NovelToon NovelToon

The Newbie Is Too Strong

1. Seorang NPC yang Nekat Mengikuti Misi Player

Masih terngiang dengan jelas di ingatanku tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu di hari itu.  Kala itu, aku beserta ayah dan ibuku tengah asyik-asyiknya bermain di suatu padang rumput yang luas.  Namun tiba-tiba, retakan di langit terlihat lantas menarik dan menelan ayah dan ibuku ke dalamnya.  Di saat itulah, kudengar ayahku berucap,

“Luca, bertahan hiduplah sampai retakan langit berikutnya tiba di tempat ini lalu susullah ke tempat kami berada.”

Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh ayahku sebelum akhirnya mereka berdua lenyap ditelan oleh langit.

“Suatu saat retakan langit akan tiba di tempat ini kah?  Namun, sudah sepuluh tahun aku menunggunya sejak itu, belum juga terlihat sedikit pun tanda-tanda retakan langit berikutnya akan tiba.”  Gumamku dalam hati.

Yah, palingan hari ini juga takkan muncul.  Sebaiknya kusudahi dulu penantianku untuk hari ini pula.  Aku harus segera bekerja, soalnya aku takkan bisa makan hari ini jika tidak bekerja.

Dengan perasaan hampa seperti hari-hari biasanya, menunggu penantian yang tak kunjung datang itu, aku pun meninggalkan padang rumput tersebut lantas bergegas ke guild untuk bekerja.

Ada sepuluh guild di daerah netral bernama Gardenia ini yakni guild swordmen, fighter, shielder, mage, archer, assassin, scout, tamer, cleric, dan alchemist.  Aku adalah seseorang yang bekerja pada guild assassin.  Asal kalian tahu, walau umurku masih terbilang belia yang baru masuk 15 tahun, aku sudah menduduki posisi yang cukup penting di guild kami, yakni sebagai wakil kapten.

Yah, walau bisa dibilang, tugasku tidak ubahnya seperti kacung sang kapten yang senantiasa mengurusi segala keperluannya, dan itu tidak sebatas sebagai asistennya di dalam guild saja, melainkan aku juga harus mengurus segala keperluan pribadinya di rumah.  Singkatnya, aku adalah pembantu serba-bisa sang kapten.

Namun tak mengapa, soalnya sang kapten telah begitu berjasa bagiku.  Sejak kedua orang tuaku tertelan ke langit, dialah yang menggantikan kedua orang tuaku untuk merawatku.  Padahal aku bukanlah siapa-siapanya.  Dia murni mengurusku karena perasaan simpati.

Wajar saja, setidaknya aku harus membalas budi dengan menjadi pengurusnya seperti ini yang sejak naik jabatan menjadi kapten guild delapan tahun yang lalu, dia tampak selalu disibukkan dengan berbagai urusan guildnya bahkan sampai lupa makan dan tidur.  Dan mungkin karena disibukkan untuk mengurusku waktu kecil dulu, dan kini oleh urusan guild, sampai sekarang, sang kapten pun belum juga menikah di usianya yang sudah menginjak 43 tahun.

“Wah, seperti biasa, kantor guild diramaikan oleh para wanderer.”  Ujarku dengan begitu antusiasnya melihat jibunan wanderer assassin yang mendaftarkan misi di guild atau sekadar ingin berlatih untuk meningkatkan kemampuan saja.

Wanderer, itulah istilah buat mereka, yang selalu muncul entah darimana, kemudian juga menghilang entah ke mana.  Tidak jelas asal-usul mereka.  Mereka secara tiba-tiba saja mulai bermunculan sekitar sebulan yang lalu.  Namun mereka punya suatu kelebihan yang amat mengerikan, yakni ketika mereka tewas dalam pertempuran, mereka akan otomatis hidup kembali lantas tersummon di altar guild.

Bisa dibilang mereka itu abadi.  Karena bakat mereka yang spesial itu, kebanyakan misi berbahaya yang bisa mengancam nyawa seperti membunuh monster level tinggi atau inspeksi daerah berbahaya, diserahkan kepada mereka.

