NovelToon NovelToon

Winter di Hokkaido

Cerita di Balik Cerita

Setiap orang pasti (pernah) memiliki sahabat. Teman yang begitu dekat dan selalu ada dalam kondisi apa pun. Kedekatan, kebersamaan, dan kebiasaan menumbuhkan keinginan untuk tak berpisah. Bahkan bermula dari pertemanan, bisa menjadi pasangan.

Namun jika hasrat dan perasaan semakin tumbuh pada sahabat yang sudah menikah, haruskah terus diperjuangkan untuk sekadar mengetahui balasan rasa darinya? Cinta yang seharusnya sudah berlalu, harusnya memuai bersama waktu, malah menemukan cara tersendiri untuk kembali. Cinta terlarang yang dilarang, begitu kah?

Ketika patah hati sedang diobati oleh waktu, dia justru datang membawa mesin waktu. Dia tawarkan kembali kebersamaan. Dia juga suguhkan harapan yang semula sudah dilupakan. Dia menyiratkan patah hati yang akan dimulai dari awal lagi.

Cinta itu rumit dan liar. Katanya bahagia melihat orang yang dicinta bahagia, namun kenyataannya hati tersakiti melihat dia bahagia dengan orang lain. Tidak ingin mengganggu kehidupannya yang baru, tetapi menginginkan kehadirannya setiap waktu.

BAB 1: Curiga

Lampu sudah dipadamkan. Aku langsung memeluknya. Berharap malam ini bisa menggantikan malam-malam sebelumnya yang lelah sehingga tak sempat menyapa bibirnya. Aku kira dia pun sudah siap, karena aroma tubuhnya yang wangi sudah sedari tadi menggoda. Namun tak disangka dia malah melepaskan pelukanku. Kupeluk lagi dengan erat. Mungkin dia butuh penetrasi yang lebih kuat. Lagi, dia melepaskan pelukanku. Sepertinya ada yang salah.

Lampu kamar kembali kuhidupkan. Tanganku meraba posisi kacamata yang tadi aku letakkan di atas meja. Ini tak biasa. Dia yang sudah berbaring mengapa tiba-tiba setengah duduk.

"Ada apa? Lagi capek?" tanyaku halus. Tetapi dia malah menjawab dengan membuang muka. Lalu, kucoba belai rambutnya yang begitu lembut. Namun, entah kenapa dia malah menghardik tanganku. Aku tanya sekali lagi sambil sedikit menggoda. "Kenapa sih? Malam ini aku siap sampai pagi."

Hening beberapa menit hingga kemudian dia mau bersuara. "Selama ini kamu pulang malam terus bukan karena lembur, kan?" tanyanya tanpa ancang-ancang.

"Kenapa tiba-tiba tanya itu? Kamu tahu kan di kantorku lagi audit tahunan. Semua karyawan diharuskan lembur. Kamu sebenarnya kenapa sih?"

"Kamu bohong." Nadanya meninggi. Aku tak mengerti maksudnya menuduhku berbohong.

"Kalau kamu tidak percaya, besok kamu ikut aku ke kantor. Kamu bisa tanya kepada teman-temanku atau bahkan bosku." Aku harus sangat berhati-hati meladeni pertanyaannya.

Dia terdiam selama beberapa menit. Kulihat wajahnya masih tak enak dipandang. Tapi ya sudahlah. Dia tetap istriku yang paling cantik. Mungkin malam ini mood-nya sedang tidak bagus saja.

Kulepaskan lagi kacamata dan menyimpannya di dekat lampu tidur. Bukan tak mau berusaha menelaah maksud dan tujuan pernyataannya, namun ini sudah tengah malam. Lebih baik tidur. Masih ada pagi untuk melanjutkan pembicaraan ini. Pikirku.

Aku matikan lampu kembali, menarik selimut, dan menjatuhkan kepala di atas bantal, tetapi dia malah menarik bahuku.

"Sudah berbohong, bukannya menjelaskan dan meminta maaf, ini malah tidur." Aku pikir tak ada lagi yang ingin dibicarakan. Sedari tadi aku menunggu, dia hanya membisu. Sekarang, malah melemparkan sarkasme.

Aku hidupkan lagi lampu kamar. Dari posisi telentang, kini aku sudah duduk. Namun, posisinya justru membelakangiku. Aku pegang perlahan bahunya dan meminta dia memfokuskan pandangan kepadaku.

"Ada lagi yang ingin disampaikan? Menghadaplah ke arah sini!" pintaku dengan lembut didahului sebuah tarikan nafas panjang. Ternyata tak mudah menahan emosi sembari menahan rasa kantuk.

"Iya, aku tahu pekerjaanmu di kantor banyak. Selama seminggu ini kamu lembur terus. Tetapi selama seminggu itu juga kamu bertemu dengan Ken, kan? Makan siang, makan malam, hingga mengantarnya pulang. Setiap diajak makan malam kamu menjawab sudah makan dengan teman-teman di kantor. Tapi nyatanya apa?" Matanya mulai berair. Sebenarnya aku tak tega, tetapi mungkin menangis akan membuatnya lega.

"Kamu tahu dari mana?" tanyaku dengan tenang agar bisa menepis kecurigaannya.

"Jadi benar, kan?" Jawabannya justru pertanyaan untuk memastikan. Dia juga memukul dadaku cukup kencang. Mungkin karena dalam pukulannya ada cinta, jadi tidak terasa sakit.

