Urutan membaca :
De Willson series 1 (Menikahi mafia kejam)
De Willson series 2 (The devil's touch)
De Willson series 3 (Pria musim dingin)
De Willson series 4 (Dosenku seorang mafia)
Ciri-ciri keluarga De Willson (Gaada yang namanya mertua jahat, kakak ipar jahat, semua menantu di terima dengan sangat amat baik walaupun mereka keluarga mafia hahaha)
Reagan berjongkok di dekat kuburan bertuliskan nama Levia Tanaya, istrinya yang meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu.
Reagan mengambil buket bunga yang sudah layu, lalu menyimpan buket bunga yang baru di atas tanah kuburan yang selalu ia kunjungi.
"Bunga mawar yang baru untukmu, Levi ..."
"Rey, simpan bunga punyamu," titah Reagan kepada Rey. Anak laki-laki umur empat tahun itu menyimpan bunga mawar putih yang di pegang nya.
"Ini Mommy. Untuk Mommy ..."
Reagan tersenyum mengelus puncak kepala Rey. Reyhan Louis De Willson. Anak semata wayang Reagan dan Levia. Beruntung saat kecelakaan itu terjadi, Levia tidak membawa Rey yang saat itu baru berusia dua tahun.
Reagan mengelus batu nisan istrinya dengan tersenyum getir. Rey yang berjongkok di samping sang Ayah mengerucutkan bibirnya ketika melihat Reagan selalu diam jika sudah berada di kuburan sang Ibu.
Perasaan rindu itu selalu ada, Levia ... Maafkan aku, ini semua salahku.
Hatinya hancur jika mengingat wajah Levia. Apalagi Levia itu teman Reagan dari Sekolah Dasar. Mereka berteman belasan tahun, bahkan mereka kuliah di kampus yang sama.
Dan keduanya menikah di usia yang masih muda yakni 23 tahun, di karuniai seorang anak laki-laki dan mengurus Rey bersama sampai usianya dua tahun. Setelah itu, Reagan harus mengurus Rey sendirian.
Saat-saat Levia meninggal Reagan berharap ada keajaiban seperti meninggalnya Yura yang kembali hidup, tapi takdir tidak memihak kepadanya. Levia pergi, selamanya.
Karena Reagan masih punya Rey, saat istrinya meninggal Reagan harus tetap terlihat baik-baik saja untuk putranya itu. Ia tidak menunjukan kesedihan nya kepada siapapun, seakan Rey lah yang menjadi penguat untuk Reagan.
"Daddy, kangen Mommy ya?" tanya Rey sambil memainkan tanah kuburan Ibunya.
Reagan menoleh dengan tersenyum. "Siapa yang tidak merindukan Mommy mu yang cantik itu."
"Rey mau Mommy baru, Dad."
Senyuman di wajah Reagan memudar seketika. "Jangan bilang kaya gitu di dekat, Mommy." Reagan berbisik di telinga Rey.
"Tapi teman Rey punya Mommy semua." Rey mengerucutkan bibirnya dengan mata berkaca-kaca.
Reagan menghela nafas kemudian berdiri dan menggendong Rey. "Ini kan Mommy Rey ..." Reagan menatap kuburan sang istri.
"Tapi udah pergi, Dad."
"Sekarang, kita pulang dulu ya. Nanti kita kesini lagi." Reagan mengalihkan pembicaraan putranya.
Rey mengangguk dengan bibirnya yang masih manyun.
"Bye dulu sama Mommy," seru Reagan.
Rey langsung melambaikan tangan ke kuburan Levia. "Bye Mommy. Rey pulang dulu nanti Rey kesini lagi ama Daddy."
Reagan tersenyum lalu mengecup kening Rey. "Aku pulang dulu, Levia." Seru Reagan ke kuburan mendiang istrinya.
Mereka berdua pergi dari taman tersebut. Kuburan Levia berada di taman bunga yang cukup luas, hanya ada satu kuburan di sana. Reagan membeli sebuah tanah dan menyulapnya menjadi taman bunga untuk menjadi rumah terakhir sang istri.
Levia sangat suka mawar putih. Alhasil taman tersebut di penuhi bunga mawar putih dengan gapura bertuliskan Taman bunga Levia. Jika orang-orang melihatnya mungkin akan berpikir itu hanyalah taman bunga yang indah tanpa ada kuburan di dalamnya.
Sebelum masuk mobil, Reagan menatap gapura bertuliskan nama istrinya itu dengan perasaan hancur.
