NovelToon NovelToon

MAINAN RANJANG TUAN

Mendatangi mansion

Aku terus berlari menyusuri trotoar jalan menembus dinginnya udara malam. Dengan air mata yang terus berjatuhan, tak kuhiraukan nyeri yang mulai terasa melilit di perut juga kaki yang sakit, perih, lecet akibat terlalu lama berlari.

Gedung-gedung tinggi menjulang entah itu hunian, restoran, perkantoran, semua kulewati satu persatu menuju mansion paling mewah di tengah kota London, tempat tinggal Tuan Leonel Dankar.

Leonel Dankar adalah seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan termasuk tempat Kak Harry bekerja. Kakak iparku.

Aku harus segera bertemu dengannya, memohon agar ia mencabut laporannya atas kejahatan Kak Harry, yang telah menggelapkan sejumlah uang dari perusahaanya.

Yah, aku tahu, Kak Harry bersalah, tapi ia terpaksa melakukannya demi biaya pengobatan istrinya, Kak Rachel kakak kandungku, yang mengidap penyakit kanker hati. Selain itu juga untuk biaya sekolahku, tentu saja.

***

Langkahku terhenti, membungkuk di depan gerbang mewah mansion Tuan Leonel Dankar yang dominan dengan warna hitam.

Napasku terengah dengan dada naik turun dan juga peluh yang menetes membasahi wajah, leher dan hampir seluruh tubuh.

Aku mendongak, menegakkan tubuh mencoba menenangkan diri dari sisa-sisa kelelahan usai berlari.

Kutekan tombol pada dinding dekat gerbang, setidaknya aku menekan benda itu sampai tiga kali hingga akhirnya seseorang membukanya dengan raut mukanya yang sangar.

"Cari siapa? Malam-malam begini bertamu ke rumah orang, apa sopan?" tanya wanita berbadan subur itu yang lebih terdengar seperti bentakan.

"S-sa saya, saya mau bertemu sama Tuan Leonel, ada yang ingin saya bicarakan," ucapku tergesa berharap agar wanita berbadan subur itu segera mengizinkanku masuk.

Ia mengernyit, menyipitkan kedua matanya menatapku teliti dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Yah, penampilanku kelewat sederhana untuk bisa bertemu dengan seorang Tuan Leonel Dankar begitu saja.

"Sudah punya janji?" tanya wanita itu masih dengan nada kasar.

"B-be belum, tapi_"

"Pergilah, sebelum kukeluarkan anjing-anjingku untuk mengusirmu dari sini,"

"T-t tapi, Nyonya!"

Gerbang kembali ditutup rapat, terkunci dari dalam dan wanita itu pergi, tak lagi menghiraukan aku yang terus berteriak memanggilnya.

Tanganku bergerak menyentuh tombol bel, tapi urung kulakukan, jika aku menekan benda itu, dan membuat wanita tadi marah, maka dia bisa saja benar-benar mengeluarkan anjingnya untuk mengusirku, dan aku tidak bisa menemui Tuan Leonel.

Satu-satunya cara yang terpikirkan dalam otak kecilku adalah, menunggu Tuan Leonel di depan gerbang mansionnya. Berharap agar aku bisa mencegahnya saat ia lewat, semoga.

***

Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menusuk tulang dan persendian, aku duduk memeluk kedua kaki dengan tubuh yang menggigil. Berharap pagi segera menyapa.

Namun hingga semburat fajar dari ufuk timur mulai benderang, tak juga kudapati gerbang besar itu terbuka.

Kupejamkan mata, memohon pada Tuhan agar ia membantuku, mempertemukanku dengan Tuan Leonel Dankar.

Tanganku sudah siap menekan tombol bel, sebelum akhirnya kudengar suara gerbang itu yang dibuka lebar. Membuatku berjingkat karena kaget.

"Kau? Siapa kau? Apa yang kau lakukan di depan rumah kami?" tanya seorang pria tua yang membuka gerbang, dengan suara halus khas seorang kakek.

