NovelToon NovelToon

MR.MATCHA

Prolog

"Ara, Bunda mau bicara sesuatu sama kamu," panggil Kirana- Bundanya Ara.

"Apa, Bund?" sahut Ara menjawab bundanya.

"Sebentar lagi, kamu bakalan punya adik. Bunda lagi hamil," ucap Kirana dan sontak membuat Ara kaget.

"Bund! Udah Ara bilang, Ara gak mau punya adik! Bunda sama ayah kenapa sih? Kalian egois tau gak," kesal Ara.

"Ayah sama Bunda lakuin ini buat kamu, biar kamu gak sendiri di rumah," jelas Allan — Ayahnya sambil memegang bahu Ara.

"Demi aku? Ayah paham gak sih, kalian selama ini mengabaikan aku. Di umur segini punya adik itu berat buat aku! Kalau dia lahir, siapa yang urusin dia? Aku? Kalian kan sibuk sama urusan kalian masing-masing. Aku gak mau punya adik!" Ara berlari menuju kamarnya tanpa mempedulikan mereka.

Ara menenggelamkan wajahnya di bantal, rasanya beban di kepalanya sudah menumpuk menjadi berpuluh-puluh ton beratnya. Ara hanya takut mereka semakin mengabaikannya. Ara takut kasih sayang bunda dan ayahnya terbagi. Ara mungkin tau ini pemikiran yang sangat childish, tapi itu benar. Ketika Ara menjadi satu-satunya saja mereka mengabaikannya, apalagi ada adiknya.

Ara penat dengan semua keadaan di rumahnya. Dia berpikir harus pergi dari sini. Iya, jalan satu-satunya adalah ....

"KABUR! Iya, gue harus kabur dari sini," tekad Ara.

...~ • ~...

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah mengemasi barangnya, Ara langsung menuju ke bawah dan memastikan bahwa semuanya aman. Perlahan tapi pasti Ara mulai mendekati pintu dan ....

Klek ....

Pintu pun berhasil terbuka. Ara langsung menuju gerbang, untung saja satpam di rumahnya sedang mengambil cuti dan pulang kampung jadi Ara bisa pergi dari sini dengan aman.

Ara pergi tanpa membawa motornya, dengan terpaksa dia menggunakan angkutan umum untuk menjauh dari daerah ini. Ara turun di sebuah daerah yang dia rasa sudah cukup jauh dari daerah tempat tinggalnya.

Dia menelusuri jalanan malam yang sepi ini, rasanya takut sekali, tapi apa boleh buat karena ini resikonya yang harus dia ambil.

"Ya ampun, gue harus kemana malam-malam gini? Terus gue harus tidur di mana? Ya kali tidur di emperan," dengus Ara.

Ara duduk di salah satu kursi pinggir jalan ini. Tiba-tiba ....

"Ngapain lu duduk di sini?" tanya seorang pria di sebelahnya.

"Gak boleh? Ini kan umum, siapa pun boleh duduk di sini," ucap Ara tak terima.

"Gua pingin sendiri, mending lu cari tempat lain," balas pria itu datar.

"Heh! Seenak jidat ya, lo. Suka-suka gue mau duduk di mana aja. Kalau lo mau sendiri jangan di jalanan, tapi di kamar lo!"

"Ngapain lu malam-malam gini di luar rumah, gua yakin orang tua lu cemas anak gadisnya belum pulang." Orang ini sangat-sangat mengganggu Ara hingga dia merasa kesal.

"Bukan urusan lo," ketus Ara sambil pergi meninggalkan cowok itu.

Ara kembali menelusuri jalanan itu, hingga ada seseorang yang menghampirinya.

"Eh cewek, mau kemana?" tanya seorang pria dan temannya.

" .... "

"Sini Abang temenin, udah malem ini," ucap temannya sambil tertawa.

Ara pun takut, wajah mereka seram sekali. Dia putuskan untuk tak menggubris mereka dan pergi. Namun, mereka mecengkram pergelangan tangannya.

"Lepasin!" teriak Ara.

