NovelToon NovelToon

PELAKOR SEXY HABIISSSS....

PROLOG

Perkenalkan, namaku adalah Luna Heart, seorang gadis cantik dari pulau kecil kebanggaan rakyat. Saat ini usiaku sudah 21 tahun. Tinggi badan berkisar 170 meter dan berat badan sekitar 60 kg. Kulit putih mulus dan bibir merah delima, hidung pasti mancung karena aku blasteran Indonesia, Jepang dan Inggris. Rambut juga sedikit blonde. Aku baru setahun berada di pulau ini. Tidak berlebihan kalau aku katakan bahwa aku jatuh cinta dengan pulau ini. Apa kalian setuju?

Mungkin kalian juga ingin tahu apa pekerjaanku saat ini, tidak jauh dari kuliahku business management los angeles. Kebetulan otakku sedikit encer, jadi terus menerus mendapat bea siswa dan bisa menamatkan kuliah dengan mudah dalam waktu dua tahun di luar negeri. Saat ini aku adalah Manager HRD di sebuah hotel bintang lima di Bali.

Sepertinya manusia tidak ada yang sempurna, akupun begitu. Mungkin aku dalam financial mapan, tapi di dalam percintaan aku gagal total.

Sampai saat ini aku tidak tahu siapa orang tua kandungku, waktu masih orok aku dibuang oleh mereka. Kata mama angkatku, aku di temukan di depan rumah mereka. Warga desa memvonis ku sebagai anak haram yang beruntung. Mereka nyinyir mengutuk Ibu kandungku sebagai manusia tidak bertanggung jawab, perempuan ****** yang tidak punya prikemanusiaan.

Dia malu mengakui ku sebagai anak tapi tidak malu berbuat senonoh dengan banyak lelaki. Aku tidak akan memungkiri bahwa aku anak yang beruntung diangkat anak oleh malaikat sorga. Orangnya bijak, sabar dan penuh tanggung jawab. Tidak akan aku temukan sosok sempurna itu di perempuan lain, apalagi di jiwa Ibu kandungku yang berhati iblis.

Dulu aku sangat egois sering sekali ngambek dan banyak menuntut kepada Ibu angkat ku. Setelah Ibu angkat ku meninggal dan aku diberi tahu siapa sebenarnya diriku, disitu aku sangat menyesal. Aku sangat mencintai Ibu angkatku dengan sepenuh hati, dan dialah panutan hidupku sehingga aku sekarang ini menjadi sukses.

Setelah aku tahu diriku anak haram, sifatku menjadi berubah. Sifat ceria ku tiba-tiba lenyap, aku mulai down jiwa ku sangat terguncang. Aku akhirnya menjauh dan mengambil jarak dari lawan jenis. Satu persatu aku blokir teman ku dari sosial media dan mulai menutup diri serta memandang lawan jenis dengan sebelah mata. Yang lebih parahnya lagi aku moody dan depressed.

Status ku saat ini sebagai anak pungut yang ber lebel anak haram. Sungguh mengharukan, tapi aku tidak peduli pandangan orang lain terhadapku, karena aku tidak pernah berbuat aneh-aneh, apalagi mengikuti pergaulan libral. Aku punya etika hidup dan pandangan ke depan.

Dengan berjalannya waktu aku terus meroket menjadi wanita yang mandiri. Mulailah keluarga bapak angkatku nyinyir menilai hidupku dari sudut pandang mereka. Mereka sibuk mencari sisi buruk dari kesuksesan ku, kadang mereka menyindirku terang-terangan dan mengatakan aku wanita nakal serta peliharaan  "Om-Om" atau menjadi Sugar Daddy. Mereka tersenyum manis di depanku, tapi di belakang menusuk.

Ketika aku menjadi donatur tetap di sebuah panti asuhan mereka juga nyinyir, katanya aku adalah anak haram yang banyak dosa, memang perlu lebih banyak berbuat baik dan bersedekah supaya dapat jodoh. Kata mereka, tidak mungkin ada yang mau denganku apalagi orang berkasta, orang biasa saja akan meludah melihatku.

