Siapa pun di dunia ini selalu menginginkan sebuah pernikahan sempurna yang berlandaskan dengan cinta, kebahagiaan, dan keturunan. Namun, berbeda dengan pernikahan Tanti Arantika dan Ari Wicaksono. Pernikahan yang sudah dilalui selama lima tahun itu nyatanya belum memberikan mereka kesempatan untuk memiliki momongan.
"Mas, bagaimana kalau kita pergi ke rumah sakit?" tanya Tanti. Selama ini Tanti hanya mengandalkan semua ucapan orang untuk pergi ke dukun ini-itu, kemudian meminum beberapa ramuan yang katanya bisa menyebabkan hamil. Nyatanya itu tidak pernah berhasil.
"Dek, kamu sudah nyerah, ya? Kalau Mas sih berharapnya Dek Tanti bisa lekas hamil. Kan beberapa hari yang lalu sudah dari tukang urut juga."
Tanti sebenarnya sudah tidak sabar. Mungkin beberapa kali terakhir ini mencoba mencari pengobatan tradisional karena keuangannya yang tidak mencukupi. Sementara suaminya sekarang sudah mendapatkan pekerjaan lancar sehingga untuk ke rumah sakit pun sudah ada biayanya.
Banyak juga yang mengatakan kalau di rumah sakit harus dites dulu biar tahu siapa sebenarnya yang menyebabkan sulit memiliki keturunan. Setelah itu, terkadang dokter akan memberikan saran untuk suami istri yang sedang menginginkan anak melalui beberapa program kehamilan. Tentunya yang cocok dengan kondisi kesehatan pasien.
"Tapi, Tanti ragu kalau ini akan berhasil. Apalagi tukang urut itu juga ragu mengatakan kemungkinan aku bisa hamil. Memang kembali lagi kita serahkan pada kehendak Allah, Mas. Kan selama ini kita sudah berusaha semaksimal mungkin."
"Sekarang terserah Dek Tanti. Kalau memang itu yang terbaik, kita coba saja."
Sebagai seorang suami, Ari selalu berusaha mendukung apa pun yang diinginkan istrinya. Keinginan itu juga yang selama ini diharapkan olehnya.
"Mas, kalau ternyata aku tidak bisa hamil, bagaimana? Apa Mas masih mau beristrikan wanita yang tidak sempurna sepertiku?" Jelas saja Tanti sangat sedih. Bayangan buruk tentang kelanjutan pernikahannya menari indah di pelupuk matanya. Bagaimana kalau suaminya berkhianat demi mendapatkan keturunan?
"Aku akan tetap hidup bersamamu, Dek. Bukankah kamu tahu kalau aku sangat cinta kepadamu?" ucapnya penuh keyakinan.
Tanti berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya memang benar-benar akan bersamanya di dalam suka maupun duka.
"Baiklah, Mas. Kalau begitu siapkan motor! Kita akan pergi ke rumah sakit hari ini," ucap Tanti.
Ari bergegas ke depan untuk mengambil motor bututnya. Walaupun tidak terlalu bagus seperti milik orang-orang pada umumnya, motornya masih bisa digunakan dengan baik.
"Mas, sudah siap?" teriak Tanti dari dalam.
"Iya, Dek," balas Ari dengan berteriak juga.
Kini keduanya sudah berada di atas motor untuk menuju ke rumah sakit. Jaraknya memang tidak terlalu jauh sehingga keduanya sudah sampai di sana.
Setibanya di rumah sakit, keduanya menuju ke resepsionis untuk menanyakan bagaimana caranya supaya bisa mengikuti serangkaian tes yang dimaksud. Resepsionis rumah sakit menjelaskan bahwa semua itu di mulai dari mengantre untuk mengambil nomor. Ketika sudah mendapatkan nomor antrean maka petugas rumah sakit akan menyarankan ke dokter yang biasanya mengecek kondisi kesehatan pasien yaitu dokter kandungan.
Dokter kandungan akan meminta pasien untuk mengikuti serangkaian tes termasuk pemeriksaan di laboratorium rumah sakit. Setelah mengikuti serangkaian tes yang sangat melelahkan sehingga kini keduanya berada di hadapan dokter.
Dokter menyarankan beberapa program kehamilan. Namun, karena Tanti dan Ari sama-sama belum tahu mengenai kondisi mereka, maka Tanti pun belum memutuskan apa pun. Hasilnya baru akan keluar beberapa minggu lagi.
