NovelToon NovelToon

Nisa Untuk Abi

Aku saksikan semuanya, di depan mataku.

Menyaksikan yang terkasih menghela nafas terakhir di depan matanya sendiri, membuat Trauma besar dalam hidup Abi. Di malam yang indah itu, harusnya Ia melamar sang kekasih. Tapi, justru perpisahan yang Ia dapat.

Lima tahun, bahkan Ia belum dapat membuka hati. Berbagai cara telah sang Ibu lakukan, bahkan mengatur perjodohan untuknya. Abi pun menolaknya mentah-mentah. Hingga Ia bertemu Nisa, seorang karyawan biasa di kantornya.

Ia tak cinta. Ia hanya ingin membuat Ibunya berhenti mencarikan Ia jodoh. Hingga akhirnya memaksa nya menikah dengan segala cara.

Bagaimana dengan Nisa? Apakah Ia mampu, meraih hati Abi? Atau justru tak tahan dengan sikap dingin yang Ia berikan dan pergi?

**

Malam hadir dengan bintang yang gemerlap. Begitu cerah, secerah hati Abi kali ini. Ia tengah mengunggu Rere, kekasih yang telah di pacarinya Tiga tahun ini. Tak hanya bertemu, bahkan Abi telah menyiapkan sebuah cincin untuk melamarnya.

"Sayang, dimana?" tanya Abi, yang sudah tak sabar menunggu.

"Bi, Re lagi di jalan. Bentar lagi sampai, tunggu ya?" jawabnya dengan begitu ceria.

"Ya, sayang. I Love You," ucapnya lembut.

"I Love You, Bi." Rere langsung mematikan ponselnya.

Kala itu, Rere memang tengah berjalan kaki dari kantornya menuju Abi. Perjalanan lebih dirasa cepat dan bebas dari hambatan macet. Ya, hari ini tepat Tiga tahun Aniversary mereka. Dan keduanya ingin merayakan nya berdua. Abi tak bilang, jika ingin melamar Rere malam ini.

Abi awalnya duduk di taman itu. Taman yang tengah dalam keadaan ramai, karena memang tepat di malam minggu. Abi gelisah, duduk dan berdiri terus tanpa henti. Bahkan duduk pun, kaki nya di goyang-goyangkan tanpa henti.

"Aaarrh, ****! Se parah ini kah, cemas ketika akan melamar?" gerutunya. Apalagi, yang di tunggu tak kunjung datang.

Hatinya semakin gelisah, dan berdiri di dekat tiang listrik agar kakinya tak semakin gemetar menunggu.

"Abi!" pekik seorang wanita dari sebrang jalan. Abi menoleh, tersenyum dengan tatapan penuh rindu. Wajar, karena memang mereka seminggu tak bertemu.

Rere melambaikan tangan. Menengok kana kiri dan mulai melangkahkan kakinya menyebrang jalan. Senyum Abi semakin lebar, membalas lambaian tangan nya. Namun, sebuah cahaya lampu mengganggu pandangannya. Begitu terang, bahkan membuatnya tak dapat melihat langkah Rere yang harusnya semakin dekat dengan nya.

Bunyi klakson beberapa kali memekakan telinga. Abi beberapa kali berusaha mengatur fokus matanya. Menyipitkan matanya agar cahaya yang tertangkap tak begitu terang. Tapi, yang tampak justru lain.

Braaak!! Abi begitu jelas melihat Rere tertabrak mobil itu. Rere pun langsung jatuh di aspal dengan tubuh penuh darah di dahi nya. Tubuh aabi mematung. Kaki dan tangannya gemetar hebat, terasa begitu lemas, seolah tak ada darah yang mengalir.

"Rere," lirihnya dalam diam.

"Tolooong! Toloooong!" pekik seseorang disana. Seorang wanita yang dengan sigap menolong Rere dan membungkus lukanya agar tak semakin banyak darah mengalir.

Buuugh! Seorang pria berlari dan menabrak Abi. Saat itulah, Abi mulai sadar dari syoknya. Ia langsung berlari menghampiri Rere disana.

"Re, Rere. Bangun, Re. Ini aku, Abi. Aku datang ke kamu, Re. Bangun."

Tubuh Abi bergetar, menggenggam erat tangan Rere yang lemah. Air mata jatuh tanpa perintah, mengalir ke pipi pria itu hingga membasahi tangan Rere dalam genggaman nya.

"Abi," panggilnya lirih, di sisa tenaga yang ada. "Maafin, Rere telat. Abi ngga marah?"

"Mana bisa aku marah sama kamu, sayang. Ayo bangun, kita ke Rumah Sakit. A-aku mau lamar kamu, ini cincin nya." ucap Abi, mengeluarkan cincin itu dari saku jasnya.

