NovelToon NovelToon

Di Sekitar Kita

Eksistensi

Berbicara tentang keberadaan makhluk tak kasat mata, dunia lain yang berjalan sejajar dengan dunia kita, dan firasat sangat bisa memicu perdebatan karena berbeda pandangan. Sebagian tidak percaya dan menganggap hal tersebut rekaan, karena sulit dibuktikan secara ilmiah. Sebagian lagi percaya, tetapi memilih untuk tidak memusingkannya. Ada juga yang percaya, karena memang mengalami dan merasakan semua hal  yang berkaitan dengan metafisika.

Kita percaya bahwa dunia ini menyimpan banyak misteri. Dunia ini tidak hanya dihuni oleh manusia. Ini bukan tentang keberadaan makhluk asing atau alien yang hidup di planet lain. Ini tentang mereka yang ada di dekat kita, namun tak terjamah.

Terkadang, kita sulit percaya pada hal yang belum atau tidak kita alami. Bahkan ketika peristiwa tersebut dialami pun, kita masih mencoba menggunakan logika untuk mengidentifikasinya.

Tak ada kemampuan yang spesial dalam diri ini. Aku tidak merasa memiliki indera keenam, aku bukan indigo. Atau aku yang menolak untuk mengakui ada anugerah tersebut yang tertanam di jiwa? Aku bahkan, awalnya, tidak tahu kepada siapa berbagai kisah ini.

Merasakan kehadiran sosok yang tidak tampak dalam penglihatan orang lain, merasakan batas hidup seseorang, dan seperti hidup di dua tempat sangatlah tidak mudah untuk dijalani. Aku mencoba terbiasa, meski kerap dilanda kekhawatiran (ketakutan). Aku berusaha tak terprovokasi, tapi justru semakin menimbulkan banyak pertanyaan.

Apakah makhluk halus benar bisa menampakkan diri di hadapan manusia? Untuk apa hal tersebut mereka lakukan? Bagaimana dengan makhluk astral yang bisa membunuh manusia melalui santet atau teluh? Kenapa mereka bisa melintasi dimensi? Lalu, benarkah ada dunia lain yang berjalan secara berdampingan dengan kita? Dunia yang bentuk dan isinya sama dengan bumi, dan aktornya pun kita. Hanya kehidupan kita di dunia tersebut mungkin berkebalikan dengan yang kita jalani saat ini.

Bagaimana juga dengan kejadian seseorang yang sudah meninggal di tahun 2012, lalu kemudian meninggal lagi di tahun 2015. Itu bukan halusinasi, karena turut menyaksikan pemakamannya. Kejadian itu pun terjadi beberapa kali terhadap orang yang ada di sekitar (yang dikenal). Apakah itu Mandela Effect? Mungkinkah yang meninggal sebelumnya bukan dia? Adakah hal yang bisa membuktikannya? Atau yang meninggal dia, tetapi dia yang hidup di dunia paralel?

Akhirnya, semua kejadian lebih banyak diceritakan kepada diri sendiri. Sulit untuk berbagi kepada orang lain, terlebih jika mereka tidak mengalami kejadian serupa. Banyak yang menganggap pengalaman ini karangan, padahal batin terus diguncang. Seandainya bisa memilih, tak ingin rasanya bisa merasakan kehadiran mereka dan tak ingin tiba-tiba berada di tempat yang berbeda.

Hal lain yang juga tidak diinginkan yaitu mendengar alarm kematian seseorang. Tiba-tiba terbangun tengah malam, lalu seperti ada yang membisikkan akan ada orang sekitar yang meninggal dunia di hari itu. Benar, saat fajar tiba terdengar pengumuman ada tetangga yang meninggal. Terkadang juga bisa merasakan kematian berdasarkan citraan orang tersebut.

Entahlah! Bukankah jodoh, rezeki, dan maut itu rahasia Tuhan? Apa ini hanya terkaan dan terjadi secara kebetulan? Tapi mengapa terjadi berkali-kali dan hingga saat ini? Semakin berusaha menemukan jawaban atas setiap peristiwa yang dilalui, justru semakin dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin rumit. Adakah cara untuk berhenti mengalami hal ini? Adakah jawaban yang bisa didapat tanpa sekarat?