"Mau kemana sih, buru-buru amat," katanya.

"Ih lepasin gue!" teriak Ara yang mulai ketakutan.

"Gak usah galak-galak, ayok ikut!"

Namun, mereka tetap menyeretnya untuk ikut dengan mereka.

"Lepasin cewek gua!" teriak seseorang.

Tanpa basa-basi dia memukul kedua pria itu. Ara hanya bisa menutup mukanya, karena itu sangat membuatnya ketakutan. Bayangkan saja, dia melihat aksi pukul memukul di depan matanya. Rasanya Ara ingin pingsan saja.

"Lu gak apa-apa?" tanya pria itu.

Ara membuka matanya.

'hah? Itu cowok yang tadi duduk sama gue,' batinnya.

"Lo? Btw makasih," ucapnya.

"Sama-sama," jawabnya dengan wajah flat.

Mereka duduk di depan masjid. Ara heran dengan pria itu, dia tampan sih. Tapi dia cuek dan menyebalkan.

"Rumah lu di mana?" Tanya pria itu.

"Kenapa?" Tanya Ara balik.

"Enggak, kenapa lu gak balik?"

"Kabur, lo sendiri kenapa gak balik ke rumah?" tanya Ara penasaran.

"Sama, gua juga kabur."

'Kok bisa samaan sih, bener-bener aneh dia,' batin Ara.

"Kenapa kabur?"

"Gue mau punya adik dan gue gak suka itu."

"Kenapa?

"Gak bisa gue jelasin, complicated."

"Gue kabur karena orang tua gua selingkuh," tuturnya, padahal tak ada seorang pun yang bertanya padanya, ya tapi cukup menyedihkan juga sih.

"Ohh," Ara hanya ber-oh ria.

Tiba-tiba ponsel Ara berbunyi. Tertera nama Rendy di sana. Dia keheranan ada apa sahabatnya ini me-neleponnya malam-malam begini.

"Kenapa gak diangkat?" tanyanya.

"Gapapa, gue ke dalam aja ya. Kayanya gue mau tidur di sini aja," Ara pamit.

Tanpa meminta persetujuan Ara memasuki masjid, rasanya lelah sekali dia berjalan sejauh itu. Dengan terpaksa Ara tidur di masjid ini, daripada tidur di emperan.

...~ • ~...

Suara adzan membangunkan Ara. Dia terbangun dan segera mengambil wudhu untuk sholat. Namun Ara baru sadar, ternyata cowok yang semalam itu sudah tidak ada. Tapi dia tidak peduli sih, bukan urusannya juga.

Setelah selesai, Ara kembali bergegas untuk pergi mencari tempat lain. Karena jika dia terus berada di sini pasti akan ketahuan juga.

Panasnya cuaca kota Bandung, membuat keringatnya menetes. Andai ini di rumah, pasti akan dia habiskan waktu di depan AC agar tidak kepanasan.

Tiba-tiba seseorang menarik tangan Ara dan sontak membuatnya kaget.

"Ayok pulang," ucapnya sambil menarik tangan Ara.

"Rendy! Kenapa lo bisa di sini?" Ara keheranan.

"Gak usah banyak tanya, cepet pulang. Bunda lo cemas tau gak!"

"Lepasin, Ren! Gue gak mau pulang! Lo gak tau sih gimana jadi gue!" bentak Ara tanpa sengaja.

"Ya tapi cara lo salah! Lo harus ikut gue sekarang," katanya menarik tangan Ara lagi.

"Gak mau, Ren! RENDY!" bentak Ara lagi.

"Lo childish banget sih, Ra. Cuma masalah kaya gini lo kabur?"

"Lo gak paham sama perasaan gue, lo gak tau gimana rasanya jadi gue," kesal Ara, tanpa sadar tangisannya pecah.

Rendy menarik Ara masuk ke dalam mobilnya. Ara tak melawan, nyatanya tenaga Rendy jauh lebih kuat dibandingkan Ara, lalu Rendy pun melajukan mobilnya.