Capekk dech!!.

"Luna apa yang kamu pikirkan, dari tadi aku berbicara. Aku melihat hari ini wajahmu sangat kusut, jika ada masalah ceritalah, aku siap mendengarnya." kata Dhevale. Mata hitamnya menatapku curiga.

Reflek mataku beralih ke wajah ayu temanku ini. Baru kusadari bahwa selain ada dua temanku ada sosok lelaki yang terus mencuri pandang padaku.

"Apakah kalian melihat sosok pria yang duduk di sudut itu. Matanya terus memandang kesini. Mungkin dia ingin mendekati kalian." ucapku datar.

"Itu Manager baru di hotel sebelah , tentu kamu belum kenal dengannya karena baru seminggu bekerja disana. Dia itu pindahan dari luar negeri. Namanya Stevan, umur 30 tahun." cerocos Valeria tersenyum.

"Rupanya kalian melesat seperti jet, aku salut kepada kalian yang cepat dapat informasi. Tapi maaf aku tidak tertarik padanya." jawab ku datar.

"Luna, aku rasa pandangannya terus mengarah padamu. Tidak salah lagi, dia seolah terbius dengan pesonamu."

"Peduli setan, aku tidak tertarik!!" ketus suaraku membuat kedua temanku saling pandang.

"What happened baby?"

"Biasalah, saudara besar bapakku selalu nyinyir, mereka sekarang baik padaku karena ingin mengambil warisan Ibuku."

"Owh, tapi semua harta itu milik Ibu angkatmu, hasil jerih payah Ibumu. Walaupun kamu anak angkat tapi semua harta sudah di wariskan padamu. Sudah bersertifikat dan sah di mata hukum."

"Aku sudah katakan itu dan mereka mengatakan aku anak haram tidak tahu diri dan kemaruk harta."

"Aku jadi panas, siapa yang berkata begitu? aku ingin tampar mulutnya dan aku remes pakai cabe busuk."

"Saudara bapak yang berjumlah tujuh orang, laki, perempuan sama saja suka ngomongin orang. Aku rasa mereka tidak senang melihat orang sukses dan bahagia. Mereka pada julid. Selama kedua orang tuaku sakit, mereka tidak pernah peduli apalagi mau menengok, giliran aku banyak warisam mereka semua peduli."

"Pergi dari sana, kamu beli rumah baru yang dekat hotel." usul Dhevale tegas. Valeria mengangguk sambil mengacungkan jempol.

"Ini usulan bagus, aku akan pindah. Tolong bantu aku mencari rumah yang budget dua miliar."

"Gampang itu, untuk sementara kamu pindah ke Guest House setelah dapat rumah baru pindah ke rumah baru."

"Iklankan dulu rumahnya setelah laku dan ada yang ngontrak baru pindah." kata Dhevale serius.

Aku mengangguk setuju. Kedua teman ku ini sela',_6,66⁶6,____,''',',___,,___',___________',,','',',,$,7,$$$$%,,''''lu menyemangati, mereka sangat peduli.

Perbincangan kami mendadak jadi macet ketika pria yang bernama Steven itu mendekati kami. Tanpa basa basi aku cepat berdiri seb **,elum pria itu sampai di tempat kami. Aku buru-buru ke kasir, pura-pura tidak tahu.

Sampai di kasir aku melirik dengan sudut mataku dan ternyata kedua temanku masih duduk manis meladeni pria itu. Aku ingin tertawa ngakak ketika Dhevale melotot ke arahku saat aku melambaikan tanganku dan ngeloyor pergi. Ini pertama kalinya aku tega meninggalkan kedua temanku demi menghindari seorang lelaki.

Aku merasa otakku semakin parah, setiap pria yang ingin mendekatiku aku tunjukan permusuhan. Mereka seolah virus dan aku alergi.

Dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju hotelku yang berada di seberang jalan. Sampai di hotel aku langsung menuju ruanganku. Ntah kenapa dadaku merasa sesak dan aku sedikit nervous. Baru saja pantatku menyentuh kursi, Valeria dan Dhevale sudah berada di ambang pintu. Mereka berdua berdiri sambil berkacak pinggang.

"Ada orang tega meninggalkan teman sejati demi ke egoisannya." suara Valeria yang cetar membuat senyumku mengembang.

"Kalian sudah tahu kalau aku alergi buaya. Aku malah sengaja pergi dari situ supaya kalian bebas bertukar nomor whatsapp dengan buaya. Kalau aku ogah..." sahutku mengatur nafas.

"Memang kami berdua bersyukur bisa berbicara dengannya dan kami juga memberi nomor whatsapp padanya. Aku pribadi melihat pria itu sangat serius."

"Hahaha....ternyata pengalaman pahit kalian dalam percintaan tidak membuat kalian kapok. Aku ingatkan jangan terperosok ke dua kalinya ke lobang cinta. Pria itu bullsit, kalau kalian sudah hamil mereka tidak menghormati kalian lagi. Semua janji manis menjadi pahit seperti empedu."

Dhevale dan Valeria hanya senyum- senyum saja mendengar ocehanku. Mungkin mereka sudah bosan mendengarnya. Setiap hari judulnya itu-itu saja. Tentang laki-laki yang menipu perempuan.

"Luna, aku hari ini tidak menginap di rumahmu, aku mau pergi dengan pacarku." ucap Valeria tersenyum.

"Aku juga tidak bisa mampir, malam nanti aku mau dinner dengan keluarga. Maaf ya..." ucap Dhevalee membuat aku curiga.

"Kalian ini ada apa sih? aku merasa kalian akan mempermainkan aku. Tumben Dhevale dinner dengan keluarga, kapan keluarga datang? setahu ku keluarga kalian berada di luar negeri. Kalau memang mereka datang aku ikut datang ke rumah kalian, supaya aku tahu dan mengenal keluargamu." ucapku cepat, karena aku tahu keluarganya di luar negeri.

"Nanti aku undang, aku mau ke ruanganku dulu. Trimakasih kamu9 telah membayar makanan kami. Semoga setiap kita makan ada  buaya datang, sehingga kami bisa gratis terus menerus." ucap Valeria kocak. Aku tidak ikut tertawa dan pura-pura cemberut.

Mereka lalu keluar dari ruanganku sambil tertawa. Sungguh membuat aku curiga. Masalahnya temanku ini sangat jahil, sama sepertiku. Kami bertiga sudah seperti saudara. Aku ketemu mereka semenjak pindah di Bali. Wajah Dhevalee sekilas mirip denganku yang membedakan hanya kulitnya. Dia coklat aku putih.

Aku mulai menyibukan diri dengan laptop ku, setiap hari kerjaan tiada hentinya, kadang sampai lupa kalau sudah sore. Begitulah keseharianku sibuk dan sibuk.

*****

LUNA

SEBULAN TELAH BERLALU

Lagu As It Was dari Harry Styles membuat perasaanku sedikit terhibur. Pemandangan sore hari selalu indah, apalagi di ujung barat langitnya berwarna merah, sangat menggoda mataku.

Sekitar dua puluh menit perjalanan sampailah di rumah besar warisan Ibuku. Pintu gerbang akan terbuka secara otomatis jika mobilku  terpantau oleh camera cctv yang terpasang di pintu.

"Nona, tante Lala tadi kesini ingin bicara masalah penting. Saya sudah bilang nona bekerja tapi mereka memaksa saya." bibi juriah datang menyongsongku yang baru turun dari mobil.

"Mereka siapa?" tanyaku datar. Aku merasa mereka sengaja datang pada saat aku belum pulang dari kerja.

"Apa ada barang yang mereka ambil?"

"Mereka mengambil pohon-pohon bonzai yang berada di pot, karena saya tidak mengizinkan mereka masuk ke dalam rumah."

