"Kasih gak mau menggantikan Mia. Kasih belum mau menikah. Meskipun Kasih beban keluarga, tapi Kasih punya cita-cita." Gadis ini menolak untuk menggantikan Mia, anak tetangganya yang kabur saat hari H pernikahannya.
"Pernikahan adalah hal yang sakral pak. Tidak mungkin Kasih menggantikan anak bapak," ucap Erni yang menolak saat Rahman meminta bantuannya.
"Jika kalian tidak mau menolong ku, aku akan menghasut warga desa untuk mengusir kalian!" Ancam pak Rahman yang ternyata seorang kepala desa.
"Bu, bagaimana ini?" Kasih menggenggam tangan ibunya.
"Janganlah seperti itu pak. Bapak tidak bisa memaksakan kehendak. Jika Mia tidak mau menikah, kenapa tidak di batalkan saja?" Erni berusaha bicara baik-baik pada pak Rahman.
"Mau taruh di mana wajah ku pada keluarga Raharja?, jika Kasih tidak mau menggantikan Mia, akan ku pastikan besok kalian akan di tendang dari desa ini."
"Kasih,.....!" Lirih Erni yang ketakutan. Ia tahu betul siapa Rahman yang memiliki sifat tak mau mengalah.
Kasih menatap wajah ibunya lalu menarik nafas pelan.
"Baiklah pak. Kasih akan menggantikan Mia," ucap Kasih yang mau tidak mau harus mengikuti permintaan pak Rahman.
Pak Rahman tersenyum lebar, pria ini langsung mengajak Kasih dan ibunya pergi ke rumahnya yang berdampingan.
Kasih di rias secantik mungkin. Tak ada senyum bahagia yang terpancar dari wajah perempuan ini. Sungguh, mimpi apa Kasih semalam hingga pagi ini ia harus menikah dengan laki-laki yang tak ia kenal dan cinta.
"Oh, ini yang namanya Kasih?" Tanya Hesti.
"Iya bu Hesti. Dia yang akan menggantikan Mia," jawab bu Wiwin istri pak Rahman.
"Kasih, ini bu Hesti. Calon mertua kamu," ujar pak Rahman memberitahu.
Kasih hanya diam saja, ia masih sibuk di rias.
"Gila. Mimpi apa aku semalam?" Tanya Kasih dalam hatinya. "Ngomong-ngomong, di mana calon suami Mia sialan itu?"
Kasih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri, hingga tanpa ia sadari Kasih sudah selesai di rias.
"Bu Erni, awas aja kalau bu Erni bersikap macam-macam. Kami tidak akan segan-segan mencelakai keluarga kalian!" Ancam Wiwin sesaat sebelum akad.
Sampai detik ini Kasih belum melihat laki-laki yang akan di nikah kan dengannya.
Lima menit kemudian acara pernikahan di mulai, seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Sungguh membuat Kasih tercengang saat melihat pria tersebut.
"Astaga! Pantesan aja Mia menolak. Ternyata modelan begini....!" Kasih melengos, semakin hilang semangat dalam hidupnya. Begitu juga dengan Erni, ia tidak menyangka jika calon suami anaknya memiliki keadaan seperti ini.
Rangga, pria cupu dengan rambut panjang dan gigi tonggos bahkan ada tompel di leher pria tersebut.
"Sabar nak," bisik Erni pada anaknya.
Kasih tersenyum tipis lalu berkata, "tidak apa-apa bu. Sama-sama ciptaan Tuhan kok."
Rangga menoleh ke arah Kasih sekilas, wajah cantik meneduhkan. Beda dengan Mia yang sudah ia temui beberapa waktu lalu, tampak judes dan sombong bahkan Mia berani menghina fisik Rangga di depan semua orang.
Kata sah menggema, pak Rahman menghela nafas lega begitu juga dengan istrinya. Acara selesai, mau tidak kau Erni harus rela melepas anak perempuannya untuk tinggal dengan suaminya.