"Semua bisa dibicarain, Ra gak usah ada acara kabur segala." Rendy menasehati Ara.

"Dibicarain? Apa dengan dibicarain semuanya bakal baik, Ren? Enggak! Lo tau? Bunda gue hamil," ucap Ara dengan tangisannya yang masih belum mereda.

"Ya bagus dong, lo bakalan punya adik. Kan lucu. Biasanya di usia lo pasti pingin punya adik. Bukannya lo suka anak kecil juga?"

"Gue suka anak kecil bukan berarti gue mau punya adik, Rendy. Gue gak mau kasih sayang mereka buat gue gak utuh. Gak gak gak dari dulu emang udah gak utuh. Ya maksudnya tuh gue cuma pingin jadi satu-satunya buat mereka. Gue gak mau kasih sayang mereka kebagi," ucap Ara jujur.

"Ya gak gitu, berarti lo harus ubah jalan pikiran lo. Lo salah, kasian Bunda lo khawatir sama lo," katanya.

"Terserah, Ren. Gue kira lo bisa ngertiin gue. Ternyata lo sama aja. Emang gak ada yang bisa ngertiin perasaan gue."

Selama perjalanan tak ada percakapan di antara mereka. Mereka pun sampai di rumah Ara. Alangkah kagetnya ketika Ara membuka pintu, Kirana langsung memeluk anak semata wayangnya itu.

"Kamu darimana aja sayang? Bunda takut kamu kenapa-kenapa. Kamu tadi malam tidur di mana? Udah makan?"

Namun, tiba-tiba Allan datang dan mencengkram tangan Ara dengan erat.

"Darimana aja kamu? Puas bikin orang tua khawatir? Di mana otak kamu, Ayah sekolahin kamu biar pinter dan bisa berpikir. Ini nih, didikan kamu, Bund. Jadi pembangkang dia sekarang." Allan mengeratkan cengkeramannya pada Ara.

"Awww, sakit, Yah!" Ara membentak sambil melepaskan cengkeramannya.

"Ayah apa-apaan sih, kasian Ara," bentak Kirana sambil memeluk Ara.

Rendy yang sudah biasa menyaksikan pertengkaran keluarga Ara hanya bisa diam. Ara pun memilih untuk ke atas atau lebih tepatnya ke kamarnya untuk menenangkan diri.

'Kenapa selalu kaya gini, aku kaya gini gara-gara kalian juga. Kalian yang gak pernah kasih waktu luang kalian buat aku.'

Seseorang memasuki kamar Ara, ternyata dia adalah Rendy dan dia langsung duduk di sebelah Ara.

"Ngapain lo kesini, Ren? Kalau lo gak ajak gue pulang, gue ga akan liat mereka berantem lagi," kesal Ara.

"Maaf, tapi kalau lo pergi juga gak akan nyelesain masalah, Ra."

"Ya tapi masalahnya makin rumit," kata Ara.

"Ya karena lo yang bikin rumit, lagian lo gak mikir. Besok hari pertama lo ospek di kampus," katanya.

"Lah, oh iya yah. Lah gue belum siap-siap."

"Udah gue siapin semuanya," kata Rendy bijak.

"Aaa~ Rendyyyy tengkyuhhh," kata Ara sambil memeluk Rendy erat.

"Iya, gak usah nangis lagi."

"Yaudah iya, maaf ya udah marah sama lo juga," ucap Ara menyesal.

"Iya santai."

Mereka pun kembali akur dan mempersiapkan hal yang yang kurang untuk di bawa besok. Ara sangat beruntung memiliki Rendy yang selalu ada di sampingnya.

Ospek

Universitas Orziana, adalah salah satu universitas yang banyak diminati di kota ini. Ara melangkahkan kakinya memasuki gerbang, ya karena calon mahasiswa baru tidak boleh membawa kendaraan dan itu sangat menyusahkan. Sebenarnya malas sekali Ara mengikuti acara Ospek ini, rambut diikat dua, memakai Nametag besar dari kardus, tali sepatu menggunakan pita dan menggunakan topi yang terbuat dari bola. Lebih tepatnya ini bukan calon mahasiswa baru, tapi calon pasien rumah sakit jiwa.

