Kamingsun memacu motornya pulang ke rumah. Dia adalah seorang mahasiswi yang baru saja menerima ijasah D2 keguruan. Jarak antara kota M tempatnya kuliah dan kota J tempat orang tuanya tinggal tidaklah dekat. Butuh beberapa jam jika ditempuh dengan motor.
Tapi kali ini dia ingin memangkas waktu perjalanannya menjadi setengah dengan menggunakan motor bututnya.
Terik matahari dan angin kering berdebu musim kemarau tidak menyurutkan keinginannya untuk pulang.
Sampai di depan pintu, motor butut itu digeletakkan begitu saja.
"Pak...Bu," teriak Isun keras-keras.
"Eh...datang ga pakai salam, teriak-teriak. Dasar gak punya sopan santun. Baru lulus kuliah sopan santunnya langsung hilang. Mau jadi apa kamu!" teriak ibu sambil membawa sapu lidi yang diacung-acungkan ke udara.
Ya jadi guru lah Bu, kan sekolahnya di keguruan–Isun
Tapi yang keluar dari mulutnya, "Bu, aku mau kawin," sambil memegang tangan ibu erat.
Ibu melongong, mulutnya terbuka lebar. Kalau ada pasukan lalat yang lewat pasti akan langsung masuk tanpa hambatan.
"Kamu bilang apa?"
"Aku mau kawin Bu...mau kawin!" Isun malah mengeraskan suaranya, kakinya dihentakkan diatas lantai semen rumahnya.
Isun langsung menghentikan apapun yang dia lakukan ketika mendengar bunyi, "gubrak," yang keras.
Bersamaan dengan teriakan ibu, "pak...!!!" ibu menarik tangan Isun
"Sun bapakmu pingsan..."
...***...
Dua Minggu yang lalu.
"Kamu jangan terlalu kuno Sun. Kenalan sama yang namanya aplikasi pertemanan."
"Nggak ah, aku nggak suka, informasinya bisa saja bohong kan..." Isun berusaha menolak kemauan sahabatnya.
Selama ini dia berusaha untuk menjaga jarak dengan makhluk yang berlabel lelaki.
Pertama karena orang tuanya berharap banyak padanya. Dia adalah anak pertama dari dua bersaudara. Bapak sama ibu ingin Isun bisa memberikan contoh yang baik bagi Sekondanu adiknya.
Kedua, orang tuanya bukanlah orang kaya. Untuk biaya kuliah saja, bapak menyiksa sapi kesayangannya. Setiap satu tahun si putih harus bisa melahirkan seekor anak sapi yang nantinya akan dijual. Sekarang bahkan si putih tak bisa lagi berdiri karena terlalu sering melahirkan.
Ketiga, bapak dan ibunya ingin Isun menjadi seorang pegawai negeri. Setelah lulus ini nanti, dia akan melamar menjadi guru dengan status pegawai negeri.
"Kamu nggak aku suruh kawin Sun. Cuman aku kenalkan pada aplikasi pertemanan buat nambah teman."
"Nggak," deretan karena tadi yang semuanya muncul berbaris di kepalanya membuat Isun tetap pada pendiriannya.
Tapi karena desakan yang terus menerus dengan iming-iming berbagai macam foto lelaki dan perempuan. Dengan alasan untuk memperluas pertemanan. Agar bisa mendapat lebih banyak info tentang lowongan kerja, Kamingsun mulai tergoda.
Suatu kali dia melirik.
Sepertinya asik juga punya banyak teman.
Lalu keesokan harinya Isun melihat lebih lama akun sahabatnya.
Banyak juga temannya. Dari berbagai kota pula.
Kemudian ikut berselancar dan tertawa dengan berbagai komentar yang tertera disana.
Jadi sering ketawa lihat komentarnya. Boleh juga nih...
Sampai akhirnya...
"Aku juga mau pasang aplikasinya," tersenyum manis merayu sahabatnya agar dipasangkan aplikasi yang sama di gawai miliknya.
"Agak susah nih...hape kamu keluaran lama."