"T-tu tuan, tolong bantu saya, saya kemari untuk bertemu Tuan Leonel, ijinkan saya untuk bisa bertemu dengannya, saya mohon, Tuan? Saya mohon!" aku memohon sambil menyatukan kedua tangan di hadapannya, tangisku semakin membanjir takut jika dia akan mengusirku sama seperti wanita berbadan subur semalam.

"Kau siapa? Ada urusan apa mau bertemu dengan Tuan Leonel?" tanyanya lagi masih dengan suara lembut, ia mendekatiku, menyentuh kedua tanganku agar kuturunkan, berhenti membuat permohonan.

"S-sa saya, saya tidak bisa menjelaskannya pada anda, tapi saya mohon, ijinkan saya bertemu dengan Tuan Lenonel, saya mohon! Hanya satu kali ini, jika dia mengusirku, maka saya akan pergi dan tidak akan pernah datang mengganggu lagi, tapi saya mohon, pertemukan saya dengannya, saya mohon!" aku masih terus memohon dengan harapan besar.

Pria tua itu nampak kasihan melihat penampilanku yang kacau, menangis dan terus memohon, ia mengelus lembut rambutku.

"Bagaimana aku bisa membantumu, jika kau tidak mengatakan siapa dirimu, dan apa tujuanmu,"

Aku berpikir sejenak, apa yang pria tua itu katakan benar.

"S-sa saya, saya Retania Baker, adik Harry Baker, T-tu tuan Leonel mengenal kakak saya,"

"Kemari," ucapnya sambil masuk ke dalam, aku mengikutinya segera.

"Tunggu di sini, jika Tuan Leonel bersedia menemuimu, akan kupanggil lagi kau nanti." jelasnya sebelum pergi meninggalkanku, masuk ke dalam mansion.

"T-te terimakasih, Tuan!" seruku tulus.

Aku terus merapal doa dalam hati agar pria tua itu kembali dengan kabar baik, dan setelah beberapa menit, pria tua itu akhirnya datang.

"Mari," ajaknya, aku mengangguk antusias, melangkah di belakangnya mengikuti ke mana ia pergi.

Mansion besar nan mewah ini sama sekali tak menarik perhatianku, karena aku datang kemari dengan misi bunuh diri, berani mati demi menyelamatkan Kak Harry dari kurungan jeruji besi.

Aku terus mengikuti langkah demi langkah pria tua itu, melewati lorong demi lorong mansion ini, tak jarang kami temui beberapa pelayan wanita muda yang menyapa hormat pada pria tua. Hingga kami berhenti di depan pintu masuk sebuah ruang yang dominan dengan warna gold.

Dia, orang yang kucari, Tuan Leonel Dankar, tengah duduk tegap di sebuah kursi mewah berwarna gold dengan ukiran naga menyantap nikmat sarapannya tanpa menoleh sedikitpun ke arah kami. Dikelilingi beberapa pelayan perempuan muda yang siap melaksanakan tugasnya tanpa diperintah.

"Tuan, ini Nona Retania," ucap pria tua sopan sambil menunjuk diriku yang berdiri di belakangnya, mulai sedikit gemetar.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Tuan Leonel, ia masih sibuk mengunyah makanan, dan pria tua itu mengangguk padaku, entah apa maksudnya, ia pergi meninggalkan kami setelah itu.

Rasanya aku ingin menahan pria tua itu, agar ia tidak pergi dan tetap menemaniku, tapi apa dayaku? Dia sudah sangat membantuku sejauh ini untuk bisa bertemu dengan Tuan Leonel.

Aku takut, auranya sangat kuat, Tuan Leonel orang berkuasa yang bisa melakukan apa saja. Cukup hanya dengan menggerakkan satu jarinya bahkan sebuah perusahan bisa langsung jatuh atau terangkat pamornya.

Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring mengagetkanku, Tuan Leonel meneguk minumannya, kemudian mengelap mulutnya anggun dengan sapu tangan putih. Para pelayan pergi meninggalkannya, menyisakan kami berdua.

