Begitu selesai memarkir sepeda motor di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ke dalam gedung Rumah Sakit Jaya Putra. Dua hari yang lalu aku mendapat surat panggilan kerja dari bagian personalia rumah sakit tersebut dan diminta untuk datang menghadap hari ini. Ya...aku telah dinyatakan diterima bekerja di rumah sakit swasta ini. Setelah lulus dari salah satu Sekolah Perawat Kesehatan yang ada di kotaku, dua bulan yang lalu.
Aku segera mencari Ruang Personalia Rumah Sakit Jaya Putra. Begitu sampai di dalam gedung berlantai dua ini. Aku berjalan di sepanjang koridor rumah sakit, sambil membaca papan petunjuk yang terpasang di setiap pembatas ruangan yang satu dengan ruangan yang lain.
"Mas, maaf, saya mau tanya, kalau ruangan personalia itu di sebelah mana ya? Daritadi saya cari kok tidak ketemu." Tanyaku pada seorang cleaning service, yang sedang mengepel lantai di depan Poli Klinik Bedah. Sebab aku sudah berusaha mencari dan melewati beberapa ruangan, tapi belum juga menemukan Ruang Personalia Rumah Sakit Jaya Putra.
Sesaat si cleaning service menghentikan pekerjaannya.
"Dari sini, Mas jalan lurus saja sampai ujung sana, nanti belok ke arah kanan. Nah, di sana ada beberapa ruangan, salah satunya ruangan personalia. Memang baru saja pindah di sana ruang personalianya, Mas." Jawab si cleaning service menjelaskan, sambil menunjuk ke arah depan.
Aku manggut-manggut.
"Terima kasih banyak ya, Mas. Kalau gitu saya langsung ke sana aja." Kataku sembari meneruskan langkah, menuju ruangan personalia. Pantas saja daritadi aku tidak menemukan tulisan yang berbunyi 'Ruang Personalia' di papan petunjuk arah, ternyata memang tempatnya baru saja pindah. Aku kemudian berjalan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Mas Cleaning Service tadi.
Sesampainya di sana, tampak ada 6 buah ruangan lain yang berderet di sebelah Ruang Personalia. Seraya berjalan aku membaca papan kecil yang ada di atas masing-masing pintu ruangan itu. Ruang kepala Rumah Sakit, Ruang Sekretaris, Ruang Keuangan, Ruang Administrasi Umum, Ruang Arsip, dan Ruang Rapat.
Aku kemudian mengetuk pintu Ruang Personalia, lalu membukanya perlahan dan segera masuk, setelah mendengar suara orang berkata “masuk” dari dalam ruangan tersebut.
"Ada perlu apa?" Tanya seorang bapak berkacamata, yang meja kerjanya berada paling dekat dengan pintu.
"Maaf, Pak. Saya Andri. Maksud kedatangan saya ke sini mau memenuhi panggilan kerja dari Rumah Sakit Jaya Putra." Jawabku menjelaskan.
"Ohhh...Yang lulusan SPK itu, ya?" Tanya si bapak berkacamata, yang belakangan aku tahu dia bernama Pak Jarwo.
Aku mengangguk.
"Betul, Pak."
"Silahkan duduk. Coba saya lihat surat panggilan kerjanya." Pinta Pak Jarwo.
Aku lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Pak Jarwo. Kemudian memberikan surat panggilan kerja yang kuambil dari dalam tas.
"Ini, Pak." Kataku, sambil menyerahkan amplop bernuansa coklat. Sejenak Pak Jarwo kemudian membaca surat panggilan surat tersebut.
"Andri, kamu akan ditempatkan di Kamar Mayat rumah sakit ini." Ujar Pak Jarwo, sambil melipat kembali surat panggilan kerja itu dan memasukannya lagi ke dalam amplop.
Aku melongo mendengarnya, sebab sama sekali tak menyangka sebelumnya, kalau akan
ditempatkan di Kamar Mayat Rumah Sakit Jaya Putra. Beberapa saat aku bergeming, sambil berharap kalau aku salah mendengar ucapan Pak Jarwo tadi.