"Hei...meskipun begitu kan sudah bisa nyambung internet," terus tersenyum sambil menyodor-nyodorkan hape miliknya.
"Katanya nggak mau..."
"Sstt...ayo."
Sejak hari itu Isun sering berselancar, berkenalan dengan teman baru yang belum ditemui. Bahkan foto yang ada disitu pun belum tentu foto asli. Karena banyak akun yang memajang foto artis terkenal.
"Sun aku punya kenalan. Kenalan ini kenalan pacar aku. Nah orang ini nih yang mau aku kenalin sama kamu, kenalannya kenalan pacar aku."
"Ih...ribet," sahut Isun
"Dia lagi cari istri."
"Nggak tertarik?" goda sahabatnya sambil melambaikan gawai nya di depan wajah Isun.
Gawai itu bergerak ke kanan dan kiri tepat di depan muka Isun. Tapi meski begitu dia bisa menangkap gambar seorang pria tampan di situ.
Mata Isun mulai ikut bergerak ke kanan dan kiri, "ih, serius nggak sih ngenalinnya. Gerak terus dari tadi, kepalaku pusing tahu."
"Nih."
Sekarang Isun bisa melihat jelas wajah tampan yang ada disitu.
"Siapa dia?" tanya Isun ingin tahu tapi berlagak cuek. Gengsi lah...
"Namanya Donworry. Dipanggilnya Don seperti tuan-tuan dari kerajaan barat jaman dulu ya, hihihi..." sahabat Isun bercerita sambil terkikik, "dia mahasiswa jurusan Tehnik komputer."
"Orangnya ganteng, pinter, sarjana S-1 pula.
Dia sudah tahu fotomu juga, katanya ingin ketemu langsung."
"Ih...kamu kok seenaknya kasih fotoku ke orang yang nggak aku kenal. Jangan sembarangan dong. Kalau aku diguna-guna bagaimana. Tiba-tiba dia minta kawin terus aku nggak bisa nolak, bagaimana?"
"Heleh mau ketemuan nggak?"
"Iya mau," gitu aja gayanya sok-sokan.
Ketika melihat foto itu. Ada kembang api meledak diatas kepala Isun. Matanya berbinar penuh bintang.
Gantengnya...
Kata-kata ganteng terus berputar keluar masuk ke telinga lalu masuk otak dan keluar lagi. Terus seperti itu keluar masuk semaunya sendiri.
Sambil matanya terus melihat pada foto, Isun berbisik, "kapan aku bisa ketemu sama dia?"
"Besok."
Dari sebuah sudut tidak terlihat, dibalik pohon, Isun memperhatikan seorang laki-laki berwajah tampan. Berkulit sawo matang, bermata indah dengan kumis tipis berjajar rapi diatas bibir.
Senyum terus berkembang di bibir Kamingsun.
Dia jodohku...aku tahu dia jodohku, seseorang yang kutunggu selama ini.
"Bagaimana caranya aku bisa ngobrol dengannya?" tanya Isun sambil terus tetap menatap lelaki itu dari kejauhan.
"Besok, kita antar kamu ketemu sama dia. Dia orangnya agamis, nggak mau bertemu berdua saja dengan lawan jenis."
Ya Allah...aku sudah jatuh cinta padanya.
Inilah yang namanya cinta buta. Gadis muda yang baru pertama kali mengenal seorang pria dan langsung membuatnya jatuh cinta.
Keesokan harinya Kamingsun bertemu delapan mata dengan Donworry. Dia, Donworry, sahabatnya dan kekasih sahabatnya.
"Assalamualaikum Ukhti."
Oh...sapaannya menyejukkan hati.
"Waalaikumsalam," menjawab dengan menundukkan kepala. Malu-malu kucing, biar kelihatan kalau masuk golongan gadis baik-baik.
"Saya tidak berencana untuk mencari dosa, jadi rencananya saya mau mencari calon istri saja."
Kamingsun senyum-senyum tidak jelas. Yang jelas hatinya berbunga-bunga.
