NovelToon NovelToon

Mutiara Di Balik Lumpur

Bab 1

Las Vegas, Nevada Negara Amerika serikat terkenal dengan sebutan kota dosa. Kota yang dimana banyak para penjudi, pemabuk, bahkan prostitusi bertebaran di Las Vegas, Nevada.

Las Vegas Adalah kota terpadat di Nevada, Amerika Serikat. Las Vegas terkenal secara internasional untuk industri perjudian, perbelanjaan, dan hiburan. Las Vegas dijuluki Ibukota Hiburan Dunia, yang terkenal karena sejumlah resor kasino dan hiburan sejenis.

Di negara itu pula hidup seorang gadis berusia 23 tahun berkulit hitam bagaikan kedelai malika yang hanya terlihat putih mata dan giginya saja beserta Ibunya yang bekerja sebagai wanita malam.

Ibunya terpaksa menjadi pe*la*cur demi bisa membayar utang-utang mendiang suaminya. Dia bekerja di salah satu mucikari yang tak lain dan tak bukan adalah Kakak dari mendiang suaminya.

Sang anak tak ingin melihat Ibunya terus menerus menjadi wanita malam sampai mengabdikan dirinya pada sang Paman. Gadis itu ingin membebaskan Ibunya dengan cara membayar seluruh utangnya.

Gadis itu bertekad mencari pekerjaan dan keluar dari zona nyamannya meski banyak orang yang menghina dan mencemoohnya. Dan demi bisa membebaskan Ibunya, gadis itu sampai rela menerima tawaran menikah dengan orang yang tak di kenalnya.

Akankah gadis berkulit hitam itu mampu membayar utang Ibunya dan membebaskan Ibunya dari pekerjaan kotornya? Lalu, apa pernikahannya akan seperti harapannya?

Ikuti kisahnya di sini di MUTIARA DIBALIK LUMPUR

******************

"Bian, kalau nanti Ibu tiada, kamu harus menjadi wanita kuat, mandiri, jangan mudah di tindas, dan janganlah kamu merendahkan orang lain, jaga tutur katamu, jaga kesopanan mu dan jaga kehormatanmu sebagai wanita."

"Janganlah kamu ikuti jejak ibu yang terpaksa harus menjadi pe*la*cur. Maafkan Ibu yang tidak bisa memenuhi kebutuhan materi kamu," tutur seorang wanita berusia 40 tahun tapi masih terlihat cantik.

"Ibu mau kemana sampai bilang tiada segala? Dan untuk pekerjaan yang Ibu lakoni, bisakah Ibu berhenti saja! Aku tidak mau Ibu terus-terusan menjadi wanita panggilan sedangkan uangnya Paman yang nikmati," pinta Bian gadis berusia 23 tahun berkulit hitam bagaikan kedelai malika yang hanya terlihat putih mata dan giginya saja.

"Ibu tidak bisa berhenti, Bi. Kalau Ibu berhenti, kamu yang akan di jadikan penggantinya dan Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi. Biarlah Ibu yang menanggung semuanya asalkan hidupmu baik-baik saja tanpa harus mengikuti jejak Ibu."

Bian menggenggam kedua tangan sang Ibu bersimpuh di depan kakinya. "Kita pergi saja dari sini ya, Bu. Kita pergi jauh dari Paman yang jahat itu. Aku tidak mau Ibu kerja seperti itu terus," lirihnya meneteskan air mata kesedihan.

"Tidak, Nak. Ibu tidak bisa pergi sebab Ibu sudah terikat janji padanya. Kalau Ibu pergi, dia akan menjual kamu dan Ibu tidak mau itu terjadi."

"Tapi, Bu..."

"Udah, jangan banyak bicara! Ibu berangkat dulu, pasti Pamanmu sudah menunggu di depan." Rebecca beranjak pergi meninggalkan putrinya sendiri. Dan Bian mengikutinya sambil menatap sendu Ibunya, dia ingin sekali Ibunya berhenti bekerja dan mencari pekerjaan halal.

"Rebecca, buruan keluar! Nanti kita telat, Rebecca, keluar!" Teriak pria bersuara serak yang tak lain dan tak bukan ialah Pamannya Bian lebih tepatnya adik dari Bapaknya Bian.

