Prolog
Zivara Narendra Anarghya. Cukup panggil dia Vara. Seorang gadis berusia 20 tahun, mahasiswi jurusan Management Business di universitas swasta terbaik di kota B. Papanya yang bernama Devan Dirga Anarghya adalah seorang Arsitek sekaligus pengusaha yang sukses. Sedangkan Mamanya yang bernama Irena Z. Wibisana adalah seorang Notaris yang cukup dikenal. Vara juga memiliki Kakak yang tampan dan perhatian bernama Reyvan Ditya Anarghya berusia 6 tahun lebih tua darinya.
Vara memiliki seorang kekasih bernama Arya kusuma yang merupakan teman kuliahnya di kampus dan jurusan yang sama. Arya adalah laki-laki yang sangat baik dan romantis. Sikapnya selalu membuat Vara bahagia. Keberadaan Arya didalam hidup Vara telah menyempurnakan hidup Vara yang sudah penuh kebahagiaan.
**********************
Sabtu sore yang cerah, Vara sudah selesai mandi dan siap dengan pakaian semi formalnya. Jam 7 malam ini, Arya ingin mengajak Vara makan malam di restaurant favorit mereka berdua. Untuk merayakan 6 bulan hubungan mereka.
Vara melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga menghampiri Mama Irena dan Papa Devan yang sedang menikmati teh hangatnya.
"Mau kemana sayang?" Papa Devan bertanya diikuti tatapan penuh tanya dari Mama Irena.
"Arya mau mengajak Vara dinner Pa." Vara memberi jawaban dengan sedikit malu-malu.
Papa Devan dan Mama Irena tersenyum mendengar jawaban Vara. Orangtua Vara memang sangat menyukai Arya. Karena menurut mereka, Arya adalah pribadi yang sangat baik, ramah dan sopan. Sangat pantas mendampingi putrinya yang terbilang manja. Meskipun Vara dan Arya lahir di tahun yang sama dan seangkatan di kampus, tapi sifat Arya jauh lebih dewasa daripada Vara.
"Hati-hati ya Sayang perginya, jaga diri baik-baik. Jangan pulang terlalu malam." Mama Irena memberikan nasehat yang langsung diangguki dan dijawab Vara dengan sangat mantapnya.
"Siap Ma ...!"
"Vara, jangan lupa pakai jaket. Anginnya dingin sekali, jangan sampai kamu sakit." Papa Devan ikut memberi pesan untuk anak perempuannya, yang juga dijawab begitu meyakinkan oleh Vara.
"Siap Papa ...!"
Mama Irena dan Papa Devan tersenyum senang dengan tanggapan anak gadis kesayangan mereka. Karena meskipun mereka sudah sangat percaya pada Arya, tapi mereka tetap merasa khawatir dengan keselamatan anak gadis kesayangan mereka itu.
Baru juga Vara hendak membuat teh hangat, suara motor Arya sudah terdengar memasuki halaman rumah Vara. Padahal jam tangan Vara baru menunjukan jam 5 sore. Tapi Vara tidak terlalu memikirkannya. Vara memilih pamit pada Mama Irena, Papa Devan dan juga Reyvan Kakaknya yang sedang berjalan berlawanan arah dengan Vara.
"Hati-hati Var ... jangan pulang terlalu malam." Nasehat Reyvan sambil mengacak rambut Vara, yang dibalas dengusan kesal Vara tanpa menjawab perkataan Kakaknya itu. Vara lalu bergegas menghampiri Arya yang baru melepas helmnya.
“Pergi sekarang?” tanya Vara seraya mengulas senyum.
“Iya, maaf ya jam segini sudah kesini. Soalnya aku mau mengajak kamu ke tempat yang sangat spesial.”
Vara masih bingung dengan perkataannya Arya. Tapi Arya seperti tidak berniat menjelaskan tujuannya dan hanya tersenyum seraya memakaikan helm pada Vara. Kemudian baru memakai helmnya sendiri.
Di perjalanan, Arya hanya tersenyum setiap kali Vara bertanya kemana dia akan membawa kekasihnya itu. Akhirnya Vara berhenti bertanya, karena merasa usahanya untuk mencari tahu adalah hal yang sia-sia.
Setelah hampir setengah jam menempuh perjalanan, Arya menghentikan motornya di depan sebuah rumah besar bergaya klasik. Vara menurut saja saat Arya mengajaknya masuk kedalam rumah yang terlihat sepi dan tak berpenghuni itu.
