NovelToon NovelToon

Dibalik Diamnya Mertuaku

Bab 1 Pekerjaan menumpuk.

#Obrolan_Mertuaku_Dengan_Tetangga.

Saat aku tengah mencuci semua baju, dari baju suami dan kedua mertua. Rasanya lelah sekali karna baju kotor yang amat banyak dan menumpuk.

Apalagi bapak mertua yang bekerja sebagai petani dan peternak domba, pasti kebanyangkan baju penuh lumpur.

Penat, dan lelah rasanya seharian mengurus rumah, andai saja aku diizini kerja sama Mas Raka, mungkin aku tidak akan seperti babu di rumah ini.

Beginilah nasib, seatap dengan mertua.

Jam sudah menujukan pukul 07:00 pagi selesai juga aku mencuci baju, dengan sekuat tenaga kudorong ember yang berisi baju yang baru saja aku cuci. Tak lupa menjemur semua baju sendirian.

Setelah selesai mencuci dan menjemur baju,

Saatnya mencuci piring yang menumpuk di kamar mandi.

Sebenarnya aku lelah jika piring kotor harus di tumpuk di kamar mandi, tapi mertuaku selalu menumpukkannya di sana.

Entah kenapa, membuat pekerjaan semakin banyak, karna setelah mencuci piring kotor, aku harus menyikat kamar mandi. Karna bekas cuci piring pastinya kotor.

Karna tinggal di desa, membuat aku berpikir untuk mencuci piring kotor di belakang rumah, agar kamar mandi selalu terlihat bersih.

Membuat selang pancuran agar mempermudahkan semua pekerjaan dapur. Terutama mencuci piring.

Akan tetapi semua yang aku lakukan sia sia.

Mertua malah mendiamkanku selama 1 minggu, membuat aku tentulah tak enak hati.

Saat langkah kaki ini melangkah ke dapur.

Bark ... Bring ... Brugggg.

Serasa suara gelas dan piring yang beradu macam perang, aku segera berlari tergesa-gesa. Mendengar suara di kamar mandi. Ada apa sebenarnya?

Setelah kutengok, ternyata ibu mertua sedang mencuci semua piring kotor, tapi cara mencucinya seperti orang yang lagi berperang, berisik dan sesekali wajan yang sudah hitam di pukul-pukul, entah kenapa dengan ibu mertua?

Apa dia kesal padaku?

Segera kuhampiri dan membantu ibu, terlihat raut wajahnya yang seakan tidak senang akan kedatanganku yang tiba tiba.

"Sini bu, biar Ana yang cuci, ibu istirahat ajah," ucapku sembari mengambil sabun cuci yang tergeletak. Tak jauh dari hadapanya.

Ibu langsung mencuci tangan, melemparkan pengosok piring kotor, pergi tanpa berkata-kata. Memang ibu jarang sekali mengobrol denganku, adapun paling dia minta tolong.

Dengan rasa lelah yang tak tertahankan, aku langsung melanjutkan cuci piring bekas mertua.

Menarik nafas, ada rasa sesak di sini. Melihat raut wajah ibu yang tak biasanya.

Apa memang seperti ini, ketika mempunyai ibu kedu yang kurang suka dengan kehadiran kita?

Tak terasa bulir bening yang aku tahan, akhirnya keluar juga, tak terbendung lagi. Membuat tangan penuh busa sabun aku usap pada air yang basah mengenai pipi.

Setelah selesai, aku segera menyalahkan kompor dan berlanjut memasak.

Memasak sayur kangkung yang di petik suamiku tadi pagi. Tak lupa menghangatkan nasi yang masih tersisa banyak bekas kemarin.

Rasa lelah akibat rutinitas yang tiada henti, membuat perut ini terasa keroncongan, akan tetapi sebagai seorang istri aku harus bisa menahan setelah pekerjaan selesai.

Akhirnya selesai juga memasak, jam sudah menunjukan pukul 09:00 pagi, waktunya menyuruh anak-anak makan. Biasanya masakanku selalu beres jam 8 pagi, karna pekerjaan yang menumpuk membuat aku masak sedikit terlambat.

Anak anakku ternyata tengah bermain di halaman rumah, membuat aku langsung memanggil mereka untuk segera makan.