Ia mendongak menatapku, datar, dingin, angkuh. Jantungku berdegup lebih kencang sekarang.

"Apa yang membawamu datang kemari menemuiku?" tanya Tuan Leonel dengan suara datar, menyedekapkan tangan sedada, menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanan, lalu menyandarkan punggung dengan sangat tenang.

"S-sa saya, saya," lidahku keluh, tenggorokanku tercekat. Kakiku gemetar dan suaraku terdengar bergetar.

"Katakan dengan cepat karena aku tak memiliki banyak waktu, Nona."

Aku meneguk ludah kasar, air mataku yang semula berhenti menetes kembali menggenang berdesakan untuk ditumpahkan.

"S-saya, saya kemari untuk memohon kepada anda, agar anda bersedia untuk mencabut laporan atas kesalahan yang Kak Harry lakukan_"

"Kesalahan?" potongnya.

"Mungkin yang kau maksud adalah, kejahatan," koreksinya kemudian, mengeluarkan sebatang rokok kemudian mengapitnya di antara dua bibirnya yang sensual, memantik korek api, menyesap gas nikotin kemudian mengepulkan asapnya ke udara.

Aku mengangguk pasrah, itu memang sebuah kejahatan, bukan hanya sebuah kesalahan.

"I-i iya. Tuan, tolong dengarkan saya, saya tahu Kak Harry telah merugikan anda, dia juga melanggar hukum, tapi saya mohon, jangan penjarakan dia, saya mohon. Kak Harry terpaksa melakukannya, karena kami membutuhkan biaya_"

"Jika setiap tindak kejahatan dimaafkan begitu saja karena alasan terpaksa melakukannya, bukankah semua penjahat akan lolos berkeliaran? Lantas apa gunanya dibangun tahanan?" potongnya yang lagi-lagi membuatku terdiam.

Tuan Leonel memicingkan mata dengan sudut bibir yang tersenyum sinis ke arahku, lagi-lagi dia benar, dan aku tak dapat menyangkal.

Tapi aku tidak bisa membiarkan Kak Harry mendekam dalam tahanan, bagaimana dengan Kak Rachel? Hidupnya mungkin tidak akan lama lagi dan dia akan sedih di akhir hidupnya jika Kak Harry sampai dipenjara. Selain itu, aku juga tak ingin Kak Harry menderita dalam sel. Dia orang yang sangat baik, sangat baik.

"Tuan, kumohon kasihani Kak Harry, saya, saya bersedia melakukan apa saja agar Tuan mencabut laporannya. Saya mohon!" isakku sambil bersimpuh, memohon di hadapannya yang kemudian tertawa sumbang.

"Apa yang bisa dilakukan gadis kecil sepertimu? Ah, aku memang sedang membutuhkan mainan di ranjang, tapi aku tidak yakin jika kau bisa memuaskanku dengan tubuh kecilmu ini, terlebih kau harus bersertifikat perawan. Untuk lolos tahap seleksi."

DEG

Aku mendongak tajam, dari sekian banyak kemungkinan, tak terpikirkan jika dia mengarah pada pembahasan ranjang.

***

Ke kamar tuan Leonel

"Tuan, kumohon kasihani Kak Harry, saya, saya bersedia melakukan apa saja agar Tuan mencabut laporannya. Saya mohon!" isakku sambil bersimpuh, memohon di hadapannya yang kemudian tertawa sumbang.

"Apa yang bisa dilakukan gadis kecil sepertimu? Ah, aku memang sedang membutuhkan mainan di ranjang, tapi aku tidak yakin jika kau bisa memuaskanku dengan tubuh kecilmu ini, terlebih kau harus bersertifikat perawan. Untuk lolos tahap seleksi."

DEG

Aku mendongak tajam, dari sekian banyak kemungkinan, tak terpikirkan jika dia mengarah pada pembahasan ranjang.

***

"Pulanglah! Waktuku terlampau mahal untuk kubuang-buang!"