Ibunya Bian membukakan pintu rumahnya.

"Maaf, saya tadi sedang berpamitan dulu sama Bian." Rebecca melangkah duluan.

"Paman, aku minta untuk tidak memperkerjakan Ibu di tempat terlarang itu! Aku mohon, paman!" Bian mencekal tangan Paman Austin memohon untuk tidak membawa ibunya bekerja.

Rebecca menoleh, "Bi, kamu jangan seperti itu sayang. Jangan mohon-mohon begitu nak."

"Tidak, bu. Aku tidak mau Ibu bekerja jadi pe*la*cur lagi, Bu. Paman, ku mohon lepaskan Ibu."

"Hei anak hitam. Meskipun kau memohon tak akan ku biarkan Ibumu lepas begitu saja sebelum dia membayar lunas hutangnya. Hutang kalian banyak, ratusan juta dan apa kau mampu untuk membayarnya, hah?" sentak Austin.

"Akan ku lakukan apapun demi Ibu asalkan Ibu tidak bekerja di tempat seperti itu lagi!" lirih Bian menangis.

"Bian! Ibu bilang kamu jangan melakukan ini! Biar ibu yang bekerja membayar hutang-hutang Ibu," sentak Rebecca.

"Sudahlah, anak hitam dekil seperti mu tidak akan laku di jual. Kau tidak akan berhasil menggaet pria kaya. Entah anak siapa dirimu sampai seluruh kulitmu hitam semua,, mungkin kau anak salah satu dari pria yang sudah meniduri Ibumu," sindir Austin menghina Bian dan Ibunya.

Deg...

Bian dan Rebecca terdiam membenarkan ucapan Austin. Mereka tidak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya karena ayah kandung Bian bukanlah adik dari Austin.

"Buruan berangkat! Madam Rosa sudah menunggumu di sana." seret paksa Austin memasukan Rebecca ke mobil.

"Bu, tolong berhenti dari kerjaan ini Bu! Paman ku mohon lepaskan Ibuku!" pinta Bian mencegah Ibunya bekerja.

"Diam! Jangan ikut campur urusanku atau Ibumu akan ku habisi!" ancamnya menjauhkan Bian dari mobilnya kemudian ia masuk dan pergi meninggalkan Bian yang menangis mengejar Ibunya.

Rebecca menatap nanar sang anak. "Maafkan Ibu, sayang."

"Ibu... Jangan kerja seperti itu lagi! Ku mohon Bu berhenti! Paman, jangan jual Ibuku lagi!" teriaknya mengejar mobil Austin sampai menjauh tak terkejar.

Bian Almeta, gadis berusia 23 tahun memiliki kulit hitam bagaikan Malika harus menelan pahit dikala ia mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung dari sang ayah.

Gadis itu juga hanya tinggal dengan Ibunya yang bekerja sebagai wanita panggilan di salah satu dis*kotik terkenal di negara Amerika.

Sebenarnya, Rebecca bukanlah wanita seperti itu. Tapi, ia terpaksa bekerja seperti itu setelah suaminya meninggal akibat sakit kanker stadium akhir enam bulan lalu. Rebecca juga harus membayar utang-utang yang yang digunakan untuk berobat suaminya.

Bian Almeta, gadis yang sering dirundung warga akibat perbedaan kulitnya, gadis yang sering di bully oleh teman-teman sekolahnya, gadis yang hidup di lingkungan kotor para pendosa seperti pemabuk, pejudi, bahkan pe*la*cur.

Meski Bian tinggal di lingkungan para pendosa, dia bukanlah wanita seperti mereka yang rela menjajakan tubuhnya di mana saja. Bian juga bukanlah wanita pemabuk apalagi pejudi melainkan wanita yang taat pada agamanya sesuai didikan kedua orang tuanya.

Meski Bian bukan anak kandung dari Ayahnya, namun sang Ayah memperlakukan Bian layaknya mutiara. Kasih sayang sang Ayah sungguh tulus, kasih sayang sang Ayah begitu luar biasa. Mendidik, mengajari, mengayomi sampai Bian menjadi wanita baik Budi pekerti, sopan santun, dan terhormat.