Aku mau kita sama-sama terus Reagan, sampai Rey punya adik banyak, sampai kita tua dan punya cucu.
Kalimat itu menjadi kenangan paling menyakitkan untuk Reagan. Sekarang hanya tersisa Reagan dan Rey saja.
"Daddy Ayo ..." teriak Rey dari dalam mobilnya.
"Iya, Rey."
Reagan masuk ke mobil, membantu Rey memasangkan seatbealt kemudian menyalakan mesin dan mobil pun melaju meninggalkan taman bunga Levia.
******************************
"Rey ..." Intan berlari melentangkan tangan nya menyambut cucu nya itu kemudian membawa Rey dari gendongan Reagan.
"Rey darimana?" tanya Intan.
"Rumah Mommy," sahut Rey.
Reagan duduk di sofa, Intan membawa Rey ke kamarnya untuk bermain. Sebelum masuk ke kamar, Intan menengadah menatap Winter dan Summer di lantai atas, memberi kode kepada dua pria itu untuk berbicara dengan Reagan.
Summer mengangguk sebagai jawaban kemudian Intan pun masuk ke kamar bersama Rey.
"Bagaimana ini," ujar Summer.
"Kau kan Ayahnya, bicaralah," sahut Winter.
"Kau juga Ayahnya kan," sahut Summer kembali.
"Hanya angkat, kau yang kandung."
Summer berdecak. "Aku tidak bisa, kau saja lah!" Summer mendorong Winter.
Winter mendengus kasar kemudian berjalan menuruni anak tangga menghampiri Reagan.
"Reagan ..." panggil Winter.
"Hm." sahut Reagan sambil memainkan ponselnya.
Winter duduk di depan Reagan, tak lama kemudian Summer pun duduk di samping Winter.
Reagan mendongak. "Kenapa Dad?" Bola matanya menatap bergantian Winter dan Summer.
Winter menoleh sejenak ke arah Summer tapi Summer menyikut meminta Winter yang berbicara.
Winter berdehem. "Begini ... Kami eum, berencana untuk ... untuk menjodohkanmu ---"
"Aku tidak setuju!"
"Yeayy ... Mama baruuuu."
Reagan dan Rey menjawab bersamaan. Rey berdiri di depan pintu bersama Intan sambil berjoged karena senang akan mendapatkan Mommy baru. Intan yang memberitahu.
"Dad, aku tidak mau!" sergah Reagan.
"Lihatlah putramu ... dia sangat senang, Reagan!" sahut Summer. "Mau sampai kapan kau menduda sementara putramu butuh seorang ibu!"
"Rey, masih kecil. Wajar kalau dia terus merengek meminta Ibu. Kalau dia sudah besar, aku yakin dia hanya akan menyayangi Ibunya saja!" seru Reagan membuat Summer menghela nafas kasar.
Winter menepuk paha Summer agar kembaran nya itu bisa lebih tenang menghadapi Reagan.
"Begini, anggap saja ini hanya perkenalan saja. Antara kau, Rey dan perempuan itu ..." seru Winter.
"Dad, sudah berapa orang perempuan yang kalian kenalkan kepadaku. Apa ada yang cocok dengan Rey? Tidak! mereka semua tidak bisa menjaga anak!!"
"Coba sekali lagi saja Reagan," pinta Winter. "Sekali lagi saja ..." Winter memohon.
Rey masih diam di depan pintu dengan Intan yang memegang pipi anak itu dari belakang.
"Saat Mommy Yura meninggal, Dad saja tidak berpikir untuk menikah lagi!" ujar Reagan dengan kesal kepada Winter.
"Itu beda, Dad tidak punya anak hari itu, jadi bebas mau menikah lagi atau tidak. Sementara kau, kau punya Rey. Dan Rey butuh Ibu."
"Jangan egois Reagan!" sambung Summer ayah kandung Reagan. "Kalau kau menyayangi Rey, berikan dia kasih sayang yang cukup. Bukan hanya darimu saja tapi dari sosok seorang Ibu."
Reagan terdiam kemudian perlahan menoleh ke arah Rey yang diam dengan wajah polosnya bersama Intan. Di tatapnya anak itu lebih dalam, wajah lucu bersamaan dengan wajah sedihnya membuat hati Reagan terluka. Benar, Rey butuh Ibu.