"Jadi kalau kamu bersedia, saya akan langsung melamar dan kita pacarannya setelah halal saja."
Entah mendapat kekuatan dari mana. Itu kepala Isun langsung mengangguk berulang.
Seminggu setelahnya kedua anak manusia itu bertemu beberapa kali. Tidak banyak yang dibicarakan. Hanya tentang pernikahan dan janji manis dari Donworry untuk terus mencintai Isun.
...***...
Rumah Kamingsun hari ini...
"Pak, bangun pak..."
"Waduh Bu, kesambet apa anak kita ini," napas bapak masih ngik-ngikan. Disekolahkan selama bertahun-tahun, belum juga kerja, pulang-pulang minta kawin.
"Sabar pak, ibu akan bicara sama anak gendeng ini."
Bapak masih lemas duduk diatas balai yang terbuat dari bambu. Tidak mampu berkata-kata hanya melihat ibu yang sekarang berhadapan dengan anak gadisnya.
"Maksudmu apa minta kawin?"
"Siapa laki-laki yang akan menikahi kamu, apa kamu sudah mengenal baik anak itu, keluarganya? kawin itu tidak segampang hanya menghalalkan nafsu dua anak manusia. Nikah itu artinya menikahkan dua keluarga. Kebiasaan, status sosial, sampai sifat dan watak dua keluarga Sun..."
Isun menarik napas panjang.
"Namanya Donworry, dia seorang sarjana teknik komputer, artinya dia adalah insinyur kalau gelar jaman dulu. Anaknya baik, pinter, perhatian, berjanji untuk menjaga Isun seumur hidup," menjawab tanpa jeda seperti pertanyaan ibunya.
"Hanya itu?"
"Apalagi Bu, Isun nikahnya kan sama Donworry bukan sama bapak, ibu, bude, pakde, mbahnya atau adiknya, kakaknya. Iya kan, Bu..." matanya mulai berkaca-kaca. Susah benar bicara sama ibu.
"O alah Bu," hanya itu yang bisa diucapkan bapak.
"Ibu melarang kamu menikah dengan siapapun yang tidak jelas bebet, bobot, bibitnya."
Ibu menjawab tegas, keputusan ibu sudah final, tidak bisa ditawar, kelihatan dari sinar matanya.
Sambil menangis Kamingsun berjalan ke arah dapur.
Ibu menghela napasnya, kali ini terasa berat sekali. Dia paham benar watak anak gadisnya, tidak akan mudah menghentikan keinginan anak itu.
"Pokoknya aku mau kawin, kalau tidak boleh, mendingan aku mati saja..."
Ibu terlonjak, melompat dari posisi duduknya dan langsung melihat Isun yang keluar dari arah dapur. Sebuah pisau terletak diatas pergelangan tangannya.
"Isun..." teriak ibu, lagi-lagi diiringi suara "gubrak" yang sangat keras, "Pak..." teriak ibu lagi.
"Danu..." teriakan ibu yang terakhir memanggil Sekondanu anak lelaki adik Isun.
Danu keluar sambil berteriak, "Ibu..."
Yang jelas Danu bingung siapa dulu yang akan ditolong.
...***...
Ibu duduk berhadapan dengan Isun. Pisau yang tadi di pergelangan tangan sudah diletakkan di atas meja. Danu juga sudah kembali ke kamarnya.
Mata ibu tajam menatap anak gadisnya. Sementara Isun memilih untuk menundukkan kepala tapi sekali-sekali melirik wajah ibunya.
"Baik, kamu minta kawin?! ibu turuti."
Isun meremas tangannya yang ada di bawah meja. Meskipun telah terbit terang tetapi gelap belum tentu hilang. Isun jadi takut sendiri melihat ekspresi ibu.
Wajah ibu seperti bilang, 'kalau ada apa-apa jangan pernah kau menangis apalagi minta perlindungan sama ibu atau bapak'.
Jadi ngeri kan, kenapa setelah diijinkan jadi merasa kalau akan ditinggalkan.
Tapi Isun sudah bertekad untuk melanjutkan rencananya apapun keputusan ibu dan bapak.