"Jika bibi tidak sibuk tolong panggil mereka, aku ingin tahu apa maksud dan tujuannya kesini disaat aku kerja. Ini bukan yang pertama kali mereka berbuat begitu."

"Ya nona, sekarang saya kesana." ucap bibi beranjak pergi.

Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran tidak menentu. Belum ada sebulan mama meninggal saudara papaku sudah hampir sepuluh kali datang dengan rayuan sampai bentakan keras demi mendapatkan warisan dari mamaku.

Rumah kami memang berada dalam satu komplek perumahan elite yang saling berdekatan dengan rumah ke tujuh saudara bapak. Kebetulan mama rumahnya di deretan paling depan, pas di hook jalan. Orang tua angkatku yang paling mewah dan luas rumahnya. Itu mungkin yang membuat mama dimusuhi dan aku ditindas.

Kesuksesan orang tuaku karena mereka berbisnis, tapi tidak sombong seperti saudara bapak yang kerjanya julid terus. Aku sebenarnya paling sebel berurusan dengan saudara bapak, hubungan kami juga tidak begitu baik selama ini. Tapi hari ini aku mau bicara dengan mereka, apa sebenarnya maunya.

Sebelum mereka datang aku mandi dulu kemudian membalas beberapa chat dari anak buahku serta teman seantro jagat.

"Tokk...tokk...tokk..."

Suara ketukan pintu membuat kaki ku melangkah ke pintu. Aku segera membuka pintu dan wajah bibi  sudah berada di depanku. Kulihat alisnya mengkerut dan bibirnya manyun.

"Rombongan penjahat sudah datang nona, saya suruh mereka duduk di beranda."

"Ya..aku kesana sekarang." jawabku melenggang ke beranda.

Saat ini aku memakai celana Jeans dan t-shirt hitam. Semua mata di beranda memandang ku dengan senyum di buat-buat. Aku cepat membalas senyum mereka dengan anggukan kepala.

"Hallo Luna, kita menunggumu dari tadi pagi. Ada yang kami harus bicarakan denganmu." kata paman Gunawan lalu berdiri.

"Maaf paman aku baru datang dari kerja, sebaiknya kita bicara di ruang tamu." saranku memandang mereka satu persatu.

"Disini saja tidak apa-apa." suara tante Narsih terdengar ketus. Dari dulu tante Narsih sangat benci pada ku dan manusia itu selalu nyinyir dengan kehidupan ku.

"Ada apa kalian mencariku bahkan rela menunggu ku sampai malam begini? jika ada penting tinggal hubungi aku via whatsapp, nomor ponselku tidak berubah." kataku duduk di sofa.

Aku merasa seperti pesakitan. Mereka sengaja duduk berderet di seberang meja dan menatap ku dengan sinis. Mungkin kalau dulu aku takut dan hormat kepada mereka, tapi sekarang tidak. Aku sudah tahu siapa mereka, manusia munafik yang selalu julid denganku.

"Luna, kamu sendiri pasti sudah mengerti kenapa kami kesini. Tidak lain hanya meminta semua aset kakak ku yang kau ambil." suara paman mulai meninggi. Akupun jadi kesal dibuatnya.

"Sudah berapa kali aku katakan kepada kalian, bahwa seluruh aset sudah atas namaku." aku berusaha menahan marah.

"Kau adalah anak pungut yang tidak berguna dan wanita lagi. Menurut hukum adat, hanya seorang lelaki yang boleh mewarisi kekayaan orang tuanya. Wanita tidak berhak mengambil warisan."

"Masalah itu aku kurang faham, karena pengacara mama yang mengurus, jika paman keberatan silahkan menghubungi pengacara mamaku." kataku mulai merasa tidak nyaman berada di sekitar mereka.

"Kita tahu kau kurang faham, maka dari itu kami kesini menjelaskan bahwa kau tidak boleh mengambil warisan keluarga kami. Kau anak haram yang memalukan, harusnya kau tahu diri, sudah dipungut dan di pelihara malah mau mencuri. Dasar kau gila harta." kata tante Dewi menohok. Tanteku ini adalah adik bungsu papaku.