"Gimana, Andri. Apa kamu bersedia menerima tawaran kerja dari kami, untuk ditugaskan di Kamar Mayat?" Tanya Pak Jarwo, membuyarkan lamunanku.
"Saya mohon maaf sebelumnya, Pak. Apa tidak ada ruangan lain yang masih kosong, selain Kamar Mayat?" Tanyaku, mencoba menawar. Barangkali saja Pak Jarwo mau memindahkan aku keruangan yang lain.
Pak Jarwo tersenyum.
"Kenapa?Kamu takut ya, Andri? Masa laki-laki penakut. Lagi pula yang ada di Kamar Mayat itu kan semua orang yang sudah mati, Andri. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Beda dengan orang yang masih hidup. Mereka bisa memukul atau bahkan membunuh." Ujar Pak Jarwo sembari berkekeh dengan nada menggoda.
Aku tersenyum kecut mendengar gurauan Pak Jarwo. Justru karena mereka sudah jadi mayat, itu yang membuat aku menjadi semakin takut, aku menjawab dalam hati.
"Eng... saya tidak takut, Pak. Tapi kalau ada pilihan ruangan lain yang masih kosong, kan tidak ada salahnya kalau saya memilih ruangan yang lain itu." Kataku mencoba berkilah.
"Ya ... ya ... ya kamu benar dan pintar sekali. Tapi sayangnya, cuma ada Kamar Mayat itu ruangan yang masih kosong, Andri. Jadi gimana, kamu mau terima atau tidak pekerjaan ini? Kalau kamu tidak mau, biar nanti saya cari gantinya." Pak Jarwo memberi ultimatum. Kali ini dia tampak serius.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk melepas rasa takut yang menggentayangi jiwa.
Untuk beberapa saat aku masih ragu menerima tawaran itu. Memang betul juga sih, apa yang dikatakan Pak Jarwo tadi, kalau yang ada di Kamar Mayat itu orang yang sudah mati semua. Tapi justru itu yang bikin aku semakin merasa takut dan membakar semua kejantananku.
"Gimana, Andri? Kamu mau terima atau tidak tawaran kerja di rumah sakit ini?" Tanya Pak Jarwo sekali lagi. Tampaknya dia sudah mulai tak sabar. Mungkin, karena masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan.
"Iiii... iya, Pak. Saya mau terima tawaran kerja di rumah sakit ini." Jawabku getir. Meskipun aku sendiri ragu dengan jawaban tersebut.
"Nah ... gitu dong. Jadi laki-laki itu harus berani. Masa sama mayat saja takut. Mulai besok, kamu sudah bisa masuk kerja di rumah sakit ini. Selamat bergabung di Rumah Sakit Jaya Putra, ya, Andri. Semoga kamu kerasan dinas di sini." Kata Pak Jarwo, sembari menjabat tanganku, memberi ucapan selamat padaku.
"Terima kasih, Pak. Jadi besok saya langsung ke kamar mayatnya ya, Pak?" Tanyaku penuh gugup.
"Iya, besok kamu langsung lapor saja ke Dokter David. Beliau penanggung jawab di sana."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi pulang sekarang." Pamitku, seraya beranjak dari duduk, lalu keluar dari Ruang Personalia.
***
Aku lantas kembali menyusuri koridor Rumah Sakit Jaya Putra, bermaksud akan menuju tempat parkir motor, kemudian segera pulang.
Saat beberapa langkah berjalan, aku berpapasan dengan seorang perempuan. Dia mengenakan jas dokter warna putih lengan pendek, sedangkan bajunya berlengan panjang dengan rok di bawah lutut. Sekilas aku sempat melirik perempuan itu dengan ujung mata. Wajahnya amat kirana dan mencuci mata, dengan tinggi badan sekitar 160 cm, usianya mungkin 27 Tahun.
Sesaat perempuan itu tersenyum ke arahku. Tapi entah kenapa, diri ini malah merinding melihat senyumnya yang mistis. Bulu kuduk di tengkuk dan kedua tanganku langsung meremang. Kenapa tiba-tiba aku merinding gini, ya? Aku membatin.
