NovelToon NovelToon

Noda Hitam Suamiku

Jarang pulang

"Kamu mau kemana, Mas?" tanya Zahra menarik lengan Aidin yang sudah  berada di ambang pintu kamar. 

Beberapa jam yang lalu pria itu baru menginjakkan kakinya di rumah, namun kini sudah pergi lagi tanpa alasan yang jelas. 

"Bukan urusan kamu." Aidin menepis tangan Zahra hingga tersentak. 

"Tapi aku istrimu, dan aku berhak tahu kemana kamu pergi dan apa yang kamu lakukan di luar?" Zahra berbicara dengan nada lembut. Sedikitpun tak ingin menyinggung suaminya. Apalagi sampai menyakiti hati pria itu. 

Aidin menyunggingkan bibirnya, menatap Zahra sinis." Sudah berapa kali aku bilang, jangan ikut campur urusanku." Menunjuk wajah Zahra dengan jari telunjuknya. 

Baru beberapa langkah, Aidin menghentikan kakinya yang mengayun. Memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Aku mau ke luar kota, mungkin akan sedikit lama," ujarnya tanpa menatap. 

"Uang belanja bulan ini habis." Zahra mengucap dengan ragu. 

"Kamu bisa kerja, jangan manja. Apa sebelumnya hidup kamu terpenuhi, tidak kan. Bahkan ayah kamu sendiri saja tidak pernah memperdulikanmu. Kamu bukan orang terhormat, tapi hanya anak yang tidak diinginkan oleh keluargamu, jadi sadar diri." 

Melanjutkan langkahnya hingga menghilang bersamaan dengan pintu depan yang tertutup rapat. 

Zahra menyandarkan punggungnya di dinding lalu memejamkan mata. Lagi-lagi hatinya terasa perih mendengar olokan Aidin, namun ia tak bisa berbuat apa-apa karena semua itu adalah fakta. 

Kapan kamu punya waktu untukku. Sudah hampir satu tahun kita menikah, tapi kamu tidak pernah menganggapku ada dan mementingkan pekerjaan. Bahkan Kamu jarang  memberikan nafkah padaku. 

Zahra Adinata, gadis yang berumur 19 tahun dan berparas cantik serta memiliki kepribadian yang tertutup, selalu bertutur sapa dengan lembut itu menerima pinangan Aidin Adijaya, pria yang berumur 27 tahun. Mereka berkenalan lewat sosmed. Demi menghindari perjodohannya dengan Azka, Zahra melanjutkan hubungannya dengan Aidin ke jenjang yang lebih serius, takut terjadi fitnah. Selain tampan, Aidin juga mempunyai pekerjaan yang mumpuni, menjadi direktur utama di perusahaan papanya sendiri, dan itu yang membuat Zahra menyukai pria itu.

Perkenalan tiga bulan membuat Zahra yakin jika Aidin adalah jodohnya. Ia bertekad memilih Aidin dan meninggalkan rumahnya yang seperti neraka. Setiap hari Zahra selalu menerima siksaan dari ibu tirinya, juga hinaan dari adik tirinya yang menganggapnya anak germo. 

Ibu kandung Zahra bekerja di klub malam, dan itu yang selalu menjadi senjata orang-orang untuk menjatuhkannya. 

Zahra pikir, menikah dengan Aidin akan mendapatkan kehidupan baru yang lebih cerah. Namun ia salah, justru hari-harinya hanya berteman dengan kesepian, karena Aidin jarang tinggal di rumah.

Pekerjaannya yang terlalu sibuk sering mengabaikan dirinya, bahkan Zahra terkadang merasa jenuh karena sikap suaminya yang acuh. 

Tiga bulan berlalu

Zahra melingkari angka yang ada di kalender kamarnya. Hari ini genap tiga bulan Aidin meninggalkan rumah. Pria itu hanya memberi kabar pada Zahra satu kali. Itupun hanya lewat pesan singkat. 

Zahra meraih tas yang ada di nakas lalu merapikan penampilannya. Menatap nanar wajahnya dari pantulan cermin. 

"Aku harus bisa melewati semua ini, aku tidak mungkin pulang ke rumah."

Masih meratapi nasib yang menimpanya. 

Setelah satu bulan kepergian Aidin, ia memutuskan untuk bekerja di sebuah restoran demi memenuhi kehidupannya sehari-hari. Tak ada tempat mengeluh apalagi bersandar. Semenjak menikah, ayahnya pun tak pernah menghubungi nya, sedangkan Zahra enggan jika harus bertemu dengan ibu kandungnya. 