Aku diam beberapa saat. Sesekali kutatap wajahnya. Ah, aku tak bisa lagi berakting. Aku memang tak berbakat menjadi aktor. Dari pelipis mata hingga pipinya, aliran kekecewaan dan kekesalan terlukis dengan satir. Entah dari mana dia tahu perihal ini.

"Ya, aku memang seminggu ini bertemu Ken. Tapi kita cuma sekadar makan, nongkrong, atau ngobrol sebentar." Aku mencoba untuk menjelaskan.

Aku sebenarnya tak bermaksud berbohong mengenai hal tersebut. Jika aku cerita dari awal, dia pasti marah. Namun benar kata orang, tak ada kebohongan yang sempurna. Kebohongan atas nama kebaikan ibarat mencinta demi nafsu. Hanya menyimpan api dalam sekam.

"Kamu bisa menyisihkan waktu istirahatmu dengannya. Kenapa tidak denganku? Aku ini istrimu. Istrimu yang sah. Jangankan untuk makan siang bersama. Setiap malam aku menunggu agar kita bisa duduk bersama di meja makan pun, kamu lebih memilih tidur. Kenyang lah, capek lah. Ternyata kamu bukan makan bersama teman-temanmu di kantor. Kamu makan romantis berdua dengan sahabatmu itu, mungkin di sebuah kafe atau restoran mewah." Wajahnya seperti mengeluarkan bara api. Kata-katanya tampak penuh amarah kepadaku. Dia bahkan tak sungkan memberondong pertanyaan terkait kedekatanku dengan Ken. Apa maksudnya? Entahlah! Aku hanya bisa menahan amarah dan mencoba menenangkan dia yang sepertinya berpikir terlalu jauh.

"Kamu terlalu jauh berpikir. Ya, memang aku makan siang dengan Ken dan malamnya kami berjumpa untuk makan malam. Setelah itu, aku juga mengantarnya pulang. Jika aku cerita hal tersebut kepadamu, apakah kamu tidak akan marah?" Aku coba tawarkan pertanyaan tertutup.

"Lalu, menurutmu dengan berbohong akan bisa mengurangi dan menutupi kemarahanku?" Fay semakin emosional.

Sialan! Siapa yang telah menceritakan pertemuanku dengan Ken?! Aku tak pernah merasa ada yang memata-matai belakangan ini. Nyatanya, aku kecolongan.

"Fay.... " Ah, terlalu banyak kata dalam pikiranku, tetapi sulit untuk mengeluarkannya menjadi rangkaian penjelasan.

Saat kami baru awal menikah, aku bercerita tentang Ken kepada Fay. Dia justru mengatakan iri, karena aku memiliki sahabat dari SMA yang masih dekat. Namun, sejak empat bulan yang lalu Ken kembali ke Jakarta - dan aku kenalkan langsung kepadanya - sikap istriku mendadak berubah. Dia mengatakan tidak suka jika karibku berkunjung ke rumah kami. Maka dari itu, kami pun lebih sering bertemu di luar.

Ya, setiap Ken berkunjung ke rumah, Fay selalu menunjukkan ketidaksukaannya. Aku tak mengerti ada apa sebenarnya di antara mereka. Padahal aku lihat Ken selalu berusaha bersikap baik, sekalipun tahu Fay tidak menyukainya.

Ketika aku mencari penjelasan, Ken mengatakan tidak ada apa-apa. Padahal aku tahu ada hal yang disembunyikan. Namun dia hanya menyangkal dengan alasan istriku tidak suka jika dia bertandang, tanpa menjelaskan permasalahannya.

Aku sempat sangat ingin tahu dan berusaha menyelidiki masalah yang membatasi ruang interaksi antara mereka berdua. Akan tetapi, aku selalu disibukkan dengan pekerjaan hingga akhirnya lupa dan tak tertarik lagi untuk mengetahuinya. Lagi pula, aku sudah cukup mengenal karakter istriku dan Ken. Biarkan waktu yang nantinya memperbaiki hubungan mereka. Harapku kala itu.

Istriku pernah secara tegas mengaku cemburu jika aku dekat dengan karibku itu. Berkali-kali aku menjelaskan kepada Fay jika Ken adalah sahabatku dari sekolah menengah atas hingga di universitas. Kami bersahabat sudah cukup lama sehingga hubungan kami pun layaknya saudara. Aku pun bisa membagi waktu untuk istri dan sahabatku. Prioritasku, tentu saja sang istri.

Setelah lulus kuliah, Ken kembali ke Bali. Alasannya untuk mengurus bisnis resort orang tuanya di sana. Hampir empat tahun kami tidak bertemu. Jadi, aku rasa wajar jika kami menjadi dekat kembali untuk melepas rindu. Ken juga kembali ke Jakarta untuk menenangkan diri paska ditinggal ibu dan ayahnya untuk selamanya. Sebagai sahabat, sudah sepatutnya aku ada di saat dia membutuhkan sandaran untuk meringankan duka yang dihadapinya.

Namun, Fay malah melihat sisi yang lain dari Ken. Dia mengatakan sahabatku kemungkinan besar menyukaiku. Katanya,  tatapan Ken kepadaku seperti menyimpan perasaan yang lain. Ah, aku rasa istriku terlalu berlebihan melihat persahabatan kami.

Aku dan Ken sudah bertahun-tahun bersahabat. Kami teman seperjuangan selama menempuh pendidikan. Hal yang wajar jika ikatan kami cukup kuat, meski pernah terpisah bertahun-tahun.