Tuan Leonel berdiri dari kursi mewah berwarna gold dengan ukiran naga itu, aku yang mematung terpaku usai mendengar pernyataannya terakhir tentang pembahasan ranjang tersadar jika ini kesempatan terakhir untuk menyelamatkan kak Harry dan tak boleh kusia-siakan.

"Tunggu," aku berlari menghadang jalannya yang hendak pergi, ke arah lain, entah kemana, ruangan ini sangat luas dengan begitu banyak pintu menuju ke tempat lain.

Tuan Leonel menyipitkan matanya, menatapku penuh tanya.

"B-ba baik, s-sa saya bersedia_"

"Ha ha ha ha ha ha ha...." tawa Tuan Leonel menggema ke seluruh penjuru ruangan.

Tubuhku semakin gemetar dengan degup jantungku yang semakin kencang, kedua tangan yang saling meremas di bawah ujung baju terasa sangat dingin, aku hanya menunduk tak berani mendongak melihat wajah angkuhnya.

"Sampah!" ujarnya sempurna melukai hatiku. Tapi apa yang ia katakan memang benar, wanita yang bersedia menyerahkan dirinya pada lelaki yang tak berhak menjamahnya adalah sampah.

Kurasakan sentuhan tangan kuat Tuan Leonel menyentuh daguku, mengangkat wajahku agar mendongak melihatnya.

Bulir-bulir bening itu semakin deras membanjir lewat sudut-sudut mataku. Aku takut, tapi aku tak memiliki jalan lain.

"Apa kau masih perawan?" tanya Tuan Leonel dengan nada rendah. Manik tajamnya sama sekali tak terlepas menatap intens kedua mataku yang terus berair.

Cukup sulit untuk bisa mengangguk, dan tenggorokanku tercekat untuk sekedar mengatakan, ya, di saat seperti ini.

"Hm," hanya itu suara yang keluar dariku.

"Berapa umurmu?"

"De-de delapan belas tahun," jawabku lirih hampir tak terdengar setelah kukumpulkan seluruh tenaga untuk bisa menjawabnya.

Bola mata Tuan Leonel bergerak pelan mengamati setiap inci dari wajahku, seolah mencari sesuatu untuk mencari cacat yang mungkin akan membuatnya menolak diriku.

"Datang kembali nanti malam jam 7," ia melepaskan cengkraman tangannya di pipiku dengan sedikit kasar, membuat tubuhku sedikit terhuyung, atau aku memang benar-benar gemetaran sehingga begitu mudah tercampakkan.

Tuan Leonel melangkah menuju satu pintu kaca dan keluar meninggalkanku begitu saja. Isak tangisku tak dapat kucegah membayangkan nanti malam aku yang harus kembali menemuinya, menyerahkan diriku sebagai ganti atas kebebasan Kak Harry.

***

Langkah kakiku melangkah gontai menyusuri trotoar jalanan kembali ke rumah, beberapa orang yang berpapasan denganku nampak memperhatikan sesaat kemudian tak peduli kembali.

Pastilah diriku saat ini terlihat sangat kacau. Kedua mata bengkak dengan lingkaran hitam panda karena tak tidur semalaman, wajah sembab, rambut amburadul dan juga tubuh lemas. Andai ada jalan lain yang bisa kulakukan?

Aku duduk di kursi panjang di bawah lampu trotoar, kembali menangis sedih, betapa mengerikannya harus menyerahkan kesucian yang selama ini telah kujaga sepenuh hati pada orang yang sesungguhnya tak benar-benar kukenal, seseorang yang tidak mencintaiku dan juga tak kucintai, itu pasti akan menjadi kenangan hitam yang akan terus terbayang seumur hidupku.

"Retania?"

Kudengar suara seseorang menyerukan namaku, aku mendongak, melihat ke arah jalan dari asal sumber suara.

Benar, di depanku berhenti sebuah mobil hitam, dan di jok kemudi tengah duduk seorang wanita yang cukup kukenal, Kak Naina, dia adalah teman Kak Rachel dulu, namun hubungan mereka merenggang semenjak Kak Rachel tahu jika Kak Naina ternyata juga mencintai Kak Harry.