"Rendy mana, sih? Katanya mau bareng, gue kan takut sendirian masuk gerbang. Mana senior pada ngeliatin gue lagi," gerutunya sambil berjalan menunduk.

Kalau bukan karena kewajiban, Ara sama sekali tidak mau mengikuti acara ospek ini. Buang-buang waktu saja, lebih baik dia menghabiskan waktu di rumah sambil drakoran atau membaca novel.

Tiba-tiba ....

Brukkk ...

Ara menabrak seseorang yang ada di depannya. Ekspetasi memang tak sesuai realita. Jika di dalam novel bertabrakan dengan seseorang akan terjadi adegan tahan menahan, tapi ini tidak. Bokongnya menyentuh aspal dengan sempurna dan itu sakit sekali.

"Awww, gimana sih. Sakit kan pantat gue. Bukannya bantuin malah diem aja," kesal Ara dan langsung mengadahkan kepalanya untuk melihat wajah orang itu.

"Lo?" matanya membulat sempurna saat melihat orang yang bertabrakan dengannya.

Dia adalah cowok yang kemarin malam bertemu dengan Ara. Mati saja Ara, ternyata dia adalah senior barunya. Ini pasti akan membawa malapetaka untuk hidup seorang Tsabita Keona Arabella.

"Ara, lo gapapa?" tiba-tiba Rendy datang dan membantunya berdiri. Namun orang itu malah pergi tanpa rasa bersalah. Sungguh Ara ingin sekali menjambak rambut pria itu sekarang juga!

"Isshhhhh nyebelin banget itu senior, Ren. Masa gak ada rasa pedulinya sama junior. Minimal minta maaf kek!" gerutunya.

"Sabar, junior bisa kena masalah kalau berurusan sama senior," kata Rendy berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"Ya tapi, Ren. Ah udah lah. Btw dia yang nolongin gue waktu gue kabur," ucap Ara.

"Nolongin apaan? Emang lo kenapa?"

"Di cegat anak jalanan," ucap Ara santai.

"Lo gak apa-apa kan, Ra tapinya? Lo baik-baik aja, 'kan?" tanyanya sambil memegang pipi Ara.

"Lah, kalau gue kenapa-napa gak akan di sini dodol!"

"Oh iya, ya."

"Lo ni ya, ck." Ara berdecak.

"Ya udah, ke lapangan yuk. Udah mulai kayaknya," ajak Rendy sambil menggenggam tangan Ara.

Ara dan Rendy menuju ke lapangan, terlihat sudah banyak calon mahasiswa baru yang berkumpul di sana. Ara langsung menuju ke gugus 1, ya karena sebelumnya sudah ada pemberitahuan ketika mendaftar.

"Hai," sapa seorang wanita di sebelahku.

"Hai, nama gue Ara, panggil aja Ara atau Ra. Nama lo siapa?" tanya Ara dengan senyum.

"Maudy, lo mau jadi temen pertama gue di sini?" tanyanya.

"Dengan senang hati," jawab Ara sambil mengangguk.

Sekelompok senior pun memasuki lapangan dengan gaya angkuh mereka. Jujur saja rasanya malas sekali melihat mereka, pasti mereka memperlakukan junior mereka dengan seenaknya. Dan satu lagi, ternyata orang menyebalkan itu menjadi salah satu mentor. Kesalnya ....

"Gugus 1 mana?" tanya senior perempuan kepada mereka.

Otomatis barisan Ara mengangkat tangan mereka.

"Mentor kalian Afrizal ingat-ingat," serunya.

Namun, pria menyebalkan yang tak diketahui namanya itu langsung membisikkan sesuatu kepada perempuan itu.

"Oke maaf, gugus 1, mentor kalian jadi Dewa ya," ralatnya.