Mendengar hinaan mereka rasanya aku ingin memberi semua hartaku. Tapi itu tidak mungkin, karena warisan itu hasil jerih payah mama angkatku, bukan warisan leluhur. Jika ini warisan leluhur aku juga tidak sudi mengambil.

"Maaf paman dan tante, aku tidak akan memberi kalian warisan yang sudah dilimpahkan padaku, itu amanah. Dalam wasiat mama sudah tertera tugasku sebagai pewaris dan dana yang aku harus keluarkan tiap bulan."

"Kau ingin mati anak haram." tangan paman tiba-tiba melayang ke wajahku. Aku kaget spontan berdiri dan memekik kaget.

"Plakk...plakk...."

"Haram jadah, perempuan hina, dasar anak durhaka, tabiatmu seperti setan." maki paman emosi. Dia melempar vas bunga yang ada di atas meja.

Aku memegang pipiku yang terasa sakit. Mataku merah memandang mereka satu persatu.

"Aku akan melapor ke Polisi atas tindakan kalian. Kalian telah berbuat melanggar hukum!!" pekik ku marah.

"Hahaha...laporkan kami, sebelum kau melangkah lehermu sudah putus." Om Cakra ikut berdiri, dia sengaja nemperlihatkan tatto yang memenuhi lengannya.

"Kami akan membunuhmu jika kau tidak memberi warisan itu atau rumah ini tinggal abu. Aku tidak pernah main-main."

"Aku tidak takut sama ancaman kalian sepanjang aku benar. Selama ini kalian tidak pernah peduli sama mamaku, setelah dia meninggal kalian tidak tahu malu datang kesini menginginkan harta mamaku."

"Berani kau melawan kami!!" bentak mereka langsung memukulku.

"Ambil gunting, potong rambutnya sampai gundul supaya dia malu keluar rumah." perintah tante Dewi.

"Pergi..pergi..kalian penjahat!!" aku mendengar teriakan bibi.

"Berani kau mengusir kami dasar babu. Randu ikat pembantu itu."

Aku meronta ketika tante Dewi dan tante Narsih menjambakku dan menggunting acak rambutku. Satu persatu mereka berebut memukul, menendang dan menginjak-nginjak tubuhku. Teriakanku hilang pada saat kepalaku membentur meja. Aku tidak merasakan sakit, tubuhku terasa ringan melayang-layang di udara. Sangat tinggi dan melewati pohon-pohon...

GUBUK DIBAWAH BUKIT

Minggu legi di bulan Febroari, aku tersadar, pertama yang aku rasakan kepalaku sakit luar biasa, tubuhku juga ngilu. Aku berusaha mengingat dimana kini aku berada. Aku buka mata lebar-lebar dan memandang sekeliling ruangan yang asing. Leher terasa sakit saat menoleh kesamping.

"Kau sudah sadar?" seorang wanita tua masuk dan menghampiriku. Mata tuanya memandangku penuh tanda tanya.

"Trimakasih." hanya kata itu yang keluar dari bibirku, terasa sakit kalau bicara. Aku sangat haus.

"Aku dan suamiku menemukanmu di jurang dalam keadaan tidak sadar. Kami tidak tahu harus membawamu kemana, biaya juga tidak ada sehingga kami putuskan untuk merawatmu disini."

"Syukurlah kau sudah sadar, berarti Tuhan masih menyayangimu." kata nya sambil memegang dan meneliti tubuhku.

"Seluruh tubuhmu dibaluri parem, makanya luka cepet kering. Kau harus belajar duduk, berjalan, nanti aku bikinin jamu supaya kau cepat sembuh." kata wanita tua itu keluar dari kamar.

Itulah pertemuan pertamaku dengan Ibu Kompyang dan bapak ketut yang baik hati. Mereka tanpa mengenal lelah merawatku dengan tulus iklas.