Untung saja Kasih masih tinggal satu desa dengan ibunya karena orang tua Rangga memiliki rumah mewah di desa ini.
"Jaga sikap ya nak, meskipun kamu dan suami mu tidak saling kenal tapi kamu harus tetap patuh padanya. Hargai dia, layani dia sebagai tanggung jawab kamu sebagai istri." Pesan Erni sebelum Kasih di bawa pergi.
"Iya bu. Kasih mengerti. Ibu dan Nada hati-hati ya di rumah. Kasih janji akan sering main ke rumah kok."
"Iya nak."
Erni memeluk Kasih, tanpa terasa air matanya jatuh membasahi pipi. Dengan berlapang dada Erni melepas anaknya.
Perjalanan lima belas menit akhir Kasih tiba di rumah mewah milik suaminya.
"Selamat datang di keluarga Raharja," ucap pak Diman.
"Maaf kami ya kasih, kami harus segera pulang ke kota hari ini juga. Di rumah ini kamu akan tinggal bersama Rangga, suami kamu dan beberapa orang asisten rumah tangga." Ujar bu Hesti memberitahu.
"Iya bu, Kasih mengerti."
"Jangan panggil ibu. Panggil mamah dan papah sebagai mana Rangga memanggil kami," ujar pak Diman.
Kasih hanya mengiyakan, sungguh ia mendadak bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
"Kamar kita di atas," ucap Rangga dengan suara dingin.
"Oh, iya...!" Kasih mengekor di belakang Rangga sambil membawa tas besar berisi pakaian miliknya. "Rumahnya bagus banget, kek di dongeng!" Celetuk Kasih.
"Biasa aja!" Sahut Rangga dengan nada sombong.
"Ya biasa buat kalian yang sudah kaya dari janin. Beda sama aku yang terlahir kismin."
"Kau ini banyak bicara juga!" Seru Rangga.
"Ya, seharusnya aku sekarang menangis kencang karena di paksa menikah dengan mu!"
"Aku lebih tua dari mu. Panggil aku yang sopan!" Titah Rangga.
"Oh, iya mas Rangga!" Ujar Kasih menurut.
Rangga tersenyum tipis, ternyata perempuan yang ia nikahi ini adalah perempuan yang penurut.
"Ini kamar ku. Kau bebas melakukan apa saja di kamar ini. Di atas meja ada uang, itu jatah mu perbulan!"
Sontak saja Kasih menoleh ke arah meja yang berada di samping tempat tidur. Kasih melongo saat melihat dua tumpuk uang berwarna merah.
"Kenapa ekspresi mu seperti itu?" Tanya Rangga. "Apa uang itu kurang banyak?"
Kasih menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Ini bahkan sangat banyak. Biasanya aku pegang uang cuma dua ratus ribu perhari, itu pun uang milik ibu hasil jual kue!"
"Oh. Miskin sekali kamu!" Cibir Rangga.
"Wah, setidaknya kalau gak good looking ya good attitude dong!" Sahut Kasih mulai kesal.
"Tapi setidaknya aku good rekening!" Imbuh Rangga dengan bangganya.
"Ibu,......aku mau pulang. Gak mau nikah!" Kasih berteriak di kamar, ia terduduk di lantai membuat Rangga panik.
"Aduh. Jangan nangis dong!''
Rangga membujuk Kasih yang sebenarnya pura-pura menangis di lantai.
"Ya udah. Nangis aja dulu, aku keluar aja. Biar kamu bisa tenang!"
Rangga berlari menuju pintu kamar. Pria ini keluar dan membiarkan Kasih seorang diri agar bisa tenang.
Kasih mengintip, ia langsung tertawa melihat ekspresi Rangga tadi.
"Wah, gampang juga di kibulin. Wkwkwk.....!!"
Baru juga ketawa, tiba-tiba saja kasih teringat akan ibu dan adiknya.