Ketika pengalaman dan penalaran berpadu menguji keimanan.

Bab 1: Pertanda

Hidup ini penuh dengan misteri. Semakin coba dipecahkan, semakin mengundang banyak pertanyaan.

Perkenalkan, namaku Arya. Mahasiswa tingkat pertama di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bandung. Dari kanak-kanak, aku sering merasakan hal-hal aneh di sekitarku. Merasakan dan melihat kehadiran mereka yang tak kasat mata, bisa meraba masa depan dan kematian, hingga terkadang seolah hidup di dimensi lain.

Dulu, aku menganggap segala hal supranatural yang aku alami sebagai bagian dari takdir. Aku menjalani hidupku sebagaimana biasanya, dan tak terlalu menghiraukan gangguan yang aku terima.

Namun, semua berubah ketika hijrahku untuk melanjutkan studi mempertemukanku dengan banyak individu. Aku terlibat dalam kisah hidup mereka. Berbagai kejadiaan tak masuk akal semakin gencar menguntit keseharianku. Segalanya menjadi lebih intuitif, memaksaku untuk bergerak dan mengambil tindakan.

Aku tinggal di sebuah kost di belakang kampus. Tempat tersebut merupakan rekomendasi dari hasil pencarian di Google. Reviewnya positif dengan bintang nyaris sempurna, tepatnya 4.9. Lokasinya di sebuah perumahan yang ramai. Bangunannya memiliki 2 lantai dengan total 10 kamar. Setiap lantai masing-masing memiliki 5 kamar. Sayangnya, fasilitas kamar mandi semuanya ada di luar dengan masing-masing 2 unit per lantai.

Aku memutuskan untuk tinggal kost tersebut, karena lokasinya dekat ke kampus dan  harga sewanya cukup terjangkau. Kamarnya pun cukup nyaman. Luasnya 4 x 4 meter, sudah tersedia lemari dan kasur single bed.

Aku pun mendapat jatah kamar di lantai dua, di samping tangga. Tinggal kamar tersebutlah yang tersisa. Jadi, aku tak bisa memilih.

Hanya saja saat menginjakkan kaki di kost tersebut, aku merasakan penghuninya ada lebih dari 10 orang. Maksudnya ada penghuni lain yang tidak mendapat jatah kamar, tetapi bisa berada di tempat mana pun. Aku merasakan ada yang mengamati tapi wujudnya tak tampak. Sudahlah, lebih baik aku menyucikan pikiran dari segala prasangka terlebih dahulu

Pada malam pertama menempati kost tersebut, baru ada 3 penghuni yang tinggal. Sisanya masih di kampung halaman.  Dua dari kami, termasuk aku, merupakan mahasiswa baru yang akan menjalani OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), satu lagi mahasiswa tingkat akhir yang tengah menyusun skripsi. Hanya aku yang tidur di lantai 2. Ada perasaan tidak nyaman yang aku rasakan. Bukan, ini bukan rasa takut.

Hah! Daripada memikirkan mereka, lebih baik aku mandi, kemudian istirahat. Perjalanan dari Tangerang – Bandung cukup melelahkan. Aku berangkat siang hari, dan sampai selepas Maghrib. Sempat terjebak macet cukup lama di Tol Cipularang KM 92 akibat adanya kecelakaan beruntun.

Sekitar jam 10 malam, aku sudah terkapar di kasur. Tidak sempat bercengkrama dengan teman-teman baru, karena kantuk menyerang secara masif.

Meskipun cukup mudah tertidur, namun malam pertama tidur di tempat baru merupakan hal yang selalu sulit bagiku. Terlebih aku sudah merasakan ada penghuni lain yang menetap di tempat ini, namun wujudnya tak terlihat. Aku tak mengusik keberadaan mereka, semoga mereka pun tak berusaha menembus batas dimensi. Harapanku di setiap tempat yang terasa ada aura keberadaan mereka.