Dewa? Siapa Dewa? Mereka hanya menyebutkan nama saja tanpa memberitahu wajahnya. Jelas itu membuat semua Camaba, terlebih Ara kebingungan. Mereka membagi gugus dengan mentor nya masing-masing. Ara mencoba menebak siapakah yang menjadi mentor nya, tapi nihil. Ya semoga aja seniornya ini tidak membuat dia kewalahan hari ini.

Setelah membagi gugus mereka pun disuruh menyimpan tas di kelas. Dan menuju ke lapangan lagi untuk diberi tugas pertama.

"Nama gua Alex, Gua sebagai ketua BEM di sini. Tugas pertama kalian adalah wawasan wiyata mandala. Jadi kalian di wajibkan untuk membersihkan sekolah ini. Tujuannya supaya kalian bisa mengenal wilayah kampus kita," kata seseorang yang meperkenalkan dirinya sebagai ketua BEM.

"Gugus satu, silahkan menuju ke taman belakang, kalian bersihkan taman belakang," kata seorang wanita yang Ara ketahui bernama Kak Zelda.

Gugus Ara pun kini menuju taman, ya mereka kebagian membersikan taman yang begitu luasnya. Daun yang gugur begitu banyak, melihatnya saja Ara sudah malas untuk membersihkannya. Andai dia bersama Rendy, semua masalah akan tuntas dalam sekejap.

"Oke semangat, Ra," kata Maudy menyemangatinya.

"Kita kaya masuk pendidikan pemulung, Dy. Yakali suruh bersih-bersih." Ara yang kesal mulai menyapu pinggiran parit.

"Ya namanya juga Ospek, Ra. Mereka bisa seenaknya sama Maba."

"Ya itulah senior, kesel banget sumpah," ucap Ara sambil menggerutu.

"Ya jalanin aja lah ya, kalau lo terus-terusan ngoceh, yang ada makin cape deh, lo," katanya.

Mereka masih membersihkan taman ini, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, para senior sama sekali tidak memberi istirahat. Dan itu membuat Ara sangat kesal.

"Udah, lu berhenti aja. Istirahat. Nih," seseorang memberikan minuman pada Ara.

"Lo? Eh Kak," ralatnya.

"Duduk, istirahat aja kalau lu cape," katanya sambil duduk di kursi.

"Nggak usah," ucap Ara sewot.

"Kenapa? Gua baik loh nyuruh lu duduk." Dia berkata dengan santai sembari meminum cola kalengnya.

"Udah lo pergi aja sana, kalau lo nyuruh gue istirahat, nanti mentor gue marah, udah sana." Ara pun mengusirnya.

"Nggak akan marah," jawab pria itu santai.

"Hee, gue tau ini jebakan lo, 'kan? Lo mau bikin gue dimarahin kak Dewa? Sana!" kesal Ara dan lagi-lagi mengusirnya.

"Lo gak tau siapa gua?"

"Lah? Emang lo siapa? Cowok rese yang tadi nabrak gue di depan terus gak bantuin gue, iya, 'kan?"

"Gua mentor lu," katanya sambil menunjukkan nametag kepanitiaannya.

Dewa Arkan bagaskara.

"Eh, Kak Dewa ya? Hehe," ucap Ara sambil menyembunyikan ke gugupan dengan cengiran khasnya.

"Tau kan gua siapa? Ya udah duduk," perintah Dewa.

"Nggak, Kak. Gue bersih-bersih aja," kata Ara dengan senyum terpaksa karena ketakutan.

"Ya udah, ini buat lu," ucapnya sambil meletakan minuman di kursi taman. Namun sebelum dia benar-benar pergi, dia melihat nametag Ara.

"Tsabita Keona Arabella, oke." Dewa menganggukan kepalanya sambil berlalu meninggalkan Ara.

'Mampus gue, setelah ini pasti gue kena hukum sama senior itu. Mampus lo Ara mampus.'

Ara kembali menyapu, namun jantungnya tak karuan. Rasanya Ara seperti akan dieksekusi mati. Bagaimana kalau Ara terkena hukuman yang berat? Ini hari pertama ospek tapi dia sudah membuat masalah. Ara menyapu tak karuan, gelisah. Iya, Ara gelisah sekarang, bahkan keringat dingin sudah bercucuran dari kepalanya. Kenapa dia harus dimentori oleh cowok menyebalkan itu?