"Kau tumbuh dari kecil dengan dua Ayah dan dua Ibu Reagan," seru Summer. "Dad, Daddy Winter, Mom dan Mommy Yura. Rasa sayang untukmu dari kami lebih dari cukup, tapi lihat Rey ... dia hanya punya kau saja. Apa itu adil disaat Ayahnya menerima banyak kasih sayang tapi Rey justru kekurangan kasih sayang ..."
Reagan masih menatap Rey, buah hatinya dengan Levia. Satu-satunya anak yang paling berharga untuk Reagan, Rey adalah jantungnya Reagan. Anak laki-laki umur empat tahun yang belum mengerti apapun selain meminta sosok seorang Ibu di hidupnya.
Bersambung
Fokus sama cerita M&L ya. Ini cuman mau up satu bab aja dulu. Tapi favoritin dulu dong hehe ❤
Dengan menyeret satu kakinya yang terluka seorang gadis berlari semampu yang ia bisa di trotoar jalan. Penampilan nya bak orang gila, rambutnya berantakan, wajahnya pucat dengan lebam di sudut bibir, pipinya membiru akibat pukulan. Bajunya terlihat kotor dan robek di beberapa sisi, ia tidak memakai sandal atau sepatu membuat kedua kakinya lecet akibat gesekan aspal.
Gadis itu terus berlari sambil memeluk dirinya sendiri, rintihan tangis di malam hari tidak di perdulikan oleh siapapun, bahkan mobil dan motor yang berlalu lalang tidak ada yang berhenti untuk membantu gadis itu.
Mungkin karena penampilannya yang membuat para pengguna jalan takut jika membantu gadis itu ia akan mengamuk di dalam mobil.
Jantungnya berdebar tak karuan, ia gemetar ketakutan dengan sesekali menoleh ke belakang. "Papah ..." lirihnya dengan air mata yang terus mengalir.
Lelah dan rasa sakit yang ia rasakan berusaha ia tahan. Sesekali ia berteriak dengan suara seraknya yang tenggelam habis.
"Tolong ..."
"Tolongggg ..."
Entah berapa kali ia berteriak, entah kemana rasa kemanusiaan orang-orang sampai tidak ada yang membantunya sama sekali. Karena sekarang sudah pukul satu malam, rawan jebakan yang aneh-aneh dari para begal, bisa jadi mereka tidak mau membantu gadis itu karena berpikir dia umpan dari para begal yang biasa keluar tengah malam.
"Dee ..." teriak seorang pria paruh baya.
"Papah ..." gadis itu menoleh ke belakang.
"Dee di sini ..."
Gadis itu mencari-cari arah suara yang tenggelam karena suara mobil yang berlalu-lalang. "Pah, papah dimana ..." Gadis yang bernama Diandra atau biasa dipanggil Dee itu merintih kala melihat sang Ayah diseberang jalan.
"Papah ..." lirihnya.
"Dee, diam di situ. Papah kesitu." Teriak Andra,sang Ayah.
Andra hendak menyebrang, ia celengak-celinguk menunggu mobil sedikit melambat.
"Papah ..." lirih Dee dengan tangis yang semakin keras.
"Papah ..." dia tidak niat berjalan, tapi pikirannya yang kalut dan rasa sakit di tubuhnya menyeret langkahnya sedikit demi sedikit seraya terisak.
"Dee diam di situ!" teriak Andra keras.
"DEE!!"
Andra semakin berteriak keras dengan jantung yang memburu cepat, Diandra tidak mendengar teriakannya. Gadis itu malah terus merintih sambil berjalan ke tengah jalan.
Andra celengak-celinguk, mobil dan motor melaju cepat membuat pria paruh baya itu memundurkan langkahnya kembali ketika hendak menyebrang.
"Papah ..." lirih Dee dengan hati yang teramat sakit kala bayangan ia hendak di perk*sa dan di siksa beberapa pria itu muncul di benaknya.
"DEE DENGARKAN PAPAH. JANGAN MENYEBRANG!!"
"DIANDRA!!"
"Papah tolong ..." lirih Dee.
Andra tercengang kala melihat mobil melaju ke arah Diandra yang kini sudah sampai di tengah jalan.
"DIANDRA!!" Andre berlari tak memikirkan nyawanya lagi, ia berlari ke tengah mendorong tubuh Diandra.
"Aaaaaa ...."
Citttt.
Seorang perempuan berteriak setelah mengambil ponselnya yang terjatuh di dekat pegal gas. Ia menginjak rem semampu yang ia bisa.
Mobil berhenti, perempuan itu sempat terbentur stir mobilnya sendiri. Ia perlahan mendongak dengan nafas terengah-engah, seorang pria tertabrak mobilnya.