"Maaf, dokter. Kami akan memutuskan setelah hasilnya keluar. Tidak masalah, kan?" ucap Tanti. Dia kepikiran kalau sampai mengikuti program hamil dengan biaya yang sangat tinggi. Uangnya darimana? Jelas itu masih berkisar di atas 30 atau 40 juta, bahkan bisa lebih.
"Tidak masalah, Bu. Semua keputusan kembali lagi ke Ibu dan suami," balas dokter.
...***...
Beberapa minggu kemudian, Tanti dan Ari kembali ke rumah sakit. Namun, sesampainya di sana, keduanya mendapati kabar yang tidak mengenakkan. Tanti divonis tidak bisa memiliki keturunan. Sungguh sangat pilu sekali. Sementara Ari sangat sehat dan tidak ada masalah.
Kesedihan jelas sangat dirasakan oleh Tanti. Sebagai wanita yang hidup di kampung, bisa saja dia akan mendapatkan cemoohan dari beberapa warga yang tidak mengerti bagaimana kondisinya. Mereka akan mengatakan seenaknya tanpa merasakan kekecewaan dan kesedihan yang dialami oleh Tanti.
"Mas, kamu tidak akan meninggalkanku, kan? Mas Ari tidak akan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan, kan?" Beberapa pertanyaan itu merupakan ketakutan terbesar yang dirasakan Tanti saat ini. Bagaimana kalau seluruh anggota keluarganya mencoba memisahkan Ari darinya?
Ari mencoba meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja. " Kamu tidak bisa hamil pun bagiku tidak masalah."
Walaupun ucapan suaminya sudah sangat menentramkan, namun kekhawatiran tetap melanda kehidupannya. Banyak wanita di luaran sana yang masih bisa hamil. Mungkinkah Tanti sanggup jika sampai suaminya menikah lagi? Ketakutannya jelas berasalan. Dia wanita yang tidak mau dimadu.
"Mas, sebagai gantinya bagaimana kalau kita mengadopsi anak?" usul Tanti.
"Tapi itu tidak mudah, Dek. Bagaimana kalau anak adopsinya tidak mau?"
"Mas jangan khawatir. Aku akan merawat anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Ya, keluarga yang mau merelakan anaknya untuk kita rawat. Bagaimana?"
Tanti juga tidak akan tega memisahkan seorang anak dengan kedua orang tuanya. Sehingga keputusannya untuk mengadopsi anak ini tetap akan menunjukkan keluarga aslinya dari anak adopsinya.
"Mas setuju saja. Tidak perlu bayi, asalkan dia masih bisa kita rawat dan sekolahkan dengan baik."
Bijak sekali sebagai suaminya. Ari bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan istri maupun rumah tangganya.
Kesepakatan yang telah dibuat membuat Tanti menjatuhkan pilihan untuk mengadopsi dua anak sekaligus. Dia lebih memilih untuk mengadopsi anak laki-laki karena menurut Tanti bisa meringankan beban suaminya kelak. Dia menemukan dua anak yang kurang beruntung.
Setelah bernegosiasi dengan keluarganya, kedua anak ini akhirnya bisa dibawa Tanti pulang ke rumahnya. Tentunya sudah melewati beberapa prosedur yang harus dijalankan.
Namanya Indra Rahmawan, 12 tahun, dan Teguh Wibisono, 13 tahun. Indra kelas 6 SD, sedangkan Teguh kelas 7 SMP. Kedua anak ini juga setuju untuk tinggal bersama orang tua angkatnya.
"Indra, Teguh, panggil kami dengan sebutan Ibu dan Bapak saja. Tidak masalah untuk kalian, kan? Kami akan menyekolahkan kalian dengan baik," ucap Tanti ketika sampai rumah.
"Iya, Bu. Terima kasih karena Ibu sudah meringankan beban orang tua kami. Kami juga berjanji untuk selalu menghormati Ibu dan Bapak seperti kedua orang tua kami," jawab Teguh, anak yang lebih tua.
"Terima kasih, Bu," ucap Indra.
"Sama-sama, Nak. Kalau ada sesuatu yang tidak berkenan di hati kalian, katakan saja. Mungkin Ibu sedang lelah atau Bapak yang baru pulang kerja kemudian marah karena capek, harap dimaklumi ya, Nak," ucap Tanti.
"Jaga Ibu kalian dengan baik. Bapak sehari-harinya bekerja sebagai tukang bangunan. Mungkin sekali waktu akan merepotkan kalian, tetapi percayalah kami akan merawat kalian dengan baik," ucap Ari meyakinkan kedua anak adopsinya.