Posisi tidurku selalu miring baik ke arah kanan atau kiri. Baru sebentar tidur, aku tiba-tiba merasa pungungku panas. Hanya di bagian punggung saja.

Ruangan pun menjadi gelap. Aku masih belum siap untuk membuka mata dan membalikkan badan. Sementara hawa panas yang semula dirasakan di bagian punggung saja, mulai menjalar ke bagian kaki.

Aku pun membuka mata tanpa membalikkan badan. Apakah sedang mati lampu? Sial! Aku benci gelap. Aku selalu tidur dengan cahaya lampu yang terang.

Aku mencoba merogoh ponselku di atas lemari kayu setinggi 1,5 meter. Ini mengharuskanku untuk bangun. Aku harus lebih dulu menemukan ponselku dan cepat-cepat menyalakan senter. Mereka suka suasana yang gelap.

Rupanya aku tak sadar sudah memindahkan ponselku. Yang tadinya di atas lemari, justru ada di dalam lemari. Aku pun berdiri. Mau tak mau pandanganku secara alami menerawang ke setiap sudut kamar. Mataku begitu saja melihat ke sudut diagonal depan pintu. Aku sudah curiga dari tadi bahwa ada yang mencoba ingin menemani tidurku.

Sosoknya hitam pekat dengan tinggi yang nyaris menyentuh langit-langit kamar. Aku langsung menutup mata sambil fokus mencari ponselku. Hawa panas yang semula hanya dirasakan di bagian tubuh mendadak memenuhi kamarku. Apa ini karena aku ketakutan? Tidak, aku hanya tak mau melihatnya.

Kucoba kembali menoleh ke sudut di mana makhluk itu tadi tampak berdiri. Jantungku berdebar. Ini bukan pengalaman pertama, namun berhadapan dengan mereka tak pernah sedikit pun menyenangkan.

Sayangnya, dia masih ada di situ. Aku pun langsung bergegas meraih gagang pintu untuk segera keluar dari kamar. Aku harus mencari tempat yang terpapar cahaya. Karena ada sedikit kepanikan, aku pun tak mampu menemukan ponselku.

Setelah berhasil keluar, semuanya gelap. Ternyata memang sedang mati lampu. Aku bergegas ke bawah. Setidaknya di luar kost masih ada cahaya bulan yang bisa menyinari.

Aku muak dihadapkan dengan situasi ini terus menerus, bisa merasakan keberadaan mereka. Meskipun jarang melihat wujud mereka secara utuh, namun itu terkadang sudah cukup mengganggu psikisku. Seperti yang barusan terjadi. Hanya sosoknya yang tergambar. Itu bukan halusinasiku. Mereka selalu memberikan pertanda ketika ingin menampakkan eksistensinya.

Salah satu pertanda kemunculan makhluk halus yang kerap aku rasakan yaitu adanya perubahan suhu yang dirasakan anggota badan atau sekeliling tempat yang aku diami. Kejadian ini pertama kali aku alami saat usiaku 10 tahun. Dari situ aku mulai tahu tanda-tanda keberadaan dan kedatangan mereka.

Kala itu di malam Minggu, aku dan temanku berencana lari pagi. Agar bisa berangkat bersama, kami sepakat menginap di rumahku.

Aku memang sering melihat bayangan-bayangan sekelebat dari kecil, tetapi aku tidak terlalu ngeh tentang hal tersebut. Kadang aku berpikir itu hanya citra pandanganku saja. Meskipun di belakang rumahku pemakaman, namun aku selalu berpikir tidak ada orang yang sudah meninggal bisa bangkit lagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Setiap makhluk memiliki alamnya masing-masing.

Sekitar jam 10 malam, aku tak kuat lagi menahan kantuk. Aku pun tidur duluan. Akan tetapi, mimpiku tiba-tiba terganggu. Punggungku terasa hangat dan tempat tidur mendadak seperti menyempit.

Aku tidak mengerti mengapa posisi tidur temanku terus mepet dan mendorong aku ke dekat tembok. Tanpa berbalik badan, aku terus meminta temanku menggeser posisinya.

Permintaanku tak direspon olehnya. Aku pun terpaksa berbalik badan dan mendorong temanku agar mau memberikan aku sedikit ruang.