Keluarga yang lengkap dengan harta yang berlimpah, namun Zahra bagaikan hidup sebatang kara. Tidak ada lagi yang peduli padanya, termasuk suaminya sendiri. 

Lambaian tangan wanita cantik menciptakan senyum di bibir Zahra. Hanya dia yang mampu memberi warna di hidup Zahra saat ini. 

"Selamat pagi, Ra," sapanya memeluk Zahra yang baru saja membuka pintu depan. 

"Pagi, Ki. Kok masih sepi." Zahra mengedarkan pandangannya di setiap kursi kosong yang sudah tertata rapi.

"Kamu yang berangkatnya terlalu pagi," cetus Kirana sambil mengelap kaca. 

"Suami kamu belum pulang?" imbuhnya. 

Zahra menggeleng tanpa suara. 

"Untuk apa punya suami kalau nggak pernah pulang, kamu nggak curiga? Jangan-jangan __" 

"Jangan-jangan apa? Nggak mungkin mas Aidin selingkuh. Dia itu baik, cuma sikapnya saja yang cuek. Lagi pula sebagai direktur utama itu tidak gampang, dan mas Aidin tidak mau posisi itu jatuh ke tangan orang lain," ucap Zahra seperti yang diucapkan Aidin padanya. 

"Kalau aku jadi kamu, aku akan kuliah. Biar bisa dapat kerjaan yang lebih baik."

Kirana mengikuti langkah Zahra menuju ruang ganti. Membantu Zahra untuk menyiapkan alat kerjanya. 

Zahra tersenyum, sedikitpun dalam benaknya tak pernah berpikir luas. Kehidupannya yang tertekan membuat pemikirannya tak bisa menjangkau apa yang dipikirkan Kirana. 

"Kamu tahu keluarga ku, kan? Ayah sangat membenciku, sedangkan ibu, dia lebih memilih pekerjaannya daripada aku. Aku anak yang tidak diinginkan kedua orang tua ku, dan aku hanya ingin memperbaiki hidupku, menjadi istri yang baik untuk mas Aidin, dan itu sudah cukup. Kalau sekarang aku harus kerja, itu bukan berarti mas Aidin tidak memberikan uang padaku. Aku hanya tidak ingin menjadi beban untuknya."

Zahra meraih sapu yang ada di tangan Kirana. 

"Yang sabar, Za. Aku yakin Aidin itu laki-laki yang baik kok."

Setelah punggung Kirana berlalu, air mata Zahra luruh. Ia tak sanggup membendung air mata yang menumpuk di pelupuk. 

Aku gak tahu sampai kapan akan bertahan dengan keadaan ini, tapi aku akan mencoba untuk meluluhkan hati mas Aidin. 

Hampir saja keluar, ponsel Zahra berdering. Ia segera mengambilnya lalu menarik lencana hijau saat melihat nama yang berkelip di layar. 

"Halo Mas," sapa Zahra dengan suara lembut. 

Suara tawa perempuan mampu meredupkan senyum Zahra yang hampir mengembang. 

"Hari ini aku pulang, kamu siapkan makanan untukku."

"Baik, Mas," jawab Zahra singkat. 

"Itu suara siapa, Mas?" tanya Zahra kemudian, ia tak bisa memendam rasa cemas yang menyelimutinya saat ini. 

"Bukan siapa-siapa, kamu jangan berpikir macam-macam. Dia klien ku."

Sambungan terputus. Dada Zahra terasa sesak, ia menepis segala perasaan yang negatif dan tetap percaya pada Aidin. 

Di seberang sana

Aidin tak henti-hentinya mencium pipi wanita cantik yang duduk di pangkuannya. Dia adalah Amera, pacar pertama Aidin. 

"Apa istri kamu gak curiga?" tanya Amera  sambil membelai pipi Aidin.

"Dia tidak akan curiga, kamu tenang saja," ucapnya menyandarkan kepalanya di dada wanita itu. Seolah-olah itu adalah tempat ternyaman baginya.

Wanita itu menangkup kedua pipi Aidin dan menatap manik matanya dengan lekat. 

"Maafkan aku, seandainya waktu itu aku setuju untuk menikah, pasti papa kamu tidak akan memaksamu untuk menikah dengan wanita lain. Dan kamu tidak memilih Zahra."