"Bu, kalau bukan karena ancaman pak Rahman. Aku mungkin akan sama seperti Mia yang kabur!" Batin Kasih sedih.
Huft,.......
Kasih hanya bisa menarik nafas panjang, kenapa harus ia yang menjadi korban tetangganya. Tidak pernah terpikir dalam hidup Kasih jika dia akan menikahi calon suami tetangganya sendiri.
"Ya udahlah ya. Terima nasib aja!" Ucap Kasih yang pasrah.
"Ya ampun, geli banget aku lihat suami ku ini makan." Batin Kasih, sejak tadi ia memperhatikan cara makan Rangga yang berantakan.
"Kenapa melihat ku seperti itu?" Tanya Rangga cuek.
"Makanlah dengan rapi, itu terlalu berantakan!" Kasih berkata jujur.
"Kenapa? Apa kau mau muntah melihatnya?" Tanya Rangga.
"Tidak. Bukan begitu maksud ku. Kau sudah dewasa, melihat cara makan mu itu seperti balita saja!"
"Wah, terus terang sekali ucapan mu itu...!"
"Dari pada aku memuji mu tapi berbalik dari kenyataan!"
Kasih beranjak dari duduknya, ia mengambil tisu lalu membersihkan makanan yang berserakan di atas meha makan.
"Cuci tangan mu!" Titah Kasih.
"Aku belum kenyang. Kenapa kau menyuruh ku mencuci tangan?" Protes Rangga dengan wajah kesal.
"Aku akan menyuapi mu!" Jawab Kasih.
"Aku bukan anak kecil yang tidak bisa makan sendiri....!"
"Diam dan menurutlah!" Titah Kasih dengan nada tinggi.
"Siapa kau yang berani memberi ke perintah hah?" Sentak Rangga tak kalah meninggikan suaranya.
"Aku istri mu!" Jawab Kasih tegas.
Mendengar jawaban Kasih, Rangga mendadak diam.
"Kau terlahir dari keluarga kaya, sudah pasti relasi keluarga ku sangat banyak. Tidak mungkin kau makan seperti ini depan banyak orang. Jika di rumah mu sendiri, terserah kau mau makan jungkir balik atau salto sekalian!"
"Kau mengomeli ku kah?" Tanya Rangga pelan.
"Aku tidak mengomeli mu. Aku hanya memberitahu mu. Jika bukan karema ancaman pak Rahman, sudah pasti aku akan sama seperti Mia. Melarikan diri....!"
Rangga mengerutkan keningnya, ia tidak tahu jika Kasih di paksa menikah dengannya.
"Silahkan kalau mau pergi," ujar Rangga acuh. "Kau minta cerai kah?" Tanyanya.
"Tidak. Bukan itu maksud ku. Biar bagaimana pun cita-cita ku hanya ingin menikah sekali seumur hidup."
"Kau menerima ku apa adanya atau karena uang ku?" Tanya Rangga dengan wajah polosnya.
Kasih memejamkan mata sejenak lalu menarik nafas panjang.
"Sabar kasih," ucap Kasih pelan lalu tersenyum. "Bukankah tadi ku bilang aku terpaksa karena di ancam?"
"Oh, begitu ya. Ya sudah. Aku mengantuk, aku mau tidur!"
Dengan lenggang santai tanpa dosa Rangga meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya.
"Oh Tuhan, benarkah jodoh ku seperti ini?" Tanya Kasih sambil menengadahkan wajahnya.
Kasih meletakan piring ke atas meja lalau pergi menyusul Rangga. Di saat ruang makan sepi, bi Warti keluar.
"Hallo bu,.......!!"
Bi Warti sebagai asisten rumah tangga juga merangkap sebagai mata-mata di rumah ini. Ia melaporkan apa yang ia lihat barusan pada sang majikan.
Kembali ke Kasih, saat ia masuk ke dalam kamar, ekspresi wajah Kasih mendadak berubah.