Kamar Mayat
Part 2
***
Aku lalu mengusap leher dan kedua tangan. (siapa perempuan itu ya? Apa dia dokter RS ini. Tapi kenapa tiba tiba aku jadi merinding waktu lihat wajahnya) Karena merasa penasaran, aku kemudian menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. bermaksud akan melihat lagi perempuan yang memakai jas dokter tadi. Tapi ternyata, perempuan itu sudah tak ada lagi. Aku mengucek ucek kedua mata ku, untuk memperjelas penglihatan. Namun perempuan tersebut tetap tak terlihat lagi.
Pandanganku lalu mengitari sekeliling koridor, mencari sosok
perempuan itu. Namun hasilnya
nihil. Dia tak terlihat lagi. Kemana perginya perempuan tadi ya? kenapa cepat sekali jalannya. Padahal sepertinya belum ada lima menit aku berjalan, batinku, seraya masih mencob amencari keberadaan perempuan berjas dokter itu.
"Sedang cari siapa, Mas?" tanya seseorang mengagetkanku. Aku menoleh ke arah datangnya sumber suara. Ternyata si Mas Cleaning service yang ku temui waktu pertama kali datang ke RS ini tadi.
"Oh... Ehh... nggak ada, Mas"
jawabku sambil tersenyum.
Aku lalu meneruskan langkah, menuju ke tempat dimana sepeda motor ku di parkir. Suasana RS
sudah tampak lebih ramai dari waktu awal aku datang. Terlihat
bangku pengunjung yang ada di depan setiap ruangan poli klinik,
semuanya hampir penuh terisi.
***
Keesokan harinya, tepat pukul
tujuh pagi aku sudah berangkat
dari rumah menuju ke RS Jaya Putra. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan yang lalu lalang.
Begitu sampai di pelataran
RS, aku segera memarkirkan
sepeda motor dan bergegas
masuk ke gedung RS Jaya Putra.
Aku lalu mencari letak kamar
Mayat. dalam hati aku merutuki
diri sendiri, kenapa kemarin aku tak menanyakan di mana kamar mayat itu berada. Pada Pak Jarwo atau si Mas Cleaning service itu atau pada orang yang ku temui di RS ini. Jadi hari ini tak harus sibuk mencari lagi.
Segera aku menuju ke
bangunan paling belakang dari RS Jaya Putra. Sebab ingatku,
biasanya kan kamar mayat itu selalu berada di bagian paling belakang bangunan, begitu pikir ku.
Akhirnya aku menemukan
kamar mayat tersebut, setelah berulang kali bertanya kepada beberapa orang pesawat yang kebetulan lewat di koridor RS.
Tok... tok... tok...
Permisi... selamat pagi....
Aku mengetuk pintu yang di
atasnya tertera tulisan 'Kamar Mayat' sambil mengucapkan salam.
tak ada yang menyahut.
Aku mengulangi sekali lagi,
dengan suara lebih keras,
barang kali saja suara ketukan dan salamku tak terdengar dari dalam.
Namun tetap tak ada yang menjawab.
Perlahan aku membuka pintu
kamar mayat itu, lalu masuk , setelah beberapa ku tetap tak
ada yang menyahut dari dalam.
Udara dingin seketika menjalar di
sekujur tubuh. Aku masuk ke
ruangan bagian dalam. Tampak
seorang perempuan memakai jas dokter sedang menulis di atas meja. Aku segera menghampiri.
(Ternyata di dalam ada orang,tapi kenapa dia nggak jawab salamku? Apa mungkin nggak kedengaran dari sini?)
"Selamat pagi, Dok. Saya Andri" sapaku ramah
Perempuan itu mengentikan pekerjaannya. Dia lalu menengadahkan wajah menatapku. Aku melongo, ternyata dia adalah perempuan yang aku lihat kemarin siang di koridor , ketika aku baru dari ruang Personalia. Namanya Dokter Indri, terbaca dari papan nama yang ada di jas putihnya.
"Selamat pagi, Dok. Saya Andri. Saya pegawai baru yang di tempatkan di kamar mayat ini"
kataku memperkenalkan diri sekali lagi, seraya tersenyum.
Dokter Indri tersenyum.