"Minta laki-laki itu untuk datang kesini. Ibu ingin mengenalnya lebih dulu."
Isun mengangguk, "baik Bu, Isun akan bilang sama mas Ori."
"Ori? Ooo, namanya ori. Ori siapa, Original atau Orisinil?" meskipun orang desa ibu termasuk wanita yang berpengetahuan luas.
"Ibu, ih...namanya Donworry," lirih Isun.
"Siapa?" ulang ibu. Sementara bapak masih terus menggerakkan kipas bambu berusaha mengembalikan oksigen ke paru-paru nya.
"Donworry, Bu," kali ini bersuara lebih lantang dengan kepala diangkat memandang ibu lurus.
"Hahahaha...lihat pak. Nama mereka sejenis, anakmu kamu beri nama Kamingsun biar cepet keluar. Laki-laki itu namanya Donworry, biar kita nggak khawatir kali ya setelah keluar anak kita akan dijaga sama si anak itu," ibu makin terpingkal.
Wajah Isun memerah.
Ibu, ada-ada saja.
"Kalau begitu Isun akan kembali ke kota M besok Bu, untuk memberitahu tamannya Mas Ori biar disampaikan kalau ibu ingin ketemu."
Eh, ibu mengernyit.
"Memangnya kamu nggak punya no ponsel laki-laki itu?" tanya ibu.
Isun menggeleng, "seminggu ini Isun lupa buat tanya," jawab Isun terbata.
Wo alah, Nduk...apa kamu ini dipelet atau gimana–bapak, sambil terus kipas-kipas.
"Baru seminggu kenal sudah minta kawin, anakmu ndagel pak," ibu menghela napas.
"Ya wes lah, ibu kawinkan kamu. Bapak pasti ngikut kata ibu. Tapi jangan harap kamu bisa pergi-pergi ke luar rumah lagi."
"Jadi jangan berpikir kamu akan kembali ke kota M untuk menemui temanmu. Hubungi saja melalui telepon."
Ibu berlalu dari ruang tengah, meninggalkan Isun yang ingin menjawab.
Fiks, ibu tidak akan mengijinkan aku keluar rumah lagi.
"Apa to Nduk yang ada didalam otakmu itu," bapak menghela napas.
Isun melirik bapak yang duduk di balai di belakangnya.
"Pak," memasang wajah memelas, "bapak bilang sama ibu ya, aku musti ke kota M pak, hidupku ada disana."
"Walah lebai, yang benar barangmu yang ada disana, di kosan. Hidup...hidup, lah apa sekarang kamu disini mati, cih?!"
Isun meninggalkan kursinya mendekati bapak, memeluk lengan dan menyandarkan kepalanya di bahu bapak, "pak, ayo lah, bapak rayu ibu, biar Isun diijinkan buat pergi ke kota M."
"No wai, anakku Kamingsun, kamu sudah membuat bapak pingsan dua kali tudai, jadi kamu lebih baik nurut sama ibumu."
"Tck", melepas tangan bapak kasar.
Dengan santainya bapak merebahkan diri sambil terus menggerakkan kipas ditangannya, "selesaikan sendiri urusanmu, kamu sudah dewasa," bisik bapak lalu memejamkan mata.
Di dalam kamar Isun mengambil gawainya. Menyentuh nomor sahabatnya lalu mengirimkan pesan.
[Kamingsun] ****, beri aku no hapenya Mas Don.
Menunggu beberapa saat.
[Shity] Nanti aku tanyakan sayang ku, ya. Biar nanti anaknya tanya sama kenalan, kenalannya si Don.
Huh, mau kirim pesan saja susahnya minta ampun.
Selepas Isya baru dibalas, tapi yang membalas bukan kenalan, kenalannya kenalan Don. Tapi yang bersangkutan sendiri.
[Donworry] Ada apa Sun?
Waktu baca kata sun, jadi ngerasa kalau minta sun. Sambil senyum-senyum Isun membalas.
[Kamingsun] Ibu ingin ketemu kamu mas.