Bercerita tentang Ken, dia sosok yang introvert. Bahkan semasa kuliah sering dijuluki “The Exclusive Man”. Dia tak mudah bergaul dengan banyak orang.  Jika Ken menyukaiku, mana mungkin dia meninggalkanku dan kembali ke kampung halamannya tanpa banyak memberikan kabar. Fay sangat berlebihan menyikapi hal ini, menurutku.

"Fay, sudah berapa kali kita membahas hal ini?" tanyaku setelah cukup mengingat masa lalu. Terus terang, aku sangat lelah.

"Ya, sudah sangat sering. Tapi sepertinya kamu mudah sekali lupa sehingga harus terus diingatkan." Kata-katanya terdengar begitu sinis.

Aku menarik nafas lebih dalam dari sebelumnya. Fay meminta Ken tidak datang ke rumah ini lagi, itu sudah dituruti. Namun ketika dia memintaku menjauhi Ken juga, aku tak bisa menjanjikan hal tersebut. Alasannya sudah sangat jelas berkali-kali kuungkapkan. Aku dan Ken hanya bersahabat. Salahkah jika aku membagi sedikit waktu untuk menghiburnya?

Aku berusaha tenang dan menjelaskan lagi kepada Fay. "Fay, aku dan Ken bersahabat sejak SMA. Kami seperti saudara. Di Jakarta, hanya aku temannya yang paling dekat. Lagi pula, aku dan Ken hanya mengobrol sebentar. Mengertilah, Fay! Dua tahun lalu ibunya meninggal, aku tak ada di sampingnya. Setahun yang lalu ayahnya meninggal, saat itu kita baru saja menikah, dan aku baru tahu beberapa minggu yang lalu kabar tersebut. Sekarang usaha keluarganya sudah collapse, makanya dia pindah ke Jakarta untuk menenangkan diri sekaligus mencari pekerjaan di sini. Dia sedang membutuhkanku untuk bisa bangkit dari semua masalah yang terus menimpanya."

"Lalu, cuma dia yang butuh kamu?" Fay mencoba membalikkan perkataanku. "Waktu sehari kamu habiskan bekerja, sisanya berdua dengannya. Aku ini istrimu yang setiap hari menunggumu di sini. Menunggu untuk makan bersama sambil bercerita. Apa aku juga tidak butuh kamu? Apa karena dia sahabatmu dari SMA, jadi dia lebih penting dari aku?"

"Fay...." Aku berusaha menahan tangannya yang hendak memukulku dengan bantal.

"Untuk apa kamu menikahiku jika cuma dijadikan hiasan? Rumah ini hanya tempatmu tidur dan menunggu pagi." Aku semakin tak mengerti arah pembicaraannya.

"Fay, jangan over thinking!" Aku naikkan nada bicara sedikit.

"Persahabatan kalian layaknya saudara, benarkah? Atau itu hanya menurutmu saja. Aku percaya kamu setia dan bisa menjaga rasa. Tetapi, kekhawatiranku yaitu kepada Ken. Dia selalu berusaha merebut perhatianmu dengan iming-iming persahabatan. Padahal Ken itu suka kan sama kamu?”

"Fay!!!" Aku spontan membentaknya, karena dia sulit memahami kondisi yang secara gamblang sudah aku jelaskan. Untungnya, pikiranku masih kuat untuk menghalau semua lahar emosi.

"Hebat! Sekarang kamu berani membentakku demi membela sahabatmu itu." Air mata Fay semakin deras sama seperti pertanyaannya. Padahal sebelum ini kami sudah berjanji tak akan pernah membahas hal ini lagi.

Percakapan mulai tak tentu arah. Aku pusing. Rasanya ingin keluar kamar saja, meninggalkannya sejenak hingga angin meredam panas di antara kami berdua. "Terserahlah! Aku sudah menyerah untuk menjelaskan."

"Oke, kalau begitu. Sekarang lebih baik kamu tentukan saja pilihan. Aku atau dia?"

Aku tak menduga Fay sampai menyodorkan pilihan seperti itu lagi, lagi, lagi. Bagaimana aku harus memilih antara dia dan Ken? Selama ini aku berusaha menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Punya istri yang sangat aku cintai dan sahabat sebagai kawan bermain di luar rumah. Bukankah ini lumrah?

"Sudahlah, Fay. Jangan buat aku pusing!"

"Membuatmu pusing? Aku yang udah membuatmu pusing? Antara aku dan sahabatmu itu, jadi kamu lebih mencintai dia. Ternyata benar kecurigaanku." Ujarannya semakin memekik pekatnya malam.

"Fay!" Aku membentaknya lagi, meski tak sekeras sebelumnya. Tahan! Suasana semakin panas. "Ya, aku sangat mencintai dia. Juga sangat mencintaimu. Bagaimana bisa aku memilih, sementara rasa cintaku ke kamu dan dia berbeda?! Aku mencintaimu sebagai istriku, dan mencintainya sebagai sahabatku."

"Tapi dia mencintaimu tidak seperti itu?"

"Dari mana kamu tahu?" Aku heran Fay bisa berpikir seperti itu.

"Dia mencintaimu layaknya seseorang yang ingin menjadikanmu pasangannya."

Pernyataan Fay tersebut membuat emosiku *******. "Fay, stop berpikiran seperti itu terhadap Ken."

"Terus saja kamu bela dia. Jangan-jangan sebenarnya kamu...."