Terbukti dari para penduduk yang tinggal di sekitarnya tidak pernah mengolok-olok Bian terkecuali jika Bian keluar dari dari zona nyamannya maka mereka akan menghina dan mencemoohnya.

Bian tertunduk menangisi kepergian Ibunya berharap kalau sang Ibu berhenti dan hidup sederhana jauh dari tempat kotor ini.

"Bian, kau kenapa menangis di jalan?" pekik seorang wanita membangunkan Bian yang sedang menangis tersedu.

"Carmilla," lirihnya memeluh sahabat terbaik dia.

"Saya tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Paman untuk tidak memperkerjakan Ibu. Saya harus apa, Mill?"

"Saya juga tidak bisa membantumu dan Ibumu, Bian. Kau tahu kan bagaimana kekejaman Paman Austin sang bos penjual wanita? Saya hanya berdoa semoga kalian cepat bisa keluar dari jeratan Paman Austin," ucapnya seraya mengusap punggung Bian.

Bian mengurai pelukannya, menatap nanar wanita sebayanya.

"Satu-satunya cara untuk bisa lepas dari Paman Austin yaitu dengan melunasi seluruh hutang Ibumu dan pergi dari tempat ini sejauh mungkin," lanjut Carmilla.

"Kau benar, saya harus mencari pekerjaan untuk membantu melunasi hutang Ibu. Apapun pekerjaannya akan saya lakukan asalkan itu halal untukku," kata Bian meyakinkan diri untuk mencari pekerjaan keluar dari zona nyamannya.

"Tapi, kalau kamu keluar dari lingkungan ini, kemungkinan akan mendapat hinaan, cemoohan dari mereka," ucap Carmilla was-was.

"Tak mengapa, akan ku hadapi dunia demi Ibu meski hinaan ku dapat. Mulai sekarang, saya harus keluar dari zona ini untuk memulai hidup baru. Saya percaya kalau Tuhan itu ada dan akan menjaga saya dimanapun saya berada," ucapnya yakin.

"Kalau begitu, besok kamu datang ke restoran tempat ku bekerja. Disana sedang mencari pelayan, kamu bisa mencobanya dulu."

Bian mengangguk, tekadnya sudah bulat ingin melepaskan Ibunya dari jerat hutang yang mengharuskan dia menjadi pe*la*cur.

Bersambung.....

Hai.... bertemu lagi di ceritaku yang baru. Semoga kalian suka ya..

Mohon untuk kasil like, komen dan vote seikhlasnya saja. Gak maksa ko... tapi harus hehehe...

Bab 2

"Ibu, Bian sudah memasakan makanan buat Ibu. Bian pamit dulu mau cari kerjaan bareng Carmilla. Doakan Bian semoga Bian dapat kerjaan supaya bisa cepat-cepat bayar utang Ibu dan Ibu tidak bekerja lagi," tuturnya seraya menyematkan tas ke pundak.

"Tapi, Bi. Ibu takut mereka malah jijik dan takut melihatmu. Ibu tidak ingin kamu di perlakukan tidak baik oleh mereka." Rebecca khawatir Bian akan mendapat hinaan orang-orang.

Bian berjongkok di depan Ibunya yang sedang duduk. Tangannya mengambil kedua tangan sang Ibu lalu ia genggam menatap lekat-lekat mata Ibunya.

"Kalau Bian berdiam diri terus, yang ada Bian merasa bersalah membiarkan Ibu terus-terusan menjadi wanita panggilan. Dan, Bian harus berani menghadapi kekejaman dunia karena tidak mungkin selamanya Bian akan bersembunyi terus."

"Maka dari itu, Bian mau mencari kerjaan ke luaran sana. Tak mengapa mereka mau menghina Bian ataupun menatap jijik, akan Bian hadapi."

"Kamu yakin?" tanya Rebecca memastikan berharap anaknya membatalkan niatnya.

"Aku yakin, Bu." Bian melepaskan genggamannya lalu berdiri.

"Bian..." panggil seseorang.

"Tuh, Carmilla sudah menjemputmu. Aku pamit dulu, Bu." Bian menyalami Ibunya dan mencium kening Ibunya.

"Kamu hati-hati ya, semoga segera dapat kerjaan." Doa Rebecca tulus sedih melihat anaknya harus berjuang di saat keadaannya seperti itu.