"Lo kenapa sih, Ra?" tanya Maudy.

"Gue kayaknya udah ditandai deh, gue tadi ngebentak senior," jawab Ara cemas.

"Hah? Serius, lo bentak senior?" tanyanya kaget.

"Iya, gue bentak mentor kita lagi," ucap Ara semakin cemas.

"Mati lo, Ra. Kak Dewa lagi yang lo bentak. Kata kakak gue, Kak dewa itu most wanted kampus," ucap Maudy.

"Ah, lo korban Novel aja. Masa iya ada most wanted di kampus kita," protes Ara

"Ra, gue serius loh. Katanya, yang berurusan sama dia bakalan kena akibatnya."

"Ah lo mah, jangan nakut-nakutin."

"Mana ada nakut-nakutin, Ra."

"Apapun yang terjadi nanti, gue harap lo bahagia, Dy."

"Elah, kaya mau mati aja, lo! Ya udah istirahat, yuk. Udah boleh istirahat juga," ajak Maudy.

"Gue mau di sini aja," tolak Ara.

"Oh oke deh, gue duluan."

Ara duduk di kursi taman ini, sambil menunggu untuk berkumpul kembali. Rasa lelahnya berganti menjadi rasa cemas. Rendy pun sejak tadi tak terlihat, mungkin dia sibuk dengan tugasnya di gugus. Karena haus, terpaksa Ara meminum minuman yang tadi diberikan Dewa. Ara sepertinya sudah pasrah degan nasibnya.

Lima belas menit pun berlalu, mereka kembali ke lapangan untuk berkumpul. Entahlah apa yang akan mereka lakukan lagi kepada juniornya. Ara hanya cemas jika Ara akan terkena masalah akibat Ara membentak mentor nya tadi.

"Kamu, maju ke depan," panggil Kak Zelda menunjuk Ara.

Kaget, satu kata yang harus Ara ungkapkan saat ini. Ya, sepertinya Ara memang sudah bermasalah.

"Sa-saya, Kak?" tanya Ara gugup.

"Iya, Kamu! Sini maju ke depan," perintahnya.

Ara berdiri dan berjalan dengan gugup, semua mata tertuju padanya saat ini. Dewa Arkan Bagaskara itu pasti sudah memprovokasi semua senior untuk memberinya pelajaran.

'Mati lo Ara mati.'

Matcha

Kini Ara sudah berada di depan seniornya yang sangat galak ini. Dia ingin rasanya membalas tatapan keji itu tapi dia masih sadar diri kalau statusnya adalah calon mahasiswa baru.

"Mentor lo siapa?" tanya Kak Zelda.

'Tuh kan bahas mentor. Pasti ini gue mau dikecam, ya Allah tolongin,'

"Kk-Kak Dewa, Kak," jawab Ara.

"Pasukan lo, Dew?" tanya senior lainnya yang Ara ketahui dari nametagnya bernama Riska.

Dia hanya mengangguk pelan.

"Tsabita Keona Arabella, kebagusan. Gue ganti nama lo jadi ... Matcha," kata Riska.

Lalu dia membalikkan nametag Ara dan menuliskan kata "Matcha" di karton Ara.

"Sana duduk lagi!" Perintahnya.

Ya syukurlah ternyata hanya pengubahan nama dan lagi namanya tidak terlalu buruk dibandingkan dengan Maudy yang kini diubah namanya menjadi monyet goa.

Setelah itu, mereka berkeliling untuk mengganti nama junior mereka satu persatu. Menurut Ara ini sama sekali kurang kerjaan. Mereka repot-repot berkeliling demi menamai calon mahasiswa baru satu persatu. Untuk apa? Ya mungkin untuk kepuasan mereka tersendiri.