Aku tahu yang dia maksud. Maka dari itu, tak kuberi dia kesempatan melengkapi kalimat tersebut. "Aku sudah tak tahan dengan percakapan ini. Jika itu yang kamu pikirkan terhadapku. Coba sekarang kamu bayangkan dari awal kita bertemu hingga akhirnya kita menikah. Semuanya yang kamu minta aku turuti. Tidak hangout bareng teman-teman, menghabiskan weekend bersamamu dan teman-temanmu, olahraga di rumah. Semua aku lakukan, karena aku cinta sama kamu, Fay." Akhirnya, aku pun tak kuasa lagi membendung air mata.

Tidak bisakah aku menjalani kehidupan tanpa harus meninggalkan salah satu? Aku tak mungkin begitu saja meninggalkan Ken. Dia sangat berarti bagiku. Aku mencintainya. Aku anggap dia sebagai bagian dari keluargaku.

"Lalu, kenapa begitu sulit bagimu untuk meninggalkan Ken? Aku tak masalah kamu berteman dengan siapa pun, tetapi please jangan sama dia."

Aku kira Fay sudah paham. Nyatanya penjelasanku tak membekas sedikit pun di pikirannya.

Jika diteruskan, percakapan ini tak akan kunjung selesai layaknya debat kusir. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mendinginkan kepala. Namun, Fay menarik tanganku. Aku berusaha melepaskan, tetapi dia semakin kuat mencengkramnya. Lalu, kupeluk saja dia.

Fay terkejut. Dia diam beberapa waktu hingga akhirnya memutuskan untuk membalas pelukanku. Mungkin dia sudah puas menyampaikan uneg-unegnya.

"Fay, aku tidak bisa mencegah seseorang untuk mencintaiku. Apalagi melarangnya untuk mendekatiku. Tetapi, aku sudah memilikimu. Kamu yang selalu ada di setiap langkahku. Kepercayaanlah yang bisa menjaga kita, Fay."

Perlahan aku usap air mata di pipinya. Dia tampak sudah lebih tenang. Meski malam ini birahi gagal tersalurkan, aku berharap tak akan ada lagi gangguan seperti ini di malam-malam berikutnya.

Bab 2: Ketakutan

Aku tak tahu ada hubungan apa antara suamiku dengan Ken di luar kata “sahabat”. Ketika suamiku memperkenalkan Ken, aku merasakan ada rasa yang lain pada dirinya. Setiap kali kami bertiga bertemu, dia selalu berusaha menarik perhatian suamiku. Aku tahu mereka bersahabat. Namun, tidakkah dia sadar bahwa sahabatnya itu sudah memiliki istri?!

Awalnya, aku mencoba biasa saja ketika suamiku sering meminta izin untuk pergi mengantar Ken. Namun karena frekuensinya sering, aku menjadi sangat penasaran yang mereka lakukan. Ketika ditanya, suamiku mengatakan hanya main futsal, menonton pertandingan sepak bola, atau sekadar makan sambil mengobrol saja. Katanya jika aku ikut, aku akan bosan. Aku pun menurut dan menyimpan rasa penasaran itu.

Hingga suatu hari, karena terlalu sering mereka beraktivitas di luar, aku meminta suamiku untuk menghabiskan waktu di rumah saja. Jika hanya menonton pertandingan sepak bola atau mengobrol, di rumah pun bisa. Tak perlu ke tempat Ken atau cari tempat di luaran yang membuatku semakin menaruh rasa curiga.

Sesekali sebelum tidur malam, aku berusaha mengorek tentang kedekatan suamiku dengan Ken. Namun, jawaban suamiku selalu sama. Menurutnya, persahabatan dia dan Ken memang dari dulu sudah sedekat ini. Imbuhnya, aku terlalu berlebihan cemburu kepada sahabatnya.

Jujur, aku takut. Aku tak mau pria yang sudah sah menjadi suamiku direbut oleh orang lain. Terlebih jika orang yang berusaha merebutnya adalah seorang pria. Selalu saja, setiap aku melihat Ken bersama suamiku, dia seperti ingin bersaing denganku. Janggal!

Suamiku manut dengan permintaanku. Ken jadi sering datang ke rumah. Mereka kerap menghabiskan waktu dari malam sampai pagi hanya untuk menonton pertandingan sepak bola atau sekadar mengobrol. Aku coba memperingatkan, tetapi suamiku hanya mengangguk. Padahal paginya ia harus bekerja. Aku juga khawatir terhadap kesehatan suamiku jika terus begadang. Ken tak peka akan hal tersebut.

Lalu, beberapa kali aku memergoki Ken menyandarkan kepalanya ke bahu suamiku saat mereka hanya berdua. Aku coba menghampiri, namun kulihat Ken seolah tak mengerti atau memang pura-pura buta membaca sebuah kode. Aku semakin kesal. Ditambah suamiku malah tampak terbiasa. Mengapa dia membiarkan seorang lelaki menyandarkan kepala di bahunya? Apakah itu bukan hal yang aneh? Sekalipun mereka bersahabat, itu terlalu mesra untuk dinilai sebagai persahabatan.

Akhirnya, aku meminta Ken untuk menjaga sikap. Aku katakan kepadanya supaya menghargai perasaanku sedikit saja. Tetapi, dia malah pura-pura tidak paham maksudku. Kukatakan saja secara tegas jika aku tidak suka dia menyandarkan kepala di bahu suamiku, apalagi sampai memeluknya.  Apa yang dia katakan? Dia justru melakukan normalisasi bahwa hal tersebut merupakan perilaku yang biasa yang mereka lakukan sejak dulu. Dia pun berujar bahwa suamiku saja tidak risih, mengapa aku yang risih. Gila! Bisa-bisanya dia membalas ucapanku seperti itu. Aku semakin tidak suka kepadanya. Dia begitu egois. Entah kenapa suamiku juga membiarkan hal tersebut?! Ah, pikiran negatif selalu membuncah ketika melihat mereka berduaan.