Rere tampak tersenyum meski begitu lemah. Wanita tadi pun memberi pertolongan seadanya, karena Ia juga menunggu kendaraan yang datang. Mobil penabrak, lari secepat kilat meninggalkan Rere yang terbaring lemah.

"Bi, jaga diri, ya? Abi harus hidup bahagia, meski tanpa Rere. Rere (menghela nafas panjang)"

"Re, engga, Re. Bangun, sebentar lagi mobil datang. Maaf, Aku hanya bawa motor malam ini. Biasanya, kamu suka jalan pakai motor." tangis Abi.

Bagaimana, akan ku katakan?

"Bi, Rere pamit. Bahagia, bisa bertemu Abi. Maaf, cuma ketemu ditengah jalan," ucap Rere terputus-putus. Abi hanya menggelengkan kepalanya, tak bisa menerima kenyataan itu.

Rere tampak menghela nafas dengan begitu panjang. Namun, tak pernah menghembuskan nya kembali.

Wanita tadi, memeriksa denyut nadi Rere. Leher, dan tangan nya secara bergantian. Tatapnya pasrah, mengetahui nadinya sudah tak berdenyut lagi.

"innalillahiwainnailaihirojiun," ucap orang-orang disana.

"Re! Rere, bangun, Re. Aku mohon. Kamu ngga bisa tinggalin aku begini, Re. Jangan, Re. Rere, Aaaaarrrrghhh!" pekik Abi membabi buta. Semua orang hanya mampu menatapnya. Beberapa mengusap bahunya memberikan empati seadanya.

Ambulance datang, tapi semua telah terlambat. Perawat turun dan mencoba membawa Rere naik kedalmnya. Namun, Abi justru menyerang mereka.

"Kemana kalian! Kekasihku sudah Meninggal, kalian baru datang, hah!" cengkramnya di kerah baju salah satu perawat pria.

"Tuan, maaf Tuan. Kami sudah berusaha secepat mungkin. Apa masih salah kami, jika mereka bahkan tak memberi akses jalan untuk mempercepat laju kami." lerai salah seorang diantara mereka.

"Kami turut berbela sungkawa. Kami ikut sedih karena semuanya terjadi. Kami akan bawa jenazah untuk outopsi lebih lanjut, dan kami minta Anda mengkonfirmasi pada keluarganya."

"Rere, hanya tinggal bersama Neneknya. Bagaimana aku bisa menjelaskan ini. Bagaimana? Aku harus bagaimana?" Abi tampak begitu frustasi, mengacak acak rambutnya di depan banyak orang dan menangis tanpa airmata. Seperti itu, hingga Ambulance meninggalkan nya sendirian disana.

Beberapa menit, Abi tersadar. Ia segera bangkit dan membawa motornya kerumah Rere. Entah bagaimana caranya, Abi mengatakan perihal Rere pada sang Nenek.

"Assalamualaikum," ucapnya lemah.

"Abi, Rere mana?" tanya Nek Tini. Wajahnya sumringah, menyambut Abi yang memang telah lama Ia kenal baik.

"Nek, mari Abi bantu bereskan rumah. Sebentar lagi, Rere akan pulang." ajak Abi.

Tanpa berkata apapun lagi, Nek Tini tahu apa maksud Abi padanya. Apalagi, melihat pakaian Abi dengan beberapa noda merah. Air mata pun langsung berlinang, meraung, dan terduduk di lantai tanpa alas itu.

" Rere! Rere kenapa? Kenapa Rere duluan, Kenapa ngga Nenek aja. Masa depan Rere masih panjang, Nak. Kenapa bukan Nenek aja yang pergi?" raungnya, mengundang para tetangga datang kesana.

"Mas Abi, ada apa?" tanya Pak Broto, salah satu tetangga Nek Tini.

Abi pun harus kembali mengulang cerita perih itu. Membicarakan lagi setiap proses yang Ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia pura-pura kuat, meski hatinya lah yang paling sakit sekarang..

Semua orang pun kaget. Tak menyangka akan kepergian Rere yang begitu mendadak. Dan diantara mereka membantu Nek Tini yang masih saja larut dalam tangis sedihnya.

"Bagaimana? Aku harus berbuat apa? Serasa semua gamang. Aku bahkan seperti setengah sadar disini." gumam nya dalam hati. Sendiri, sepi, meski begitu banyak orang berada disekitarnya saat ini.

Suara Ambulance memecahan lamunan nya. Ia melangkah tertatih menghampiri, berusaha sampai disana agar dapat menyambut Rere dalam dekap hangatnya.

" Tidak... Aku tak dapat memeluknya. Tidak boleh. Bahkan, aku tak boleh menangis di hadapan nya. Ia akan sedih, ketika melihatku menangis."