"Iya, Pak. Terima kasih," jawabnya serentak.
Keputusannya untuk mengadopsi kedua anak ini bukan tanpa sebab. Tanti wanita yang cukup sabar menghadapi siapa pun sehingga ketika bertemu pertama kali, kedua anak ini langsung menyukainya. Setidaknya kedua belah pihak mendapatkan solusi yang baik.
Seiring perjalanan waktu, karena keikhlasan Tanti dan Ari, kini usaha Ari sebagai tukang bangunan mengalami kemajuan. Tanti sangat bersyukur sekali bahwa anak-anak angkatnya membawa berkah tersendiri untuk keluarganya.
"Mas, aku bersyukur sekali setelah keberadaan Indra dan Teguh di rumah ini. Rasanya semuanya menjadi sempurna, Mas."
"Iya, Dek. Aku juga bersyukur sekali. Pekerjaanku semakin lancar saja. Oh ya, kamu juga bisa menabung untuk sekolahnya anak-anak, kan?" tanya Ari.
"Iya, Mas. Alhamdulillah. Ini berkat kerja kerasmu juga, kan?"
Kebahagiaan mana yang tidak sempurna seperti ini? Sepasang suami istri dengan anak-anak yang baik. Hidup berkecukupan. Hari yang selalu ceria mendampingi kehidupan mereka.
Selain itu, antara Ari dan Tanti yang saling mendukung, kedua anaknya pun demikian. Tak sulit bagi Ari menjalani hari-harinya. Begitu juga dengan Tanti.
"Oh ya, tabungan untuk biaya sekolah anak-anak sudah kamu sisihkan juga, kan?" tanya Ari.
"Sudah, Mas. Itu cukup sampai beberapa bulan ke depan. Tak masalah, sambil jalan nanti aku juga akan nabung dari penghasilanmu, Mas."
Awal pernikahan, Ari memang sudah mengetahui bahwa Tanti hanya bisa menjadi ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Ari pun tidak pernah mempermasalahkan karena sangat mencintai wanita yang kini menempati ruang hatinya semenjak belum menikah.
Ari tidak banyak protes karena selama ini istrinya sudah memperlakukannya dengan cukup baik. Selain mengelola keuangan rumah tangga, Ari dan Tanti juga sudah memiliki rumah di tahun ketiga pernikahannya.
"Baguslah. Doakan pekerjaan Mas selalu lancar ya, Dek. Supaya kita bisa memenuhi segala keperluan keluarga."
"Iya, Mas. Aku selalu mendoakanmu."
Usaha Ari baru berkembang di usia pernikahan lima tahun bersamaan dengan diangkatnya dua orang anak. Rumah yang semula biasa saja, kini penuh dengan perabot yang bisa dibilang lumayan bagus kalau di kampung. Rumah yang tidak terlalu besar dengan beberapa fasilitas rumah tangga yang lengkap membuat seluruh anggota keluarga nyaman berada di dalamnya.
Tak hanya itu, uang belanja yang diterima Tanti semakin melimpah. Selain digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, dia juga selalu menyimpannya supaya kelak bisa digunakan ketika keadaan terjepit. Walaupun sebenarnya mereka juga tidak menginginkan kembali ke dalam keterpurukan di masa lampau.
"Mas, kamu tahu kalau uang belanja yang kamu berikan ini lebih dari cukup. Apakah ini berkah karena keluarga kita seperti ini? Maksudku karena dua anak-anak kita yang mendatangkan rezeki tiada henti. Aku sangat bersyukur sekali, Mas."
"Iya, Dek. Alhamdulillah, ya. Semoga selalu seperti ini. Kamu juga sudah mendukung semua pekerjaanku. Anak-anak kita juga sudah sekolah dengan baik tanpa kekurangan suatu apa pun. Jadi, pertanggungjawaban kita pada orang tua mereka jelas bisa dipercaya, bukan?"
Ya, mereka sudah berjanji pada orang tua kedua anak yang diangkatnya untuk terus memberikan yang terbaik tanpa kekurangan suatu apa pun. Kehidupan rumah tangga yang sempurna nyatanya tak jauh dari cobaan menerpa. Mungkin tidak sekarang, suatu hari nanti pasti akan ada saja. Namun, Tanti sudah mengantisipasi kejadian di masa mendatang. Dia selalu mewanti-wanti suaminya untuk tetap berada di jalan yang tepat.