Hari berganti hari, satu purnama sudah terlewati. Sebulan aku sudah memberatkan Ibu kompyang dan bapak Ketut disini. Mereka sangat telaten merawatku sampai sembuh padahal mereka sangat kekurangan hidupnya. Mereka adalah buruh pemetik Cengkeh.

Setiap hari kami makan nasi yang di campur ketela rambat tanpa lauk, dan sayurnya dari daun-daun yang di petik di sekitar kebun. Pertama kali aku disuguhi makanan itu tidak bisa masuk ke mulutku karena saking jelek dan hambar.

Tapi lama kelamaan aku mulai bisa berhadaptasi, makanan apapun yang dimasak aku makan. Aku jadi tidak peduli rasa, yang penting ada makanan. Tidak perlu manja dan cengeng karena masih banyak orang yang tidak mampu membeli beras. Aku menangis mengingat selama ini sering membuang roti atau makanan. Begini rasanya menjadi orang miskin. bathinku.

Posisiku sekarang ada di bawah bukit, tepatnya di jurang. Tidak ada penduduk, kata Ibu kompyang desa jauh dari sini. Aku sendiri saat ini sudah membaik, mereka juga mencari tukang urut supaya kaki dan tangan yang terkilir cepat sembuh.

Aku sengaja tidak memberitahu siapa diriku sebenarnya supaya identitasku tidak di ketahui oleh orang lain. Keinginan untuk kembali ke rumah saat ini tidak ada, aku trauma di siksa. Mungkin suatu hari aku akan kembali. Ntahlah...

Tubuhku juga banyak bekas luka, rambutku sangat pendek dan hampir gundul gara-gara dipotong acak oleh tante atau pamanku. Aku sekarang sangat berbeda, tidak secantik dan semulus dulu. Tapi aku tetap bersyukur karena hidup.

"Luna kalau kau sudah sembuh pergilah ke kota mencari orang yang menganiayamu, supaya kamu bisa balas dendam." kata pak ketut tempo hari.

"Tidak pak, aku akan tinggal disini saja. Aku tidak punya siapa dikota. Aku anak yatim piatu pak."

"Apakah kau mau jadi pembantu di kota? penduduk desa disini semua ke kota menjadi pembantu." tanya pak Ketut memandangku.

"Tidak, aku ingin disini pak, takut bertemu dengan penjahat itu."

"Kapan kamu bisa menbantu biaya hidup kami jika kamu malas untuk bekerja. Kamu sudah sembuh, dan sangat muda untuk bekerja."

Ohh...aku baru mengerti kalau tujuan mereka menyuruh bekerja karena uang. Aku menangis bukan karena tersinggung mendengar omongan mereka, tapi karena tidak bisa memberi mereka uang.

*****

MENJADI PEMBANYU

Aku memeluk ibu sambil menangis pilu, tidak seharusnya aku menolak usulan mereka. Tanpa mereka, aku pasti sudah mati menjadi santapan binatang.

"Ibu, bapak, aku bertrimakasih atas semua bantuan kalian, aku mau menjadi pembantu bu, semoga ada yang menerimaku." air mataku tumpah tanpa bisa dibendung.

"Kamu marah aku suruh bekerja?"

"Tidak bu, aku sedih meninggalkan kalian. Aku berhutang budi."

"Kami memaksa kamu mencari uang, karena beli obat dan ongkos urut masih ngutang ke orang desa, kamu jangan salah faham." kata pak Ketut memaksa.

"Aku yang salah, aku terlalu bodoh."

Aku sangat maklum, mereka berdua menyelamatkanku tanpa berpikir. Mereka rela berhutang demi aku, demi kesembuhanku. Tentu mereka terus ditagih oleh yang punya uang. Jika mereka menuntut untuk membayar obat itu wajar, karena mereka tidak mampu.

"Ibu, Bapak.. aku mau menjadi babu di kota asal ada yang mengantarku. Aku tidak tahu jalan ke kota."