Tiba tiba aku merinding melihat
senyumnya. Aku salah tingkah.
antara takut dan merasa heran.
(Duh ... kenapa aku merinding gini ya, lihat senyum dokter Haji)
"Selamat pagi, selamat datang Andri. semoga kamu kerasan bekerja di sini" kata dokter Indri.
"Maaf, Dok. jadi tugas saya apa ya?" tanyaku.
Dokter Indri menghela napas dalam.
"Tugas kamu di sini di antaranya yaitu memberikan pelayanan jenazah, baik yang datang dari RS ini maupun yang dari luar RS. Membantu memandikan jenazah, membuat surat kematian, membantu dokter melakukan otopsi, juga membantu pemakaman jenazah yang nggak punya keluarga" jawab dokter Indri.
Aku menelan ludah yang
terasa pahit. Tenggorokan tiba tiba
terasa kering. belum apa apa aku sudah membayangkan kejadian horor yang bakal aku alami di kemudian hari. Bagaimana mungkin aku harus memandikan jenazah dan membantu proses pemakamannya, sedangkan melihat mayat saja aku takut setengah mati.
"Apa masih ada yang masih kurang jelas, Andri? Dengan apa yang sudah saya sampaikan tadi" tanya dokter Indri.
"Ehhhh... ohh... nggak, Dok. Saya sudah cukup mengerti dengan apa yang baru saja dokter jelaskan"
jawabku gugup.
"Baiklah... kalau begitu saya
mau keluar dulu ya. Kamu tunggu
di sini. nanti juga teman yang lain
datang" Kata Dokter Indri. Dia lalu
beranjak dari duduk dan pergi
meninggalkan aku sendiri.
Pandanganku mengitari sekeliling ruangan yang berukuran sekitar 64 meter persegi ini.
Tampak ada 3 mayat yang masih
berada di atas brankar. Dengan
kain putih menutupi seluruh tubuh
mereka, dan sebuah kertas kartun
masing masing mayat tersebut.
Dengan perasaan takut yang
teramat sangat, Aku menghampiri
brankar yang paling dekat. Sambil
membaca doa doa, perlahan aku membuka kain penutup mayat itu.
Mayat seorang laki laki setengah baya, yang wajahnya penuh dengan luka jahitan. Aku mengamati wajah si mayat,
dengan degupan jantung yang tak karuan.
Ketika akan menuju ke
brankar berikutnya, tiba tiba
masuk dua orang berseragam
putih seperti yang aku pakai. Usia
mereka tak berbeda jauh denganku. Aku lalu menghampiri mereka.
"Selamat pagi, kak saya Andri. saya di tugaskan di sini oleh Pak Jarwo." kataku sembari memperkenalkan diri
"Wahhh... tambah teman lagi
kita. Selamat datang Andri" Kata Kak Budiman sembari menyambut uluran tanganku.
"Semoga Kamu betah dinas di sini bareng kami, Andri" kata Kak Ilyas seraya tersenyum.
Kamu saling memperkenalkan
diri masing masing. ternyata kak Budiman dan kak Ilyas sudah tiga tahun dinas di kamar mayat.
Mereka alumni SPK yang sama. Dan 3 tahun itu,
mereka belum pernah di pindahkan ke ruangan lain.
"Itu Mayat siapa ya, kak. kok
masih ada di sini" tanya ku.
"Itu Mayat yang belum
di ketahui identitasnya. Korban kecelakaan lalu lintas. Baru datang tadi malam. Jadi belum di ambil oleh pihak keluarga mereka" jawab kak Ilyas
"Terus kalau nggak ada juga
pihak dari keluarga yang ngambil
gimana?" tanyaku lagi.
"Kita tunggu sampai batas
maksimal 2×24 jam. Kalau nggak ada juga yang ngambil, ya kita langsung makamkan" Jawab kak Budiman.
"Yang bantu pemakaman itu siapa, kak?" tanyaku.
"Ya kitalah. Siapa lagi, Tugas kita sebagai penjaga kamar mayat salah satunya memang membantu proses pemakaman jenazah yang nggak di kenal"
jawab kak Ilyas.
Aku tersenyum kecut
mendengarnya. Apa aku akan mampu bertahan dinas di kamar mayat ini ya, aku membatin.