"Papah ..." teriak Dee yang juga tersungkur di aspal karena di dorong oleh Andra.
Andra memekik kesakitan, ia berusaha untuk bangun begitupula dengan Dee yang berusaha untuk berdiri karena luka di kakinya semakin bertambah. Lututnya terluka sekarang.
"Astaga ..." perempuan di dalam mobil keluar dan menghampiri Andra dengan tergesa-gesa.
"Maaf-maaf, saya tidak sengaja ..." Di leher perempuan itu ada kalung berbentuk huruf RL.
"Tidak apa-apa," lirih Andra.
Perempuan itu membantu Andra berdiri. Dee menoleh dan melebarkan matanya kala melihat truk melaju sangat cepat ke arah perempuan itu dan Ayahnya.
"PAPAH AWASSS ..." teriak Dee.
Perempuan itu dan Andra menoleh, di detik itu juga mobil tersebut menabrak semua yang ada di depannya.
"PAPAH ..." jerit Dee kala melihat dua orang terpental jauh karena tertabrak mobil.
Andra dan perempuan itu terpental lalu membentur aspal dengan keras.
"PAPAHHH!!!" Jerit Diandra dengan tangisan yang meledak seketika.
Kakinya yang terluka di paksa berjalan tertatih menghampiri Ayahnya. Rasa kemanusiaan orang-orang muncul seketika, kendaraan berhenti dan beberapa orang keluar dari kendaraan berlari membantu dua korban yang tergeletak di aspal.
Dengan darah yang mengalir dari kepalanya perempuan itu berusaha meraih kalung yang terlepas dari lehernya. Tangan nya gemetar hebat, kalung berbentuk huruf RL itu tak mampu ia raih karena setelah butiran air mata keluar dari ujung matanya, perempuan itu menutupkan matanya seketika. Ia meninggal di tempat.
"Papah ..." Diandra langsung memeluk Ayahnya, membaringkan kepala Andra di pahanya dengan menangis histeris.
"Dee ..." lirih Andra dengan suara gemetar. Tangan nya yang gemetar terangkat untuk menyentuh wajah putrinya.
"P-papah ... terlambat m-maaf ..." buliran air mata keluar. Andra menangis meratapi penyesalan di dalam dirinya karena merasa gagal menjaga putrinya.
"Papah jangan tinggalin De, Pah ..." lirih Diandra.
Suara ambulance dan polisi mulai terdengar, orang-orang hanya mengerumuni dua korban itu saja tanpa bisa melakukan apapun karena satu korban sudah meninggal.
"J-jaga diri baik-baik, Dee ... P-papah sayang Dee ..."
"Papah ..."
Dada Andra terangkat naik, terlihat ia kesulitan bernafas sampai sedetik kemudian dadanya turun dengan nyawa yang telah hilang. Jeritan Diandra membuat orang-orang merinding mendengarnya, merasa kasihan dengan gadis itu.
Diandra membuka matanya dengan nafas terengah-engah dan keringat dingin membasahi wajahnya. Setiap malam, mimpi itu selalu datang menganggu tidur Diandra.
Diandra menghela nafas panjang berusaha menetralisir ketakutannya akan mimpi tersebut.
Ia berusaha bangun dan duduk di ranjang. Diandra mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu melirik jam di dinding. Pukul dua pagi, masih sangat pagi untuk Diandra bangun dan bersiap-siap pergi ke kampus.
Matanya kemudian menoleh ke meja, ia hendak mengambil minum tapi tatapannya terhenti di foto pria yang tengah memeluk anak kecil dengan perempuan di sampingnya. Foto Andra, Novia dan Diandra.
Ia menatap sendu foto tersebut, tersenyum getir dengan perasaan rindu.
"Papah ..." lirihnya.
Suara ketukan pintu membuat Diandra menoleh.
"Masuk, Bunda ..." seru Diandra.
Pintu pun terbuka, Novia masuk dengan tersenyum menghampiri putrinya lalu duduk di sisi ranjang.
"Mimpi lagi?" tanya Novia sang Ibu sambil mengenggam tangan putrinya. Novia sudah tahu, setiap malam pasti putrinya akan terbangun jadi ia selalu memeriksa Diandra ke kamarnya.
Diandra mengangguk lemah.
"Papah udah tenang, Dee harus ikhlas."
"Tapi itu gara-gara Dee, bunda ..." lirih Diandra.
Novia menggeleng. "Tidak, Dee. Itu karena takdir, bukan salah Dee ..."
