Aina membuka matanya perlahan, sekujur tubuhnya terasa remuk ulah tekanan Arhan semalam. Bahkan bagian intinya masih terasa perih hingga saat ini.
Arhan seperti kesetanan menusuk inti Aina bertubi-tubi tiada henti. Bahkan jerit tangisnya tak sanggup menghentikan aksi Arhan yang sudah dikuasai naf-su bejatnya.
Entah karena Arhan merasakan nikmat yang luar biasa saat mengukung tubuh Aina, atau memang permainan Arhan yang selalu beringas terhadap wanita bayarannya.
Dengan langkah tertatih-tatih, Aina berjalan menuju kamar mandi. Gesekan dari pahanya membuatnya meringis menahan sakit.
Di bawah guyuran air yang mengalir membasahi tubuhnya, Aina menangis meratapi nasibnya yang begitu buruk.
Dari kecil hingga saat ini, cobaan selalu datang menghantam kehidupannya tiada henti.
Aina seorang gadis yatim piatu. Sejak kematian kedua orang tuanya pada kecelakaan 15 tahun yang lalu, hanya neneknya lah satu-satunya keluarga yang tersisa di dunia ini. Dan kini neneknya tengah berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit.
Aina menumpahkan semua tangisannya hingga tersedu, dia menggosok tubuhnya kasar mengingat kejadian semalam yang begitu menyakitkan.
Masa depannya sudah hancur, kesucian yang seharusnya dia jaga untuk suaminya kelak, kini sudah dia berikan kepada orang asing yang tak dia kenal sama sekali.
"Nenek, maafkan Aina. Aina terpaksa melakukan ini demi Nenek. Aina hanya ingin melihat Nenek sembuh. Sekarang Aina sudah kotor, Aina menjijikkan. Maafkan Aina Nek, maafkan Aina."
Usai membersihkan tubuhnya, Aina keluar dan melangkah menuju sofa dengan sangat hati-hati. Dia tidak ingin Arhan terbangun dan menghalanginya untuk pergi.
Aina mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen di dalam laci. Sebelum pergi, dia menulis beberapa patah kata untuk Arhan. Tidak terasa, air matanya kembali tumpah membasahi kertas yang ada di tangannya.
Tidak lama setelah Aina menghilang meninggalkan kamar itu, Arhan terbangun dari mimpi indahnya.
Bola matanya mengarah pada kasur yang sudah kosong di sampingnya. Meskipun semalam Arhan melakukannya di bawah pengaruh alkohol, dia bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas.
"Dimana wanita itu?"
Arhan bangkit dari pembaringannya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Namun saat hendak membersihkan tubuhnya, matanya terbuka lebar menatap lekat bagian intinya.
Ada noda darah yang sudah mengering pada batang rudalnya. Hal itu membuatnya syok hingga tersandar di dinding. Arhan mengacak rambutnya kasar dan memukul dinding itu penuh amarah.
"Ya Tuhan, apa yang aku lakukan pada gadis itu? Aku sudah merenggut kesuciannya tanpa sadar."
"Kenapa aku bisa se ceroboh ini? Apa ini hukuman untuk semua dosa-dosa ku yang telah lalu?"
Arhan menyalakan shower, percikan air berjatuhan membasahi tubuhnya. Selang beberapa menit, dia keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
Setelah mengenakan pakaiannya, Arhan mengirai selimut yang menutupi bagian kasur. Matanya seketika membulat dengan mulut sedikit menganga.
Lagi-lagi dia tampak syok melihat noda darah pada permukaan sprei berwarna putih yang menjadi saksi bisu keberingasannya tadi malam.
"Bejat, aku benar-benar bejat. Kenapa aku tidak menyadarinya sedikitpun?"
Dalam pergulatan batin yang mengganggu pikirannya, mata Arhan tak sengaja menangkap sesuatu yang terletak di atas meja.
"Maafkan aku, aku harus pergi. Tidak perlu merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi diantara kita tadi malam. Aku melakukannya murni karena keinginanku sendiri."
Arhan mengeratkan rahangnya kuat, dia meremuk secarik kertas itu penuh amarah lalu melemparkannya ke dinding.
Dengan sorot mata yang sangat tajam, Arhan meraih ponsel yang terletak di atas meja. Dia menelepon Hendru yang merupakan asisten pribadinya. Hendru bertanggungjawab penuh untuk semua ini.