Satu hal yang membuatku heran kepada mereka adalah kata-kata tak lazim yang sering aku dengarkan lewat mulut mereka, terutama bagaimana mereka memanggil antara rekan sesama wanderer mereka dan kepada kami warga pribumi.  Player dan NPC, suatu istilah yang sangat asing di telingaku.

Hari ini, sang kapten, Paman Heisel, sebenarnya menugaskan aku untuk mengurus masalah pendaftaran misi para wanderer.  Tetapi ada satu hal yang membuatku terganggu, yakni tentang salah satu laporan tim wanderer yang masuk pada kami yang menyatakan bahwa adanya retakan di langit di daerah Kerajaan Symphonia di barat laut Gardenia yang menelan puluhan ternak di sana.

Aku tidak berharap banyak karena retakan langit itu jauh dari tempat di mana retakan langit yang merenggut ayah dan ibuku berada.  Tetapi seandainya saja, seandainya saja kedua retakan langit itu adalah sama, mungkin saja itu benar-benar dapat membawaku ke tempat di mana ayah dan ibuku berada.

Karena penasaran, kubulatkanlah tekadku untuk mengikuti misi ini, alih-alih kuserahkan kepada wanderer tanpa sepengetahuan Paman Heisel.  Aku pun meminta tolong kepada Kak Derickson, salah satu anggota guild yang memang sudah sering mengurusi masalah administrasi guild berdua denganku, untuk menggantikan aku hari itu menangani sisa wanderer yang belum mendapatkan misinya.

Lantas, di hari itu juga aku mengikuti misi tersebut bersama dengan para wanderer dari guild lain, yakni misi pengintaian tentang penyebab munculnya retakan langit di Kerajaan Symphonia tersebut.

Misi kali ini diikuti oleh perwakilan lima orang dari masing-masing guild berbeda.

“Hai, aku Weckingpeach, player dari guild Swordman, level 21.  Salam kenal.”  Seorang wanderer wanita pun memperkenalkan dirinya dengan ceria.

“Aku Naoya, player dari guild Shielder, level 23.  Salam kenal juga.”  Dilanjutkan oleh perkenalan seorang wanderer pria dengan muka yang agak sedikit jutek.

“Aku Bentong, dari guild Creric, level 22.  Mohon bantuannya.”  Kali ini perkenalan dilakukan oleh wanderer pria yang berpenampilan sedikit lebih muda dengan tampak kikuk, namun ramah.

“Aku Chilivish dari guild Mage, spesialisasiku jurus api dan angin, level 21.  Salam kenal.”  Kemudian yang terakhir memperkenalkan diri adalah wanderer wanita yang berpenampilan mbak-mbak dewasa yang cantik tersebut.

Selesai mereka semua memperkenalkan diri, tibalah giliranku yang kali ini memperkenalkan diri, “Halo, aku Luca dari guild assassin.”  Ujarku singkat.

Bukannya aku ingin merahasiakan kemampuanku atau bagaimana, hanya saja memang aku sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan oleh para wanderer ini, jadi aku tak dapat banyak bicara, terutama tentang apa yang mereka sebut sebagai level itu.

“Eh, kamu level 65?  Itu bohong!  Game ini baru mulai dimainkan sekitar sebulan yang lalu.  Aku saja yang memainkan game ini sekitar 4 jam sehari baru bisa mencapai level 21.  Jangan bilang kalau kamu tidak pernah berhenti memainkan gamenya sejak dirilis?”  Ujar Chilivish tampak heran dengan sesuatu yang disebutnya sebagai level dan game itu terhadapku.

“Tidak, Chilivish.  Lihat keterangan di atas namanya.”  Ujar Weckingpeach sembari menunjuk sesuatu di atas kepalaku yang sama sekali tak terlihat ada apa-apa di mataku.

“Bohong, dia NPC?”  Ujar sekali lagi Chilivish tampak kaget yang entah mengapa ketiga pemain lain juga ikutan kaget karenanya.

Karena kekesalan akibat ketidaktahuanku yang sudah memuncak sampai di ubun-ubun itu, aku pun berteriak dengan kesal, “Ah, sudah cukup dengan level dan NPC.  Sebenarnya apa maksud dari kata-kata itu?”