"Seandainya waktu itu Dee ---"
"Sudah, cukup. Lebih baik Dee tidur nanti kesiangan kuliahnya ... Bunda temenin ya?"
Diandra kembali mengangguk dengan lemah, Novia pun tidur di samping putrinya sambil memeluk Diandra.
Bersambung
Dengan mengenggam erat tangan Rey, Reagan berjalan menuju mansion sang kakek, Maxime kala mobilnya sudah terparkir di halaman mansion.
Rey mengenggam salah satu koleksi hot wheels yang ia punya di tangan nya. Mereka masuk lift menuju ke lantai tiga.
Rey menggoyang-goyangkan tangan Reagan sambil mendongak menatap Ayahnya dengan mata kecilnya. "Dad, mau main ..."
Reagan menunduk menatap sang putra dengan anggukan kecil. "Sebentar ya, bertemu kakek buyutmu dulu sebentar."
Pintu lift kemudian terbuka keduanya berjalan menuju pintu berbahan kayu jati yang besar dan tinggi. Dua orang pria mendorong pintu besar tersebut sampai terdengar bunyi berdecit.
Lantai tiga mansion Maxime memang jarang dihuni karena di khususkan untuk Maxime jika ada hal penting saja. Di mintanya Reagan datang ke lantai tiga, pria itu sudah tahu ada hal penting dari sang kakek yang sudah tua itu.
Reagan dan Rey berdiri di depan meja. Mata bulat Rey menatap bergantian Maxime dan Ayahnya.
"Akhirnya kau datang juga ..." seru Maxime dengan suara seraknya. Pria tua itu duduk di kursi kebesaran nya menatap cucu dan cicitnya yang berdiri di depan.
"Duduklah, aku tidak menyuruh kalian terus berdiri ..." seru Maxime.
Kedekatan antara Reagan dan Maxime merenggang kala Maxime terus mencoba menjodohkan Reagan dengan seorang perempuan. Reagan benci hal itu karena yang dia cintai hanyalah Levia.
Winter dan Summer tidak mempunyai kuasa yang besar seperti Maxime. Mereka tidak memaksa berlebihan kepada Reagan selain menasehati dengan baik-baik agar pria itu cepat menikah kembali, demi kasih sayang yang di butuhkan Rey.
Tapi Maxime, pernah satu kali dia menjebak cucunya dengan seorang perempuan di kamar agar Reagan menghamili perembuat tersebut dan menikahinya. Tapi beruntunglah Reagan berhasil mengendalikan dirinya dari obat perangs*ng yang di berikan sang kakek.
"Tidak perlu. Katakan saja apa masalah penting kali ini, grandpa. Jika masalah wanita lagi, aku akan membuat ini kali terakhir aku mengunjungi lantai tiga mansionmu!"
Maxime menghela nafas. "Tenanglah ... aku bahkan belum bicara, Reagan! sudah satu tahun ini kau dan aku sangat jauh. Tidak bisakah kembali menjadi Reagan kecil seperti dulu?" Maxime menarik ujung bibirnya tersenyum kemudian matanya beralih manatap Rey.
"Kau dan Rey tidak ada bedanya saat kecil. Kalian sangat mirip."
"Berhenti membuang-buang waktu grandpa. Katakan kepentinganmu kepadaku!"
Hening sejenak sampai akhirnya Maxime memberanikan membuka suara.
"Ayah kembarmu. Mereka meminta ---"
"Aku tau kalimat apa selanjutnya. Aku menolak!" potong Reagan yang tahu jika sudah menyebut Ayah kembarnya maka permintaan mereka tidak jauh untuk menikah dan menikah.
Reagan berbalik membawa Rey, baru saja dua langkah hendak pergi dari ruangan tersebut langkahnya terhenti kembali dengan ucapan Maxime.
"Ini bukan perjodohan seperti dulu. Ini hanya pengenalan, kalian berusaha saling mengenal. Kalau tidak cocok kami tidak akan memaksamu untuk menikah lagi Reagan. Ini yang terakhir."
*
Setelah dari lantai tiga, Reagan mengobrol dengan Milan di bawah. Pria itu duduk di meja makan dan Milan menyodorkan secangkir teh hangat untuk cucunya itu sementara Rey sedang bermain dengan anak buah Maxime di halaman mansion.
"Kalau kau tidak mau, tidak usah di turuti keinginan Ayah dan kakekmu itu," seru Milan sambil menarik kursi dan duduk di depan Reagan.