Aku berusaha mencari bukti atas kecurigaanku dengan memeriksa percakapan di ponsel suamiku. Benar saja, ada percakapan panjang antara suamiku dan Ken. Kubaca dengan seksama. Sebuah chat di WhatsApp yang menurutku tidak lazim jika mereka hanya bersahabat, terlebih keduanya laki-laki.

Intinya, semua chat yang Ken kirim lebih banyak berisi janji agar suamiku tak meninggalkannya. Janji untuk selalu bersama. Apa seperti itu jika dua orang pria menjalin sebuah persahabatan yang dekat? Kenapa juga suamiku selalu menjawab “iya”?! Jika ketakutanku benar, mereka sangat keterlaluan.

Aku paham membuka percakapan di ponsel orang lain, meski suamiku sendiri, merupakan tindakan pelanggaran privasi. Namun, aku tak mungkin meminta izin untuk melakukan investigasi tersebut.

Hem, membaca obrolan suamiku dan Ken seperti membaca novel romansa, tetapi aku muak menerima kenyataan ini bukan fiksi. Ternyata, selama ini, Ken yang selalu lebih dulu meminta suamiku menemuinya. Bahkan tercantum jelas dia selalu mengirimkan pesan, “Aku sudah di tempat biasa”. Tak ada keterangan tempat pertemuan mereka yang kuperoleh. Namun jelas itu di sebuah kafe atau restoran. Kentara dari foto menu makanan yang Ken juga kirim bersama caption, “Aku sudah lapar, cepat ke sini!”.

Kutelusuri lagi percakapan mereka hingga pegal jariku melakukan scroll up dan down untuk meyakinkan yang kubaca. Percakapan yang nyaris membuat aku membanting ponsel suamiku. Ditambah Ken selalu mengakhiri percakapan dengan kata "Love you". Itu menjijikan sekali!

Malam kemarin, saat hendak tidur aku tanyakan langsung kepada suamiku terkait frekuensi pertemuannya dengan Ken, seberapa sering mereka bertemu. Aku tak tahan untuk tidak mengutarakan penemuanku tersebut tanpa menyebutkan sumbernya. Awalnya dia berusaha menutupi, namun aku paham dia tak pandai berlakon.

Dia mengakui sering menghabiskan waktu dengan Ken seminggu ini. Namun, dia berkilah hanya untuk sekadar menghibur Ken yang tengah bersedih. Apa pun alasannya, kebohongan tetaplah kebohongan. Itu sangat menyakitkan untukku. Aku harus berderai air mata, karena bertengkar dengan suamiku gara-gara orang lain.

Suamiku selalu mengatakan persahabatannya dengan Ken hal yang wajar. Tetapi, apa sebuah kewajaran kata cinta muncul dalam persahabatan antara dua lelaki secara eksplisit? Tidak, aku percaya suamiku straight. Berarti aku harus tegas mengingatkan Ken supaya tak berusaha mendekati suamiku lagi. Meskipun mereka bersahabat, tetapi itu dulu. Harusnya orang itu mengerti sahabatnya sekarang sudah punya istri dan kehidupan yang baru.

Aku harus lebih berani memberi Ken peringatan. Pria tak tahu malu itu rupanya tak mempan diberitahu secara baik-baik. Aku tak akan membiarkan ketakutanku menjadi nyata.

***

Aku memutuskan untuk menemui Ken di apartemennya secara langsung. Jika aku menghubunginya dahulu lewat telepon, dia bisa saja menghindar. Untungnya suamiku tidak pernah mem-password smartphone-nya sehingga ketika ia tidur aku bisa melacak alamat Ken dari pesan di WhatsApp-nya.

Ken tampak kaget mendapati aku berada di balik pintu apartemennya. Aku dengar dia sempat memanggil nama suamiku saat hendak membuka pintu. Jadi, benar suamiku sering menemui Ken di sini. Dasar laki-laki, pintar menyimpan kebohongan. Kemudian, menutupinya dengan menunjukkan wajah tanpa dosa. Pura-pura tidak bisa acting ternyata merupakan acting juga. Tidak! Ini semua salah Ken.

“Oh, Fay. Silakan masuk! Sendirian saja?” Ada perubahan ekspresi yang jelas tampak ketika mendapati tamu yang datang bukan yang dia perkirakan.

“Thanks!” Aku tahu Ken mempersilakan aku masuk hanya basa-basi, karena aku sudah terlanjur ada di depan pintu apartemennya. Dia tak punya pilihan untuk menghindar.

“Ada apa, Fay? Kok tiba-tiba ke sini? Suamimu yang menyuruhmu ke sini?”

Pria macam apa Ken ini. Naif. Berlagak polos. “Ini jam kerja. Suamiku sedang bekerja, dan aku datang ke sini atas kemauanku sendiri.” Aku tak bisa berbasa-basi. Melihat mukanya saja sudah setengah mati menahan emosi.

“Oke. Lalu apa yang bisa aku bantu?” tanya Ken sambil berusaha menata tempat duduk.

“To the point, suamiku sering datang kemari kan akhir-akhir ini?”

“Tidak.” Dia menjawab tanpa mau menggeser tatapannya ke arahku. Tepat, dia sedang berbohong.