Aidin hanya menanggapi dengan senyuman. Ia tak menyalahkan Amera, namun juga tak bisa menerima begitu saja kehadiran Zahra yang hanya berstatus istri di atas kertas. 

Nota belanja

Zahra melempar tas ke sembarang arah. Ia buru-buru berlari ke dapur. Mengikat hijabnya ke belakang. Melipat baju hingga kesiku lalu membuka semua barang-barang yang ia beli tadi sepulang dari restoran. 

"Kenapa mas Aidin baru bilang kalau mau pulang jam empat sih?" Menggerutu. Menyiapkan bumbu yang ia butuhkan. Untung tadi Zahra sudah sholat di restoran dan bisa segera memasak. 

Sambil menggoreng, sesekali melihat jam yang menempel di dinding ruang makan. Berharap jarum yang terus berputar itu sedikit lambat. Takut jika ia terlambat menyiapkan makanan untuk sang suami.

Hampir satu jam, akhirnya Zahra mampu menyelesaikan masakannya. Masih ada sisa waktu lima belas menit. Zahra berlari untuk menyiapkan diri, tak mau menyambut Aidin dengan penampilannya yang berbau dapur. 

Zahra memakai baju gamis warna pastel dengan hijab yang senada. Meski baju itu sederhana, tetap saja tidak mengurangi kecantikan di wajahnya yang memang alami. Memakai parfum di beberapa bagian tubuhnya lalu keluar. 

Jam empat lebih tiga puluh menit,  namun belum ada tanda-tanda Aidin pulang. Zahra mengambil ponsel lalu menghubungi suaminya. 

Tersambung, namun tak diangkat. 

Zahra menilik makanan yang ada di meja makan. 

"Sudah hampir dingin, tapi kenapa mas Aidin belum pulang juga?"

Hati Zahra mulai gelisah, suara tawa yang ia dengar di balik ponsel tadi pagi seakan terngiang-ngiang membuatnya resah. 

Waktu terus bergulir. Aidin bilang pulang  jam empat, namun malam sudah larut pun pria itu belum menampakkan batang hidungnya. Zahra menguap. Ia menyalakan tv lalu membaringkan tubuhnya. Mengurai rasa lelah karena seharian bekerja.

Baru beberapa menit memejamkan mata, bunyi klakson menggema membuat Zahra terperanjat, merapikan hijabnya. Berlari membuka pintu. 

Nampak wajah lelah Aidin turun dari mobil. Jalannya sedikit sempoyongan dengan tangan yang memegang pelipis. 

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Zahra khawatir, membantu Aidin untuk berjalan. 

"Gak kenapa-napa, cuma ngantuk." Mencengkal tangan Zahra yang menyentuh tubuhnya. 

"Aku sudah siapkan makanan," ucap Zahra mengunci pintu depan. 

Aidin duduk di kursi ruang makan. Tangannya mengulur mengambil secangkir kopi yang tersaji. Baru sekali menyesap, ia mengembalikan kopi dengan kasar hingga membuat Zahra kaget. 

"Kenapa kopinya sudah dingin? Kamu mau aku sakit perut?" bentak Aidin. 

"Maaf, Mas. Aku lupa, biar aku buatin lagi."

"Nggak usah," sergah Aidin beranjak pergi. Pria itu lalu menghempaskan tubuhnya di sofa, tanpa mengindahkan Zahra yang mengambil jas nya. 

"Katanya suruh nyiapin makanan, tapi kenapa nggak di makan?"

Zahra menghampiri Aidin. Membantu pria itu melepas sepatu dan membenarkan posisinya hingga nampak nyaman. 

"Kalau tahu begini, ngapain aku masak, mana uangku sudah habis buat belanja," gerutu Zahra menatap makanan yang tak disentuh suaminya sedikit pun. 

Zahra membalut tubuh Aidin dengan selimut. Meskipun diperlakukan tak begitu baik, ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, berharap hati Aidin luluh dan bisa menerimanya. 

"Aku ingin melihat kamu tersenyum padaku, Mas. Tapi kenapa setiap kita bertemu, kamu selalu marah-marah. Sebenarnya apa salahku. Jika kamu tidak mencintaiku, kenapa kamu melamar dan menikahi ku?"

Air mata Zahra luruh. Semenjak menikah tak pernah merasakan kehangatan dari sang suami, bahkan akhir-akhir ini Aidin cenderung menjauhinya. Mereka hanya terlihat mesra jika datang ke rumah mertua. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Zahra melepas mukena. Seperti setiap pagi, ia mengambil baju kotor yang ada di keranjang. 