"Nak, ayo makan?"

Mereka begitu senang, berlarian saat aku menyuruh mereka untuk segera makan.

Semua sudah berkumpul.

Saat itu aku tidak melihat ibu ada dimana? yang terlihat hanyalah aku bapa dan Mas Raka, Anak-anak.

"Ibu kemana, pak?" tanyaku pada bapak mertua yang begitu lahap menyantap makanan di meja.

"Ga tau Neng, gak liat!" jawab bapak terlihat tak peduli dengan ibu.

Rasanya gak enak kalau aku langsung makan tanpa ibu. Setelah memberikan nasi pada piring Mas Raka, pada saat itulah aku berdiri dan pergi dari meja makan.

"Mau ke mana, mah?" tanya Mas Raka kepadaku.

"Nyari ibu!" jawabku sambil berjalan.

"Makan dulu, selagi masih hangat, kamu dari tadi sibuk ngurusin rumah, belum makan," ucap Mas Raka perhatian padaku.

"Enggak Mas, aku mau cari ibu dulu. Enggak enak kalau aku makan, sedangkan ibu belum makan," balasku.

Aku langsung berjalan, setelah membalas ucapan Mas Raka.

segera ku telusuri rumah demi rumah di pedesaan yang terbilang cuacanya sangatlah sejuk.

Melihat masih banyak pepohonan tanpa polusi sedikit pun, di pertengahan jalan, saat kudapati ternyata ibu lagi berkumpul dengan teman-temannya, para tetangga, entah apa yang mereka obrolkan.

Rasa penasaran semakin terasa pada hati dan benakku. Membuat aku memberanikan diri menguping pada balik rumah yang tak jauh di mana mertuaku berkumpul dengan teman gosipnya.

Mertuaku yang duduk kini menerima sebuah nasi dari tetangganya, dengan tersenyum senang wanita tua itu menerima dan langsung memakannya begitu lahap.

Deg ...

Ada rasa sakit di lubuk hati, kucoba meredamkan dengan tetap berpikiri positip. Walau sebenarnya

Batin ini bertanya-tanya apa ibu marah? karna aku  belum  membuatkan sarapan. Telat bagun pagi?

Memang biasanya jam 8 pagi sarapan sudah di atas meja kayu tempat makan kami sekeluarga. Karna malam bergadang, menimang si bungsu, membuat aku jadi bangun kesiangan.

Aku benar benar merasa tak enak hati dengan ibu?Baru kaki melangkah, untuk meminta maaf, aku dikejutkan dengan kata-kata ibu kepada tetanganya.

sesak bercampur kesal saling beradu pada hati ini.

Membuat Air mata jatuh tak terbendung lagi, aku segera pergi dari sana, dengan menghapus bulir-bulir air mataku.

Kenapa aku menjadi lemah, harusnya aku mendengarkan dulu obrolan mertuaku dengan tetangganya. Saat itu aku muncul di depan mereka, agar mereka malu sudah membicarakanku di belakang.

Rasanya sesak ... Badan ini tak berdaya, perut belum terisi dari tadi pagi. Membuat aku tak nafsu untuk makan.

Tapi untuk berlari aku begitu cepat, tanpa kusadari.

Setelah sampai di rumah.

"Kamu kenapa? Mah, ko nangis gitu." Mas Raka menarik lengan tanggaku, dan memeluk erat. Seakan dia tau apa yang tengah di rasakan hati ini.

Tanganku melingkar pada pinggang Mas Raka, seakan tak mau jauh dari pelukanya.

Rasa sesak sedikit, demi sedikit hilang.

"Aku dengar ibu ngomongi nama aku, Mas," ucapku tak kuasa melihat raut wajah Mas Raka, menunduk pandangan inilah caraku agar Mas Raka tidak melihat air mataku jatuh.

"Emang ibu ngomongin apa?" pertanyaan Mas Raka membuat telingaku berdengung kencang.

"Entahlah? Tapi aku dengar ibu sebut namaku."

Sekilas kulirik Mas Raka menepuk jidatnya. 

"Jadi belum tau apa yang ibu obrolin di depan tetangga."

Aku menggelengkan kepala.