"Kebetulan anaknya Ibu Suryo yang kaya itu mencari pembantu. Jika kamu bersedia, sekarang juga kita kesana."

Aku mengangguk. Ibu Kompyang memberikan aku kebaya bekasnya dan jarik. Aku disini tidak punya pakaian, pakaian yang ada ditubuh ku waktu itu sudah robek.

"Kamu pakailah ini, semoga cukup." kata Ibu menyerahkan kebaya dan kain.

Aku tersenyum dalam hati, pakaian ini sangat sederhana dan baunya apek. Badanku sekarang memang kurus, jadi baju ibu kompyang bisa aku pakai walaupun pendek dan sempit. Kepalaku aku tutupi pakai kerudung, tidak lupa aku memakai masker. Walaupun Covid-19 sudah hilang kebiasaan memakai masker sudah mendarah daging. Disamping itu aku harus menutupi wajahku, siapa tahu ada yang kenal.

Ibu sendiri yang mengantarmu, bapak akan memetik cengkeh. Kurasa penampilanku terasa aneh, memakai kain dan kebaya serba pndek. Ibu tidak punya cermin jadi aku tidak tahu persis bagaimana aku sekarang. Yang jelas badan ku mengurus dan tidak terawat. Tanganku juga kasar akibat kerja di kebun.

"Bapak aku mohon diri." kataku sedih.

"Pergilah...kalau kamu dapat libur, kamu bisa pulang kesini." jawab pak ketut.

Aku dan Ibu pergi menyusuri jalan setapak. Begini rasanya hidup di hutan, sepi sekali, sepanjang jalan kami diam, aku sebenarnya takut sama ular atau binatang buas yang ada di hutan. Ingin aku berlari supaya cepat sampai di desa, tapi kasihan ibu, lagian aku tidak tahu desanya.

Aku merasa sudah jauh berjalan, mulai ada satu dua orang dan motor yang lewat. Desa berarti sudah dekat, aku merasa seluruh tubuhku basah karena keringat. Panasnya gak ketulungan.

Akhirnya sampai juga di desa, ternyata banyak rumah bagus disini. Mungkin hanya ibu Kompyang yang rumahnya gubuk.

"Kita sudah dekat dengan rumah pak Suryo, kau harus sopan dengan mereka."

"Ya bu aku mengerti." sahutku pendek.

Rupanya Ibu Kompyang terkenal, ada saja yang menyapa, banyak juga fans nya. Salah satu yang menyapa adalah wanita cantik yang berpakaian mewah. Dia baru saja mau naik mobil.

"Hai..Ibu Kompyang mau kemana?"

"Nona Hanun, kebetulan sekali, saya maunya ke rumah orang tua nona."

"Ada apa? siapa ini yang Ibu bawa?"

"Ini keponakan saya, dia ingin jadi pembantu di kota. Saya minta tolong kepada nona untuk mengajaknya ke kota."

"Kebetulan sekali, semenjak Covid saya tidak punya pembantu. Mau kerja di rumah saya?"

"Mau nyonya." jawabku sambil mengangguk.

"Kalau begitu naik ke mobil."

"Nyonya saya minta bayaran di depan, untuk bayar hutang." Ibu memegang tanganku supaya tidak naik ke mobil.

"Oh..jadi Ibu mau jual ponakannya? berapa ibu minta uang?"

"Dua juta bu...." kata ibu malu-malu. Aku kaget, hargaku cuma dua juta. Biasanya gajiku di hotel 25 juta perbulan karena aku salah satu manager.

"Ini saya bayar lunas, berarti ponakan ibu sudah menjadi milik saya."

"Ya nona trimakasih." kats ibu memelukku.

"Bekerja yang rajin jangan aneh-aneh disana." kata ibu terharu. Aku mengangguk.

Kami berpisah. Mobil Brio itu melaju dengan tenang. Nyonya harun tidak bicara sepatah katapun, dia sibuk telponan. Aku sendiri sibuk mengingat jalan, siapa tahu aku bisa kembali kesini.