***
Bersambung...
Kamar Mayat
Part 3
***
"Hay! Andri! Kamu kok malah bengong gitu? Kamu takut ya dinas di sini?" tanya kak Budiman sambil menepuk pundak ku, membuat ku sangat terkejut. Dia terkekeh dengan nada mengejek.
"Masa cowo penakut gitu sih. Gimana nanti kalau kamu dinas malam sendirian di kamar mayat ini, bisa bisa kamu malah kabur" kata kak Ilyas menimpali juga sembari terkekeh.
Aku hanya tersenyum masam
mendengar ejekan kedua kakak senior itu. (Apa Kak Budiman sama Kak Ilyas memang sama sekali nggak punya rasa takut seperti aku ya? Apa karena mereka sudah lama dinas di kamar mayat ini ya, jadi sudah nggak takut lagi?)
"Udah ah... Kasihan Andri kalau kita ledek terus. Nanti bisa bisa dia beneran ngompol di celana." kata kak Ilyas. Dia kemudian menuju meja yang ada di sudut ruangan , disusul oleh kak Budiman. Aku mengikuti mereka dari belakang.
"Jadi sekarang apa yang harus saya kerjakan, kak?" tanyaku setelah kak Budiman dan Kak Ilyas duduk.
"Sekarang sih belum ada. nanti kalau ada jenazah baru yang datang, dan perlu otopsi, baru kita bantu dokter David melakukan otopsi " Jawab kak Ilyas
"Kamu lihat lihat saja dulu semua yang ada di ruangan ini, biar paham ada apa saja di dalam kamar mayat ini" titah Kak Budiman.
"Baik,kak" kataku
Aku kemudian mulai melihat sekeliling ruangan kamar mayat tersebut. Di dekat meja dua orang kakak seniorku itu, ada sebuah cermin yang menempel di dinding.
Ukurannya lumayan besar. Cermin itu retak di bagian bawahnya.
Beberapa saat aku memperhatikan
cermin tersebut dan merasa
seperti ada hal yang aneh.
"Kak, ini cermin kok di taruh di sini ya. memangnya untuk apa?"
tanyaku, Kak Budiman berhenti menulis, dia lalu menatapku.
"Dari sejak aku sama Ilyas dinas di kamar mayat ini, cermin itu sudah ada di situ. Dan kami nggak tahu, cermin itu gunanya untuk apa, selain untuk kamu ngaca. Kami juga nggak tahu siapa yang menempelkan cermin itu di dinding" Jawab kak Budiman.
"Udah retak begini kak? kenapa nggak di ganti dengan yang lebih bagus aja ya?" tanyaku lagi.
"Kami nggak tahu juga kalau soal itu. Ya kan, Yas" Kata kak Budiman sembari menoleh ke arah kak Ilyas.
"Kalau mau lihat cermin yang bagus,kamu datang saja ke salon.
semua cermin yang ada di sana pasti bagus bagus. Ada ada saja kamu, Andri" kata kak Ilyas.
sambil geleng-geleng kepala.
Aku diam saja, Tak menanggapi ucapan kak Ilyas, walaupun dalam hati aku membenarkannya.
(Iya juga sih, apa gunanya menaruh cermin yang bagus di kamar mayat. Toh tidak ada juga mayat yang mau bercermin) Aku tersenyum sendiri membayangkan ada mayat yang sedang bercermin.
Aku kembali memperhatikan cermin tersebut. Tiba tiba dari dalam cermin itu, aku melihat tiga sosok mayat yang ada di atas brankar bangun dan duduk. spontan aku menjerit dengan keras saking merasa kaget. Lalu menoleh ke arah mayat itu. Tapi ternyata posisi mereka masih tidur.
"Sssttt... Andri! Jangan berisik! kamu kenapa sih,lihat cermin aja takut!" hardik kak Budiman, sambil menaruh jari telunjuknya di bibir. Sedangkan kak Ilyas memandangku dengan heran.
Aku menelan ludah. "Iya, kak, Saya Minta maaf" kataku.