“Aku pikir kamu sudah betah di Bali dan sudah melupakan suamiku?” Aku tak bisa menahan diri untuk tidak memberikan pertanyaan satir kepadanya. Rasanya aku ingin membanting setiap benda yang ada di hadapanku saat ini. Sungguh sebuah ironi.

“Apa maksudmu dengan pertanyaan tersebut?” Nada bicaranya mulai tinggi dan mulai berani memandangku.

“Belakangan ini kamu dan suamiku kerap menghabiskan waktu bersama, kan?” Aku tak mau kalah memproduksi tone dengannya.

“Kenapa kamu tidak tanyakan hal itu kepada suamimu saja?” Intonasinya membuatku kesal. “Maaf, aku ada keperluan lain. Aku harus segera pergi.”

Ken memang sangat menyebalkan. Dia berusaha mengusirku dengan alasan klasik seperti itu. Baiklah, sebagai tamu yang baik aku harus memahami ketidaknyamanan sang tuan rumah. Tapi caranya menghindar dariku justru penegasan pertemuan antara dia dan suamiku kerap terjadi lagi.

“Baiklah. Mohon maaf jika aku mengganggu waktumu. Lagi pula, tujuanku ke sini bukan untuk bertamu. Aku hanya ingin mengingatkanmu supaya mengerti bahwa sahabatmu sudah beristri.” Aku tak bisa menahan ucapanku.

***

“Untuk apa kamu ke apartemen Ken?” Nada bicara suamiku terdengar sinis. Padahal ini masih pagi dan aku sedang menyiapkan sarapan.

Oh! Ken mengadu kepada suamiku bahwa kemarin aku ke apartemennya. Dia memang lihai mengambil moment tersebut agar rumah tanggaku menjadi renggang.

“Ken sudah cerita kan ke kamu? Semoga dia tak melebih-lebihkan ceritanya.”

“Aku minta kamu jangan pernah ke apartemen Ken atau berusaha menemuinya lagi. Aku sudah cerita semuanya ke kamu, berkali-kali cerita. Apa itu tidak cukup juga?”  Suamiku marah. Dia bahkan tidak mau bertanya tentang diriku dahulu. Dia lebih membela pria tak tahu diri itu. Hingga sarapan yang aku siapkan pun hanya ditatap begitu saja.

Padahal semua yang kuhidangkan adalah kegemarannya. Segelas susu putih yang plain, sandwich dengan isian doublecheese, ada juga pudding cokelat dengan topping buah-buahan. Namun, ia justru mengiris hatiku dan menaburinya dengan garam. Aku ingin menjerit, tetapi ini masih pagi.

“Mas…” Dengan mata berkaca-kaca aku berusaha mengejarnya. Kenapa dia tiba-tiba marah? Ini tidak seperti dia yang biasanya. Padahal ketika kami sedang bertengkar, dalam kondisi marah dia biasanya masih berusaha menenangkanku, seperti malam itu.

“Aku berangkat," ucapnya dengan wajah yang tak bersahabat. Tak ada ciuman di atas keningku sebagai rutinitas dia pamit bekerja. Dia seperti tengah tertinggal oleh rambatan cahaya matahari.

Ken!!! Pasti ada cerita yang dia lebihkan kepada suamiku. Aku menjadi tak berselera untuk melakukan tugas sebagai ibu rumah tangga di pagi hari. Haruskah nekad saja menemui Ken untuk meminta pertanggung jawaban atas situasi yang sudah dia ciptakan ini?! Tetapi dia pasti mengadu lagi kepada suamiku. Itu bisa jadi amunisi tambahan baginya untuk merebut pendamping hidupku.

Seorang sahabat harusnya mendukung sahabatnya, bukan malah membuat kekisruhan dalam rumah tangga sahabatnya. Semuanya semakin jelas. Aku takkan membiarkan suamiku menyimpang kepada laki-laki yang memanfaatkan persahabatan untuk menutupi orientasinya. Tidak akan pernah!

***

Suamiku mulai pulang dari kantor seperti biasanya beberapa hari ini. Aku senang, karena bisa kembali menikmati makan malam di rumah berdua dengannya. Katanya sudah tidak ada lembur dan pekerjaan tambahan lagi. Audit tahunan di kantornya sudah kelar. Artinya di weekend ini kami bisa jalan-jalan lagi. Namun, tetap saja Ken tidak bisa lepas dari pikiranku. Minggu kemarin suamiku melakukan lembur ganda, bekerja dan menemani pria itu. Situasi ini belum jelas. Selama Ken masih di Jakarta, kemungkinan dia menemui suamiku di jam istirahat atau waktu pulang kerja selalu ada. Aku ingin masalah ini segera selesai. Aku tak mau rumah tanggaku terus dibayangi olehnya.

Seketika terbersit ide untuk memperjelas posisi Ken di dalam hubungan aku dan suamiku. Tadinya, weekend ini aku ingin mengajak suamiku makan di luar bersama Ken, namun ternyata suamiku sedang ingin menikmati waktu di rumah. Katanya, sudah lama tak merasakan nikmatnya bersantai di rumah seharian.

Suamiku sempat curiga ketika aku meminta mengundang Ken makan bersama di hari Sabtu ini. Aku menjelaskan tak ada maksud apa pun, selain ingin mengenal Ken dan membuktikan persahabatan mereka hanya sampai sebatas saudara. Suamiku akhirnya setuju dan tak banyak bertanya lagi. Dia hanya mengatakan mungkin aku sudah bisa menerima Ken dan sedang berusaha menjalin hubungan baik dengan sahabatnya itu.