"Halo Tuan," sapa Hendru dari balik telepon yang sudah tersambung.
"Bajingan! Kenapa kau mengirim gadis itu padaku?" tanya Arhan meninggikan suaranya.
"Apa yang salah dengan itu, bukankah Tuan yang memintaku mencarikan seorang wanita? Kebetulan gadis itu datang menemui ku." jawab Hendru dari ujung sana.
"Kau sudah melakukan kesalahan besar Hendru."
"Aku tidak mau tau, cari gadis itu sampai ketemu! Jika perlu kerahkan semua anak buah mu untuk mencarinya."
"Jangan berani menampakkan batang hidungmu di depanku sebelum kau menemukan gadis itu untukku. Atau hidupmu akan berakhir detik ini juga." ancam Arhan, kemudian mematikan sambungan telepon itu secara sepihak.
Arhan meraih jas nya yang terletak pada tampuk sofa. Kemudian berlalu meninggalkan kamar hotel dengan wajah dinginnya.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Arhan tak bisa fokus menyetir mobilnya. Pikirannya kacau, bayangan gadis itu melayang-layang di dalam ingatannya.
Arhan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, raut wajahnya jelas sekali menunjukkan perasaan bersalahnya yang begitu dalam.
"Aku memang bajingan, aku pria bejat. Entah berapa banyak wanita yang sudah aku tiduri selama ini. Tapi aku tidak pernah berniat menghancurkan kepercayaan diri seorang gadis seperti ini."
"Aku sudah mengambil kesuciannya, harta paling berharga dari seorang wanita yang harus dia jaga. Aku bahkan tidak mendapatkan itu dari mantan istriku terdahulu."
Perasaan Arhan semakin berkecamuk, dia mengacak rambutnya kasar lalu memukulkan kepalanya pada permukaan stir.
Arhan pernah menikah dengan seorang wanita karier. Dia menerima keadaan wanita itu apa adanya. Tapi kesetiaan dan kasih sayangnya dibalas dengan penghianatan.
Wanita itu berselingkuh di depan matanya, bahkan beberapa kali Arhan memergoki mantan istrinya keluar masuk hotel bersama pria lain.
Hal itulah yang membuatnya berubah menjadi pria bejat tak punya hati. Dia mulai menyewa para wanita yang rela menghabiskan malam dengannya hingga ketagihan sampai detik ini. Semua dia lakukan untuk membalaskan sakit hatinya.
Di tempat lain, Aina tersungkur lesu di lantai rumah sakit dengan selembar cek yang ada di dalam genggamannya.
Air matanya tumpah tak terbendung usai berbicara dengan dokter yang menangani sang nenek.
Aina terisak meratapi kepergian neneknya yang sudah tutup usia. Pengorbanannya sudah tak berguna lagi saat ini.
Harapan satu-satunya demi kesembuhan sang nenek menjadi sia-sia. Nenek sudah pergi untuk selama-lamanya. Harga dirinya juga hilang dalam sekejap mata.
"Kenapa Nenek pergi meninggalkan Aina sendirian, kenapa? Aina tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Untuk apa semua ini Nek, untuk apa?"
Aina mengguncang tubuh renta neneknya sembari terisak sedu sedan, dadanya sesak. Tidak hanya air matanya yang meluap, tapi air di hidungnya ikut keluar menangisi kepergian sang nenek yang tidak akan pernah kembali.
Isak tangis Aina pecah menggema memenuhi seisi ruangan. Hal itu membuat suster yang sedang mengurusi jenazah sang nenek ikut berkaca-kaca melihat pemandangan memilukan itu.
"Sabar Aina, kamu harus kuat. Seberapa kerasnya kita bertahan, kalau Tuhan sudah menghendaki maka terjadilah."
"Semua sudah diatur, kita hanya bisa menjalaninya. Jodoh, rejeki, maut tidak ada yang tau kapan dan dimana datangnya. Ikhlas adalah kunci terbaik menjalani kehidupan ini."
Suster itu mengusap punggung Aina untuk menenangkannya, berharap Aina bisa mengendalikan dirinya dan ikhlas menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya.
Seminggu sudah Aina mengurung diri di dalam rumah. Dia menjadi lemah, semangatnya hilang, dunianya seakan runtuh seiring kepergian sang nenek yang sudah bahagia di alam sana.