Baik Chilivish maupun Weckingpeach tampak masih dengan ekspresi yang shok tersebut sehingga tidak dapat menjawab pertanyaanku.  Justru yang menjawab pertanyaanku adalah orang yang tadi kuanggap paling jutek di antara mereka.  Dialah Naoya.

“Anu, Dek Luca.  Sebenarnya, kita ada di dunia game.  Dan istilah NPC itu mengacu pada penduduk asli dunia game.  Sementara level itu adalah ukuran kekuatanmu, semakin tinggi levelmu, maka semakin hebat dirimu.  Karena levemu adalah 65, yang nilainya hampir tiga kali lipat dari punyaku, itu berarti kamu itu sangat sangatlah hebat, Dek Luca.”

Aku selama ini berada di dunia game?  Apa yang orang ini katakan?  Lagipula game itu apa?  Aku sama sekali tidak paham penjelasannya.

2. Seorang NPC yang Terdampar di Dunia Nyata

“Maaf, Tuan Naoya, game itu apa?”  Tanya sang NPC Luca dengan polos kepada player Naoya.

Naoya tergagap karena bingung harus menjawab bagaimana.  Melihat hal itu, Bentong menghela nafasnya sembari menepuk pundak Naoya.

“Naoya, kamu serius berbicara soal itu kepada NPC?  Lagipula mereka tidak akan mengerti apa-apa.  Keberadaan mereka hanya untuk mensupport para player.  Pasti dia juga bertanya seperti itu karena ada error data di programnya.  Mari abaikan saja dia dan lekas selesaikan misi kita.  Aku juga sudah letih dan ingin segera tidur di dunia nyata.”  Ujar Bentong dengan nada pengucapan khasnya yang terkesan imut.

“Ya, kamu ada benarnya, Bentong.”  Naoya setuju atas ucapan Bentong lantas tak menggubris lagi pertanyaan Luca dan bergegas ke portal teleportasi saja untuk segera menuju ke Kerajaan Symphonia.

“Namun, jika sistem sampai menyediakan kita bantuan NPC level 65, mungkin misi ini lebih sulit dari yang kita bayangkan.”  Sekali lagi Bentong mengungkapkan perasaan negatifnya.

“Kamu benar, Bentong.”  Lalu Naoya turut merespon setuju akannya.

“Hah.”

“Hah.”

Sesaat kemudian, mereka berdua pun menghela nafas secara bersamaan.

Luca, juga Weckingpeach dan Chilivish tak banyak berkomentar lagi, hanya mengikuti mereka dari belakang.

Semuanya tak ada yang sadar bahwa mereka baru saja memicu tabu bagi sistem yang menyebabkan munculnya pecahan dimensi dalam bentuk retakan langit tersebut.  Tabu yang disebabkan oleh kecerobohan mereka mengungkap soal dunia luar kepada seorang NPC.  Titik retakan kecil telah berada di balik punggung Luca.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai ke tempat misi.  Namun sebelum menjalani misi, mereka terlebih dahulu harus melewati segerombolan serigala perak dengan bos berlevel 25 di hadapan mereka.

“Tidak ada yang bilang kalau kita harus menghadapi middle bos di misi kita ini.   Aaaaah!”  Sang mage Chilivish ketakutan dengan serbuan para serigala lantas berteriak.

Untunglah ada Naoya yang senantiasa menggunakan perisainya untuk melindungi timnya itu.

“Makanya sudah kubilang, jangan fokus pada peningkatan intelligence melulu.  Perhatikan juga dong agility-mu.  Mau sampai kapan kamu mau jadi beban di tim.”  Ujar Naoya marah kepada Chilivish yang tidak dapat menghindari sendiri serangan musuh.

“Apa boleh buat, aku kan mage, jadi harus memiliki INT yang tinggi.  Lagipula bukankah seranganku itu efektif terhadap musuh karena INT-ku yang tinggi?!”  Balas Chilivish pada komentar Naoya tersebut.