“Mah ... ada Vara nih," ucap Arya sedikit berteriak.
Hati Vara langsung berdebar kencang, saat mengetahui rumah yang dimasukinya itu ternyata rumah Arya. Memang selama 6 bulan hubungannya dengan Arya, Vara tidak pernah mau diajak kerumah kekasihnya itu. Karena merasa belum siap untuk dikenalkan pada anggota keluarga Arya.
Saat pikiran Vara masih kalut dengan degup jantung yang tidak beraturan, dari arah ruang belakang muncul seorang perempuan seumuran Mama Irena dan seorang perempuan yang mungkin umurnya hanya beberapa tahun lebih muda dari Vara.
“Eh ada tamu. Vara kenapa baru sekarang kesini? Arya sering sekali bercerita tentang kamu.”
Vara menyambut pelukan wanita paruh baya itu, yang ternyata adalah Mamanya Arya yang bernama Mama Citra. Sedangkan perempuan yang lebih muda dari Vara adalah adik Arya, bernama Lana.
Ternyata selama ini ketakutan Vara tidak beralasan, keluarga seramah itu tidak seharusnya membuat Vara ragu untuk lebih mengenal mereka.
"Silahkan duduk Vara. Sebentar ya." ucap Mama Citra begitu lembut.
"Iya Tante, terima kasih." Vara tersenyum lalu bergegas duduk diatas sofa panjang berwarna abu muda. Disusul Arya yang duduk disebelahnya, juga Lana yang kini duduk berhadapan dengannya. Sedangkan Mama Citra menuju dapur untuk membawa beberapa cemilan dan minuman hangat.
"Silahkan dinikmati Vara." Mama Citra meletakkan hidangan di atas meja.
"Aduh Tante, maaf Vara jadi merepotkan Tante." Vara merasa tidak enak karena sudah merepotkan tuan rumah.
"Tentu saja tidak Sayang. Cobalah, itu kue brownies favorit Arya."
"Wah, terima kasih Tante, Vara coba ya Tante." Vara menyuapkan kue brownies yang sudah dipotong kecil-kecil dihadapannya.
"Enak sekali Tante, pantas saja Arya sangat menyukainya. Kapan-kapan tolong ajari Vara membuatnya ya Tante."
"Tentu saja Sayang." Mama Citra tampak senang, karena pembawaan kekasih anaknya begitu sangat disukainya.
Mata Vara pun berbinar karena senang Mama Citra begitu baik dan menerimanya dengan tangan terbuka sebagai kekasih Arya.
"Vara, maaf ya kalau anak Mama ini terkadang menyebalkan." Kata Mama Citra diiringi tawa Lana dan dengusan kesal dari Arya. Vara hanya tersenyum menanggapi candaan Mama Citra.
"Kak Vara kok mau sama Kak Arya, dia kan menyebalkan." Lana ikut mencandai kakaknya.
Arya memelototkan matanya kearah Lana, tapi Lana malah tertawa dengan keras diikuti tawa Vara dan juga Mama Citra.
"Tapi meskipun menyebalkan, dia orangnya penyayang dan perhatian. Setelah Ayah Arya pergi, dia berubah menjadi anak yang lebih dewasa dan bertanggungjawab."
Vara lebih mendekat dan duduk disebelah Mama Citra, kemudian menggenggam tangan Mama Citra dengan lembut.
"Iya Tante. Vara tau Arya sangat baik. Vara yakin Arya bakalan selalu jadi anak kebanggaan Tante." Ucapan Vara begitu menghibur Mama Citra. Mama Citra tersenyum lalu mengusap pelan kepala Vara penuh kasih sayang.
"Terima kasih ya sayang. Jangan panggil Tante ya, panggil Mama saja," pinta Mama Citra tanpa ragu. Vara hanya tersenyum kemudian menjawab dengan malu-malu.
"Iya Ma."
Arya tampak tersenyum kearah Vara dan Mamanya. Dia tidak mengatakan apapun, tapi senyumnya seolah menunjukan rasa bahagianya.
Waktu sudah menunjukan jam 7 malam saat Vara dan Arya berpamitan pada Mama Citra dan Lana. Arya tidak mengarahkan motornya ke restaurant favoritnya dan Vara. Tapi Vara tidak banyak bertanya. Karena Vara berpikir mungkin ini bagian dari kejutan lain untuknya.