"Iya, Bu."

*********

Di saat menaiki motor milik Carmilla, mata Bian tak lepas memandangi pemukiman tempat dia tinggal. Untuk pertama kalinya dia keluar dari zona nyamannya dan kemungkin-kemungkinan hal tak terduga akan ia dapatkan di luaran sana.

"Mill, apa mereka akan menerima ku bekerja di sana?" tanya Bian was-was.

"Pastilah, Bi. Bos sendiri yang menyuruhku mencarikan karyawan. Gajinya juga cukup lumayan 400 dolar Amerika."

Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah restoran mewah. Bian terkagum melihat bangunan bertingkat empat itu. Namun, banyak pasang mata yang menatap aneh terhadapnya.

"Lihat deh, kulitnya hitam banget ya."

"Iya, ini jauh sangat hitam bagaikan orang negro."

Bian dan Carmilla bisa mendengar bisikan-bisikan dari mereka.

"Bian," Carmilla menggenggam tangan sahabatnya memberikan dukungan kalau dia bersamanya.

"Aku tidak apa-apa, ini pasti terjadi." Bian tersenyum dan memperhatikan mereka yang juga memperhatikan dirinya.

Carmilla membawa Bian ke dalam.

"Bos nya agak galak, dia sudah menikah, kamu harus kerja yang benar supaya dia tidak marah."

"Bos nya sudah tua ya?" bisik Bian seraya memperhatikan sekitar.

"Masih muda, sekitar 26 tahunan lah. Dia baru menikah 2 bulan yang lalu."

"Mill, siapa yang kau bawa? hitam banget kulitnya?" sindir salah satu teman kerja Carmilla.

"Dia teman saya, tidak mengapa kulitnya hitam asalkan dalamnya putih," bela Carmilla merangkul lengan Bian.

"Hitam gini mana ada dalamnya putih. Kalau dalamnya hitam pasti ada. Eh, dalamnya putih juga ada, tulangnya. Hahahaha..." Mereka tertawa menghina warna kulit Bian.

Bian memejamkan mata, dia berusaha bersabar. Dia sudah janji untuk tidak terbakar emosi, dan dia sudah mengetahui bahwa ini pasti akan terjadi.

"Hei! Kalian jangan menghina dia, dia itu emang putih, cantik, dan dia itu mutiara di balik lumpur. Asal kalian tahu..."

"Milla," perkataan Carmilla di potong oleh Bian. Bian tidak mau membuat masalah dengan orang-orang.

"Biarkan mereka berkata apa, mendingan sekarang kamu ajak aku untuk bertemu dengan HRD nya."

"Astaga, hampir ku melupakan itu. Ayo!" Carmilla membawa Naya bertemu kepala HRD.

Tok.. tok.. tok..

"Masuk!"

"Permisi, Pak." ucap Milla dan pria itu mendongak.

"Oh, kau rupanya. Ada Milla?"

Carmilla memberikan kode kepada Bian supaya ikut masuk. Bian mendadak takut, takut di tolak. Tapi, Milla sedikit menyeret Bian.

"Pak, saya membawa teman saya yang ingin bekerja di sini sesuai yang Anda minta."

Pria itu kembali mendongak, namun matanya sedikit terkejut melihat wanita di sebelah Carmilla.

"Siapa orang hitam ini, eh, sorry. Maksud saya wanita di sebelah kamu ini?"

"Ini Bian yang akan melamar pekerjaan di sini, Pak."

Pria itu manggut-manggut mengerti. "Baiklah, kalau gitu kamu boleh bekerja di sini berhubung kami memamng sedang membutuhkan banyak tenaga kerja. Jadi kau boleh bekerja sekarang juga!"

"Terima kasih, pak. Saya akan bekerja dengan bersungguh-sungguh." Bian tersenyum membungkuk hormat merasa senang bisa mendapatkan pekerjaan.

"Mill, kau kasih tahu apa saja yang harus ia kerjakan!"

"Baik, Pak." Carmilla pun membawa Bian ke bagian belakang restoran.

"Bian, tugasmu melayani pembeli, mengantarkan pesanan, membersihkan meja yang telah di pakai. Dan sekarang kau antarkan pesanan ini ke meja no 11!"