Reagan menyeruput sedikit teh hangat buatan Milan kemudian kembali menyimpan nya di meja.
"Grandpa bilang ini yang terakhir. Aku akan menurutinya untuk yang terakhir kali, grandma. Walaupun aku tetap dengan pendirianku untuk tidak menikah lagi ..."
"Dan Rey?" Milan bertanya dengan menaikan alisnya.
"Seiring bertambahnya usia, Rey akan mengerti. Aku yakin itu."
Milan menghela nafas. Ia tidak mau ikut-ikutan memaksa Reagan seperti yang lain. Milan hanya mengangguk kecil dengan senyuman di wajahnya.
"Om kejar om ..." kaki kecil Rey menendang bola dan meminta dua anak buah Maxime yang sedang bermain dengan nya untuk mengejar bola tersebut.
Rey berlari untuk merebut kembali bola yang kini menjadi milik salah satu anak buah Maxime.
"Ayo sini kejar kalau bisa!" serunya dengan tertawa.
Karena Rey anak kecil, bukan berarti dua anak buah Maxime itu mau mengalah. Reagan selalu meminta ke mereka jika bermain dengan Rey, jangan membirkan anak itu menang dengan mudah. Karena mendidik agar mau berusaha dan berjuang sangat penting untuk Rey.
Dengan berlari Rey mendengus kasar, ia menambah kecepatan kakinya. Tapi ternyata masih tidak mudah merebut bola itu karena kedua anak buah Maxime mempermainkan bola tersebut dengan saling menendang satu sama lain dan tidak memberikan kesempatan untuk Rey berhasil merebut bola tersebut.
"Yahhhh ...." Rey menghembuskan nafas dengan mengerucutkan bibirnya kala bola tersebut melayang ke luar mansion karena tendangan salah satu anak buah Maxime yang terlalu keras.
"Diam di sini, biar om yang ambil."
"Ah gak mau, Rey aja!" Rey berlari menuju luar gerbang sementara dua pria itu mengikutinya dengan berjalan santai.
*
"Ini kalau telat lagi gabisa ikut kelas! astaga Dee ... kenapa malah kesiangan sih, bunda juga ish kenapa malah pergi ke pasar pagi-pagi engga bangunin Dee dulu!" Dee menggerutu di atas motor.
"Mas, cepetan dong mas!" serunya kepada pria salah satu langganannya mengantar jemput kuliah.
Panggil saja Mas Mail, ojeg langganan Dee dan Ibunya ketika hendak pergi ke suatu tempat.
"Gimana sih, tadi Mas Mail mau ngebut gaboleh. Sekarang di suruh cepet!" teriak Mas Mail yang suaranya hampir tenggelam dengan suara angin.
"Ya cepet tapi pelan gitu, Mas. Dee masih sayang nyawa soalnya, takut nabrak!" Dee ikut berteriak.
"Lah, gimana ceritanya cepet tapi pelan."
"Eh maksudnya cepet tapi aman gitu. Selamat sampai kampus teratai, Mas!"
"Oh gitu ... tenanglah, gini-gini Mas Mail pernah mimpi jadi pembalap. Cepat tapi aman mah bisa. Oke, siap?"
"Satu ... dua ... tiga ..." Mas Mail langsung melajukan motornya dengan cepat pada hitungan ketiga membuat Dee sempat berteriak karena kaget.
"MAS HATI-HATI!" teriak Dee dengan suara parau. Ia hanya memegang helm nya yang takut lepas.
Jalanan menuju kampus Teratai memang cukup kosong karena belum masuk ke jalan besar. Mereka masih di jalanan daerah perkebunan, di sini sepi karena terkenal dengan jalanan keluarga De Willson.
Biasanya Mas Mail membawa Dee ke jalan yang lain karena tidak mau melewati mansion pemimpin mafia tersebut. Tapi masalahnya jalan ini lebih dekat menuju kampus teratai, hanya memakan waktu setengah jam berbeda dengan jalan yang lain, yang bisa memakan waktu satu jam lebih itupun kalau tidak macet.
Salahnya hari ini Dee bangun terlambat membuat Mas Mail terpaksa melewati jalan ini.
Ketika sedang fokus Mas Mail melebarkan matanya kala melihat ada bola di tengah jalan dan ada anak kecil yang berlari untuk menghampiri bola tersebut.
"AWASSSSS!!!" teriak Mas Mail.
"AAAAAAA ..." Dee juga ikut berteriak panik kala menyadari anak kecil itu menyebrang tiba-tiba.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!