Pintu terbuka, menandakan ibu sudah pulang.

Mertuaku  sekilas melirik ke arah wajahku, dan membulatkan matanya ke arah Mas Raka.

Seperti memberi kode, entah kode apa.

"Mas nyamperin ibu dulu, ya."

Aku hanya menganguk pasrah entah apa yang di bicarakan mereka.

seketika semua menjadi tak karuan, aku selalu memikirkan. Apa yang mereka bicarakan tanpa aku ketahui.

**********

Akhirnya Mas Raka ke luar dari kamar, entah apa yang mereka obrolkan.

Karna melihat raut wajah Mas Raka yang seakan gelisah.

Aku menghelap nafas panjang menelan semua yang tak pernah aku dengar.

Namun, sangat terasa di hati, sakit ...

"Apa kata ibu?" tanyaku ketika Mas Raka mengelap keringatnya yang bercucuran.

"Oh gak ko, kamu istirahat saja ya. Mah. Papah mau ke luar, nyari kerjaan dulu."

Aku mencium punggung tanganya dan tak lupa mendoakan kepergian suamiku untuk bekerja, mudah-mudahan ia dapat kerjaan.

Jadi gak nganggur lagi. Biar aku cepat pergi dari rumah ini.

Bab 2 Tatapan mata ibu mertua

Aku segera membereskan bekas makanan di meja, perut kini terasa perih. Membuat tangan ini perlahan menekan perut.

"Aku belum makan dari tadi pagi."

Tangan ini mencoba membuka tutup makanan, tidak terlihat sayur di atas piring, hanya ada nasi dan air putih saja.

Menghelap nafas, sayur kangkung yang kubuat dan juga perkedel jagung sudah habis tak tersisa sedikit pun untukku.

Ada raut rasa kecewa pada hati ini, membuat bibirku mengkerut menahan rasa kesal," Mas Raka, emang enggak ingat apa sama Ana?"

Ana berusaha tegar, ia mengambil nasi dan menaburi nasi hangat yang berada dalam piringnya dengan garam.

Ketika perut lapar, rasanya begitu nikmat. Padahal tadi aku tak nafsu makan, akan tetapi setelah mendengar suamiku ingin bekerja membuat nafsu makanku kembali lagi.

Aku sudah tak nyaman tinggal di rumah ibu. Semua pekerjaan aku yang bereskan. Karna merasa hidupku hanya menumpang dan Mas Raka pengangguran.

"Mm."

Ibu mertua datang menghampiriku, dimana ia hanya diam tak bertanya satu patah kata pun.

Ia menyodorkan satu keresek hitam di depanku, membuat aku hanya diam seribu bahasa.

Wanita tua itu langsung pergi begitu saja. Aku yang beres makan segera mungkin mencuci piring dan membereskan dapur. Agar terlihat bersih.

Saat matahari sudah mulai tenggelam, sedikit demi sedikit sinarnya muali redup. Aku yang menunggu kepulangan Mas Raka, di depan pintu.

Entah kenapa  hati ini cemas, takut. Mas Raka kenapa-kenapa.

"An, kamu ngapain? Masuk neng udah magrib, kita shalat bareng." Panggilan bapak terdengar di telingaku.

"Iyah pak," jawabku menutup pintu depan rumah, aku tergesa-gesa pergi ke kamar mandi.

Dan Brug ...

Tubuhku terjatuh karna, bertabrakan dengan ibu.

"Aduh bu, maaf Ana enggak sengaja." tanganku meraih tubuh ibu, untuk segera membangunkannya.

Seperti biasa ibu tak berkata apa-apa, hanya saja sorot matanya yang menatap tajam ke arah wajahku.

Ibu langsung bergegas pergi, meninggalkan aku yang seakan mematung di abang pintu, kamar mandi.

"An, cepat kamu Wudhu. Bapak nunggu kita."

Suara ibu terdengar pelan, tubuh ini langsung berbalik ke arah suara itu. Tapi ternyata ibu hanya berkata sembari membelakangi tubuhku.

Setelah selesai wudhu, kami menjalani shalat berjamaah. Untung saja si bungsu Lulu anteng sama kakak-kakak nya Farhan dan Radit.