Apalagi mengingat kejadian kelam malam itu, dia tak bisa mengendalikan kesedihannya yang begitu dalam. Dosa itu selalu datang menghantui ingatannya.
"Sudah Aina, Nenekmu sudah tenang di sana. Jangan memberatkan kepergiannya dengan sikapmu yang seperti ini, kamu harus kuat!"
"Bangkit Aina! Tidak ada gunanya meratapi takdir yang sudah Tuhan gariskan untukmu, masa depanmu masih panjang." ucap Nayla, sahabat satu profesi dengan Aina.
Nayla menjenguk Aina yang sudah seminggu tidak datang ke kafe. Sebagai seorang teman, Nayla ikut prihatin melihat keadaan Aina yang benar-benar terpuruk kehilangan sandaran hidupnya.
Mereka berdua bekerja di Batavia kafe sebagai seorang penyanyi dan MC. Sejak 1 tahun lalu, keduanya mulai akrab karena sering mengisi acara bersamaan. Persahabatan itu akhirnya berlanjut hingga saat ini.
"Malam ini ada acara penting di kafe, Bu Ranti menyuruhku menjemputmu. Kita berdua diberi kepercayaan untuk mengisi acara tersebut."
"Aku tau kamu masih berduka, tapi kamu tidak boleh berlarut-larut seperti ini. Aku yakin Tuhan punya rencana lain dibalik ini semua."
Nayla memeluk Aina yang terlihat sangat rapuh, hal itu membuat Aina menumpahkan air matanya di dalam dekapan Nayla.
"A, aku takut Nayla. Bagaimana bisa aku menjalani kehidupan ini tanpa Nenek, setelah kepergian Ayah dan Ibu, hanya dia satu-satunya keluargaku yang tersisa."
Tangisan Aina pecah mengingat sosok sang nenek yang sangat dia rindukan.
"Aku tau bagaimana perasaanmu saat ini, aku juga pernah merasakan hal yang sama denganmu. Kita tidak bisa menolak takdir, garis tangan kita sudah diatur olehNYA. Ada aku di sini, kamu tidak sendirian." ucap Nayla.
Aina memeluk Nayla dengan erat, perlahan tangisannya mulai mereda di dalam dekapan sahabatnya itu.
"Sudah ya, jangan sedih lagi! Kita akan menghadapi semua ini bersama-sama." tambah Nayla.
Aina melepaskan pelukannya, ucapan Nayla barusan ibarat obat penawar untuk dirinya, kini Aina bisa bernafas dengan lega.
……………
Sore harinya, Aina bersiap-siap di depan cermin. Dia memoles wajahnya yang pucat dengan peralatan makeup yang dia miliki.
Nayla ikut membantu mendandani mata Aina yang masih sembab. Sedemikian rupa Nayla berusaha agar Aina terlihat cantik dan anggun hingga tak ada lagi raut sedih di wajahnya.
"Cantik sekali, aku yakin malam ini kamu akan menjadi pusat perhatian semua orang. Sukur-sukur ada seorang pengusaha kaya yang terjerat dengan kecantikan mu." goda Nayla sembari tersenyum.
"Apaan sih, siapa juga yang mau dengan gadis miskin seperti aku?" jawab Aina, kemudian tersenyum dengan manisnya.
"Jodoh tidak ada yang tau, semua perkara hati, bukan status." tambah Nayla.
"Ah sudahlah, untuk apa membahas itu? Lebih baik pesan taksinya sekarang, nanti kita telat!" ucap Aina mengalihkan pembicaraan.
Nayla mengeluarkan ponselnya dan segera memesan taksi online. Mereka harus tiba lebih awal sebelum para tamu berdatangan menghadiri pesta yang diadakan oleh seorang pengusaha ternama di kota itu.
Sekitar pukul 6 sore, Aina dan Nayla sudah tiba di Batavia kafe. Keduanya disambut hangat oleh Ranti, wanita cantik pemilik kafe tersebut.
"Aina, terima kasih sudah mau datang untuk mengisi acara ini. Aku tau kamu masih berduka, bukannya aku tidak peduli padamu, tapi aku benar-benar membutuhkanmu untuk acara ini." ucap Ranti.
"Sama-sama Bu, harusnya aku yang minta maaf. Selama seminggu ini aku tidak pernah datang, tapi Ibu masih berbaik hati menerimaku bekerja di sini." jawab Aina.