“Intelenjenja?  Agilotte?  INT?  Apa yang mereka ucapkan itu?”  Luca hanya bisa kebingungan atas obrolan dua orang mage dan shielder tersebut.

Dia hanya berfokus pada gerakannya saja saat ini untuk mengalahkan para serigala perak beserta dengan bosnya.

“Srak, srak, srak!”  Dalam sekejap, Luca menghabisi para kroco dengan gerakan assassin-nya yang elegan hingga hanya tersisalah bos berlevel 25 itu di padang rumput tersebut.

Pada saat sang monster serigala perak menerjang dan hendak mencakar Luca dengan kuku-kukunya yang tajam, Luca melompat dengan indah dan dengan sigap menusuk sang bos di area belakang kepalanya yang menyebabkan kematian mendadak bagi sang bos.  Mereka berlima pun selamat dari ancaman gerombolan serigala perak tanpa ada satu pun yang terluka.

“Wah, gerakan apa itu tadi?  Benar-benar luar biasa!  Kudengar assassin memang memfokuskan stat mereka di agility, tetapi tak kuduga akan sehebat ini.  Hei, memangnya berapa stat agility-mu?”  Dengan tampak semringah, Weckingpeach memegang kedua tangan Luca yang membuat pipi pria lugu itu merona.

Luca hanya menggumam dalam hati, “Makanya apa agilotte yang sedari tadi kalian bicarakan itu?”

Namun, tanpa disangka-sangka, peristiwa itupun terjadi.  Pecahan kecil dimensi di belakang Luca yang awalnya berukuran lebih kecil dari debu hingga takkan ada satu pun yang dapat melihatnya jika tidak diamati baik-baik, tiba-tiba saja membesar, lantas menyeret Luca ke dalamnya.

***

Luca pun tersadar.  Masih teringat jelas di ingatannya tentang dirinya yang tiba-tiba tertarik ke belakang yang membuat Weckingpeach dan yang lainnya berlarian untuk segera menyelamatkannya, namun tidak berhasil karena awan gelap lebih dulu menutupi sekeliling tubuhnya.  Tidak, tepatnya gerbang dimensi tertutup duluan sebelum rekan-rekannya itu meraih tangannya.

“Kapten!  Kapten Judith!  Anak ini telah tersadar.”  Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria yang membuat kesadaran Luca mulai kembali.

“Oh, syukurlah.”

“Kapten Judith, ke mana kita akan membawa anak ini?  Haruskah aku mengantarnya ke rumah sakit?”

“Jangan!  Anak ini bukan berasal dari dunia ini.  Kita tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika kita membawanya ke rumah sakit sembarangan.  Tolong bantu aku saja membawanya ke rumahku.  Akan kuhubungi dokter pribadiku nanti.”

“Baiklah, Kapten!”

Setelah mendengarkan obrolan dari kedua orang itu, Luca tak dapat lagi menahan kantuknya lantas sekali lagi tertidur.

***

“Ukh, di mana ini?”  Luca mengusap kedua matanya begitu dia terbangun dari tidurnya.  Di sisinya telah menunggu seorang tante yang terlihat sangat ramah dengan senyum di wajahnya.

“Anda siapa?”  Tanya Luca penasaran.

“Mungkin agak ribet menjelaskannya.  Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa bilang bahwa kamu adalah sepupuku, soalnya ayahmu adalah pamanku.  Pasti agak ribet dimengerti kan kalau aku adalah sepupumu padahal aku sudah setua ini.  Maka untuk saat ini, cukup panggil aku dengan Tante Judith saja.  Pertama-tama, kamu ganti bajulah terlebih dahulu.”

Seraya mengatakan hal tersebut, Judith pun keluar untuk sementara dari ruangan itu demi memberikan ruang bagi pemuda yang sedang berada di masa-masa pubertasnya di mana sangat sensitif jika bagian tubuhnya dilihat oleh lawan jenis untuk berganti pakaian.

Setelah beberapa waktu, Judith kembali masuk untuk melihat apakah Luca sudah berganti pakaian.  Namun nyatanya, pemuda itu masih tetap menggunakan pakaian lusuhnya.