Sebelum kembali ke posisiku semula, aku sempat memperhatikan jika pakaian temanku berubah. Aku ingat dia menggunakan celana pendek hitam dan kaos biru. Tetapi pas aku dorong, dia menggunakan kain putih dari kepala hingga kaki.

Karena aku masih sangat mengantuk, aku lanjutkan saja tidur. Mungkin kain putin yang dia gunakan untuk menutup tubuh hanyalah sarung yang dia ambil dari rumahnya untuk digunakan sebagai selimut.

Tak lama, temanku kembali mendesak posisi tidurku lagi. Hawa hangat di sekitar punggung yang sempat reda menyeruak kembali dan malah lebih panas. Aku sampai bercucuran keringat.

Masih dengan posisiku yang membelakanginya, aku meminta dia untuk bergeser lagi dengan suara agak kesal. Tetapi ia semakin menempelkan tubuhnya di punggungku. Aku pun pasrah dan melanjutkan tidur saja. Aku pikir lama kelamaan dia juga akan merasa tidak nyaman dan bergeser sendiri.

Besok harinya, aku dan temanku tidak jadi berolahraga. Saat bangun, aku lihat dia sudah tidak ada di tempat tidur. Aku bergegas ke rumahnya.

Setelah mendapati dia ada di rumahnya, aku langsung menginterogasinya tanpa basi-basi.

“Dam, kok lu pulang kagak bangunin gue sih? Katanya kita mau olahraga,” tanyaku kesal.

“Gue udah pulang dari semalam. Emak gue nyusulin. Gue kagak dibolehin nginep soalnya Emak gue takut tidur sendiri,” ungkapnya.

Aku tak lantas percaya jawabannya. “Serius, lu? Jam berapa lu pulang?”

“Iya.” Adam tampak balik kesal kepadaku. “Jam 11-an Emak gue manggil. Gue mau bangunin lu, tapi lu nya udah lelap banget.”

“Lu berani sumpah?”

“Sumpah!” Suara Adam meninggi. “Ngapain juga gue bohong. Emang kenapa sih?”

Aku ragu untuk bercerita, tetapi aku yakin dia tidak berbohong. Memang jika aku ingat lagi, sosok yang mengganggu tidurku semalam tidak tampak seperti dia.

Adam memiliki perawakannya bongsor. Sementara teman yang semalam menemaniku tampak lebih kecil, bahkan sedikit lebih pendek dari aku. Dia menggunakan pakaian serba putih yang mirip jenazah dengan kain kafan.

Temanku tersebut terus bertanya perihal aku yang tampak aneh, sedangkan aku masih berusaha mencerna kejadian yang kualami. Aku pun memutuskan tak melanjutkan pembicaraan tentang kejadian tersebut. Aku merasa dia juga belum tentu percaya dengan ceritaku. Akhirnya, aku pendam sendiri tentang kejadian itu.

Bermula dari kejadian semasa kecil tersebut, pengalaman-pengalaman di luar nalar semakin sering aku rasakan hingga saat ini. Terkadang aku merasakan sangat ketakutan, terkadang pula aku berusaha bersikap biasa. Aku takut, karena kehadiran mereka membawa pertanda yang lain. Aku bersikap biasa, agar tak menjadi beban dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Bab 2: Rasuk

Aku mencoba mengatur nafas setelah kejadian yang barusan dialami. Aku sering sekali berdebat dengan diriku sendiri. Itu hanya ilusi, manifestasi dari imajinasi. Tidak. Itu tidak terjadi satu atau dua kali, tubuhku pun ikut merespon jika ada mereka yang tak kasat mata. Sejujurnya, aku ingin bercerita kepada seseorang tentang hal ini.

“Ya, kok di luar?” Tiba-tiba Mas Bimo, penghuni kost yang sedang menyusun skripsi, menyapaku.

“Lagi nunggu listriknya hidup lagi, Mas. Di dalam pengap dan panas.”

“Iya, nih. Tumben-tumbenan ya mati lampu. Padahal nggak ada hujan, nggak mendung juga. Langit cerah-cerah aja, tapi listrik padam.”