"Hihihi"...tertawa kecil setelah mengirim ikon kirim.
[Donworry] Alhamdulillah tiga hari lagi mas dan keluarga akan melamarmu.
Apa?!
Isun berlari keluar kamar menuju dapur tempat dinas ibu tiap hari.
"Bu," mengulurkan ponselnya.
"His, ibunya kerjanya pakai penggorengan, panci, dandang. Buat apa ibu kamu sodori hape."
"Baca dulu, Bu."
"Oh, disuruh baca. Dikira ibu, disuruh buat nggoreng ikan, hehehe."
Ibu meninggalkan kompornya menuju meja dapur. Disitu ada beberapa kursi yang sengaja ditata untuk tempat menyiapkan bahan masakan biar bisa sambil duduk.
Isun membuka pesan dari Don.
"Ini."
Ibu menerima ponsel itu tanpa curiga sedikitpun, "pesan dari siapa sih Sun."
"Baca dulu Bu."
Untuk beberapa detik ibu terdiam. Ponsel Isun masih di tangan ibu. Matanya makin lama makin membulat membaca berulang-ulang untuk meyakinkan sesuatu.
Lalu...
"Pak...!!" berteriak ibu sangat keras dan berlari mendekati bapak yang sudah tertidur di balai bambu ruang tengah.
Isun yang duduk tenang sambil meremas tangannya karena takut ikut melompat dan mengikuti ibu berlari.
"Kita mau kedatangan tamu pak, bagaimana ini?!" teriak ibu sambil menggoyang-goyang paha bapak.
"Masih siang jangan pegang-pegang paha to Bu," bisik bapak masih memejamkan mata.
"Haduh...!!" kali ini ibu memukul lengan bapak berkali-kali, "heh, pak...bangun dulu. Anakmu mau dilamar orang ini loh."
"Ya pasti bakal dilamar, wong anaknya sudah minta kawin," tetap sambil merem.
"Ngelamarnya tiga hari lagi pak!!" teriak ibu akhirnya.
"Apa Bu!"
Waktu bapak hampir merem karena pingsan ibu berteriak lagi, "jangan pingsan dulu. Ini urusannya bagaimana?"
"Wo alah Bu...!"
"Jangan wo alah terus, ayo bangun."
Bapak turun dari balai.
"Ganti baju, pakai peci yang rapi. Aku juga mau ganti pakai gamis."
"Iya...iya," bapak dan ibu bergegas masuk kamar, keluar-keluar sudah berpakaian rapi.
Isun yang merasa bingung hanya bisa melihat ayah ibunya bergantian. Ngelamarnya kan baru tiga hari lagi kenapa dandan rapi sekarang?
Isun ditarik ibu untuk duduk di balai. Ketiganya duduk berjajar. Ibu duduk dengan hati-hati begitu juga bapak. Biar bajunya tidak kusut kalau dibuat duduk
"Sekarang kamu telepon anak itu."
"Mas Ori?" tanya Isun.
"Siapa lagi, ayo cepetan telepon."
Ya Allah cuman telepon aja ganti baju rapi begini.
Setelah beberapa kali dering baru terdengar suara di seberang.
Assalamualaikum Sun...
"Waalaikumsalam mas..."
Ada apa Sun?
"Ini mas, ibu mau bicara."
Oh ibu? baiklah berikan pada ibumu.
Selanjutnya Isun hanya mendengar suara ibu bilang iya...iya...berarti serius ya...baik-baiklah. Sambil kepalanya mengangguk-angguk seperti lawan bicara ada di depannya.
Yang terakhir ibu mengucapakan salam penutup, "iya Bu, wassalamu'alaikum."
Cahaya mata ibu jadi redup. Bapak menunggu sampai wajahnya condong hampir menyentuh pipi ibu. Sedangkan Isun seperti yang sudah-sudah duduk sambil meremas tangannya.
"Tiga hari keluarga nya anak itu mau melamar Isun sekalian nikah siri dulu pak. Untuk nikah resmi nya akan diurus sambil jalan," ibu bicara sangat hati-hati khawatir suaminya pingsan lagi.