Karena aku tidak punya jam ataupun ponsel aku jadi mengira-ngira lamanya perjalanan ini. Sekitar satu setengah jam. Aku juga tidak tahu dimana ini. Setahun berada di Bali belum sempat kemana-mana, karena kerja dan ngurusi kremasi orang tuaku.

Mobil memasuki rumah besar berwarna putih, cukup mewah dan modern. Sebelas dua belas dengan rumah mamaku. Ada ibu-ibu menyongsong kami.

"Ini rumahku..kamu bekerja dengan rajin. Jangan berusaha melarikan diri dari sini, kamu sudah saya beli seharga dua juta. Jadi kamu tidak ada gaji." kata nona harun.

"Ya nona.." aku mengangguk pasrah.

"Panggil aku nyonya."

"Ya nyonya." jawabku pendek.

"Bibi, antar Luna ke belakang, kalian berdua saling bantu. Ajarin dia tata krama hidup di rumah mewah. Jangan usil dan panjang tangan. Mulut di jaga, apapun yang kalian lihat, mengerti?!"

"Baik nyonya."

Menempati kamar 3x3 dengan bed yang berukuran 160x180 membuat aku sedikit lega. Semoga saja aku betah menerima sikap nyonya Harun. Aku sering melihat orang-orang kaya baru yang sombong.

"Luna apa kamu tidak punya baju ganti, bibi tidak melihat kamu membawa tas."

"Hanya ini baju yang aku punya." jawab Luna tersenyum.

"Bibi punya banyak daster, kamu boleh ambil dua." kata bibi masuk ke kamarnya. Kamar kami bersebelahan. Tidak berapa lama bibi memberikan aku dua daster.

"Trimakasih bibi."

Beginilah nasibku, setelah aku dijual dengan harga dua juta, sekarang hidupku terpasung di rumah besar ini. Kerja dari jam lima pagi sampai malam, tidak pernah berhenti, ada saja yang disuruh bibi. Memotong rumputlah padahal yang ada di rumah ini cuma Tuan dan nyonya. Tapi seluruh kamar dibersihin tiap hari. Maklumlah pembantu cuma ada dua, aku dan bibi, sedangkan volume kerja sangat tinggi, badanku semakin mengurus.

Suatu hari aku sedang menyapu di lantai atas, samar-samar aku mendengar suara cekikikan nyonya Hanun. Aku berpikir kenapa tuan dan nyonya tidak memakai kamar dibawah saja. Pantesan kamar diatas sering seprei nya acak-acakan rupanya nyonya keliling tidurnya.

Aku tidak peduli apa yang mereka lakukan, yang jelas itu urusan suami istri. Aku cepat-cepat turun menuju dapur mecari bibi.

"Bi..kenapa nyonya tidur di atas?" tanyaku iseng, lebih kepada rasa capek kalau sering naik ke atas membersihkan kamar.

"Ssstttt....itu bukan tuan, nyonya harun bersama pacarnya."

"Aataga!!" aku kaget.

Ternyata oh ternyata, tidak bisa menilai orang dari casingnya. Siapa menyangka, nyonya hanun yang angkuh punya kebiasaan buruk. Aku belum pernah melihat suaminya, karena aku lebih banyak bekerja di belakang, lagi pula selama sebulan ini tuan bolak balik keluar kota, perjalanan bisnis.

"Orang kaya tingkahnya aneh. Kasihan tuan banting tulang ngidupin istrinya." kata bibik.

"Apa tuan tidak tahu kalau nyonya punya selingkuhan?"

"Kalau tahu pasti sudah terjadi perahara, tidak ada orang yang ingin pasangannya berselingkuh."

"Apa tuan jahat atau jelek, sehingga membuat nyonya berselingkuh?"

"Bibi rasa tuan adalah laki-laki sempurna, ganteng, sukses, punya istri cantik. Mungkin karena nyonya belum hamil yang membuat nyonya berselingkuh." kata bibi.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!