Kak Naina adalah gadis keturunan India-Inggris berkulit Tan, berambut hitam panjang. Dia cukup baik dulu setiap main ke rumah.

"Kak Naina?" lirihku lemah.

***

Kak Naina memintaku masuk ke dalam mobilnya, ia melajukan kendaraannya membelah jalan menuju rumahku.

"Apa?" teriak Kak Naina setelah aku menceritakan semua yang terjadi padanya.

"Tuan Leonel? Aku lumayan mengenal orang itu, dia CEO di tempat papa bekerja,"

Dadaku semakin sesak mendengarnya, itu artinya harapanku untuk meminta bantuan pada Kak Naina pun pupus sudah. Bahkan papanya yang kutahu kaya berada di bawah naungan Tuan Leonel.

"Re, bersabarlah. Aku tahu ini tidak mudah, tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Jika urusannya sudah pada Tuan Leonel langsung, bahkan uang ganti tak akan mampu menutupi kesalahan Harry."

Aku mengangguk pelan, apa yang Kak Naina katakan benar. Tuan Leonel bukanlah tanding yang bisa dilawan.

"Jadi, Rachel sakit? Dan sekarang Harry ditahan di kantor polisi?" terdengar nada penyesalan dari Kak Naina, ia sepertinya turut sedih dengan apa yang menimpa kami.

Perjalanan kami berlanjut dengan terus membicarakan banyak hal, terutama Kak Harry yang berada diambang kehancuran.

"Maaf, Re. Bukannya Kak Naina tidak mau membantu, tapi Kak Naina tidak sanggup!"

Mobil telah berhenti di depan rumahku, kami telah sampai setelah 10 menit berlalu.

"Iya, Kak. Retania tahu, terimakasih karena telah mengantar Re pulang,"

Aku dan Kak Naina saling berpamitan sebelum aku keluar dari mobilnya, melangkah masuk ke dalam rumah saat mobil Kak Naina sudah melaju menjauhi jalan depan rumahku.

***

Pukul 2 siang aku datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Kak Rachel, masih sama, tidak ada perkembangan, kedua mata Kak Rachel masih terpejam sempurna dengan wajah pucat dan badan yang semakin kurus, dia hanya bertahan hidup oleh bantuan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya.

Setelah melihat kondisi Kak Rachel, sekitar pukul 4 sore aku ke kantor polisi, untuk menemui Kak Harry, hampir saja aku tidak diperbolehkan bertemu karena jam besuk telah usai. Tapi aku terus memohon dan memelas, hingga polisi itu memberikanku sedikit waktu.

"Bagaimana Kak Rachel, Re?" tanya Kak Harry terlihat mencoba menahan tangisnya.

Aku sama sekali tak berani mendongak menatap wajah Kak Harry, ia begitu sangat mencintai kakakku, di saat kondisinya sendiri seperti ini yang ia pikirkan hanyalah Kak Rachel.

Cinta Kak Harry sungguh besar, hingga ia rela mengorbankan dirinya sendiri demi kesembuhan Kak Rachel, namun yang diperjuangkannya justru tak menunjukkan perubahan. Mungkin inilah wujud cinta dari Tuhan untuk Kak Rachel, diuji oleh kesehatan dan diberikan kenikmatan mendapatkan banyak ketulusan.

Perlahan aku menggeleng, tak mampu untuk menjawab dengan kata.

Isak tangis Kak Harry pecah, kami menangis bersama. Namun, tak lama polisi yang menjaga datang, untuk membawa Kak Harry kembali ke dalam.

"Kak Harry bersabarlah, ini malam terakhir kakak di sini, kakak akan segera keluar! Retania janji!" teriakku sesenggukan. Tak ada jawaban yang kudapatkan, mungkin semua juga percuma bagi Kak Harry jika sesuatu yang buruk terjadi pada Kak Rachel. Karena Kak Rachel adalah hidupnya.