"Mas, kamu selalu ingat, ya. Rumah tangga kita ini tidaklah mudah. Kalaupun nantinya kita sudah berhasil, jangan sekali-kali untuk berbuat yang aneh-aneh. Kalau kamu sampai lupa, bisa-bisa semuanya berantakan. Itulah ujian rumah tangga," ucap Tanti mengingatkan.
...***...
Jauh dari keluarga sudah biasa dijalani oleh Ari. Sebagai tukang bangunan yang mendapatkan pekerjaan di tempat yang berpindah-pindah. Terkadang satu atau dua bulan berada di lokasi A, seringkali pindah ke lokasi B. Tentunya membuat Ari bertemu dengan banyak orang.
Tidak sampai di situ saja. Selama berada di tempat baru, tentunya segala kebutuhan pribadinya itu akan dicukupi sendiri. Namun, tidak dengan makanan sehari-harinya. Setiap proyek yang dikerjakan tidak pernah sedikitpun menyediakan nasi box ataupun makanan yang disediakan oleh tempatnya bekerja. Dia terbiasa membelinya di warung kemudian sekaligus di makan di sana.
Tak heran jika banyak orang yang hapal mengenai dirinya. Sebagai tukang bangunan yang berhasil mendapatkan pundi-pundi rupiah yang lumayan besar membuatnya mulai sedikit nakal.
"Mas Ari, mau makan apa?" tanya Marlena, wanita yang menjaga warung sekaligus yang selalu melayani kebutuhan makanannya.
"Nasi pecel sama telur ceplok saja, Dek," jawab Ari.
"Mas Ari ini bagaimana, sih? Bayaran tukang bangunan yang sukses seperti ini kok cuma makan telur. Mbok ya yang sedikit keren begitu. Maksud Lena, mungkin Mas Ari mau makan ayam goreng sebagai lauknya," ucap Marlena manja. Tentu saja ini dilakukan ketika sedang tidak ada orang. Alasan Marlena bermanja seperti itu jelas karena Ari sudah memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar penjual dan pelanggan.
"Ya sudah, berikan makanan yang paling enak di warung ini. Bayarnya nanti kalau Mas gajian, bagaimana?" balas Ari.
"Tidak masalah, Mas. Dobel, ya?" pinta Marlena manja.
"Iya, tapi kalau ada orang lain jangan manja seperti ini. Aku malu," ucap Ari. Sejujurnya ketika bertemu dengan Marlena pertama kali membuat Ari merasa kembali muda. Wanita itu selalu bisa menyenangkan hatinya ketika gundah gulana menerpa. Dia yang selalu menjadi tempat curhat ketika suasana hatinya sedang tidak baik.
Bermula dari curhat sesaat, keduanya merasa nyaman. Ari yang notabene merasa nyaman dengan Marlena mencoba membuat wanita itu tertarik juga padanya. Saat itu Marlena sempat takut kalau Ari hanya mempermainkan perasaannya. Ketika tahu bahwa Ari sangat royal kepadanya, menjadikan kesempatan bagus untuk Marlena. Walaupun dia juga tahu kalau Ari sudah memiliki istri dan anak.
"Mas, apa kamu yakin kalau kita menjalin hubungan seperti ini?" tanya Marlena kala itu.
"Dek Marlena tak perlu khawatir. Aku butuh Dek Marlena yang selalu bisa mengerti aku. Dek Marlena juga sudah menyiapkan makananku sehari-hari sesuai apa yang kuinginkan. Apa Dek Marlena tidak mau kalau menjalin hubungan denganku? Ya, walaupun menjadi yang kedua. Tetapi, di sini Dek Marlena sebagai yang utama. Kan aku juga jauh dari anak dan istriku," balas Ari meyakinkan.
Marlena pun mengangguk setuju. Namun, dia juga mengajukan satu hal yang membuat Ari juga menyanggupinya.
"Mas, Marlena tidak mau hanya sekadar kekasih saja, loh. Apa kata dunia kalau sampai kita ketahuan nganu tanpa ikatan pernikahan? Janji ya, nanti Mas Ari bakalan menikahiku? Tidak masalah kalau Marlena menjadi yang kedua. Kalau Mas tidak berani meminta izin sama Mbak Tanti, aku yang akan maju. Pernikahan tanpa restu istri pertama rasanya kurang sreg, Mas," jelas Marlena.