Abi telah tiba, tepat di depan pintu belakang Ambulance itu. Petugas pun membukanya. Rere disana telah memakai pakaian barunya. Putih, bersih, dan begitu wangi dalam keranda besi yang mereka sediakan. Abi, menjadi orang pertama yang menerima jenazah kekasihnya, dan berada di barisan depan, membawanya masuk ke dalam rumah Nek Tini.

Akan kah ikhlas?

"Abi, ya Allah, Nak. Kamu ngga papa?" Mama Sofi datang menghampiri putranya. Pedih, melihatnya termenung duduk di depan jenazah sang kekasih.

"Rere pergi, Ma. Bahkan, Abi belum sempat memakaikan cincin nya." jawab Abi. Cincin itu, di beli berdua oleh nya dan Mama Sofi, karena ukuran jari mereka yang sama. Memang Abi tak memberi tahu Rere, karena ingin memberi nya kejutan di hari jadi mereka.

"Itu sudah janji Rere, dengan yang maha kuasa, Nak. Sabar. Nenek mana?" tanya Mama Sofi, menoleh kencari Nek Tini yang seolah menghilang.

"Bi. Mama mohon, jangan menangis seperti ini. Ikhlaskan."

"Tapi Abi melihatnya, Ma. Bagaimana Abi bisa lupa? Kejadian itu, selalu terbayang dalam ingatan Abi."

Mama Sofi hanya diam kali ini. Ia menganggap nya wajar, karena baru beberapa jam berlalu. Mama Sofi pun berdiri, dan mencari Nek Tini di dalam kamarnya. Tak kalah hancur perasaan nya, ketika cucu yang Ia rawat selama ini, justru pergi duluan meninggalkan dirinya.

"Kenapa tidak saya duluan? Masa depan Rere masih panjang, Bu Sofi." ucap Sang Nenek, dengan mata sembabnya.

"Sudah janjinya, Nek. Allah lebih sayang dengan Rere," usap Mama Sofi di bahu Nek Tini.

Hari semakin larut. Jenazah Rere terpaksa menginap, dan di makamkan esok pagi. Abi tetap menunggunya disana, tertunduk dengan segala kenangan yang ada.

*

Pagi yang masih ditemani duka. Imam telah datang. Abi menyingkir sebentar untuk mengganti pakaiannya yang penuh noda merah itu. Sebuah koko, yang di belikan Rere lah, yang Ia pakai untuk menyalatkan Jenazahnya.

Perih, menahan tangis. Ketika Abi tepat di belakang Imam shalat jenazah itu. Ia tak berani mengimami sendiri, takut jika justru tak bisa khusyu seperti seharusnya.

"Mas Abi, antar jenazah ke makam, yuk?" ajak Pak Broto.

"Ya, baiklah." Abi mengusap air matanya sekali lagi. Mengusap juga hidungnya yang terasa mendadak pilek karena semua tangisnya semalaman. Matanya pun sembab, efek Ia yang tak dapat memejamkan matanya.

"Nenek ikut," pinta Nek Tini, yang telah siap dengan selendangnya.

"Nenek dirumah aja, sama Saya." cegah Mama Sofi.

"Saya hanya ingin mengantar Rere, untuk yang terakhir kali. Saya mohon,"

"Tapi...."

"Saya mohon, saya tak akan menangis ataupun pingsan, disana."

"Ma, biar aja Nenek ikut." jawab Abi.

Nek Tini dan Mama Sofi duduk di kursi depan, dekat dengan supir. Sedangkan Abi, duduk di belakang mendampingi Rere.

"Pak, ini cincin beliau. Semalam, lupa saya kasih," ucap sang petugas. Abi pun menerimanya, berterimakasih dengan senyuman. Tapi, hatinya dirasa semakin perih.

Tiba di pemakaman. Abi turun dan membawa keranda itu paling depan. Menaruh, dan masuk ke dalam lubang makam untuk mengantar Rere ke tempat terakhirnya. Abi bahkan mengadzaninya dengan begitu merdu, ditemani deraian air mata yang membuat suaranya bergelombang.

Pemakaman selesai. Sesuai janjinya, Nek Tini tak menangis bahkan pingsan. Mereka pun pulang, mengikhlaskan Rere yang telah di rumah barunya.

"Abi pulang. Abi akan kemari, seminggu sekali untuk jenguk Nenek. Kalau ada apa-apa, hubungi Abi."

Tak ada kata lain bagi Nek Tini, selain mengikhlaskan untuk kedua kalinya. Mereka yang seharusnya datang berdua, dan berjanji merawatnya di hari renta, justru pergi dengan jalan nya masing-masing.

" Kamu ikhlas, Bi?" tanya Sang Mama, di perjalanan pulangnya.

"Entah. Setiap menit pun, bayangan itu selalu hadir. Nyaris membuat Abi gila dengan semuanya." jawab Abi, dengan nada datarnya. Tatapan nya pun kosong, seolah kehilangan arah hidupnya seketika.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!