Pandangan bapak langsung berubah arah, kosong dan lurus ke depan.
Tiba-tiba bapak berdiri, melepaskan peci dan melipat sarungnya diletakkan diatas balai, "ayo Bu kamu ganti baju, banyak yang harus kita siapkan."
"Sun, kamu masuk kamar." titah ibu. Sedangkan ibu juga masuk kamar untuk ganti baju yang lebih santai biar lincah. Tapi aneh juga ya, kenapa tadi sekedar telepon saja musti ganti baju sih.
"Danu," teriak ibu.
"Iya, Bu."
"Kamu bilang sama paklek dan bulek buat datang, jemput sekarang. Banyak yang musti kita siapkan."
Danu hanya mengangguk sambil melirik kakaknya.
"Sukanya bikin ribut," sambil menoyor kepala sang kakak.
"Ib..."
belum selesai berteriak, Danu melotot, "ngadu sana, gak tak bantuin tahu rasa!"
Bibir Isun langsung menutup rapat.
...***...
Ibu dan bapak sibuk menyiapkan semuanya yang serba mendadak. Karena selain lamaran pihak laki-laki juga ingin menikahkan dua mempelai meskipun hanya secara siri.
"Bapak lagi apa? ngapain nungguin si putih," teriak ibu yang melihat bapak bicara pada si putih sapi kesayangannya.
"Bapak lagi ngobrol Bu."
Ibu yang mondar-mandir antara dapur ke sumur geregetan juga lihat bapak cuman jongkok sambil elus-elus sapi kesayangannya.
"Ngobrol! itu bantu adikmu, banyak yang musti disiapin. Janur, pisang, kelapa gading, semuanya belum siap itu lo."
"Lah kok malah ngobrol sama sapi, emang sapinya ngerti apa yang kamu omongin," terus mengomel sambil ngilang muncul berkali-kali.
"Put, itu makmu ngomel, nanti bapak kesini lagi ya. Sekarang kamu istirahat dulu. Bapak mau menyiapkan diri biar kuat," si putih seperti menikmati kepalanya dibelai bapak lalu mengangguk tanda mengerti.
Udara di dapur suhunya naik, semua orang yang ada di dalamnya berkeringat. Tiga pawonan (kompor dari semen yang biasanya ada di desa) yang ada di dapur semua menyala.
Kesibukan begitu terasa. Maklumlah ini adalah pernikahan anak pertama yang membutuhkan banyak printilan.
"Bu, aku mau ngomong," bisik bapak dari punggung ibu.
"Ngomong saja," tangan ibu sibuk mengaduk jenang, salah satu makanan khas dari Jawa yang terbuat dari tepung beras dan ketan dicampur santan lalu diberi gula aren.
"Jangan disini, ndak enak sama orang-orang."
"Pak, lihat ini, aku lagi sibuk. Kalau jenangnya gosong bagaimana? siapa yang disuruh gantikan mengaduk jenang. Semua pada sibuk kamu malah minta ngamar."
Tidak sadar kalau pembicaraan itu di dengarkan ibu-ibu yang lain di dapur, ibu menjawab dengan suara keras.
"Siapa yang ngajak ngamar yu," teriak salah satu tetangga dari gerombolan ibu-ibu yang sedang memotong sayur untuk membuat acar.
"Ya, bapaknya to..." timpal yang lain.
"Walah...walah, napsunya masih membara to bapaknya Isun ini. Hahaha..." disambut tawa yang lain.
"Nanti kalau jadi lagi diberi nama siapa kang," teriak bulek yang juga ada di dapur.
"Diberi nama kaming egain ya mas."
Semuanya tertawa. Termasuk ibu yang tangannya terus sibuk, tidak ada malunya sama sekali. Hanya bapak yang mukanya mulai memerah.
"Waduh kalau saya disuruh seperti si putih. Ya saya minta ampun, tiap habis melahirkan sama bapaknya disuntik lagi biar hamil lagi."
Lagi-lagi obrolan itu menghasilkan tawa.
