

Ryme.. lihatlah, inilah para pangeran yang kau harapkan untuk terlahir selama ini.

Bisakah kau melihat mereka? Ketampanan dan kehebatan mereka?

Aku tidak tahu, dimanakah kau berada saat ini. tapi kumohon kembalilah. Bukalah matamu.

Aku ingin mendengar tawamu di antara kami. Ini sudah terlalu lama kau pergi.

Kembalilah, aku ingin kau disini. Kami semua merindukanmu...

Dan seolah dapat mendengar jeritan hati sang Raja, bibir Ratu perlahan menunjukkan sebuah senyuman manis yang mereka rindukan. Bersamaan dengan setetes air mata jatuh dari sudut mata Ratu Ryme yang masih terpejam.

......................

Terimakasih banyak sudah menyempatkan waktu buat membaca ceritaku ya!

Jangan lupa like, vote, dan komentar :)

Ikuti terus ceritaku yaa

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!