Karena penasaran, Judith pun bertanya, “Lho, Luca, kamu belum berganti pakaian?  Apa pakaian itu tidak sesuai seleramu?”

Luca pun menggeleng hebat terhadap pertanyaan Judith tersebut sembari berkata, Tidak kok, Tante.  Pakaiannya sangat sangat indah dan bagus.”

Melihat reaksi Luka itu, Judith semakin penasaran lalu kembali bertanya, “Terus kenapa kamu belum memakainya?”

“Anu, itu, sedari tadi aku mencoba memanggil sistem tetapi papan sistem tidak muncul-muncul juga sehingga aku tidak bisa mengganti pakaianku.”  Jawab Luca polos.

Judith serta-merta menepuk jidatnya pangling, seraya bergumam, “Ah, dia benar-benar anak dari dalam game.”

“Anu, Luca, sekarang kita tidak berada lagi di dunia game.”

“Dunia game?  Apa itu Tante?”

Judith terdiam sejenak untuk berusaha memilih kata-kata yang tepat, yakni kata-kata yang akan mudah dipahami oleh Luca yang bagaikan alien di tempatnya sekarang itu.

Setelah memutuskannya, Judith pun kembali berujar, “Jadi, tempatmu tinggal itu disebut dunia game.  Kamu tidak perlu paham dulu apa itu dunia game.  Yang jelas Luca harus paham bahwa Luca saat ini berada di dunia yang sangat berbeda dari dunia di sana.  Jika kita ingin mengganti pakaian kita di sini, kita harus melepaskannya sendiri dengan kedua tangan kita tanpa bantuan dari sistem.”

“Oh, aku paham, Tante.”  Jawab Luca.

Luca pun perlahan membuka baju dan celananya.  Hal itu serta-merta membuat Judith berespon menutup matanya lantaran malu melihat tubuh terbuka lawan jenis, terlebih itu adalah anak di bawah umur.

Namun sayangnya, Luca yang baru pertama kali membuka pakaiannya dengan kedua tangannya sendiri tanpa bantuan sistem itu, benar-benar membukanya dengan cara yang ekstrim.  Dia menggunakan bilah pisaunya untuk merobek pakaiannya itu untuk melepasnya.

“Luca?!  Ya ampun!  Apa yang kamu lakukan?!  Sini biar Tante yang ajari kamu dulu bagaimana caranya mengganti pakaian.”  Dengan panik, Judith menghentikan Luca yang terlihat di matanya saat itu sedang melakukan hal yang sangat berbahaya dengan memainkan pisau di tangannya.

“Sayang, sudah waktunya makan malam.  Kok kalian belum turun juga?”

Naasnya, di waktu yang tidak tepat itu, sang suami malah membuka pintu kamar di saat tubuh terbuka Luca terekspos dan Judith sedang berada di atasnya sembari memegangi kedua tangan pemuda yang lugu tersebut.

Melihat hal tersebut, kacamata sang suami pun menjadi pecah.

3. Seorang NPC yang Mengetahui Kematian Orang Tuanya

“Sayang, teganya kau berpaling dariku karena jagung muda.  Pantasan kau tiba-tiba membawa seorang pemuda masuk di rumah kita dengan alasan kerabat jauh, padahal kutahu seluruh kerabat dirimu, namun tidak ada dirinya.  Jadi, jadi itu alasannya.  Kutahu diriku sudah tak muda lagi, jadi tak pantas lagi buatmu.”

Sang suami merajuk tersedu-sedu begitu melihat istrinya berada dalam posisi di atas seorang pemuda polos yang pakaiannya setengah terbuka.

“Sayang, kamu salah paham!  Bukan begitu kejadiannya!”  Judith lantas berlari dengan cepat untuk menangkap tangan sang suami yang hendak kabur.

“Sudahlah, lepaskan!  Apalah arti aku tuh di matamu.”

Namun, sang suami menampik tangan istrinya itu dengan perasaan perih seperti teriris-iris.  Sementara Luca yang menyaksikan semua kejadian itu, hanya menonton dari jauh sembari mengambil keripik kentang yang disiapkan Judith untuk Luca sebagai cemilan di kamarnya.