Setelah selesai shalat terdengar suara pintu di ketuk, aku bergegas menghampiri suara itu.

Tok ... Tok ...

"Mas Raka," saat pintu di buka ternyata temannya.

"Anu, Mas Rakanya ada?" tanya Bang Ilham sahabat nongkrongnya Mas Raka.

"Aduh, Bang Ilham toh. Maaf bang Mas Rakanya  gak ada dari pagi, entah kemana saya kurang tahu. Ngomongnya cari kerja."

"Oh ...,  ya sudah mba. Maaf ganggu, saya kira Mas Rakanya ada."

"Iyah bang."

Kenapa? Aku cemas sekali Mas Raka belum pulang. Ada apa? Tubuh ini menyender di jendela, seakan menunggu kedatangan suami yang entah kapan dia pulang.

"Kamu ngapain di sana?" ucap ibu mengagetkan lamunanku.

"Anu bu, nungguin Mas Raka!" jawabku menunduk pandangan.

Ibu berlalu pergi mengeleng-gelengkan kepalanya, semenjak tinggal di rumah mertua. Serasa tak ada teman untuk saling berbagi, berbeda saat tinggal di rumah  ibu sendiri saat ada masalah apapun aku selalu bercerita.

Dan ibu selalu mendengar kelah keluhku, tak seperti ibu mertua yang hanya berkata satu dua patah kata saja.

Sampai aku segan untuk mengajak mengobrol. 10 tahun menjalani bahterai rumah tangga di saat itu pun kepergian ibu yang baru beberapa bulan.

Dengan terpaksa aku harus tinggal di rumah mertua. Karna, rumah orang tuaku di ambil alih oleh Kak Indah.

Kak Indah tak mau aku tinggal di sana, dia tak suka melihat Mas Raka yang hanya pontang panting tanpa pekerjaan.

Kenapa dengan Mas Raka, semenjak melahirkan Lulu. Mas Raka jadi pemalas.

Apalagi tinggal di rumah ibunya sendiri.

********

Pagi hari rutinitas seperti biasa aku jalani tertunda karna si kecil Lulu rewel.

Badannya panas.

"Mah kenapa dede nangis terus?" tanya Farhan menghampiriku.

"Iyah, mah." ucap Radit.

"Ibu gak tahu, kayanya Lulu demam. Apa kalian bisa bantu mamah."

"Bantu apa."

"Mamah, mau bawa Lulu ke puskesmas di depan sana. Kalian tolong cuci'in baju kakek sama nenek ya."

Mereka mengangguk mengiyakan perkataanku, karna kalau pekerjaan rumah tertunda ibu bisa marah kepadaku.

Dari tadi pagi aku tak melihat sosok wanita tua itu. Akh mungkin mertuaku sedang mongobrol dengan tetangganya.

Setiap pagi mertuaku tidak pernah ada di rumah, dia selalu keluyuran entah kemana. Mencari teman mengobrol dan bergosip.

*********

Langkah kaki ini dengan cepat melangkah ke arah kamar, mengganti pakaian dan mengambil dompet.

Saat tengah mengecek  dompet. Tak ada satupun lembar uang yang ada di dalam dompet.

Padahal, uang tabunganku waktu pindah ke rumah mertua masih ada 1 juta.

Tapi, kenapa tak ada sepeserpun.

Entahlah karna panik aku melihat pecahan uang 5000 2 lembar yang ada dimeja, karna cemas melihat keadaan Lulu.

Dengan terpaksa aku mengambil uang pecahan  itu.

Nanti kalau uangnya sudah ketemu akan segera ku ganti.

Aku berjalan melangkahkan kaki melewati rumah-rumah tetangga.

Saat itu langkah kaki seakan terhenti mendengar terikan ibu.

Raut wajahku hanya melirik sekilas tanpa menoleh ke arah suara itu.

Benar-benar panik di buat Lulu saat ini, hingga aku mengabaikan panggilan ibu.

"Kemana mba?" tanya Bang Ilham memberhentikan motornya.

"Mau kepuskesmas yang ada di dekat sekolah Farhan," jawabku dengan nafas sedikit terengah-engah.

"Puskesmas tutup mba."

"Bagaimana ini, Lulu badannya panas," ucapku sembari menggendong dan meraba-raba jidat anakku.