"Apa-apaan ini?, kenapa ada lagu nina bobo?"
"Aku tidak bisa tidur jika tidak mendengar lagu nina bobo," jawab Rangga sungguh membuat Kasih tercengang.
"T-tapi mas Rangga sudah dewasa," ujar Kasih.
"Tapi ini semua sudah kebiasaan ku!" Sahut Rangga.
Kasih menggaruk kepalanya tak gatal, baru satu hari ia tinggal di rumah ini sudah membuat otaknya kebingungan.
"Terserahlah. Aku mau tidur!" Ujar Kasih yang berjalan ke arah sofa.
"Kenapa kau duduk di sana?" Tanya Rangga.
"Aku akan tidur di sini," jawab Kasih dengan polosnya.
"Bukankah kita sudah menikah?, seharusnya kita tidur bersama malam ini. Apa lagi ini malam pertama kita!''
Kasih menepuk jidatnya, tidak mungkin ia akan tidur dengan laki-laki yang baru ia kenal meski itu pria tersebut suaminya.
"Harus ya seperti itu?" Tanya Kasih dengan polosnya.
"Kenapa?" Tanya Rangga dengan suara dingin, "apa karena fisik ku seperti ini sehingga kau tidak mau tidur bersama ku?"
Kasih hanya diam, ia teringat akan ucapan sang ibu yang mengatakan jika ia harus menurut dengan suaminya meskipun mereka tak saling kenal dan cinta.
"Iya, maafkan aku. Aku akan tidur bersama mu. Tapi, tolong jangan mengatakan apa pun tentang fisik."
Kasih menuju ranjang milik suaminya, mau tidak mau ia tidur di sana. Bukan perkara tidur, hanya saja Kasih takut jika Rangga melepas keperawanannya.
Ternyata Rangga tidur dengan membelakangi Kasih.
"Kau tenang saja. Aku tidak akan menyentuh mu," ucap Rangga sungguh membuat Kasih merasa lega.
"Maafkan aku!"
"Tidak perlu minta maaf. Aku mengerti....!"
Keduanya memejamkan mata, di malam pertama tanpa cinta dan ranjang berirama.
Malam telah berganti pagi, Saat Rangga bangun ia sudah tak mendapati Kasih di sampingnya.
"Ke mana si miskin itu?" Rangga bertanya-tanya.
Rangga keluar dari kamar, pria ini mencari Kasih yang ternyata ada di dapur.
"Hei,...sedang apa kau di dapur ku?" Tanya Rangga mengejutkan Kasih.
"Sedang melukis!" Jawab Kasih bercanda, "ya sedang masak lah!"
"Bi, awasi dia. Jangan-jangan dia nanti meracuni ku akibat di paksa menikah dengan ku!"
"Eeeh,....iya mas!"
"Wah, tidak boleh berpikir buruk pada ku. Meskipun aku di paksa menikah dengan mu tapi aku sama sekali tidak memiliki pemikiran sampai ke situ." Ujar Kasih membela diri.
"Oh begitu ya. Buatkan aku susu!" Titah Rangga. Pria ini kemudian berlalu begitu saja.
"Ini susu yang biasa di minum mas Rangga," ujar bi Warti memberitahu.
Kasih tertawa saat melihat kotak susu tersebut yang ternyata susu untuk anak-anak usia lima tahun.
"Lama-lama aku gila," ucap Kasih.
Bi Warti hanya diam saja, ia sibuk mengambil alih masakan Kasih. Tak berapa lama Kasih keluar dengan membawa segelas besar susu untuk suaminya.
"Ini susu mu mas!" Ujar Kasih.
"Hiiiih,.....!" Rangga langsung menyilangkan kedua tanganya di dada.
"Eh, kenapa?" Tanya Kasih heran.
"Itu susu sapi atau susu mu yang kau peras sendiri?" Tanya Rangga tidak masuk di akal.