"Tidak masalah, aku sangat mengerti keadaanmu saat ini. Sekarang pergilah ke dalam, kalian bisa latihan sebelum tamu penting kita datang!" ucap Ranti.
"Baik Bu,"
Aina dan Nayla berlalu meninggalkan Ranti di sana. Aina memang butuh waktu untuk melatih suaranya, satu minggu merupakan waktu yang cukup lama baginya. Bahkan suaranya mulai terdengar serak karena keseringan menangis.
……………
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, satu persatu dari para tamu undangan sudah mulai berdatangan memenuhi kafe.
Satu kafe itu sudah dipesan perusahaan Airlangga Group untuk mengadakan acara ulang tahun pemimpin perusahaan tersebut. Jadi tidak ada seorangpun yang bisa masuk kecuali para tamu.
Dari balik pintu kaca, tampak seorang pria berperawakan tinggi kekar melangkah masuk, wajahnya terlihat sangat tampan dengan rahang terpahat begitu sempurna.
"Selamat datang Tuan Arhan, senang bertemu denganmu. Semoga Tuan berkenan dengan keadaan kafe kami yang tidak terlalu mewah ini." sapa Ranti menyambut kedatangan pengusaha tampan itu.
"Terima kasih untuk sambutannya, kafe mu lumayan juga. Aku ingin melihat bagaimana caramu melayani pengunjung sepertiku." jawab Arhan, kemudian melanjutkan langkahnya menuju meja yang sudah disediakan.
Ranti mengiringi langkah Arhan yang kini sudah masuk ke dalam kafe. Meja khusus untuk pengusaha tampan itu juga sudah siap, lengkap dengan hiasan dan beberapa minuman untuk menjamu tamu penting itu.
"Silahkan duduk Tuan!" ucap Ranti sembari menarik kursi khusus untuk Arhan.
Karena sang pemilik acara sudah datang, Nayla keluar lebih dulu dan naik ke atas panggung. Dia memberikan kata sambutan, lalu membuka acara dengan sebuah lagu.
Semua tamu cukup antusias dengan pelayanan kafe tersebut. Meskipun terbilang sederhana, Arhan terlihat cukup nyaman berada di kafe itu.
Di tengah-tengah acara yang tengah berlangsung, Nayla memanggil Aina untuk naik ke atas panggung. Hal itu membuat para tamu bertepuk tangan, beberapa diantara mereka sudah tau kualitas suara Aina yang terkenal sangat bagus dan khas.
"Selamat malam semuanya, perkenalkan nama saya Aina. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuan pengusaha yang sudah mempercayakan kafe kami untuk menjamu kalian semua. Suatu kebanggaan tersendiri bagi kami atas kepercayaan yang sudah Tuan berikan. Boleh beri tepuk tangannya dulu!"
Kata sambutan yang diucapkan Aina membuat ruangan itu bergemuruh dengan suara tepuk tangan. Bahkan ada yang berteriak dan bersiul saking antusias nya menunggu penampilan gadis cantik itu.
Tidak dengan Arhan yang sedang asik mengobrol dengan beberapa rekan kerjanya. Posisi duduknya memunggungi panggung hingga tak bisa melihat wajah cantik yang menjadi pusat perhatian semua orang.
"Oh ya, selamat ulang tahun untuk Tuan pengusaha yang baik hati, semoga panjang umur dan sehat selalu. Pokoknya semua doa terbaik untuk anda dari kami semua." Kembali tepuk tangan bergemuruh di sana.
"Kali ini izinkan saya membawakan sebuah lagu yang berjudul "Tak Ingin Usai", lagu yang dipopulerkan oleh Keisya Levronka. Selamat mendengarkan dan selamat menikmati hidangan yang sudah disediakan."
Aina menaruh mic nya pada stand holder, kemudian mengambil gitar yang tersandar pada tempat duduknya.
Aina mulai memetik dawai gitarnya, pemain lain ikut mengiringi. Semua orang langsung terdiam menikmati lantunan nada yang menyentuh relung hati.
Apalagi saat suara emas Aina mengalun indah di telinga, semuanya ikut terbawa suasana.
Penghayatan Aina benar-benar dapat hingga membuat para tamu tersentuh, bahkan ada yang sampai berkaca-kaca.
Semuanya terpukau, tak terkecuali dengan Arhan. Suara Aina yang khas dan serak membuatnya terbuai. Dia menghentikan obrolannya dan memutar tubuhnya menghadap panggung.