***

Aku melanjutkan langkah menuju tempat tujuan utama. Mansion Tuan Leonel. Bukan seperti kemarin saat aku pertama kali datang ke tempat itu dengan perasaan takut, malam ini aku datang dengan seluruh keberanian. Menepis semua malu dan membuang harga diriku demi Kak Harry dan Kak Rachel.

Selain meminta Tuan Leonel untuk membebaskan Kak Harry, aku juga akan meminta padanya untuk membiayai pengobatan Kak Rachel setelah ini.

Gila? Ya, anggap saja begitu, tapi itu memang harga diriku, nyawa kedua kakakku. Dan Tuan Leonel harus setuju. Harus.

***

Aku duduk di sebuah sofa hitam panjang di salah satu ruangan besar mansion Tuan Leonel yang dominan dengan warna dark. Perasaan gugup mulai menyelimuti padahal tadi aku sangat PD sekali. Namun entah kemana keberanian diriku itu kini tiba-tiba pergi.

Detik demi detik terlewati, menit demi menit, jam demi jam, dan waktu demi waktu.

Kulirik jam besar mewah di dekat dinding yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali. Dan kini jam besar berwarna coklat mengkilat itu berdentang sebanyak 10 kali. Menandakan jika saat ini telah pukul 10 malam.

Aku semakin tidak tenang, entahlah, atau senang, mungkin, Tuan Leonel belum kunjung datang, dan wanita bertubuh subur yang pernah membukakan gerbang untukku waktu itu datang.

"Ikut aku, Tuan Leonel sudah menunggumu di kamarnya!" ucapnya sinis dengan sorot mata penuh kebencian.

"Ah? I-i i iya!"

Aku berdiri, gugup, mengikuti langkah kaki besar wanita bertubuh subur itu yang akhirnya kutahu namanya adalah Nyonya Lorena.

Nyonya Lorena terus melangkah dan aku mengekor di belakangnya seperti anak kucing yang ketakutan, kami menaiki tangga mewah berkarpet merah menuju lantai atas yang terkesan lebih megah, masih dengan nuansa dark yang kental. Dengan lukisan-lukisan besar beberapa bintang buas seperti harimau sebagai hiasan.

"Tok tok,,,, Tuan! Nona Retania sudah datang!" ucap Nyonya Lorena yang menghadap pintu agung kamar Tuan Leonel.

Terdengar bunyi beep dari pintu dengan lampu kecil yang menyala merah, setelah itu Nyonya Lorena menatapku sinis.

"Masuklah, ja.lang!"

***

Menyerahkan diri

"Tok tok,,,, Tuan! Nona Retania sudah datang!" ucap Nyonya Lorena yang menghadap pintu agung kamar Tuan Leonel.

Terdengar bunyi beep dari pintu dengan lampu kecil yang menyala merah, setelah itu Nyonya Lorena menatapku sinis.

"Masuklah, ja.lang!"

***

Pintu kamar Tuan Leonel terbuka dengan sendirinya, menampakkan kemewahan di dalamnya, Nyonya Lorena sudah melangkah pergi usai ia mengataiku ja.lang.

Aku ragu, namun perlahan memasuki kamar super mewah Tuan Leonel dengan perasaan berdebar, gugup, dan juga rasa takut yang tadinya kutepis perlahan kini mulai datang.

Pintu kembali menutup rapat saat aku sudah berada di dalam kamar Tuan Leonel, membuatku sedikit kaget hingga berjingkat menoleh ke belakang melihat pintu yang sudah mengunci otomatis.

"Menunggu lama, Nona?"

Tuan Leonel berjalan ke arahku, dengan dua gelas minuman cantik berisi wine di kedua tangannya, ia hanya mengenakan bathrobe putih selutut dengan belahan dadanya yang terbuka, mengekspose dada bidang matang itu yang ditumbuhi bulu halus menambah kesan seksi.

Ia mengulurkan tangannya memberikan satu gelas minuman itu untukku, kuterima satu gelas wine dari tangan Tuan Leonel, kemudian ia mempertemukan gelas kami hingga menimbulkan bunyi dentingan ringan yang lumayan nyaring.