Kami pun hanya berdiri sambil menatap langit cerah. Bintang bertaburan dan bulan cukup terang, meski bentuknya belum membulat sempurna. Tetapi entah kenapa, aku seketika merasa merinding.

“Kenapa, Ya?” tanya Mas Bimo melihat gelagatku.

“Nggak apa-apa, Mas.” Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini kurasakan begitu saja.

“Kamu kedinginan?”

“Nggak, Mas.” Sulit untuk dijabarkan. Ini bukan karena tubuhku gagal beradaptasi dengan suhu (cuaca).

Tiba-tiba terdengar suara perempuan menjerit-jerit. Kami berdua pun langsung berusaha mengidentifikasi dari mana sumber suara tersebut. Sepertinya tidak jauh dari tempat kami. Namun karena gelap, masih agak sulit juga menemukan di rumah yang mana.

“Ulah balik deui ka dieu (jangan balik lagi ke sini)! Indit ka ditu nu jauh (pergi sana yang jauh)!” Perempuan itu terus mengulang kalimat tersebut sambil berteriak. Suaranya cukup lantang terdengar dan semakin keras.

Lalu, ada perempuan lain yang terdengar membuka pagar sambil meminta tolong. Jaraknya sekitar 20 meter dari tempat aku dan Mas Bimo berdiri. Kami pun langsung menghampiri si perempuan itu, diikuti ada beberapa orang yang juga menuju rumah kost tersebut.

“Ada apa ini?” Mas Bimo langsung bertanya.

“Punten Aa (panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua. Atau bisa juga kepada laki-laki dewasa yang belum dikenal), di dalam ada teman saya yang kesurupan. Tolongin Aa!” ucap perempuan itu dengan nada panik dan sambil menangis.

Suasana masih gelap. Untungnya, ketika masuk ke rumah kost tersebut, ada warga yang menyalakan senter di ponsel.

Terlihat perempuan yang kesurupan tersebut dipegangi oleh dua temannya. Namun dia berusaha berontak sambil terus meracau. “Kariditu (pergi sana)!” usirnya.

Salah seorang warga dengan sigap memercikkan air ke wajah si perempuan yang kesurupan diikuti lantunan doa. Aku berusaha mengamati sekitar dan sedikit menepi dari situasi, karena sudah banyak warga yang membantu. Jangan sampai kerumunan justru membuat situasi, terutama untuk si perempuan itu, menjadi tidak nyaman.

Mataku meraba setiap sudut di rumah itu, namun aku tersentak saat melihat ke atas genteng. Aku tidak tahu pasti apa dan bagaimana sosoknya, yang jelas ada sesuatu yang sedang bersandar di toren air yang dipayungi rimbunnya pohon mangga.

Aku refleks berlari ke dalam. Tak sengaja justru menabrak Mas Bimo.

“Kenapa, Ya. Kayak habis ngeliat sesuatu?” Pertanyaan Mas Bimo malah membuatku jadi penasaran. Kenapa dia bisa tahu?

“Nggak, Mas. Nggak ada apa-apa. Cuma mau mastiin kondisi si Teteh (panggilan kepada saudara perempuan yang lebih tua, atau bisa juga kepada perempuan dewasa).

“Oh! Kayaknya udah mendingan.”

Listrik menyala lagi. Aku lihat perempuan yang tadi kesurupan tampak tertidur lemas. Sepertinya dia sudah lebih tenang dan suasana pun kembali kondusif.

Aku, Mas Bimo, dan warga yang membantu kemudian pamit untuk kembali ke rumah masing-masing. Sambutan malam pertama  yang “berkesan” buatku.

Setelah cahaya kembali menerangi, aku dan Mas Bimo kembali ke kamar masing-masing. Semoga lekas bisa menyambung tidur yang terputus, harapku.

Sebelum merebahkan badan kembali di kasur, aku mencari lagi di mana ponselku. Huh! Aku mendapatinya dengan mudah, sedangkan tadi seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul 03.55. Sebentar lagi Shubuh dan fajar menyingsing. Aku pun memutuskan untuk tidak tidur lagi. Waktunya begitu tanggung.