Beberapa baju terangkat. Zahra menemukan beberapa kertas yang tercecer di bawah, dan itu berasal dari jas Aidin yang dipakai semalam.

"Apa ini?" Memungutnya satu-persatu lalu membacanya. Dadanya terasa sesak melihat beberapa brosur dan nota belanja itu. Bukan jumlahnya yang fantastis, namun nama barang-barang yang dibeli Aidin yang membuat dada Zahra meletup-letup. 

Zahra keluar menghampiri Aidin yang masih terlelap. 

"Mas bangun! Sudah subuh," bisik Zahra dengan suara lembut. Menggoyang-goyangkan lengan sang suami. 

Hingga beberapa kali, akhirnya Aidin membuka mata. 

"Apa sih, gangguin aja," ucap Aidin memiringkan tubuhnya tanpa ingin bangun. 

"Tapi ini sudah subuh, Mas. Bangun!" Suara Zahra terdengar menderu hingga Aidin merasa risih dan akhirnya terbangun. 

Aidin menatap Zahra dengan tatapan tajam. "Lain Kali  bisa kan, kamu gak ganggu aku. Nanti juga bangun sendiri." 

Aidin meninggalkan Zahra. 

"Oh iya, bikinin aku sarapan," ucap Aidin yang sudah sedikit menjauh. 

"Tapi uangku habis buat belanja kemarin, dan bulan ini aku belum gajian," ucap Zahra lantang. 

Aidin membalikkan tubuhnya. "Bukankah kamu mendapatkan uang dari papa setiap bulan? Lalu untuk apa uang itu?"

"Selama ini aku gak pernah terima uang dari papa. Aku gak mau melibatkan orang lain dalam rumah tangga kita. Aku hanya ingin uang dari kamu."

"Aku belum ambil uang."

Zahra mendekati Aidin dan menunjukkan beberapa nota belanja yang ia temukan dari saku sang suami. 

"Lalu apa ini? Kamu belanja menghabiskan berpuluh-puluh juta hanya untuk orang lain, sedangkan untuk aku, kamu tidak pernah memberikan uang untukku sedikit saja."

"Dari mana kamu dapat itu?" Aidin terlihat gugup. Ia merebut kertas yang ada di tangan Zahra. 

"Kamu gak perlu tahu aku dapat dari mana. Sebenarnya kamu belanja itu semua untuk siapa? Apa kamu memiliki wanita lain?"

"Kamu ngomong apa sih. Ini belanja buat keperluan kantor," elak Aidin meninggalkan Zahra. Menghindari tatapan wanita itu yang tampak mengintimidasi.

Dilihat dari barang-barang yang ada di tulisan itu memang ada keperluan kantor, namun tetap saja Zahra tak percaya begitu saja dengan ucapan Aidin. Sebab, ia menemukan tulisan barang wanita, bahkan beberapa adalah nama tas branded.

Zahra duduk di sofa. Mengusap setiap cairan bening yang mengalir membasahi pipinya. 

Aku punya kesabaran yang terbatas. Dan aku bisa menyerah jika kamu terus seperti ini. 

Beberapa Menit kemudian, Aidin keluar menghampiri Zahra yang masih berada di ruang tengah.

Pria itu nampak rapi. Memakai jas dan juga membawa map di tangannya.

"Aku mau ke kantor, dan sepertinya hari ini akan pulang agak malam."  

"Ini hari minggu, Mas. Apa kamu lupa?"

"Gak, aku memang ada kerjaan yang harus aku urus sekarang juga."

Membantah seperti apapun, Zahra tetap kalah saat berdebat dengan Aidin yang memiliki seribu alasan untuk bisa keluar. 

"Aku akan bilang ke papa, kalau hari ini aku butuh kamu di rumah."

Aidin mencengkram erat lengan Zahra hingga membuat sang empu meringis. 

"Kalau kamu berani bilang pada papa, aku akan meminta mama Delia untuk menjemputmu dan menjualmu, apa kamu mau seperti dia. Menjadi wanita malam yang setiap hari harus melayani laki-laki hidung belang."

Zahra menggeleng cepat, ketakutan yang tak pernah berujung membuatnya selalu patuh pada Aidin. Kehidupan mamanya yang bertolak belakang menjadi pemicu Zahra menjadi wanita yang penurut pada sang suami.

Kenyataan pahit

"Ternyata mas Aidin tidak pulang." 