Ya, bisa dikatakan kalau Ari sudah berani nekad bermain hati. Nyatanya apa yang dimiliki saat ini tidak membuat dirinya tersadar bahwa apa yang dilakukannya salah. Saat ini, Ari mencoba menutupi perselingkuhannya dengan Marlena sampai saatnya tepat. Ari tidak menyadari bahwa dengan bermain api seperti ini, maka sebentar lagi akan membakar hubungan rumah tangganya dengan Tanti, istrinya.
Ari pulang ke rumah seperti biasa. Namun, ada sedikit yang berbeda darinya. Jika biasanya pulang seminggu sekali, kali ini menjadi dua minggu sekali.
"Mas, kok tumben baru pulang hari ini? Sudah dari seminggu yang lalu kami menunggumu, Mas," ucap Tanti yang baru saja melihat kedatangan suaminya.
"Dek, maafkan Mas, ya? Dek Tanti harus menunggu Mas pulang setiap dua minggu sekali," balas Ari. Dia memang tidak bisa mengabari istrinya karena Tanti tidak memegang ponsel sama sekali seperti Ari. Lagi pula istrinya itu tidak terlalu membutuhkan.
Tanti bisa memaklumi kondisinya. Apalagi pekerjaan suaminya itu berada di beda kabupaten. Sebenarnya tidak jauh, tetapi kalau ditempuh dengan perjalanan pulang pergi akan memakan waktu yang lumayan cukup lama. Sehingga Ari memutuskan untuk pulang seminggu sekali kala itu. Namun, karena suatu hal, Ari mengubah aturan mainnya sendiri. Tidak masalah sebenarnya, asalkan Ari masih bisa memberikan uang hasil kerjanya pada sang istri.
"Tidak masalah, Mas. Kamu mau mandi dulu, atau makan dulu? Aku sudah menyiapkan makanan sama kopi kesukaanmu, Mas," ucap Tanti seraya menerima tas yang berisi beberapa pakaian kotor suaminya.
Ari menimbang-nimbang pilihan istrinya. Kalau dia langsung makan, rasanya sangat tidak nyaman sekali. Akhirnya dia lebih memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.
"Aku mau mandi dulu. Oh ya, nanti bajunya kalau sudah dicuci, tukar sama baju yang ada di lemari, ya? Soalnya besok, aku berangkat pagi-pagi sekali. Tidak masalah kan, Dek?" tanya Ari. Sebenarnya dia bisa berangkat sedikit siang, tetapi dia ingin mampir dulu bertemu dengan Marlena.
"Iya, Mas. Sesuai permintaanmu," ucap Tanti yang saat ini hendak menuju ke tempat baju-baju kotor. Dia meletakkan seluruh baju kotor di bak, kemudian membawa tasnya masuk ke kamar. Seperti biasa yang dilakukan selama ini.
Setelah membersihkan diri, Ari kembali ke dapur. Beberapa rumah di kampung memang meja makan dan dapur menjadi satu sehingga kalau mereka mau makan, tempatnya masih menyatu.
Tanti pun sedang menunggunya di sana. Sebagai istri yang selalu baik, Tanti menyiapkan segalanya.
"Masakanmu selalu enak, Dek," ucap Ari merayu.
"Kamu ini, Mas. Aku biasa seperti ini, kan? Tumben kamu memuji masakanku? Apa ada lagi wanita yang masakannya lebih enak daripada aku?" canda Tanti. Sebenarnya guyonan seperti ini sudah sering dilontarkan jika sedang bersama suaminya.
Uhuk!
Ari terbatuk. Dia segera mengambil air minum untuk meredakan rasa serik di tenggorokannya. Dia terkejut, jangan-jangan Tanti sudah mencium gelagat tidak baik darinya.
"Lho, kenapa batuk seperti itu? Masakan yang paling enak itu kan hanya dari tanganku dan ibu mertuamu, Mas. Begitu saja langsung terkejut," canda Tanti.
"Iya, Dek. Maaf."
Setelah makan selesai, Ari meminta Tanti untuk mengambilkan dompetnya yang terselip di dalam tas. Biasa dia menyimpannya di sana.
"Dek, ambilkan dompet Mas di dalam tas, ya."
"Iya, Mas. Tunggu sebentar, ya!"
Tanti membereskan bekas makan suaminya kemudian mengikuti perintah suaminya. Tak butuh waktu lama sampai dompet itu berada di tangan Ari sekarang.
Ari memberikan sejumlah uang belanja untuk istrinya. Jumlahnya memang lumayan dibandingkan seperti sebelumnya. Lebih banyak karena Ari baru pulang sekitar dua minggu. Namun, tidak dengan Tanti. Dia merasa ada yang kurang.