Sembari menunggu fajar, aku terus memikirkan dua kejadian yang menyambut hari pertamaku di Bandung. Tetapi pikiranku lebih fokus kepada si Teteh yang kesurupan itu. Wajahnya menyiratkan emosi yang saling beradu. Sedih, marah, kecewa, kesal, dan putus asa seperti tengah berkecamuk di jiwanya.

Waktu pun bergulir, hingga tak terasa sudah pukul 06.30. Acara OSPEK hari pertama dimulai pukul 07.00. Jalan ke aula 2 menit pun sampai. Masih cukup waktu untuk sarapan. Aku berencana sarapan di kantin kampus.

Mengenakan pakaian putih hitam nan rapi membuatku merasa sedikit lebih tampan. Tak apalah memuji diri sendiri. Aku butuh afirmasi positif untuk menyemangati pekan pertama di kampung orang.

Saat menuruni anak tangga, Dani muncul dengan penampilan yang sama denganku.

“Aku baru mau nyamperin kamu buat berangkat bareng,” terangnya tersenyum.

Kubalas keramahannya dengan langsung mengajak pergi ke kampus. “Ya udah. Yuk berangkat!”

Padahal kami hanya baru bertukar nama, tapi sudah mulai akrab. Begitu pun dengan Mas Bimo. Memang benar, agar sama-sama betah di perantauan, kita harus sedini mungkin menciptakan suasana yang nyaman, baik pertemanan atau rasa kekeluargaan. Tetapi tentang penghuni lain yang menyapaku, semoga mereka tidak seagresif seperti yang ada di pikiranku.

“Kamu udah sarapan, Ya?” tanya Dani saat kami memasuki area kampus.

“Belum.”

“Kita sarapan dulu yuk di kantin.”

Rupanya yang ada di pikiran Dani sama persis denganku. Kami pun menuju kantin untuk mengisi perut.

Di tengah-tengah menyantap sarapan, Dani pun bertanya. “Tadi Shubuh ada apa, Ya? Kayaknya rame banget. Aku mau keluar, tapi nggak sanggup bangun, ngantuk banget.”

“Ada yang kesurupan, Dan,” singkapku datar.

Dani menggoyangkan kepalanya sedikit. “Penghuni kost di pertigaan yang rumahnya ada pohon mangga di sampingnya itu, kan?”

Aku terkejut dengan pertanyaan lanjutan atau konfirmasi yang dilayangkan Dani. Katanya dia di dalam kamar saja. Lalu, kenapa tebakannya bisa tepat?

“Iya, betul. Kok kamu tahu, Dan?”

“Sudah sering di situ mah,” jawab Dani santai. Dia tampak mengenal rumah dan penghuni di sana. “Si Teteh yang kesurupan itu badannya langsing, lumayan tinggi, dan putih, kan?”

“Iya,” tegasku dengan penasaran. Katanya dia mahasiswa baru, tetapi dia bisa tahu banyak informasi di sekitar kost. Aku fokus pandangan untuk mendengar ceritanya.

“Itu teman Kakakku kuliah, satu jurusan dan satu kelas. Semester ini kalau dia nggak bisa menyelesaikan skripsinya, dia bakal di-DO (drop out/ dikeluarkan),” jelasnya.

“Oh! Lalu?” Responku singkat agar Dani menyambung untuk bercerita.

“Kakakku juga baru wisuda kemarin. Nah, kayaknya dia itu depresi. Proposalnya aja ditolak terus, gimana mau ngelanjutin nyusun skripsinya.”

“Kayaknya kamu tahu banyak ya, Dan.” Aku ingin mendengar lebih banyak cerita dari Dani.

“Kakakku kan dulu nge-kost di kamar yang aku tempati sekarang. Aku kalau lagi butuh refreshing, dulu zaman SMA, sering nginep di kost kakakku ini. Apalagi kalau pas musim libur sekolah, biasanya aku habiskan di Bandung.”