"Sudah, naik saja ke motor abang. Nanti abang anterin ke rumah sakit di arah sini."

"Rumah sakit agak jauh, dan harganya?"

"Sudah, nanti mba pinjam dulu ajah uang abang. Gantinya abang minta ke suami mba, si Raka."

kepalaku mengganguk  mengiyakan perkataan Bang Ilham. Menaiki motornya.

Sebenarnya ada rasa tak enak hati, takut terjadi fitnah. Tapi apa boleh buat  demi keselamatan anakku Lulu.

*******

"Untung saja ada Bang Ilham. Makasih ya bang," ucapku setelah ke luar dari ruang pemeriksaan anak.

Cukup lumayan lama aku mengantri, untung saja ada yang menolong. Aku di buat kaget dengan keadaan Lulu yang panasnya tidak turun-turun.

"Ga papa mba. Sesama tetangga harus saling menolong."

"Iyah bang, saya tak enak hati."

" Ya Sudah, kita pulang mba, nanti mertua nya Raka nyariin mba."

Sesaat sampai di tujuan Bang Ilham mengantarkan aku sampai ke rumah.

Terlihat ibu langsung menghampiriku, dengan tergopoh-gopoh berlari.

"Ana, dari mana saja kamu?" tanya ibu. Sedikit menyunggingkan bibir bawahnya.

"Tadi Mba Ana, saya antar ke rumah sakit. Soalnya De Lulu demam mak."

Untung saja Bang Ilham angkat bicara,

kalau tidak ibu mungkin taakan mempercayai perkataan yang ke luar dari mulutku.

Setelah itu Bang Ilham langsung pamit pulang kepadaku dan ibu. Ah, lega sekali rasanya setelah membawa Lulu ke rumah sakit.

"Kenapa kamu ke luar gak bilang-bilang sama ibu dulu? Malah nyelonong sendirian," ucap ibu saat tengah berjalan beriringan bersamaan.

"Maaf bu, tadi Lulu demamnya tinggi. Takut kenapa-kenapa." jawabku sedikit menelan ludah.

"Sini biar ibu yang gendong Lulu." wanita tua itu langsung mengambil anakku, dengan sedikit merebut.

Teringat dengan Farhan dan Radit, segera langkah kaki menghampiri dapur.

Saat kulihat, mereka tak ada di dapur.

Terlihat dapur sudah rapih, piring cucian tidak ada begitupun dengan baju sudah ada dijemuran saja.

Apa mereka mengerjakan ini semua? Sudahlah, segera aku mencari keberadaan mereka. Ternyata mereka sedang asik menonton tv.

"Farhan, Radit," ucapku menghampiri kedua anakku yang begitu fokus melihat layar tv.

Radit yang ber umur 9 taun dan Farhan berumur 14 taun.

"Ibu, sudah pulang."

"Iyah, maafin ibu nyuruh kalian membereskan semua pekerjaan ibu di dapur." Aku mencium kedua jidat mereka dan berterima kasih, telah meringankan perkerjaan ibunya ini.

Farhan angkat bicara. "Bukan kami yang melakukan pekerjaan rumah. Bu,"

Alisku sedikit mengerut, seraya berucap." Terus siapa?"

"Nenek yang mengerjakan semua pekerjaan rumah."

"Apa nenek marah, saat mengerjakan pekerjaan dapur."

"Nenek, ngusir kami. Nenek tak bicara apa-apa sama kita. Cuman saat kita tengah asik menonton tv, Nenek begitu berisik di dapur."

"Maksud kalian."

"Nenek seperti orang yang lagi perang, setiap cucian piring yang nenek cuci. Seakan di banting-banting di pukul. Saat Farhan mau bantu, Farhan liat raut wajah nenek yang kesal. Entah kenapa? Liat Bibir nenek manyun terus." ucap Farhan mengeluhkan kelakuan neneknya.

"Ya."

"Makanan yang di meja juga hanya ada garam saja."

"Emang nenek gak masak."

"Gak tau."

"Sudah nanti ibu beliin ayam goreng untuk kalian, tapi kalian sabar ya, uangnya ibu cari dulu, ibu lupa taronya di mana."