"Baik, makasih kamu sudah membantuku, Mill."

"Sama-sama, kamu kan temanku jadi kita harus saling membantu."

"Orang hitam ini kau jadikan teman, Mill? gak salah tuh? apa kau tidak malu berjalan beriringan dia? kalau kita mah pasti malu. Kulitnya saja jauh berbeda dengan kita.

"Hei..!"

"Sudah, Mill." Bian menggelengkan kepala untuk tidak membuat keributan.

"Aku antar kan ini dulu kedepan." Bian mengambil nampan berisi makanan dan minuman ke depan.

Dia berjalan menunduk tanpa menghiraukan pasang mata yang menatapnya dengan tatapan aneh. Bian tak peduli dengan tatapan itu yang ia pedulikan adalah Ibunya.

Namun, dia malah tak sengaja menabrak seseorang.

Bruuukkk... prang...

"Astaga...! Maaf, maaf, saya tidak sengaja!"

"Dasar pelayan tidak punya mata, kalau jalan tuh pakai mata. Lihat, bajuku sampai basah karenamu. Siapa sih yang sudah memperkerjakan orang hitam ini di restoran ini?" pekik Pria marah bajunya terkena tumpahan air.

Bian menunduk takut, baru pertama kali kerja sudah kena masalah.

"Pelayan! Pelayan!" teriak wanita di sampingnya.

Para pelayan di sana tergesa-gesa menghampirinya.

"Iya, Bu.'

"Siapa yang sudah memperkerjakan wanita hitam ini? lihat, baju suamiku kotor gara-gara dia," pekiknya.

"Ma maaf, Bu. Dia pelayan baru bawaan Carmilla." Jawab salah satu dari mereka yang tadi melihat Milla membawanya.

"Hei, pelayan baru, kau tidak bisa kerja disini. Mulai saat ini kau ku pecat. Bisa-bisanya HRD memperkerjakan wanita hitam dekil bagaikan kacang kedelai hitam ini di restoran ku," sentak Pria yang mengaku bos seraya mengelap baju yang terkena jus.

"Emangnya Anda siapa sampai berani memecat saya? Anda bukan bos di sini jadi jangan seenaknya memecat saya!" jawab Bian mendongak menatap wajah pria itu.

"Kau.. Kau berani melawanku! Pak Darko..." teriaknya menggema menyebutkan nama HRD.

Orang yang di panggil tergesa-gesa menghampiri sebab ia di beritahukan oleh salah satu pelayan yang melihat keributan.

"Iya, Pak Nathan."

"Kau yang menerima wanita jelek ini?" tanya nya memekik membuat gendang telinga mereka tegang.

"I iya Pak. Di dia butuh pekerjaan."

"Kau tidak becus mencari pelayan. Saya tidak mau dia bekerja di restoran saya lagi. Pecat dia! Bilang padanya kalau saya adalah bos di sini!" ujarnya pergi meninggalkan mereka.

"Pecat dia!" pekik wanitanya dan mengikuti suaminya.

"Pak, jangan pecat saya, Pak."

"Saya pecat kamu! Kau sudah mengusik bos disini dan saya tidak mau pekerjaan saya jadi sasarannya kalau tidak memecatmu. Sekarang kau pergi dari sini sebelum bos kembali marah."

"Tapi, pak..."

Pak Darko mengangkat tangan menyerah, diapun beranjak pergi.

Bian menunduk lesu. Baru saja masuk kerja sudah di pecat lagi.

"Bian, aku minta maaf tidak bisa membantumu," tutur Carmilla tidak bisa melawan bosnya.

"Tidak apa-apa, kamu lanjut kerja lagi! Nanti kena marah lagi," kata Bian tersenyum.

"Tapi kamu.."

"Aku baik-baik saja, ku langsung pulang kok."

"Langsung pulang ya! Aku tidak bisa mengantarkanmu." Carmilla merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri." Dan, Bianpun berpamitan. Namun, sebelumnya ia mengganti seragam pelayannya.

Bersambung....