"Ya itu Bu yang mau tak sampaikan," bisik bapak menimpali obrolan dapur itu.
"Ada hubungannya sama si putih?"
"Heeh," bapak mengangguk.
"Ya sudah ngomong aja."
Aroma jenang yang gurih manis mulai tercium. Adukan tangan ibu semakin kuat karena adonan menjadi semakin liat.
"Bu, biar putih disembelih saja."
"Apa pak?! kamu yakin pak?" teriak ibu.
Makanya dari pagi duduk jongkok di dekat si putih sambil ngobrol.
"Iya, biar si putih menuntaskan kewajibannya untuk Isun anak kita."
"Lagi pula si putih juga sudah tua. Kita juga masih punya sapi yang lain."
"Bener loh ya, jangan menyesal."
"Nggak," menggeleng sih bapak tapi dengan raut sedih, "tapi waktu dia disembelih jangan panggil aku ya..."
"Iya, nggak akan dipanggil. Sekarang kamu panggil adikmu suruh cari tukang jagal."
"Wah...gede-gedean ini ceritanya. Sampai si putih disembelih yu..."
"Maunya bapaknya begitu, Bu."
Begitulah dengan waktu yang hanya tiga hari semua siap ketika hari H tiba. Dimanakah Isun?
Selama tiga hari ini Isun tidak boleh keluar kamar. Tidak boleh mandi apalagi keramas. Karena menurut kepercayaan kalau mantennya mandi maka pas hari H akan turun hujan deras.
Hari yang dinanti tiba. Si putih benar-benar dikorbankan dan dijadikan hidangan untuk tamu. Undangan disebarkan dari mulut ke mulut. Sesuai kata pepatah lidah lebih panjang dari pada tali.
Dalam kamar Kamingsun sedang dirias. Karena setelah lamaran langsung akan ada pernikahan meskipun hanya secara agama jadi Isun memakai kebaya putih dan berhijab putih. Cantik sekali.
Sekelompok pemuda pemain Hadrah dari mushola desa siap menyambut tamu. Janur pun telah terpasang mulai dari gapura pembatas desa lalu ada janur lain di depan gang dan di depan pagar rumah.
Pukul sembilan tepat datanglah iring-iringan mobil yang berhenti di depan gang rumah Kamingsun.
Satu persatu orang yang ada di dalam mobil turun dengan membawa buah tangan untuk lamaran. Barang yang dibawa juga bukan main banyaknya.
Keputusan ibu dan bapak menyembelih si putih memang tepat. Sedianya disuguhkan sebagai hidangan undangan keluarga dan tetangga kanan kiri ternyata iringan pengantin juga tidak kalah banyaknya.
Ibu yang tampak pucat karena terkejut bisa sedikit lega.
"Bu, lah kok anak ini bawa orang sekampung," bisik bapak yang berdiri di depan pintu disamping ibu menyambut tamu.
"La iya, katanya hanya keluarga kok bawanya satu kampung begini."
"Untung si putih aku...," memperagakan gerakan dengan meletakkan tangan di depan leher lalu membuat gaya seperti menyembelih hewan.
"Hus, pak...pak," suara ibu mulai dikeraskan dari tadi yang asalnya berbisik, karena pasukan Hadrah mulai memainkan lagunya, "kok tamunya pakai baju hitam semua ya...?"
"Iya, ya Bu. Kita jadi seperti pasukan super hiro yang sedang melawan kejahatan."
Danu juga tidak kalah heboh. Anak SMA itu berlari ke kamar kakaknya, "mbak pacarmu bawa orang sekampung."
"His...bukan pacar," tapi dalam hati seneng juga sih.
"Nanti mau tak tanya mas nya."
"Mau kamu tanyain apa?" ujar Isun penasaran.
"Apa di pasar kota S kain yang dijual cuman warna hitam ya. Masa kalah sama pasar kita yang tempatnya di desa?"
"Lah...emang kenapa?"
"Mereka semua pakai baju hitam mbak."