Saat itu bibir mereka merekah terseyum senang. Benar apa yang aku pikirkan ibu pasti tak senang saat pekerjaan rumah belum aku bereskan.

Bab 3 Obrolan kedua mertuaku.

Setelah memberi ayam goreng untuk anak-anakku, teringat dengan Lulu. Untuk memberi obat pada dia saat ini juga.

Terdengar obrolan ibu yang mengadu ke bapak. Emh, ibu menyebut namaku lagi. Dan terdengar jelas perkataan ibu.

Membuat hatiku sedikit teriris sakit.

Kalau saja ibu kesal kenapa tak langsung bicarakan kepadaku. Malah mengadu pada bapak mertua.

kulihat pintu terbuka, aku hanya bisa mengintip pada sela pintu yang sedikit terbuka.

"Bapak  tahu enggak, si Ana, menantu kita. Anak demam langsung bawa ke rumah sakit, apa-apa ke rumah sakit. Kaya banyak uang saja," ucap ibu. matanya menatap ke arah bapak. Aku melihat bapak seakan mengabaikan  omongan ibu.

"Ibu dulu kalau anak sakit, tinggal beli saja obat warung. Gak perlu mahal-mahal di bawa ke rumah sakit," ibu terus saja mengoceh di depan bapak.

Terlihat bapak hanya mengeleng gelengkan kepala, sesekali memijit jidanya karna mendengar omelan sang istri.

Sedangkan aku yang mendengar omelan ibu, hanya terpaku diam, seperti patung yang berdiri hampir roboh. Sakit sangat sakit.

"Ya, biarin toh, duit dia sendiri." jawab bapak menatap ke arah jendela. Seakan tak mau berdebad dengan ibu.

"Alah.  Bapak, ini ibu ngomong cuman jawabnya gitu aja. Harusnya dia sadar diri, sudah tahu numpang, banyak tingkah," cetus ibu, mebenarkan ucapanya yang tak mau kalah dengan bapak.

Memegang dada ada rasa luka di sini.

"Justru kita harus bersyukur, Ana sedikit membantu pekerjaan ibu." Bapak sedikit membela aku. Bapak mertua memang selalu ramah semenjak aku datang dari rumah ini. Tidak ada wajah ketidak sukaanya, tapi berbeda dengan ibu yang terkesan jutek.

Aku terus mengintip di depan pintu apa yang ibu omongin saja sama bapak.

"Tetep saja makan kan dari ibu, dan anaknya kan ada tiga. PEMBOROSAN," perkataan mertuaku seakan tak suka dengan aku dan anak-anakku.

"Bukanya Ana juga membantu, dari beli sayuranya. Farhan, Radit dan Lulu. Bukanya cucu kita juga kan," jawaban bapak. Sedikit membantah apa yang di bicarakan ibu.

Terlihat bapak seakan lelah menanggapi ucapan ibu yang tiada henti lurus tak ada belok belok sama sekali.

"Ah, susah kalau ngomong sama bapak, mending ngobrol sama tetangga. Lebih tahu apa yang di rasakan ibu," gerutu ibu. Melipatkan kedua tanganya.

Pada pintu yang terbuka sedikit. Aku melihat bapak hanya menggeleng-geleng kepala, dan beranjak pergi dari tempat duduknya.

Setelah membuka pintu bapak tertohok kaget, melihat aku sudah ada di abang pintu. Aku hanya terseyum merekah, merasakan perih di dada.

"An, sejak kapan kamu ada di sini?" tanya lelaki tua itu, aku hanya menunduk pandangan menahan air mata yang takut bapak lihat. Walau sebenarnya air mata sudah tak terbendung lagi.

"Maaf pak, baru saja." ucapku lirih, menutupi semua rasa sesak di dada. Mendengar ucapan ibu, yang selalu diam jika aku bertanya. Atau pun berhadapan denganya.

Seketika ibu ke luar mendengar obrolan aku dan bapak.

"Maaf bu. Ana mau ngasih obat sama Lulu,"  Aku menunjukan tentengan keresek kecil, yang berisikan obat untuk si bungsu Lulu.

"Lulu tidur, di kamar ibu." jawab ibu sedikit ketus, sembari melipatkan  kedua tanganya.