Tangan Zahra yang masih memegang gagang pintu itu menarik nya kembali hingga tertutup. Menatap nanar ke setiap  ruangan yang terasa sepi mencekam. Tidak hanya rumah itu, kini hati Zahra pun terasa hampa dan kosong. 

Zahra berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari es. Tidak ada apa-apa selain kangkung dan tahu, itu pun sisa kemarin.

"Untuk apa aku memasak, pasti mas Aidin sudah makan di luar."

Zahra mengurungkan niatnya. Ia duduk di kursi ruang makan. Sejenak, mengingat-ingat kesalahannya kemarin yang sudah lancang ikut campur urusan suaminya. Dari lubuk hati terdalam ingin berdamai dengan Aidin. Memperbaiki sikapnya yang mungkin kurang berkenan di hati suaminya, sesekali meraba keburukannya selama ini.

"Aku harus minta maaf pada mas Aidin." Zahra menghubungi Kirana, memberi tahu bahwa hari ini tidak masuk. 

Tak seperti biasanya yang hanya memakai daster rumahan, kali ini Zahra memakai baju yang mewah. Itu adalah baju pemberian Aidin saat pertama kali berkenalan, mungkin akan mengingatkan pada masa-masa di mana terjalinnya hubungan hingga saat ini. 

Zahra juga mengubah penampilannya lebih menarik. Mengganti gaya hijab dan juga make up nya. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Gedung yang menjulang tinggi itu nampak asing di mata Zahra, meskipun mertuanya adalah pemilik tempat itu dan juga suaminya salah satu petinggi di sana, nyatanya, ia jarang sekali datang. 

"Selamat siang, Bu," sapa satpam yang berjaga di depan pintu. 

"Siang," jawab Zahra singkat. Menghentikan langkahnya di depan resepsionis yang bertugas. 

"Mas Aidin nya ada?" tanya Zahra dengan sopan. 

"Ada, Bu. Silakan masuk! Tapi sepertinya beliau sedang menerima tamu."

Zahra mengangguk, "Saya akan menunggu di atas saja."

Setelah Zahra berlalu, dua wanita cantik itu saling berbisik. Menatap punggung istri bosnya yang menghilang di balik pintu lift. 

Setibanya di lantai tujuan, Zahra melangkah menuju ruangan Aidin. Sesekali menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Tidak ada yang aneh. Semua baik-baik saja, namun hatinya tiba-tiba saja dirundung rasa cemas. 

"Selamat siang, Bu," sapa seorang pria yang yang baru keluar dari ruangan Aidin. 

"Siang, Pak. Apa mas Aidin sedang sibuk?" 

Seketika wajah pria paruh baya yang ada di depan Zahra itu panik

"A… anu, Bu." Bibirnya seperti kelu hingga tak bisa mengucap kalimat dengan lengkap. 

"Anu apa?" tanya Zahra memastikan. 

Bagaimana ini? Apa aku bilang saja kalau pak Aidin sedang sibuk.

"Anu, Bapak sedang sibuk, beliau belum bisa diganggu, silahkan ibu tunggu sebentar." Menunjuk ruangan yang ada di sisi Zahra berdiri. 

"Baiklah, aku akan menunggu."

Zahra duduk di sofa yang menjulur panjang. Mengambil majalah fashion yang ada di meja untuk menghilangkan jenuh.

Hampir satu jam Zahra berada di ruang tamu. Ia hanya menjadi penonton beberapa orang yang melintas. 

"Apa sebaiknya aku bilang mas Aidin saja kalau aku datang." Meraih tasnya lalu berdiri. Kembali merapikan penampilannya sebelum keluar. 

Lorong ruangan itu lumayan sepi, hanya ada beberapa karyawan yang ada di sana. Zahra menatap pintu ruangan sang suami yang sedikit terbuka. Kakinya terus melangkah mendekatinya.

"Kamu ada-ada saja." 

Suara wanita terdengar dari arah ruangan Aidin mampu menghentikan langkah Zahra. 

"Beneran, kalau gak percaya kamu datang saja," imbuh Aidin dengan lembut. Dan itu tak pernah di ucapkan saat di depan Zahra yang berstatus istrinya. 

Entah apa yang mereka bahas, namun percakapan itu terdengar hangat di telinga Zahra. Ia maju satu langkah untuk bisa mendengar lebih jelas lagi. Dari sela-sela pintu bisa melihat seorang wanita duduk di meja kerja suaminya. Berhadapan dengan Aidin yang duduk di kursi kebesarannya. 