"Cheers," serunya santai sambil tersenyum, ia menenggak minumannya dan aku mengikutinya, menghabiskan wine tersebut dalam sekali teguk.

Setelah gelas kosong, Tuan Leonel mengambil gelas itu dari tanganku.

"Mandilah, aku masih memiliki waktu untuk menunggu," perintahnya sambil berbalik meninggalkanku.

Kuamati diri sendiri yang memang kucel dan mungkin bau matahari, belum sempat mandi setelah seharian mondar mandir ke sana ke mari.

"Apa yang kau tunggu? Jangan sampai moodku rusak dan aku tak bernaf su lagi untuk menyentuhmu," tegasnya sedikit melirik tajam dari sudut matanya ke arahku.

"T-ta tapi, s-sa saya tidak bawa baju ganti, Tuan!"

Tawa Tuan Leonel menggema, ia duduk santai di kursi depan sebuah meja, menuang lagi wine ke dalam gelasnya yang kosong.

"Kau tidak membutuhkan pakaian ganti, Nona, karena kau akan menemaniku bermain tanpa busana."

Kedua mataku terbelalak mendengar pernyataannya. Aku hampir lupa oleh tujuan utamaku datang ke mari adalah untuk menyerahkan mahkotaku.

"Apa kau masih akan tetap berdiri di sana?" suaranya terdengar meninggi, tak selembut tadi.

Aku menggeleng cepat, gugup, panik, takut, entahlah, semua rasa campur aduk.

"B-ba baik, saya mandi dulu!" aku berhambur masuk ke dalam pintu yang kuyakin itu adalah kamar mandi.

Benar, aku masuk ke dalam kamar mandi yang super mewah, bersih dan indah, mungkin besar kamar mandi ini jauh lebih luas dari rumahku. Begitupun setiap barang mewah di dalamnya pasti lebih mahal dari perabot di rumahku.

Tapi itu semua tak mempengaruhiku saat ini, aku sangat gugup, takut, mungkin aku akan sangat mengagumi tempat ini andai dalam situasi yang berbeda.

***

Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, dengan keadaan rambut basah yang kubiarkan terurai tanpa handuk, air-air sisa keramas itu berjatuhan membasahi lantai.

Tuan Leonel melirikku, mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung kepala, untunglah aku menemukan kemeja putih bersih yang tergantung, pasti milik Tuan Leonel, dan aku mengenakannya, tanpa seizinnya, setidaknya aku tidak keluar dari kamar mandi dalam keadaan polos meski kemeja putih ini sangat kebesaran dan kedodoran.

"Kemarilah," seru Tuan Leonel yang masih duduk di kursi.

Aku mendekat perlahan, degupan jangtung semakin lama semakin kencang, bahkan kurasa aku sendiri bisa mendengarnya dengan jelas.

"Duduklah," ujarnya sambil menepuk sebelah paha, sebuah instruksi yang memerintahku untuk duduk di atas pangkuannya.

Aku berdiri diam mematung, sangat ragu, haruskah aku menuruti kemauannya? Duduk di pangkuannya, itu terlihat? Risih.

"Aahh,,,," Tuan Leonel menarik tanganku begitu saja, karena aku hanya diam mematung, hingga aku benar-benar jatuh dalam pangkuannya. Ini adalah posisi terdekat seumur hidupku dengan seorang laki-laki, berada di pangkuan Tuan Leonel.

Ia terus melihatku dengan tatapan matanya yang sayu, lembut, tapi membuatku takut dan merinding.

Aroma musk yang menguar semakin kuat dari tubuhnya memanjakan penciumanku, tapi tetap saja aku takut, dia pria dewasa yang berpengalaman sedangkan aku hanya gadis biasa yang baru lulus sekolah.

"Aahh,,,," de.sahku kala satu tangan kekar Tuan Leonel melingkari pinggangku sampai ke perut depan. Mempererat tubuh kami. Ia terus melihatku, sama sekali tak melepas tatapannya itu barang sedetik pun dari wajahku.