Kasih tercengang saat mendengar ucapan Rangga.
"Ibu,....Kasih mau pulang bu!" Teriak Kasih stres.
"Kasih masih anak mami....!" Seru Rangga.
"Terserah apa kata mu wahai suami ku. Sekarang minum susu mu setelah itu mandi.Aku akan menyiapkan pakaian mu!"
"Jangan.....!!" Seru Rangga.
"Apanya yang jangan?" Tanya Kasih heran.
"Jangan menyiapkan pakaian apa pun untuk ku. Aku bisa sendiri," jawab Rangga kemudian meminum susunya sampai habis lalu pergi ke kamar.
"Aneh.....!!"
Kasih menggaruk kepalanya tak gatal, ia semakin merasa aneh saat melihat-lihat isi rumah mewah ini yang tak ada satu pun foto Rangga apalagi foto keluarga mereka.
"Orang kaya tapi kok gini ya....?" Kasih semakin bingung.
Kasih tak mau berpikir aneh-aneh, ia kembali ke dapur untuk membantu bi Warti menyiapkan sarapan pagi.
"Mbak Kasih gak usah melakukan pekerjaan apa pun di rumah ini," ujar bi Warti membuat Kasih heran.
"Memangnya kenapa bi?" Tanya Kasih.
"Nanti kalau ketahuan sama bu Hesti, bibi yang di marahin. Secara mbak Kasih adalah menantu di rumah ini."
"Gak usah di dengerin bi. Aku sudah biasa membantu pekerjaan rumah."
"Tapi tetap saja mbak Kasih menantu di rumah ini. Bibi merasa gak enak!"
"Udah, santai aja bi....!!
Hahahaha.......
Hahahaha........
Gelak tawa ricuh dari beberapa orang warga yang sedang duduk santai membuat Kasih merasa risih. Bukannya apa, Kasih dan Rangga yang sekarang sedang berjalan kaki menuju rumah Erni. Setelah dua minggu menikah baru sekarang Kasih pulang.
"Lihatlah si Kasih. Dia gadis yang cantik. Kenapa dia mau menikah dengan laki-laki cacat fisik dan dungu ini?" Seseorang mengejek Kasih dan Rangga.
"Kalian semua tahu jika keluarga Raharja adalah keluarga kaya raya. Pasti Kasih sudah tergiur dengan uang mereka. Dasar anak janda miskin!"
"Wah,...wah,....enteng banget kalau ngomong. Tahu apa kalian tetang pernikahan ku hah?" Kasih membela diri.
"Kamu itu cantik Kasih. Kenapa kamu mau dengan si tonggos dan dungu ini?"
"Bukan urusan kalian!" Bentak Kasih.
"Bilang aja karena uang!" seru salah seorang warga.
Kasih menarik tangan Rangga yang sejak tadi hanya diam saja memperhatikan satu persatu wajah dari orang yang sudah menghina Kasih dan dirinya.
"Ayo kita pergi...!" Ajak Kasih.
Kasih dan Rangga kembali melanjutkan perjalanan mereka.
Belum habis lagi hinaan, dua ibu-ibu yang sedang mengobrol di depan rumah mereka ikut-ikutan mengejek Kasih.
"Ya ampun Kasih, mau aja ama si tonggos. Itu kalau main di atas ranjang gimana?, gak geli?"
"Tutup mata kali bu,....!!"
Kedua ibu-ibu tersebut tertawa kencang.
Kasih hanya bisa membuang nafas kasar, tanpa menghiraukan mereka kembali melanjutkan perjalanan.
"Heran sama manusia zaman sekarang, suka banget menghina fisik orang. Kek mereka sempurna aja!" Gerutu Kasih.
"Kasih, kamu kenapa nak?" Tanya bu Erni, "masuk gak permisi gak salam malah ngomel!"
"Mereka itu loh bu, menghina fisik mas Rangga. Aku gak suka!" Adu kasih.