Setelah itu calon mahasiswa baru disuruh untuk masuk ke dalam kelas untuk perkenalan bersama para mentor masing-masing. Ara hanya bisa terdiam saja ketika Dewa memasuki kelas dengan gayanya yang Sok cool.

"Selamat siang, seperti yang kalian tau. Nama gua Dewa Arkan Bagaskara. Kalian bisa panggil gua Dewa. Kalau kalian ada pertanyaan selama ospek, kalian bisa tanya ke nomor gua," katanya sambil mencatat nomor ponselnya di papan tulis.

Yang lain mulai sibuk mencatat nomornya. Apa lagi para wanita, yang sepertinya sangat antusias mencatat nomornya, terkecuali Ara. Dia menatap Ara tajam, Dewa heran mengapa Ara tak mengeluarkan bukunya untuk menulis nomornya. Setelah itu mereka disuruh untuk maju memperkenalkan diri masing-masing. Hingga tiba giliran Ara.

"Kamu, Matcha. Maju ke depan," perintah Dewa.

Ara pun bangkit dari kursinya dan hendak berjalan ke depan.

"Bawa bukunya juga," ucapnya lagi.

Hingga Ara sudah berada di depan kelas saat ini.

"Kenalin diri kamu," perintahnya lagi.

"Nama saya Tsabita Keona Arabella , kalian bisa panggil saya Ara atau apapun. Asal sekolah dari SMA Nusa Bangsa." Ara tersenyum sambil memperkenalkan diri.

"Umur?" tanya Dewa.

"17 tahun."

"Tempat, tanggal, lahir?"

"Bandung, 12 Desember 2002," jawab Ara lagi.

"Alamat?"

'Kok dia nanya terus, sih. Perasaan tadi yang lain nggak deh. Kayaknya dia mau balas dendam ke gue. Kok gue kesel ya liat muka senior ini. Kalau bisa udah gue jambak itu orang sekarang juga.'

"Bukit Cempaka Mekar, Block A."

"Nomor rumah?" tanyanya lagi.

'Kok jadi berasa interview ya. Nyebelin banget sih dia.'

"12," singkatnya.

"Id line?"

"Saya lupa, terima kasih, Kak. Saya sudah menjawab semua pertanyaan Kakak," kata Ara yang kesal sambil bergegas kembali ke bangkunya.

"Eh bentar, sini bukunya," perintah Dewa yang lagi lagi membuat Ara naik darah.

Ara pun kembali untuk menyerahkan bukunya yang tak tau akan diapakan. Kenapa seniornya yang satu ini sangat menyebalkan dan membuatnya ingin mencabik-cabik seniornya hingga puas.

"Ini, Kak," kata Ara dengan masih berusaha tersenyum meskipun amat terlihat keterpaksaannya.

Dewa menulis di buku Ara. Dan Ara hanya mengamati kelakuan Dewa yang tak dia pahami.

"Di sini saya tulis, nomor, id line, pin bbm. Karena kamu matcha dan saya suka matcha," ucapnya pelan.

'Terus, kalau lo suka matcha gue harus ngapain, harus koprol?'

"Makasih," ucap Ara dengan penuh penekanan dan kembali ke kursinya.

"Maksud dia apa coba nulis sosmed dia di buku gue? Menyebalkan. Bahkan menurut gue lebih baik menyimak dengan jelas, daripada harus menelfon atau chatt ke orang jelek itu." gerutunya pelan, amat pelan.

Ara melihat ada kertas di hadapannya. Ternyata absen keliling dan gawatnya di sana harus mencantumkan semua sosial media yang dia punya. Dengan terpaksa Ara menulisnya di sana. Jika tidak, mungkin Ara akan terkena hukuman.

"Mungkin cukup segini aja pertemuan kita, jangan lupa besok masuk jam 7 tepat tanpa alasan. Jangan lupa barang bawaan dan kalau ada yang mau di tanyain bisa telfon aja," katanya.

Semua langsung menuju pintu keluar, tak terkecuali Ara, Dia sibuk memainkan ponsel untuk membuka Novel Online.