"Minumlah," perintahnya menyodorkan segelas wine ke arah bibirku, dan aku menurutinya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, hingga botol wine itu kosong dan aku merasa pusing.

"Apa kau tidak akan menyesali keputusanmu, Nona?" ia menjeda.

"Karena saat aku telah memulai menyentuh tubuhmu," jemarinya mengelus pipiku, turun ke bawah hingga ke leher, dengan gerakan sangat pelan dan sensual, sempurna membuat seluruh bulu kudukku meremang.

"Maka tak akan ada yang bisa menghentikanku dari mendesakmu," tangannya yang semula mengelus tubuhku berpindah merengkuh kembali pinggangku dengan lebih erat.

"Sampai aku merasa bosan," lanjut Tuan Leonel menyelesaikan kalimatnya yang penuh makna.

Pandanganku mulai tidak fokus, bahkan aku tak bisa mengendalikan diri untuk tidak tersenyum pada Tuan Leonel, senyum? Kenapa? Mungkin aku sedikit mabuk, atau aku memang mabuk.

"Jika dengan merelakan kesucianku yang selama ini kujaga bisa menyelamatkan kakakku, maka aku rela melakukannya, Tuan,"

Mabuk ternyata cukup membantu, aku terbawa suasana dan perasaan takut serta gugup yang semula mendera perlahan mulai menghilang.

"Jangan pernah menyesali keputusan yang telah kau buat, Nona. Bagiku, kau sama saja seperti yang lainnya, MAINAN RANJANGKU!"

"Aaahh,,,,"

Tuan Leonel menggendongku ala bridal tiba-tiba, membawaku mendekati tempat tidurnya, dan dia merebahkan tubuhku secara perlahan di atas ranjang empuknya yang super besar, lembut dan wangi.

Ia menin.dihku, berada di atas tubuhku tanpa menyakitiku.

"Apa kau pernah berciuman, Nona?" tanyanya, jari jempolnya mengelus bibirku.

Aku menggeleng pelan, melihat sayu wajah Tuan Leonel yang kini nampak sangat tampan di mataku.

Ia mendekat, semakin dekat hingga aroma nafas kami bertabrakan.

"Tunggu," ucapku sedikit mendorong dadanya. Meski aku sudah tak sepenuhnya bisa mengontrol diri, namun aku masih mengingat tujuan utamaku datang ke mari, Kakak-kakakku.

"Ada satu permintaan lain yang harus kau sepakati, Tuan," ucapku lirih.

Kedua matanya menyipit dengan dahinya yang mengernyit, aku bahkan sudah merasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana mengenai tubuhku sedari tadi. Dan aku tahu itu adalah jagoan Tuan Leonel yang sudah siap berperang.

"Apa? Jangan membuang waktu dan cepat katakan!" geram Tuan Leonel terdengar tidak sabar.

"Setelah kau selesai, selain Kak Harry yang harus kau bebaskan, kau juga harus membiayai pengobatan Kakakku, dia terbaring di rumah sakit karena kanker, jika kau tidak bersedia, maka lepaskan aku dan biarkan aku pergi,"

"Omong kosong, kau pikir siapa kau bisa memerintahku, dan pergi dari sini? Dalam keadaan seperti ini? Bahkan kau tidak bisa keluar dari kamarku tanpa seizin diriku."

"Eemmpphh!" Tuan Leonel menautkan bibir kami tiba-tiba, menciumku dengan sedikit kasar, aku sempat memberontak mendorong dadanya, karena ia belum menyanggupi syaratku, tapi apa dayaku, ia kuat dan aku lemah.

Tuan Leonel terus menciumku dengan brutal, merentangkan kedua tanganku ke sisi kiri dan kanan, hingga semua terjadi dan aku benar-benar kehilangan kesucianku. Oleh penyatuan tubuh kami, aku dan Tuan Leonel.

***

Sesuai aturan Noveltoon, sebelum bab 20 dilarang menulis adegan ranjang, jadi diskip dulu. Tapi scene ini telah ditulis di bab 21.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!