Aku kira kakak Dani perempuan, ternyata laki-laki. Ya, karena kost yang kami tempati merupakan kost putra atau khusus pria. Dani terus berkisah,

“Nah, dulu juga pas aku nginep di sini kejadiannya hampir sama. Tiba-tiba ada suara perempuan yang jerit-jerit, waktu itu sih kejadiannya habis Maghrib. Ternyata si Teteh itu. Katanya hampir tiap bulan dia begitu. Tapi dia nggak pernah mau ketika disaranin pindah kost.”

“Jadi si Teteh itu udah tinggal lama di situ?” tanyaku memastikan.

“Ada mungkin 3 tahun. Sebenarnya yang pernah kayak gitu bukan cuma dia aja.”

Aku semakin tertarik mendengar penuturan Dani. “Maksudnya, Dan?”

“Kata Kakakku jarang ada yang betah nge-kost di situ. Soalnya ada aja yang kesurupan. Rata-rata paling bertahan satu semester atau paling lama 1 tahun. Itu pun karena mereka sudah bayar tahunan. Banyak yang nggak berani nge-kost di sana.”

Jika premisku benar, ini bukan tentang makhluk yang bersemayam di rumah tersebut, namun ada kaitannya juga perilaku si Teteh yang seolah tak diperkenankan pergi. Aku lemparkan pernyataan untuk menanggapi dan memancing konfirmasi. “Tapi si Teteh itu bisa sampai 3 tahun di sana.”

“Nah, itu yang aku tanya sama kakakku juga. Tapi dia cuma jawab, nggak tahu juga kenapa”, jelasnya.

“Kamu percaya bahwa orang bisa kerasukan makhluk astral atau jin?” Aku ingin tahu pendapat Dani terlebih dahulu. Jika memang ada celah untuk sharing dengannya, mungkin aku akan bercerita tentang pengalamanku.

“Em…” Dani mengernyitkan dahi. “Aku percaya bahwa ada alam gaib yang dihuni makhluk lain atau jin, tapi kadang aku merasa fenomena kerasukan bisa juga hanya luapan emosi dari si korban. Apa mungkin makhluk astral bisa masuk dan menguasai tubuh manusia, Ya? Menurutmu gimana?” Dani malah balik bertanya kepadaku.

Aku lihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 06.53. “Udah mau mulai nih, Dan. Yuk!”

Aku bukan tak mau menjawab atau berbagi pendapat dengan Dani tentang fenomena kerasukan atau kesurupan, tapi waktunya yang memang belum pas. Kami harus segera menuju aula.

Sepanjang acara pembukaan OSPEK hingga selesai, aku terus memikirkan pertanyaan Dani, Apakah mungkin makhluk astral bisa masuk dan menguasai tubuh manusia? Ini memang pertanyaan yang penuh misteri.

Melihat orang kerasukan seperti si Teteh itu bukanlah hal yang pertama bagiku. Namun, kejadian yang menimpa dia membuat keningku mengkerut. Ditambah keterangan dari Dani yang mengatakan dia mungkin tengah depresi karena belum bisa lulus kuliah.

Dari buku dan artikel yang kubaca, secara medis fenomena kesurupan disebut juga possesion trance disorder. Possesion trance disorder merupakan gangguan yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan identitas atau kehilangan identitas diri dan kehilangan kesadaran dalam mengenali lingkungannya. Orang yang mengalami kondisi tersebut tidak bisa mengontrol diri dan emosi, karena pikiran dan alam bawah sadarnya sulit atau tidak bisa melakukan sinkronisasi. Artinya, peristiwa ini sebenarnya merupakan kategori gangguan mental (disosiatif), bukan karena ada jin yang menempel di badannya.

Faktor yang bisa memicu seseorang mengalami possesion trance disorder yaitu genetik atau keturunan, lingkungan, tekanan psikososial seperti karena kesulitan ekonomi dan kematian orang terdekat (terkasih), trauma yang dialami di masa lalu, dan ketidakmampuan dalam mengelola stress. Tetapi ini dari pandangan medis, sementara tinjauan dari sisi supranatural agak berbeda.