"Kenapa belum pulang?" tanya seseorang.

"Lagi baca novel, eh- Lo?" kata Ara kaget, ya itu Dewa.

"Pulang, udah sore," perintahnya.

"Emang ada aturan, Kak? Gak boleh di sini sampe sore?"

"Gua mentor loh, pulang sana," katanya.

"Ihh! Nyebelin tau gak!" Ara kesal sambil berlalu meninggalkan Dewa yang kini tersenyum melihat tingkah gadis itu.

Ara segera menelfon Rendy. Semoga saja dia bisa pulang bersama Ara hari ini. Karena jujur saja Ara takut naik angkutan umum sendirian. Apalagi ini sudah sore.

"Halo, Ren lo di mana? Pulang bareng, ya?"

"Lah, gue udah balik. Gue kira lo dijemput," katanya.

"Bah, yaudah gue balik sendiri, bye."

Sudah setengah jam Ara menunggu angkutan umum di sini. Tapi tak ada satu pun yang lewat. Apa karena sudah sore? Ah entahlah. Tiba-tiba sebuah ninja hitam berhenti di depan Ara.

"Naik," katanya.

"Nggak, gue bisa naik angkot," ketus Ara.

"Percuma lu nunggu jam segini udah gak ada," kata Dewa.

"Kayaknya lo salah, deh. Itu ada, bye!" ledek sambil memasuki angkot.

... ~ • ~...

Setelah selesai mandi, Ara kembali ke kamarnya. Rasanya hari ini lelah sekali, ditambah rasa kesalnya kepada Dewa Arkan Bagaskara itu. Entahlah, membayangkan dia saja rasanya Ara sudah kesal sekali. Apalagi memikirkan orang tuanya yang sekarang entah ada di mana mereka.

Daripada bosan, Ara memilih untuk membaca novel. Hingga tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tiba-tiba notif ponselnya berbunyi. dilihatnya notif dan itu ternyata notif line penambahan teman.

Dewa!

...Chatting line....

...Dewa arkan....

Dewa Arkan : Ara.

^^^Tsabita Arabella : Ngapain lo chatt gue, tau darimana?^^^

Dewa Arkan : Gak penting, yang penting sekarang gua chatt lu.

^^^Tsabita Ara : Ya terus kalau lo chatt gue, gue harus apa?^^^

Dewa Arkan : Harusnya lu seneng lah, jarang gua chatt cewek.

^^^Tsabita Arabella : Terus kalau lo jarang chat cewek dan sekarang chatt gue, gue harus seneng? Dih males.^^^

Dewa Arkan : Lu sensi amat sama gua.

^^^Tsabita Arabella : Karena lo nyebelin dan gue gak suka orang yang nyebelin kaya lo, Kak Dewa Arkan bagaskara yang terhormat!^^^

Dewa Arkan : buat besok gak akan ada yang ditanyain gitu?

^^^Tsabita Arabella : Gada, udah jelas.^^^

Dewa Arkan : Kalau mau nanya gak usah gengsi. Temen lu banyak kok yang chat gua.

^^^Tsabita Arabella : Dih, kok maksa. Dibilang udah jelas kok. Udah deh ah gue mau tidur. Bye!^^^

Dewa Arkan : Nite.

Ara langsung mematikan ponselnya. Kenapa dia selalu diganggu oleh Dewa. Dia berpikir seharusnya dia tidak bertemu Dewa malam itu, seharusnya dia tidak kabur waktu itu dan seharusnya dia tidak nerima bundanya yang meminta dia untuk kuliah di kampus itu. Dewa Arkan kini sudah masuk ke dalam list musuhnya.

"Tau darimana sih dia id line gue, gak penting juga dia chatt," gerutu Ara.

Hari ini hari paling sial untuk Ara. Harus mengikuti ospek dan di mentori oleh seorang Dewa Arkan Bagaskara yang menurutnya dia itu sangat menyebalkan dan selalu membuat Ara kesal. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini. Daripada Ara terus berkutat pada pikiran ini, lebih baik Dia tidur sekarang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!