"Biarin aja. Aku gak kenapa-kenapa kok. Udah biasa," ucap Rangga.
"Woi Kasih,....suami mu itu minimal di suruh operasi plastik aja biar ganteng sedikit. Orang kaya kok gak mampu operasi plastik....!!" Tetangga Kasih dari luar rumah.
Kasih yang panas langsung keluar dari rumahnya.
"Burung suami ibu aja di operasi. Mungkin kurang besar makanya ibu sibuk ngurusin suami orang!" Sahut Kasih yang benar-benar kesal.
"Di kasih tahu kok gak terima. Dasar si Kasih!"
Ibu-ibu tersebut kembali masuk ke dalam rumahnya.
Belum juga Kasih masuk ke dalam rumah, Mia keluar dari dalam rumahnya lalu mengejek Kasih.
"Gimana Kasih, enak nikah sama si tonggos dan dungu?" Celetuk Mia.
"Wah, iya. Enak banget, uangnya banyak!" Sahut Kasih.
"Cari suami yang tampan biar kita bisa hidup awet muda sampai tua. Masalah uang bisa di cari sama-sama," ucap Mia yang merasa tak bersalah.
"Semua ini gara-gara kau. Seharusnya kau malu saat menampakan wajah mu yang sok cantik itu. Jika bukan karena ancaman orang tua mu yang sok berkuasa itu, tidak mungkin aku yang akan jadi tumbal!"
"Heh Kasih, jaga bicara mu!" Sentak bu Wiwin.
"Ayo masuk. Jangan hiraukan mereka!" Rangga menarik tangan Kasih, mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Bu Erni hanya bisa menghela nafas panjang seraya bergeleng kepala.
"Makan gih, ibu sudah masak makanan kesukaan kamu!" Ujar bu Erni.
"Nada mana bu?" Tanya Kasih yang tak melihat sang adik sejak tadi.
"Sedang mengambil uang penjualan kue. Bentar lagi juga pulang!" Jawab bu Erni, "Kasih. Jangan hiraukan omongan orang yang menyudutkan kamu dan Rangga. Biarin aja, nanti juga capek sendiri."
"Mereka itu kalau gak di lawan itu ngelunjak bu. Enak aja ngatain orang sembarangan!"
"Udah ah, gak usah ngomel. Rangga yuk makan!"
Mereka kemudian makan bersama-sama, tak berapa lama Nada pulang dan langsung memberikan sejumlah uang pada ibunya.
Rangga memperhatikan kebiasaan keluarga kecil ini, nampak sederhana namun terasa bahagia.
"Masakan ibu enak," puji Rangga.
Bu Erni tersenyum lalu berkata, "terimakasih Rangga. Makan seadanya ya, ibu gak bisa beli lauk yang mahal."
"Gak apa-apa kok bu. Ini juga lebih dari enak!"
Mereka melanjutkan makannya, selesai makan mereka duduk di ruang keluarga.
"Nada,....!!" Panggil Rangga.
"Iya mas, ada apa?" Tanya Nada sopan.
"Ini untuk kamu!" Ujar Rangga memberikan paper bag.
"Apa ini mas?" Tanya Nada penasaran.
"Buka aja!!"
Nada mengeluarkan isi dari paper bag tersebut.
"Wah, laptop. Nada udah lama pengen laptop, makasih ya mbak, mas!" Ucap Nada yang senang.
"Aduh Rangga, ibu gak enak hati." Ujar bu Erni.
"Tidak apa-apa bu. Tidak usah bersikap seperti itu, semoga dengan adanya laptop ini bisa menunjang fasilitas belajar Nada." Sahut Rangga.
"Jangan memanjakan dia!" Seru Kasih.
"Apa sih mbak!" Nada memanyunkan bibirnya.
"Jangan dengarkan mbak mu!" Ujar Rangga.