"Seeeer,"
Nafas Arhan berdesir, seketika dia tergugu menatap wajah cantik yang begitu dekat dengan dirinya. Jarak antara tempat duduknya hanya dua meter hingga pandangannya sangat lepas ke arah Aina duduk saat ini.
Arhan mengusap wajahnya kasar, jantungnya berdegup kencang menatap lekat wajah gadis cantik yang pernah menghabiskan malam dengannya satu minggu yang lalu.
Berbeda dengan Aina, dia tidak menyadari kehadiran Arhan sama sekali. Matanya tertutup indah menghayati lagu yang tengah dia bawakan.
Saat di penghujung lagu, semua orang kembali bertepuk tangan dengan meriah. Aina tersenyum dengan manisnya, kemudian membuka matanya perlahan.
"Deg, deg, deg."
Mata Aina membulat seketika, tangannya bergetar hebat dengan wajah merah padam. Bibirnya kelu untuk berkata-kata.
Sorot mata Arhan yang sangat tajam, membuat Aina takut dan bergegas melempar pandangannya ke arah lain.
"Ma, ma, maafkan saya. Sa, saya tidak bisa melanjutkan acara ini. Selanjutnya saya kembalikan kepada Nayla."
Aina bangkit dari duduknya dan berlari meninggalkan panggung. Hal itu membuat semua orang menatap bingung ke arah Aina yang mulai menghilang dari pandangan semuanya.
Nayla bergegas mengambil alih tanggung jawab Aina, dia mengatakan kepada semua orang bahwa kondisi Aina tidak sehat saat ini dan kembali melanjutkan acara itu.
Sementara Arhan, dia dengan cepat meninggalkan ruangan dan berlari menyusul Aina ke belakang. Pencariannya selama satu minggu ini berakhir sudah, dia tidak ingin kehilangan jejak gadis itu lagi.
"Bu, Aina izin pulang ya. Badan Aina sepertinya kurang sehat, maafkan Aina karena pulang tanpa pamit."
Aina mengetik pesan itu pada layar ponselnya, kemudian mengirimnya kepada Ranti. Dia berlari melewati pintu belakang dan bergegas memanggil ojek yang mangkal di pinggir jalan.
"Jalan bang, cepat!" pinta Aina dengan nafas terengah-engah.
Aina menitikkan air matanya sesaat setelah duduk di belakang tukang ojek. Kejadian malam itu kembali terlintas di dalam ingatannya hingga terisak menahan sedu sedan.
Arhan melayangkan bogem mentahnya pada permukaan dinding, dia tampak frustasi karena tak berhasil menemukan Aina yang sudah pulang lebih dulu.
"Sial, cepat sekali gadis itu menghilang." kesal Arhan, dia mengacak rambutnya kasar lalu menendang dinding sekuat tenaga.
Setelah cukup lama menelan kekecewaannya di belakang kafe, Arhan kembali masuk dan bergegas menghampiri Ranti.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar." ucap Arhan tanpa basa-basi.
"Ada apa Tuan Arhan, apa pelayanan kami tidak memuaskan?" tanya Ranti sembari menautkan alisnya.
"Tidak, pelayanan di sini sangat bagus. Aku ingin menanyakan tentang gadis yang bernyanyi tadi, siapa namanya?" ujar Arhan langsung pada pokok pembicaraan.
"Siapa maksud Tuan? Aina?" jawab Ranti bingung.
"Ya, dia. Apa dia pegawai di kafe ini?" tanya Arhan mencari tau.
"Iya benar, dia penyanyi tetap di sini. Apa Tuan Arhan mengenalnya?" jawab Ranti dengan pertanyaan pula.
"Iya, aku mengenalnya. Berikan alamatnya padaku! Aku sudah lama mencarinya." pinta Arhan dengan sorot mata yang terlihat tajam.
Ranti kebingungan melihat sikap Arhan, untuk apa pengusaha kaya itu meminta alamat Aina padanya. Dia takut Arhan berniat buruk terhadap gadis malang itu.
"Maaf Tuan, aku tidak tau tujuanmu meminta alamatnya. Aku tidak bisa memberikannya padamu. Aina memiliki privasinya sendiri." jawab Ranti tegas.
"Apa kau meragukan ku?" tanya Arhan, tangannya mengepal erat dan meninggikan suaranya.