Bab 3

Terik matahari begitu menyengat tubuh wanita berkulit hitam. Sinarnya terasa membakar seluruh raga, panasnya terasa di atas kepala. Dia mendongak ke atas menutupi wajahnya menggunakan tas yang ia bawa.

"Panas sekali, udah hitam tambah hitamlah kulitku ini," gumamnya seraya melangkah.

Banyak pasang mata memperhatikan Bian. Mereka ada yang menatap aneh, menatap jijik, bahkan menatap tajam ke arahnya.

Bian memperhatikan mereka, dia tersenyum ramah namun malah di balas dengan cebikan jijik. Bian sudah menduga kalau ini pasti akan terjadi kepadanya. Dia kembali melangkah mencari pekerjaan.

Matanya melihat sebuah lowongan di rumah makan dan ia mendekatinya.

"Permisi."

"Pergi, pergi! Kami tidak memiliki uang untuk pengemis sepertimu!" Usirnya mengira kalau Bian adalah pengemis.

Bian mengernyit bingung, ia meneliti penampilannya. Kulit hitam, kemeja cokelat, celana jeans panjang hitam, tas selempang usang. Hatinya seketika tercubit, kini ia paham kenapa ibu pemilik warung itu mengira dirinya pengemis.

"Maaf, Bu. Saya bukan pengemis, saya cuman ingin mencari pekerjaan di sini. Siapa tahu Anda membutuhkan seseorang untuk membantu Anda bekerja."

"Saya tidak butuh orang dekil seperti mu. Pergi! Tidak ada lowongan untuk wanita kotor seperti mu." Ujarnya ketus seraya mendorong tubuh Bian.

Bian menunduk tak berani mengangkat wajahnya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya dan permisi pamit.

"Maaf, saya mengganggu waktu Anda. Saya permisi dulu." Bian meninggalkan tempat tersebut berjalan lagi mencari pekerjaan. Demi bisa membebaskan sang Ibu dari jerat hutang, ia akan melakukan apapun dan akan tetap semangat.

Dia mendekati area parkiran mobil yang ada di salah satu tempat pembangunan ruko di sana. Matanya memperhatikan seorang pria yang menurutnya mencurigakan. Bian mendekati pria tersebut ingin melihat lebih lanjut apa yang sedang di lakukannya. Pria itu celingukan berjongkok mengempesi ban mobil milik orang lain kemudian mencongkel jendela kacanya.

"Kau sedang apa?" tanyanya mengagetkan orang itu sampai terlonjak kaget.

Pria itu mengedarkan pandangan, matanya melotot melihat pemilik mobilnya mendekat. Dia ingin kabur malah di cegah oleh Bian.

"Kau mau apa? Pasi kau mau mencurikan kan? atau kau mau membuat celaka pemilik mobil ini?" Bian mencekal bajunya supaya tidak kabur.

"Lepaskan saya Nona! Saya tidak punya urusan dengan Anda. Anda tidak usah ikut campur urusan saya!" sentaknya mendorong tubuh Bian sampai terbentur dan membuat mobilnya berbunyi.

Pemiliknya terkejut. Dia melihat wanita berkulit hitam dan seorang pria. "Hei, kalian mau mencuri ya!" pekiknya mendekati.

Bian terkejut ada orang, dia takut di tuduh macam-macam dan ia malah kabur begitupun dengan prianya yang juga sudah kabur duluan.

"Pencuriiii.... ada pencuri di sini... kejar dia!" pekik pemilik mobilnya mengejar Bian.

"Mana pencurinya, Tuan Abraham?" tanya satpam yang ada di tempat pembangunan tersebut.

"Dia lari kesana, Pak. Ke dalam proyek." Pria itu menunjuk kemana Bian lari dan orang-orang mengejarnya termasuk Tuan Abraham sendiri.

Bian menoleh kebelakang melihat beberapa orang mengejar. Dia segera berlari berharap tidak tertangakap. Saking takut dan gugup, ia sampai ikutan lari.

"Berhenti! Jangan lari kau Nona!" pekik Tuan Abraham.

"Tangkap wanita hitam itu! Jangan biarkan dia lolos!" pekik yang lainnya ikut mengejar paling depan.

Bian menubruk siapa saja yang menghalanginya sampai ia terperosok ke kubangan pasir di tengahnya tergenang air yang di gunakan untuk adukan bahan bangunan.