Kenapa tadi di cermin semua
mayat ini keliatan duduk ya, aku membatin seraya menggaruk kepala yang tak gatal.
Hingga menjelang Dzuhur, Tak ada yang aku kerjakan selain melihat lihat isi ruangan kamar mayat. Pihak keluarga dari ketiga jenazah yang ada di kamar tersebut belum juga ada yang datang untuk mengambilnya.
Aku mulai merasa khawatir
Dan was was. karena kata kak Budiman, kalau sampai besok belum juga ada pihak keluarga dari ketiga mayat tersebut yang datang untuk mengambil, Maka kami sebagai petugas kamar mayat akan menguburkan jenazah tersebut. Diam diam dalam hati aku berdoa, semoga saja besok pihak keluarga dari ketiga jenazah yang ada di dalam kamar mayat ini segera datang untuk mengambilnya.
"Andri, Kami mah ke mushola dulu ya. udah masuk waktu Dzuhur.
kami sekalian mah beli makan siang , kamu jaga di sini. Nanti gantian" Kata kak Ilyas. Dia dan kak Budiman lalu beranjak dari tempat duduk.
"Tapi kak..." kata ku
"Tapi kenapa Andri? Apa kamu takut?" tanya kak Budiman.
Aku menggeleng ragu. "Nggak kok, kak saya nggak takut."
" Ya sudah kalau gitu kami pergi dulu. ngga lama kok" kata kak Budiman.
Mereka berdua kemudian
berlalu dari hadapanku.
(Duhhh ... serem amat ya berada di kamar mayat ini sendirian)
Aku lantas pergi menuju pintu ,
bermaksud akan menunggu kak Budiman dan kak Ilyas di luar kamar mayat saja. Sepertinya jantungku tak akan sanggup jika harus berlama lama di dalam sendirian
Saat akan membuka pintu,
tiba tiba ada yang membukanya terlebih dahulu. Tak lama berselang,
Dokter Indri masuk.
"Kamu mau kemana Andri?"
tanya dokter Indri, ketika di lihatnya aku sedang berada di depan pintu.
"Enggg.... saya mau keluar sebentar , Dok." jawabku sambil berusaha tersenyum. Sebab tiba tiba aku merinding. Entah kenapa
(Kenapa setiap kali aku bertemu dokter Indri kok merasa merinding ya)
"Ohhh... Kamu kenapa Andri?Mukanya kok pucet gitu? Kamu takut ya sama saya? tanya dokter Indri sembari tersenyum.
Aku hanya tersenyum kecut
menanggapi. Aku makin merasa merinding melihat senyum dokter Indri . Bulu kuduk di leher dan kedua tangan spontan berdiri , dan degupan jantungku makin berdetak tak karuan.
"Sudah temani saya dulu
di sini. Nanti kalau teman kamu yang lain sudah datang, baru kamu pergi" kata dokter Indri. Dia lalu menuju mejanya . Dan entah kenapa, aku tak bisa menolak permintaan dokter Indri. Aku lalu mengikutinya.
"Dinas di kamar mayat itu
nggak boleh takut, Andri. Toh yang kita lihat cuma orang yang sudah mati, yang ngga bisa berbuat apa apa." kata dokter Indri, setelah dia duduk. Apa yang dia ucapkan sama persis seperti yang dikatakan pak Jarwo kemarin.
Aku mengangguk. "I...iya Dok" kataku gugup , tanpa berani menatap wajahnya. Aku sibuk menenangkan degupan jantung yang seakan baru berlari kencang, berdetak tak karuan.
"Kamu kenapa nunduk gitu,
Andri? Apa memang benar , kamu takut sama saya?" tanya dokter Indri sembari terkekeh. Membuat aku makin merasa ketakutan.
jantungku seperti mau copot.
"Andri... Andri... kamu itu lucu sekali. Dinas di kamar mayat,
tapi penakutnya bukan main. Ya sudah, Kalau gitu saya keluar lagi saja. Biar kamu bisa jadi lebih pemberani, berada didalam ruangan ini sendirian" kata dokter Indri. Dia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju pintu , masih dengan terkekeh.
Aku hanya diam terpaku ,
melihat kepergian dokter Indri.
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!