"Tidak, bukan begitu. Aku tidak ingin melihat gadis itu terluka. Masalah hidupnya sudah sangat banyak, jangan menambah bebannya dengan mendekatinya! Tuan bisa mencari gadis lain untuk bersenang-senang, kenapa harus gadis malang itu?" jawab Ranti.
Pemilik kafe itu tau kalau Arhan selama ini suka bermain perempuan. Dia tidak ingin Aina masuk ke dalam jerat pria itu, harta tidak menjamin sebuah kebahagiaan.
"Percaya padaku, aku tidak akan menyakitinya apalagi melukainya. Ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Bila perlu aku akan membayar mu dua kali lipat."
Arhan mengusap wajahnya, kemudian menghela nafas dan membuangnya kasar. Dia kesulitan meyakinkan Ranti bahwa dirinya tidak punya niat jahat pada Aina.
"Kalau kau tidak percaya padaku, kau boleh ikut denganku menemuinya. Aku hanya ingin bicara dengannya, ada hal penting yang harus aku selesaikan dengannya. Tolong, aku mohon!"
Arhan kembali meyakinkan Ranti, bahkan wajahnya tampak memelas memohon agar Ranti mau memberikan alamat Aina padanya.
"Apa Tuan yakin tidak akan menyakitinya?" tanya Ranti memastikan.
"Aku yakin, nyawaku sebagai taruhannya." jawab Arhan.
Mendengar itu, Ranti akhirnya luluh. Dia mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Arhan.
"Ini alamatnya, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil dan kumuh. Aku rasa Tuan tidak akan sanggup menginjakkan kaki di sana."
"Satu hal lagi, dia bukan gadis murahan seperti wanita yang biasa Tuan tiduri. Jangan berpikir macam-macam tentangnya!" ucap Ranti, dia masih ragu mengingat jejak langkah Arhan yang terbilang buruk.
"Kau tenang saja! Aku pastikan dia tidak akan terluka sedikitpun. Lanjutkan acara ini, aku pergi dulu!"
Arhan meninggalkan kafe sembari berlari kecil. Dia tidak sabar bertemu Aina secepatnya. Ada banyak hal yang ingin dia bicarakan dengan gadis itu.
Kini mobil yang dikemudikan Arhan sudah masuk ke sebuah lorong sempit. Benar kata Ranti, Aina tinggal di lingkungan yang tidak sepadan dengan wajah cantiknya.
Arhan memarkirkan mobilnya di tempat yang agak lapang, kemudian turun dan melanjutkan pencariannya sembari berjalan kaki.
Setelah berputar-putar hingga bercucuran keringat, Arhan akhirnya menemukan nomor rumah yang ditempati Aina.
Sebuah kontrakan kecil sederhana, dindingnya tampak usang dan lapuk. Keadaan di sekelilingnya sangat jauh dari kata layak.
Sorot mata Arhan terlihat lirih, dia berjalan perlahan dan mengetuk pintu dengan pelan. Arhan sengaja tidak bersuara agar Aina mau membukakan pintu untuknya.
"Tok, tok, tok."
Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar, Aina yang baru saja merebahkan diri di atas kasur tipisnya, kembali bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Siapa?"
Suara lembut Aina membuat Arhan tersenyum sumringah. Namun dia tetap setia berdiri di depan pintu tanpa bersuara.
Sesaat setelah pintu terbuka, Aina melotot kan matanya kaget. Dia bergegas menutup pintu itu kembali, namun Aina kalah cepat. Arhan sudah lebih dulu menahan pintu itu dengan kakinya.
"Untuk apa kau ke sini? Pergilah, kita tidak ada urusan lagi!" ketus Aina, dia berusaha keras mendorong pintu itu sekuat tenaga.
"Aku tidak akan pergi sebelum kita bicara. Kau punya hutang penjelasan padaku." ucap Arhan tegas.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, semua sudah berlalu. Aku mohon pergilah dari sini!" pinta Aina dengan mata berkaca-kaca.
Arhan geram mendengar ucapan Aina, dia menggertakkan giginya kuat dan mendorong pintu itu hingga terbuka lebar.
Kekuatan Aina yang secuil tak sebanding dengan Arhan, gadis itu hampir saja tersungkur. Namun Arhan dengan cepat meraih tangan Aina hingga tubuh keduanya saling menempel.
Aina melotot kan matanya kaget, detak jantungnya seakan berhenti untuk sesaat. Dia bergegas mendorong dada Arhan dan menjauh dari pria tampan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!