Kita pasti sering mendengar petuah dari orang tua, “Jangan melamun, nanti ada jin masuk ke tubuhmu”. Jin bisa menguasai tubuh kita, karena lemahnya penguasaan diri terhadap jiwa kita sendiri. Memang fenomena supranatural ini masih menciptakan kubu antara yang percaya atau tidak. Untuk mengetahui dan membedakan seseorang mengalami gangguan mental seperti kerasukan/ kesurupan atau benar jiwanya dikuasai jin perlu ada pendekatan atau pengenalan pribadi orang tersebut.

***

Hari-hari berlalu layaknya mahasiswa baru. Aku mulai sibuk mencari materi kuliah atau buku, bersosialisasi dengan teman dan lingkungan, dan mengenal UKM (unit kegiatan mahasiswa) yang akan diikuti.

Gangguan di kost mulai berkurang, namun bukan tidak ada. Aku masih merasakan mereka ada di tangga dan kadang di salah satu kamar mandi. Selama tak melihat wujudnya, aku tidak merasa begitu risih. Ya, mungkin waktu itu mereka hanya ingin memperkenalkan diri saja.

Di satu sisi, pikiranku masih tertuju kepada si Teteh dan rumah kost yang ditempatinya. Hampir setiap hari aku mengamati rumah tersebut, namun tak terlihat ada dia keluar-masuk. Apakah dia pulang ke kampungnya? Atau waktu aku mengamati dia sedang tidak ada di tempat. Entahlah!

Selepas Isya, perutku terasa lapar. Aku pun memutuskan untuk membeli nasi goreng yang mangkal di jalan raya, jaraknya sekitar 100 meter dari kost.

Saat berjalan melewati rumah kost si Teteh, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat dingin di kakiku. Aku pun seketika terkejut. Lalu pandangan mengarah ke pohon mangga. Ya, seperti ada yang menatap dengan wujud hitam besar. Aku langsung mempercepat langkahku. Namun, aku masih mencoba memandang sosok itu sekali lagi untuk memastikan yang aku lihat. Betul, itu bukan bayangan dahan dan dedaunan yang membentuk ilusi. Itu sosok yang sepertinya mendiami tempat tersebut.

Bruk!!! Karena kurang fokus melihat jalan, aku menabrak seseorang.

“Maaf, maaf. Maaf, saya tidak sengaja.” Aku refleks memegang tangan orang itu sambil terus meminta maaf. Anehnya, saat kupegang tanganya terasa panas. Ini seperti bukan panas karena suhu berlebih atau demam. Aku merasakan hal yang lain yang ada pada orang itu.

“Iya, nggak apa-apa kok,” ucapnya tersenyum dengan wajah pucat.

Dia pun melanjutkan perjalanan, sementara aku masih penasaran. Apa dia sedang sakit?

Dia. Ya, benar!  Si Teteh yang waktu itu kesurupan.

Selang beberapa langkah, aku melihat ada sosok yang menumpang di tubuh si Teteh tersebut. Dengan bergidik, aku memanggilnya.

“Teh!”

Dia pun berbalik badan. “Iya A, ada apa?”

Aku bingung bagaimana mengatakannya. Apakah dia akan percaya dengan yang aku katakan? Aku juga merinding ketika merasa ada jin dalam tubuhnya. Dia bukan hanya depresi, tetapi memang ditumpangi makhluk lain. Atau karena tekanan yang dialamilah yang mengakibatkan jin itu bisa memasuki tubuhnya. Setidaknya, aku harus memberinya peringatan terlebih dahulu walaupun mungkin dia akan bingung sesaat.

“Maaf Teh, sebelum Teteh masuk rumah mungkin Teteh bisa cuci kaki dan tangan dulu ya. Masuk dengan kaki kanan, setelah itu ambil wudhu.” Ucapan tersebut begitu saja mengalun dari mulutku.

Dia hanya mengangguk, setelah itu melanjutkan langkahnya kembali. Dia seperti menyimpan banyak kesedihan. Aku seolah merasakan jiwanya yang kalut. Sebagian pikiran, memori, dan kontrol dirinya hilang sehingga memberikan ruang untuk makhluk lain bersemayam di dalam tubuhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!