Bruuukkk....

Bian terjatuh tercebur ke kubangan air tersebut, sampai pasir bercampur semen itu menutupi seluruh wajah dan tubuhnya.

Sudah banyak orang mengkerumuni Bian menatap kasihan. Kasak-kusuk pun mulai terdengar dari mulut mereka.

"Kasihan wanita itu, pasti dia tidak akan bisa lolos dari Tuan Abraham. Diakan ketahuan mau mencuri."

"Itu sih ulahnya, siapa suruh mencuri pasti kena hukum. Apesnya dia malah lari kesini, sudah hitam tambah dekil pula, hahaha." Sebagian darinya ada yang menghina Bian.

Pak satpam, Tuan Abraham dan beberapa penjaga di bangunan tersebut mendekati kubangan pasir tersebut.

"Siram dia pakai air, lalu bawa dia ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!" ujar satpamnya.

Bian berdiri gemetar kedinginan, matanya ia edarkan melihat setiap orang mengkerumuni dirinya. Antara takut, bingung, gugup, malu, semuanya menjadi satu.

Tuan Abraham memperhatikan Bian dengan seksama. Sebenarnya ia tidak yakin kalau wanita ini mencuri sebab tadi ia lebih dulu melihat seorang pria lari duluan setelah mendorong Bian. Namun, orang-orang menyangka wanita ini pencuri disaat ia teriak memanggil pencuri.

Salah satu pekerja disana memutar keran menegang selang dan menyiramkannya pada tubuh Bian. Bian pasrah jika apa yang ia tutupi harus terbongkar. Ini salahnya tidak hati-hati dalam melangkah sampai ia harus terjerumus ke dalam kubangan pasir bahan bangunan.

Perlahan, air itu membasahi tubuhnya menghapus pelan-pelan lumpur yang menempel di tubuhnya menghilangkan warna hitam yang melekat di tubuhnya. Bian menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.

Orang-orang di sana terbengong terutama Tuan Abraham yang tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Warna hitam itu memudar seiring air mengalir deras menyisakan warna putih seputih susu memancarkan cahaya bak mutiara berkilau.

Bian menurunkan perlahan tangannya sehingga memperlihatkan wajah cantik alami. Mereka tak menyangka di balik warna hitam itu tersembunyi warna putih serta wajah yang cantik.

Bian menggigil kedinginan seraya menatap silih berganti mereka yang menatap kagum.

"Cantik sekali, ternyata dia bersembunyi di balik lumpur."

"Kulit hitamnya hanyalah sebuah kebohongan untuk menutupi kecantikannya. Ini sih bagaikan mutiara di balik lumpur."

Tuan Abraham segera mematikan kerannya tak tega melihat tubuh Bian yang menggigil kedinginan. Dia membuka jasnya turun ke kubangan itu menyematkan ke tubuh Bian.

"Kalian bubar! Kerjakan pekerjaan kalian biar wanita ini saya yang urus," kata Tuan Abraham lantang.

"Pak, biar kami yang membawanya ke kantor polisi," ujar satpam di sana.

"Tidak usah, kalian kembali tugas saja."

"Tapi, pak."

"Kerjakan sekarang!" pekiknya tegas.

"Tuan, jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya bukan pencuri, Tuan. Jangan bawa saya!" Bian menangkupkan kedua tangannya menunduk takut dan tubuhnya sudah gemetar.

"Kamu ikut saya dulu, ayo!" ajaknya sudah naik ke atas.

"Jangan bawa saya kekantor polisi, Tuan." lirihnya.

"Saya tidak akan membawamu asalkan ikut dulu denganku. Ayo naik!"

Bian tetap kekeh menggelengkan kepala. Dia tidak percaya pada pria itu.

"Saya tidak akan macam-macam, kalau kamu di sini terus, yang ada kamu semakin kedinginan. Percayalah pada saya kalau saya tidak akan membawamu ke kantor polisi." Tuan Abraham bicara sangat meyakinkan Bian.

Bian perlahan naik dari kubangan tersebut. Ragu-ragu ia mengikuti Tuan Abraham. Dalam hatinya merasa takut pria itu akan macam-macam.

Bersambung.....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!