“Aku hanya menyukai pria berkacamata!”  Seketika Judith berteriak.

Hal itu lantas mengembalikan sang suami ke kesadarannya, lalu dia pun akhirnya menatap kembali wajah istrinya dalam linangan air mata.

“Kamu tuh salah paham, Sayang.  Jadi tuh kejadiannya gini,” lalu Judith pun menceritakan tiap detail kejadian yang terjadi.

“Jadi begitu.  Luca adalah anak dari dunia lain sekaligus sepupumu dari paman yang pernah kamu ceritakan terjebak selama 42 tahun di dunia lain itu.  Aku sekarang paham.”  Ujar sang suami setelah mendengarkan ucapan istrinya itu.

“Anu, sayang, aku berharap kamu merahasiakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada anak kita sendiri, Nina.  Aku hanya berharap, tidak ada yang tahu identitas Luca sehingga dia bisa hidup bahagia tanpa sentimen apapun tentang asal-usulnya.”

“Aku paham, Sayang,  Untuk saat ini, biar aku yang menggantikan pakaian Luca dan mengajarinya bagaimana berpakaian.”

Setelah itu, Judith pun keluar kamar sejenak, meninggalkan suaminya dan Luca berdua di kamar.  Tidak lama kemudian, Judith masuk kembali untuk bersama-sama mereka berdua turun makan malam.

Pasca makan malam, Judith akhirnya menceritakan kepada Luca soal apa yang terjadi pada kedua orang tuanya setelah mereka terpisah 10 tahun lalu tersebut.

Ayah Luca pada akhirnya dapat bertemu kembali dengan kedua orang tuanya yang telah menunggunya begitu lama.  Bagaikan suatu keajaiban, kakek dan nenek Luca dapat bertahan hidup selama itu hingga hampir berusia 100 tahun.  Mungkin juga didukung oleh keinginan kuat kakek dan nenek Luca untuk dapat melihat kembali anak mereka untuk yang terakhir kalinya.

Beberapa hari setelah reuni bersama ketiga anggota keluarga itu, atau empat jika kita juga menghitung ibu Luca, kakek Luca pun mengembuskan nafas terakhirnya.  Kemudian nenek Luca segera menyusul suaminya itu 2 hari setelahnya.

Setelah kematian kedua orang tuanya, ayah Luca hidup berbahagia bersama istrinya dalam tubuhnya yang masih tampak berusia 25 tahun, padahal sejatinya telah berusia 72 tahun karena penundaan proses penuaan selama berada di dalam dunia virtual.  Sayangnya, untuk sebab yang tak diketahui, mereka berdua meninggal dalam damai pada waktu yang hampir bersamaan lima tahun setelahnya.

Luca mendengarkan cerita tentang ayah dan ibunya itu dengan seksama.  Hati Luca terasa begitu perih setelah mengetahui kenyataan tersebut.  Dia terlambat menyusul kedua orang tuanya.  Andai saja dia dapat menemukan jalan ke dunia nyata lima tahun lebih cepat, dia pasti sudah dapat melihat kembali wajah kedua orang tuanya, walaupun itu hanya untuk kebersamaan dalam waktu singkat.

Tanpa sadar, air mata menetes, membasahi pipi Luca.  Judith pun merangkul pemuda polos itu, menenangkannya dalam dekapannya.

Keesokan harinya, Pak Rowin, menyuruh anaknya, Nina, untuk mengintip ke kamar Luca perihal sudah hampir jam 7, Luca belum juga keluar kamarnya.  Bisa saja itu karena dia hanya telat bangun, tetapi bagaimana pun Pak Rowin yang berkepribadian sensitif, khawatir jika terjadi sesuatu apa-apa pada Luca.

Nina yang merupakan anak baik dan penurut itu jika di rumah, segera melaksanakan perintah sang ayah tanpa komplain sedikit pun.  Akan tetapi, Nina tetap kembali ke bawah seorang diri tanpa membawa Luca turut bersamanya.