"Ya sudah, nanti kalau bangun tolong kasih tahu ya." Ku tatap raut wajah ibu, yang tak menatap kearah wajahku sama sekali.

Apa sebegitu bencinya ibu kepadaku.

"Iyah." Hanya kata-kata itu yang selalu terlontar dari mulut ibu. Tidak ada kata kata istimewa untukku saat tinggal di rumah ibu.

"Ya sudah, Keluyuran aja kerjanya." ucap pelan ibu. Membuka pintu kamar dan menutupnya kembali.

Walau ucapan itu pelan, tapi sungguh menyakitkan sekali.

Saat itu aku langsung berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"An."

Bapak memanggil di saat aku berjalan dalam tangisan, padahal aku ingin menjadi wanita kuat. Tapi hati ini menunjukkan kelemahanya.

Bukanya dibuku novel sering ada cerita seperti ini, kuat tidak lemah. Tegar dan tidak bodoh, tapi aku.

Ahk, sudahlah. Aku tidak sama dengan wanita wanita di dunia itu.

"An."

Bapak memanggil namaku kembali, segera mungkin kusapuh air mata ini, agar bapak tak melihat kesedihan yang teriris dalam hati ini.

Mencoba membalikkan badan, melihat bapak menghampiriku.

Ada wajah merasa bersalah, bapak menenangkan pikiran yang kacau ini.

"Jangan kamu masukan ke hati, apa yang kamu dengar dari mulut ibumu, ya. An, emang ibumu kaya gitu," ucap bapak.

Aku kini tersenyum dalam kesedihan yang menjelma pada lubuk hatiku," ya pak. Ana tahu kok."

"Ya sudah, bapak ke ladang dulu, mungpung cuacanya enggak terlalu panas," balas bapak. Lelaki tua yang menjadi ayah dari suamiku.

"Iya pak, mau Ana bikinin bekal enggak pak?" tanyaku pada bapak yang bergegas berjalan pergi ke luar lumah.

"Tak usah An." Teriak bapak. Yang ternyata sudah tak nampak batang hidungnya.

Kesal, sedih bercampur aduk pada hati lemah ini.

Ibu seakan mengabaikan kedatanganku.

Kenapa ibu berkata sedemikian, padahal aku ingin yang terbaik untuk anak-anakku. Apa aku salah sudah membawa anakku yang demam tinggi ke rumah sakit?

Bukanya itu yang harus di lakukan seorang ibu, kenapa ibu mertua malah menyepelekan semua itu? Ahk, aku berusaha melupakan semuanya. Tapi selalu terbesit dalam pikiranku ucapan ibu yang sangat menyakitkan.

Aku segera bergegas ke dapur memasak ayam goreng untuk makan siang.

Kasian Farhan dan Radit, dari pagi belum makan. Kayanya bapak juga belum makan. Masa ibu cuman nyediain garam saja di meja.

Sesak rasanya, kemana Mas Raka sudah 2 hari dia tak pulang-pulang. Aku berusaha berpikir hal yang benar benar membuat diriku tak berburuk sangka pada Mas Raka, bagaimana pun seorang suami berangkat kerja pasti untuk anak dan istrinya.

Walau sebenarnya aku sudah jengah dan lelah tinggal seatap dengan mertua,

"Mas kamu kemana, aku kangen. Kalau enggak ada kamu, hatiku benar benar rapuh. Tidak ada pelipur lara hati ini."

Menarik nafas pelan mengeluarkan masih terasa sesak sekali.

Tak enak hati rasanya, seperti ini.

Masih untung aku punya tabungan untuk bekal di sini, semua karna almarhum ibu.

Dia selalu menyimpan simpanan uang untukku kalau aku lagi kepepet gak megang uang.

"Mah, udah belum masaknya. Kami lapar." Rengekan anakku membuyarkan lamunan, membuat aku beristigpar beberapa kali.

"Iya nak, sabar ya. Ibu lagi goreng ayam kok, kalian tenang ya," ucapku sedikit berteriak, menenangkan rasa lapar pada perut anak anakku.

Walau sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama seperti yang di rasakan anak anakku saat ini, lelah letih dan lapar. Semua bercampur aduk menjadi satu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!