"Mas, kok tumben cuma delapan ratus ribu? Bukannya protes sih, kok berbeda saja dari biasanya," ucap Tanti. Sebagai ibu rumah tangga, wajar kalau dia menanyakan seperti itu. Apalagi kebutuhan semakin hari naik turun tidak bisa diprediksi. Belum lagi kalau ada tetangga sedang hajatan, kalau di kampung juga banyak repotnya. Belum bawa ini-itu, kemudian masih ngamplop juga.
Seharusnya kalau dikalkulasi, Tanti mendapatkan uang satu juta setiap dua minggu sekali. Karena setiap Ari pulang seminggu sekali, dia menerima uang lima ratus ribu rupiah. Itulah mengapa Tanti memberanikan diri untuk bertanya.
"Maaf, Dek. Beberapa hari ini memang mulai ada kendala. Pengiriman bahan baku tidak menentu sehingga menghambat pekerjaanku. Jadi, sehari atau dua hari terkadang Mas libur kerja, tetapi Mas tidak bisa pulang. Kan sistem kerjanya jadi tidak menentu," jelas Ari tanpa ragu.
"Iya, Mas. Tidak masalah. Terima kasih uang belanjanya, ya. Aku akan menyimpannya sebagian untuk biaya anak-anak."
Pemberian sedikit banyak harus tetap disyukuri. Tanti harus bisa memutar otak untuk mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak seperti biasanya. Mungkin saja dia akan mengurangi beberapa kebutuhan yang tidak terlalu penting. Namun, dia belum tahu itu apa. Yang pasti, dia mencoba menerima apa pun yang diberikan suaminya tanpa sedikit protes.
"Terima kasih atas pengertiannya, Dek."
Maafkan aku, Tanti. Aku sengaja mengurangi jatah belanjamu secara perlahan. Mas juga harus membaginya dengan Marlena yang selalu memberikan perhatian pada Mas.
"Tidak masalah, Mas. Sekali lagi, terima kasih."
Tanti menyimpannya ke dalam lemari yang ada di kamarnya. Sangat wajar kalau orang kampung menyimpan uangnya di dalam lemari. Sebagian kecil uang untuk tabungannya di masukkan ke dalam celengan berbentuk ayam untuk kebutuhan kedua anaknya.
Selesai memasukkan beberapa uangnya, Tanti kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dia juga lekas menyelesaikan mencuci baju-baju suaminya. Setelah itu, dia kembali bercengkrama lagi dengan suaminya.
"Mas, kalau di tempat kerja, makanmu bagaimana?" tanya Tanti yang baru saja bergabung dengan suaminya di ruang tamu.
Pertanyaan ini jarang sekali ditanyakan karena memang hari ini Tanti ingin tahu kesibukan apa pun yang dilakukan suaminya selama ditempat kerja.
Ari sedikit terkejut juga. "Ya, seperti pekerja pada umumnya, Dek. Setiap kali makan selalu di warung."
Tanti menarik kaki suaminya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. Dia memijatnya secara perlahan.
"Pijatanmu ini selalu kurindukan di saat aku lelah seperti ini, Dek. Terima kasih, ya," ucap Ari sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi di sebelahnya.
"Hemm, iya Mas. Oh ya, menu makanan apa yang biasa kamu makan di sana? Maaf ya, Mas. Aku banyak tanya. Kali aja aku bisa masakin pas kamu di rumah," jelas Tanti.
"Aku sukanya itu pindang sarden, Dek. Tapi, bukan makanan yang instan itu."
Selama ini untuk menghemat, Tanti selalu memasak makanan ala kadarnya. Paling cuma tahu, tempe, sayur-sayuran yang kadang dipetik dari kebun.
"Kapan-kapan kalau Mas kasih uang lebih, aku akan masakin pindang sarden. Kalau ibu-ibu di kampung, paling enak pindang tongkol, Mas. Tapi, ya gitu. Kadangkala harganya mahal. Makanya aku hampir tidak pernah beli. Maaf ya, Mas," jelas Tanti.
"Ooo, iya, Dek. Maafkan aku yang belum bisa kasih kamu yang lebih, ya," ucap Ari yang selalu meminta maaf padanya.
Tanti merasa tidak masalah diperlukan seperti ini. Walaupun uang belanja dari suaminya berkurang, dia tetap bersyukur. Setidaknya dia masih memegang uang selama suaminya bekerja. Kebutuhan anak-anaknya pun pasti terjamin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!