Aku tidak punya niatan jahat sedikit pun terhadap Ken. Sekali lagi, aku hanya ingin dia sadar sahabatnya sudah memiliki istri dan kehidupan baru. Itu saja. Dengan duduk bersama antara aku, suamiku, dan dia, aku berharap bisa mengungkap semua kedustaan yang diselimuti persahabatan.

Suamiku punya banyak teman. Dia mudah bersosialisasi dengan orang lain. Tetapi tak ada yang sikapnya seperti Ken, yang terus menemui suamiku dan menggerogoti kebersamaan kami. Wajar kan jika aku benar-benar curiga terhadap dia?!

***

Setelah ditunggu selama kurang lebih setengah jam, Ken pun datang juga. Aku mempersilakannya masuk dan duduk layaknya tamu. Aku tidak sedang berpura-pura baik terhadapnya. Aku hanya berusaha menciptakan suasana kondusif agar obrolan kami nantinya lebih terarah.

Melihat Ken datang, suamiku tampak antusias. Sementara aku harus menahan rasa kesal sejenak. Terlebih Ken tak acuh dengan keberadaanku. Terus saja dia melemparkan pertanyaan kepada suamiku, dari mulai kabar hingga tentang pekerjaan.

Selesai makan siang, aku berusaha menyiapkan timing dan posisi yang pas untuk mulai membuka obrolan perihal hubungan segitiga ini.  Kulihat Ken dan suamiku justru tampak tengah sibuk menghisap rokok di teras rumah.

Mendengar obrolan mereka terhenti, aku langsung menghampiri dan duduk di depan mereka. Ken terlihat begitu kaget.

“Mas, kita bisa mengobrol bertiga, kan?” tanyaku sebagai formalitas pengantar saja.

“Ya, tinggal ngobrol saja," jawab suamiku. "Iya kan, Ken?” . Ken pun melihat ke arahku dan mengangguk. Menyebalkan, suamiku lebih menganggap keberadaan Ken dibanding istrinya sendiri. Sikapnya membuatku semakin tak sabar untuk mulai meminta klarifikasi.

Aku tak bisa berbasa-basi lagi. Aku arahkan pertanyaan sambil melihat ke arah Ken. “Kalian bersahabat sudah berapa lama dan apa yang memutuskan kalian untuk bersahabat?”

“Fay, aku kan sudah berkali-kali bilang kita ini sudah bersahabat sejak SMA.” Justru suamiku yang menyambar pertanyaanku. Padahal aku jelas mengarahkannya kepada Ken.

Aku pun berusaha memperjelas subjek pertanyaan yang aku tuju. “Iya, Mas. Aku tahu. Cuma kan sekarang ada Ken, ya aku ingin mendengar cerita menurut versinya. Jadi, apa yang membuat kalian sedekat ini, Ken?”

“Em… Maksudnya, Fay?” Ken memasang wajah polos.

Aku paham Ken berpura-pura tidak mengerti maksud pertanyaanku. Padahal, dia sedang men-delay waktu untuk men-setting jawaban. Dari mana aku tahu? Sudah lumrah. Ketika seseorang bingung dalam menjawab sebuah pertanyaan, dia akan meminta pertanyaan tersebut diulang. Dia cocok menjadi seorang aktor.

“Ya, sejauh apa hubungan kalian?” Aku mempertegas pertanyaanku supaya dia bisa menjawab tanpa meminta pengulangan lagi.

Hem, lagi. “Fay!!!” Suamiku yang justru tersulut. “Apa sebenarnya maksud kamu mengundang Ken ke rumah?”

Aku berusaha tenang, tak mempedulikan suamiku yang mulai mengobarkan amarah. Luar biasanya, Ken bisa bersikap jauh lebih tenang. Paling tenang di antara kami. Dia terus diam, berlindung di balik kata-kata suamiku. “Aku ingin semuanya jelas. Hanya dengan duduk bertiga seperti ini kan segala pertanyaan yang tersimpan dalam kepalaku selama ini bisa clear. So, kamu sudah bisa jawab kan pertanyaanku tadi, Ken?”

“Em….” Ken kembali berlakon polos. Padahal beberapa menit sebelumnya - saat hanya bersama dengan suamiku - dia sangat lancar bercerita. Aku bertaruh dia akan mendapatkan penghargaan atas aktingnya jika dia menjadi seorang aktor profesional.

Ironisnya, suamiku seperti manajer Ken saja. “Jawab pertanyaanku, Fay!” ucapnya setengah berteriak.

Pria lajang yang bersama kami ini memang pandai memanfaatkan situasi. Dia terus memasang mimik kebingungan, dan itu membuat suamiku justru membentenginya.

“Aku lebih dulu bertanya kepada dia, Mas.” Telunjukku lurus mengarah kepada Ken.  “Jadi, bisa kan kamu membiarkan sahabatmu ini menjawab pertanyaanku terlebih dahulu?” Aku juga refleks menandingi suara setengah berteriak suamiku tadi.

Situasi membuat suamiku malah menyudutkanku. “Fay!!!!!!” Braaak! Gelas kopi di atas meja terjatuh ke lantai, karena hentakan kepalan tangan suamiku. Aku sudah mempersiapkan diri untuk situasi seperti ini, tapi tak disangka sikap suamiku melebihi batas imajinasiku.