"Bu, sudah sore. Kami harus pulang. Kasih pamit ya bu," ucap Kasih sembari melihat ke arah jam dinding.
"Tidak menginap kah?"
"Lain aja bu. Mas Rangga banyak pekerjaan!" Ujar Kasih yang berbohong. Bukannya apa, Kasih tidak ingin ibu dan adiknya melihat sikap Rangga yang aneh. Sudahlah tadi saat makan bu Erni merasa sedikit risih melihat cara makan Rangga yang seperti anak kecil.
Sama seperti berangkat, pulangnya Kasih dan Rangga terus di ejek oleh warga setempat. Geram betul Kasih, tapi Rangga menahannya untuk tidak membalas. Sebenarnya Kasih merasa malu, tapi mau bagaimana lagi keadaan sudah seperti ini. Mau tidak mau Kasih harus ikhlas menerima jodohnya.
Aku ingin mandi. Aku ingin mendinginkan otak ku!" Ujar Kasih bergegas pergi ke kamar mandi.
Sedangkan Rangga hanya duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Pria ini sangat menikmati kehidupan barunya setelah menikah. Kasih tidak begitu buruk, perempuan yang terpaksa menikah dengannya ini tidak sekali pun melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaan Rangga. Malah sebaliknya, Kasih suka membela Rangga di depan banyak orang yang suka menghinanya.
Tak berapa lama Kasih keluar dari kamar mandi, rambut basah ia biarkan tergerai di tambah lagi Kasih saat ini mengenakan celana pendek yang menampakan kulit kaki jenjangnya. Belum lagi kaos oblong yang ia kenakan sangat membentuk tubuhnya.
"Lihat apa?" Tanya Kasih mendadak menutup tubuhnya dengan handuk.
"Tidak ada!" Jawab Rangga singkat. "Kasih, buatkan aku jus apel dan pisang jangan lupa pake susu!" Titah Rangga.
"Hidiih,....mandi sana!" Ujar Kasih.
"Sebelum aku keluar dari kamar mandi, jus itu sudah harus ada di kamar ini."
"Iya,...iya....tuan!"
"Mas, kau harus memanggil ku seperti itu!"
Kasih membuang nafas kasar, memandang kesal pada suaminya.
"Ingin sekali aku cabut giginya yang banyak bicara itu," batin Kasih benar-benar kurang ajar.
Kasih bergegas pergi ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan untuk membuat Jus. Tak berapa lama satu gelas jus apel di campur pisang sudah siap di minum.
"Wajahnya berantakan, tapi kulit tangannya seperti orang perawatan. Apa karena mas Rangga kebiasaan meminum jus seperti ini ya?" Kasih yang polos terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Kasih membuka pintu, ia melihat jika Rangga sudah selesai mandi.
"Cepat amat mandinya. Sabunan apa gak?" Tanya Kasih.
"Banyak tanya. Sana pergi, jangan ganggu aku!"
"Hidih,...bukannya bilang terimakasih malah ngusir!"
Rangga acuh dan tidak peduli, pria ini keluar dari kamarnya.
"Mas, mau kemana?" Tanya Kasih penasaran.
"Jangan ganggu aku, aku ada pekerjaan!" Ujar Rangga yang ternyata pergi ke ruang kerjanya.
Terserah Rangga mau melakukan apa, yang penting Kasih hanya ingin rebahan manja sambil memainkan ponselnya.
"Pernikahan macam apa yang ku jalani ini?"
Huft,....
Kasih membuang nafas panjang, ia meletakan ponselnya sembarang.
"Aku dan mas Rangga hanya dua orang asing yang di paksa tinggal bersama. Oh Tuhan, bisakah aku mencintai suami ku sendiri?"
Kasih mulai memikirkan kehidupannya yang entah akan menjadi seperti apa kedepannya.
"Pak Rahman sialan. Jika bukan karena ancamannya, tidak mungkin aku akan menjadi seperti ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!