Judith yang penasaran pun bertanya, “Lho, Nina, kok sendiri?  Luca-nya mana?”

“Oh, katanya dia lagi sakit perut, Bu.  Jadinya tidak bisa ikut sarapan bersama kita.”  Jawab Nina dengan sopan kepada ibunya.

“Luca sakit perut?”  Judith pun bergumam.

Jika orang yang dia tahu sedang sakit perut adalah orang lain, mungkin pikirannya takkan travel ke mana-mana seperti ini.  Tapi apa yang sedang mereka bicarakan adalah Luca, si anak dengan cara berpikir yang sedikit unik.  Mau tidak mau, Judith menjadi was-was karenanya.

“Oh ya, kalau dipikir-pikir, kemarin Luca tidak tahu caranya berpakaian karena normalnya di dunia game, karakter cukup berganti pakaian dengan menekan tombol pada papan sistem pada pilihan pakaian sesuai yang ingin dikenakan oleh karakter.”

“Begitu pula, jika mendapatkan pakaian baru, karakter cukup memegangnya saja sembari berpikir ingin menyimpannya di sistem, maka secara otomatis, pakaian tersebut akan tersimpan di sistem dan akan muncul dengan sendirinya di bagian pilihan menu.”

“Di dunia game, karakter juga tidak perlu mencuci pakaiannya karena ketika pakaian disimpan ke dalam sistem, maka noda di pakaian akan otomatis hilang dengan sendirinya.”

“Selama di game, aku sama sekali tak tahu bagaimana caranya NPC buang air besar atau kecil.  Aku sering melihat mereka makan, tapi tidak untuk kegiatan yang satu itu.  Hmmm, tapi tidak mungkin Luca sebodoh itu seperti yang kupikirkan kan?”

Karena khawatir, Judith pun meminta izin kepada suaminya untuk melihat keadaan Luca di atas.  Pak Rowin pun mengizinkan istrinya itu, lalu Judith pun bergegas ke atas.

Sesampainya di kamar Luca, Judith menyaksikan Luca yang mengerang kesakitan sembari memegangi perutnya.

“Nak Luca, kamu baik-baik saja kan, Nak?”

“Ah, Tante, aku baik-baik saja.  Perutku hanya sedikit sakit.  Hehehehehe.”

Judith lantas menatap serius ke arah Luca.  Dia pun mendekatkan bibirnya ke telinga Luca seraya membisikkan sesuatu.

Seketika pipi Luca memerah, lalu Judith pun mengantar Luca ke toilet.  Akhirnya, Luca pun keluar dari toilet dengan ekspresi bagaikan seseorang yang merasakan kelegaan luar biasa serasa baru saja terlahir kembali.

“Ya ampun anak ini.  Aku harus lebih mengawasinya baik-baik.”  Gumam Judith sembari memegangi jidatnya.

Karena sakit perut Luca sudah sembuh, akhirnya mereka berempat pun dapat berkumpul bersama untuk sarapan.

Di saat itulah Pak Rowin berucap,

“Nina, bagaimana kalau mengajak Luca jalan-jalan hari ini?  Kamu tidak ikut ekskul mana pun kan di sekolahmu sehingga harusnya kamu senggang seharian di hari sabtu ini.”

“Tapi Yah, pagi ini Nina ingin menyaksikan pertandingan e-sport di warnet Zion.”

“Kamu kan bisa mengajak Luca bersamamu.  Sekalian Ayah berikan uang saku ini agar kamu bisa mengajak Luca jalan-jalan di mall sekaligus membelikannya beberapa pakaian yang bagus.  Sisanya, dapat kamu gunakan untuk membeli make-up atau pakaian yang kamu sukai.  Bagaimana?”

“Ayah memang yang terbaik.  Hahahahahaha.  Serahkan urusan Luca padaku.”  Ujar Nina sembari menerima uang saku dari ayahnya itu yang tampaknya cukup banyak.

Nina mengambil uang itu dengan ceria tanpa sedikit pun menyadari bahwa dia baru saja menyetujui kesepakatan kejam di mana dirinya harus merawat anak dengan otak yang konslet itu seharian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!