Aku tak bisa menahan air mata. “Baiklah.” Aku menghela nafas panjang. Sekalian saja kutumpahkan semuanya saat ini, pikirku. “Selama ini aku selalu berusaha memahami tentang persahabatan kalian. Persahabatan yang katanya sudah terjalin lama dan seperti saudara. Namun, semakin lama aku tak melihat hubungan kalian layaknya sahabat. Aku bisa percaya suamiku, tetapi bagaimana dengan dia?” Kali ini aku memutar wajah 30 derajat ke arah Ken.

“Apa maksudmu, Fay?” sela suamiku. Lalu dia memerintahkan aku menurunkan telunjukku. “Jangan bersikap berlebihan! Turunkan telunjukmu!”

“Mas, bisa kan kamu diam dulu?! Aku sangat ingin mendengar penjelasan dari Ken.” Suamiku menatap dengan tajam. Aku anggap itu sebagai permission darinya. “Apa kamu mencintai suamiku, Ken? Tolong jawab sejujurnya!”

Akhirnya, dia tak lagi menjual mahal suaranya untukku. “Ya, aku mencintai suamimu. Cinta sebagai seorang sahabat, layaknya saudara.” Ucapannya nampak sekali dibuat manis. Hanya rekaan lidahnya saja. Pasti dia lakukan itu untuk mendapat atensi suamiku. Dasar munafik!

“Apa mungkin seorang sahabat, dua orang pria, mengirim pesan cinta, kata ‘I Love You’ kepada sahabatnya dan memintanya untuk tidak meninggalkanmu?” Aku semakin bernafsu untuk menyelesaikan masalah ini.

Aku lihat suamiku hendak menyela. Langsung saja kuhalangi dengan menyodorkan tangan terbuka. Lagi, dia berusaha membela Ken. Atau mungkin suamiku ingin mengatakan aku lancang membaca pesan WhatsApp-nya. Aku siap jika dia memarahiku atas hal itu, tetapi setelah aku mendapati tak akan ada lagi dusta dalam pernikahan ini.

“Lalu di mana letak salahnya, Fay?!” ucap Ken dengan raut tak berdosa. Andai saja aku bisa menampar wajahnya.

“Kamu selalu berusaha merebut waktu dan perhatian suamiku. Kamu tidak lupa kan bahwa sahabatmu sudah menikah dan aku ini masih istrinya?” Aku benar-benar muak melihat Ken yang memasang wajah datar, seolah perbuatannya bukan sebuah kesalahan yang harus diperbaiki. “Betapa pun dekatnya sebuah persahabatan, pasti ada batasan kan ketika sahabatnya sudah berumah tangga?”

Ken hanya diam ketika aku sodorkan pertanyaan begitu. Aku pun tak ingin kediamannya justru dimanfaatkan oleh suamiku untuk menghardik pertanyaanku

“Aku mungkin tidak tahu konsep bromance, tetapi aku ini wanita. Aku bisa merasakan wanita yang menyukai suamiku, juga pria yang menyukai suamiku. Kamu selalu memeluk suamiku bukan dengan pelukan persahabatan atau pun persaudaraan kan? Lalu, di belakangku kamu menemui suamiku. Untuk apa harus sembunyi-sembunyi jika hanya sekadar bersahabat? Teman suamiku banyak, tapi semuanya normal. Tidak ada yang sepertimu.”

Kali ini Ken memberikan tatapan tajam kepadaku. Aku tidak takut. Biarkan suamiku melihat kebenaran dan sifat asli sahabatnya ini.

“Aku tahu sahabatku sudah menikah. Aku sadar, sangat sadar. Bahkan aku bahagia dia sudah menikah.” Apa maksudnya memberikan tekanan pada kalimat terakhir? Dia telah mendidihkan darahku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Lalu?” Aku ingin dengar apa yang sebenarnya ingin dia jelaskan.

“Jangan-jangan kamu yang lupa bahwa suamimu juga punya sahabat? Punya teman-teman dan kehidupan lain yang sudah erat dibangun, bahkan sebelum dia mengenalmu. Dia memang sudah jadi suamimu, tetapi bukan berarti dia milikmu seutuhnya. Dia juga punya kehidupannya sendiri. Kamu seharusnya tidak se-egois ini!”

Apa? Dia malah menceramahiku dan mengatakan aku egois. Pandai sekali dia berkata-kata dan cari muka, memutarbalikkan fakta. Pantas saja kemarin aku dimarahi suamiku. Dia pasti mengadu dengan meramu kata-kata teraniaya.

“Kamu tak perlu melabeli aku egois jika kamu saja masih jauh lebih egois dariku. Kamu sadar, tapi menutup mata. Apa itu namanya?” Jangan pikir aku akan kalah dalam permainan kata-kata. “Sekarang terus terang saja, apa kamu gay?”

Plaaaak! Tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Aku tak menyangka suamiku yang kupikir hanya mencermati perdebatan aku dan Ken justru malah melakukan pembelaan terhadap si Brengsek itu dengan cara seperti ini. Ataukah ini pembelaan untuk dirinya juga?

Aku tak bisa lagi berada di antara mereka. Ini sudah jelas. Sangat jelas. Suamiku justru melakukan hal yang tak pernah kusangkakan.

Sambil memegang pipi yang terkena cap telapak tangan suamiku, aku menangis, berlari menuju kamar. Aku mendengar suamiku sempat memanggil. Namun, aku tak ingin melihat mereka berdua. Kukunci kamar. Lalu, menutupi muka dengan bantal sambil mengeluarkan semua air mata. Aku ingin pulang ke rumah ibu dan ayah. Mereka saja tak pernah memukulku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!