Tapi kostum keluarga Donworry memang aneh. Semua orang yang ikut memakai pakaian berwarna hitam. Sedangkan Donworry memakai jubah panjang dengan ikat kepala berbentuk sorban yang juga berwarna hitam,...aneh kalau dilihat. Ini kan acara pernikahan.
Sebelum menyambut tamu, ibu sempat berbisik, "siap-siap pak calon mantu kita orang aneh."
"Heeh Bu, piye ini. Kejebur apa anak kita ini nanti."
Tapi mau dibatalkan kan tidak mungkin juga.
Setelah pengantin pria menempati tempat yang disediakan, Kamingsun baru dituntun keluar dari kamar.
Saking gugupnya dia sampai tidak menyadari kalau rumahnya sudah dipenuhi dengan barang bawaan dari penganten pria, yang kebanyakan adalah kue-kue. Juga penuh dengan orang-orang yang berbaju hitam.
Belum juga Isun duduk, Donworry membisikkan sesuatu pada kerabatnya.
"Mohon maaf, bapak ibu. Saya minta musiknya dihentikan dulu," setelah suasana sunyi orang itu baru melanjutkan.
"Saya sebagai kerabat dari pengantin pria meminta agar pengantin wanita yang sekarang sudah berdiri di ruangan ini agar dibawa lagi dalam kamar."
"Lo...lo," ibu terkejut begitu juga bapak. Bagaimana ini. Para tamu mulai kasak-kusuk, kecuali keluarga Ori yang tetap tenang.
"Begini, karena mereka belum resmi menjadi suami istri, manten pria nya belum mengucap kalimat ijab, jadi silahkan pengantin wanitanya dibawa masuk lagi dalam kamar."
"Pak mantumu banyak aturan."
Bapak kehilangan kata-kata. Di kepalanya mulai berkecamuk banyak hal. Sedangkan Isun segera berbalik dan dituntun cepat-cepat untuk kembali dalam kamar.
"Mbak, suamimu beneran aneh," Danu pun mulai ikut geregetan.
"Dia memang gitu, memegang teguh ajaran agamanya."
"Tck, kalau ini ya ngagetin mbak."
Sementara Isun kembali dalam kamar. Acara akad dilanjutkan. Pemangku agama yang akan menikahkan dua mempelai berbincang sebentar dengan pihak penganten pria.
Setelah benar-benar siap barulah terdengar suara Donworry mengucap akad, ...dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh ribu rupiah dibayar tunai...
"Sah...sah?"
"Sah..."
Ketika terdengar kata sah kaki bapak lemas.
Kok mas kawinnya cuman sepuluh ribu rupiah...jaman gini?
"Bu kakiku lemes," bisik bapak.
"Jangan semaput pak."
"Mas kawinnya Bu..."
"Iya aku dengar."
Acara pagi itu dilanjutkan dengan ramah tamah dengan para tamu. Ori dan Isun sudah di dalam kamar berdua.
"Kamarmu estetik ya," ujar Donworry, "kuno tapi lumayan bersih."
"Iya, mas," menjawab malu-malu menundukkan kepala.
"Aku mau lihat kamar mandinya," ucap Ori lagi.
"Hah, kamar mandi?"
"Iya, jadi kalau nanti habis begitu," menyentuhkan lengan dengan lengan, "bisa langsung mandi."
Wajah Kamingsun semburat merah, "iya, mas. Ayo."
Keduanya berjalan ke belakang melewati dapur.
Donworry mulai membatin.
Jangan-jangan kamar mandinya diluar...Ini juga dapurnya kenapa bau sapi?!
"Itu mas, kamar mandinya," tunjuk Isun pada bangunan kecil yang berjarak beberapa meter dari rumah utama.
"Ooo..., ada lampunya kan?!" bertanya masih dengan nada santai.
"Ada mas, tapi dihidupkan kalau kita sudah sampai disana. Jadi ya gelap kalau malam."
"Apa!! bagaimana mas bisa langsung mandi kalau kamar mandinya menakutkan begini Sun..." teriak Ori keras. Untung tidak ada orang disekitarnya.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!