"Siapa itu?" tanya Zahra dalam hati. Menahan dadanya yang bergemuruh. 

Baru saja tangannya ingin mendorong pintu, wanita yang ada di dalam itu beranjak. Zahra segera pergi meninggalkan ruangan Aidin dengan membawa seribu pertanyaan. 

Baru beberapa langkah, Zahra berpapasan dengan karyawan. Ia menghentikan langkahnya lagi. 

"Apa kamu tahu tamu yang ada di ruangan mas Aidin?" tanya  Zahra dengan bibir bergetar. Jangan tanya lagi, matanya saat ini sudah digenangi cairan bening mengingat kelembutan sang suami terhadap wanita lain, sedangkan dengan dirinya selalu tak peduli. 

"Sepertinya tamu penting, Bu. Saya tidak mengenalnya, tapi beberapa orang di kantor ini banyak yang tahu, katanya dia model majalah dewasa."

Zahra mengangguk lalu mengucapkan terimakasih. 

Semoga itu beneran tamu yang membahas pekerjaan, bukan yang lain. 

Meskipun curiga, tetap saja ia mencoba percaya dengan kesetiaan Aidin. 

Zahra meninggalkan kantor dengan membawa separuh hatinya yang memar. Kenyatan pahit ia telan begitu saja bersamaan kakinya yang mulai lentur saat menyusuri tangga darurat. 

Sapaan demi sapaan tak lagi Zahra hiraukan. Saat ini matanya terasa gelap dan tak bisa melihat apapun. Kenyataan itu hampir meruntuhkan kepercayaannya yang terbangun kuat. 

Jangan hianati aku, Mas. Serendah apapun kamu memperlakukanku, aku tidak peduli, asalkan kamu tidak menduakan ku, ucapnya dalam hati. 

Bersamaan saat Zahra mengeluarkan motor dari arah gerbang, dari arah berlawanan mobil mewah melaju begitu kencang membuatnya tersentak dan ambruk. 

Aaawww

Zahra meringis, mencoba untuk melepas helm nya. Dalam hitungan detik, orang - orang berkerumun menolongnya yang jatuh tersungkur. 

Mobil mewah yang tadi melaju itu pun berhenti. Sosok pria tampan dengan baju yang rapi itu menghampiri Zahra yang masih duduk. 

"Kamu tidak apa-apa?" tanya suara berat. 

Suara yang tak begitu asing di telinga Zahra, namun ia masih menerka gerangan yang berdiri di depannya. 

Dilihat dari sepatunya yang bermerek seperti milik Aidin, pasti dia bukan orang sembarangan. Zahra mendongak menatap pria itu.

"Zahra." 

"Mas Azka," sapa keduanya serempak. 

Azka ikut duduk di depan Zahra. 

"Kamu tidak apa-apa?" Wajah Azka nampak khawatir. Matanya menatap punggung tangan Zahra yang terluka. 

"Tidak, cuma luka kecil." Berdiri, membersihkan bajunya yang terkena debu. Menepis tangan Azka yang hampir menyentuh tangannya. 

"Maaf, Za. Aku panik," ucap Azka sambil menangkup kedua tangannya. 

"Gak papa," jawab Zahra singkat. 

Satu persatu orang-orang kembali beraktivitas setelah membantu Zahra membangunkan motor.

Azka menatap gedung yang berdiri kokoh di depannya lalu menatap Zahra dengan tatapan intens. 

"Ini kantor suamimu?" tanya Azka.

"Bukan, Kantor papa, Mas Aidin bekerja di sini."

Azka manggut-manggut mengerti.

Zahra kembali menaiki motornya, ia tak mau terlihat akrab dengan laki-laki lain. Apalagi pria yang ada di depannya itu adalah orang yang pernah dijodohkan dengannya. Ia tak mau terjadi fitnah yang akan menimbulkan masalah bagi rumah tangga nya. 

"Aku pergi dulu, Mas. Assalamualaikum," sapa Zahra kembali melajukan motornya. 

Azka menjawab salam itu. Menatap punggung Zahra hingga di ujung jalan. 

Kamu tetap cantik dan ramah, Za. Tapi sayang, kamu menolakku dan lebih memilih orang lain. Azka. 

Aku pernah menolakmu, Mas. Tapi kamu masih baik padaku. Semoga kamu mendapatkan wanita yang baik seperti kriteria ibumu. Zahra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!