Vara hanya menebak-nebak dan tidak hentinya tersenyum dengan kelakuan Arya tadi yang sengaja membawa Vara kerumah kekasihnya itu tanpa memberitahu Vara terlebih dahulu. Vara begitu bahagia bertemu dengan Mama Citra dan juga Lana yang begitu baik dan langsung menerimanya sebagai kekasih Arya. Bahkan meminta Vara memanggil ibu dari kekasihnya itu dengan panggilan "Mama".
************************
Tampaknya perjalanan ini sudah terlalu jauh dari perkiraan Vara, karena gadis itu mulai tidak mengenal daerah-daerah yang mereka lalui. Tapi Vara percaya sepenuhnya pada Arya. Kemanapun kekasihnya membawa Vara, tidak mungkin ada niat buruk dalam benak Arya.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam, Arya dan Vara sampai di perbatasan kota yang sangat ramai. Tampaknya ini arena balapan liar, membuat Vara mengerutkan keningnya penuh tanya.
Kebingungan Vara tidak digubris oleh Arya, dia hanya pergi sebentar dan kembali dengan membawa 1 buah cheese burger dan 1 cup juice strawberry. Sepertinya tidak akan ada makan malam romantis untuk merayakan 6 bulan hubungan Arya dan Vara.
Sementara pikiran Vara melayang kemana-mana, Arya hanya memperhatikan kekasihnya itu sambil tersenyum. Tampaknya Arya tahu apa yang Vara pikirkan.
“Var, ini akan lebih romantis dari sekedar makan malam.” Arya menatap Vara sambil tersenyum lembut. Vara pun tersenyum meskipun masih tidak mengerti dengan perkataan laki-laki yang dicintainya itu.
Arya menyadari bahwa Vara masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai akhirnya Arya menyadarkan Vara dengan sebuah ciuman lembut di kening gadis pujaannya. Vara begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Arya, tapi laki-laki itu hanya tersenyum sambil beranjak pergi meninggalkan Vara yang masih memasang ekspresi kebingungan.
Orang-orang mulai membentuk kerumunan yang lebih kecil, balapan ini sepertinya akan dimulai. Arya memasuki lintasan bersama beberapa orang lainnya. Vara masih tidak mengerti apa maksud Arya, dan bertanya-tanya apakah Arya mengikuti balapan liar ini atau tidak.
Vara merasa bingung dengan apa yang harus dia lakukan, Arya kembali tersenyum pada Vara dan mulutnya mengatakan sesuatu dengan tanpa suara. Tapi Vara dengan jelas menangkap apa yang dikatakan oleh Arya.
“I love you”, Vara yakin itu yang Arya katakan. Vara tidak membalas perkataan kekasihnya. Pikirannya mulai sibuk dengan pertanyaan tentang apa yang akan dilakukan oleh Arya. Vara mulai cemas melihat Arya yang sedang bersiap-siap dengan motornya.
Badan Vara lemas seketika, saat Arya mulai memacu motornya sekencang mungkin. Dia begitu khawatir dengan keselamatan Arya. Mata Vara berkunang-kunang tidak mampu melihat Arya bermain-main dengan nyalinya. Vara tidak henti-hentinya berdoa, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadap kekasihnya.
Terbersit rasa kecewa di hati Vara karena Arya melakukan hal yang tidak pernah Vara duga sebelumnya. Vara tidak ingin melihat balapan ini. Sehingga dia hanya menunduk dengan perasaan yang campur aduk.
Tiba-tiba terdengar bunyi yang sangat keras dan orang-orang berlarian menuju sumber suara. Vara pun berlari dengan menyeret tubuhnya yang bergetar. Vara memaksakan berlari lebih kencang, karena jarak sumber suara yang keras itu cukup jauh dari kerumunan orang.
Seketika badan Vara lemas, saat melihat Arya yang tergeletak dengan darah yang begitu banyak di beberapa bagian tubuhnya. Vara pun mulai tidak sadarkan diri.
Dinding bercat putih yang pertama Vara lihat saat membuka mata. Perlahan dilihatnya Mama Irena dan Papa Devan memandangi Vara dengan tatapan sendu. Sesaat kemudian Vara baru teringat pada keadaan kekasihnya, Arya.
“Mah, Arya mana?” Vara bertanya dengan nada keras, namun Mama Irena hanya diam sambil terisak pelan. Papa Devan juga hanya memandangi Vara dengan tatapan sendu. Sesaat kemudian Reyvan menghampiri Vara perlahan dan memegang bahu Vara dengan lembut.
“Sabar Var, kamu harus kuat. Arya, sudah pergi.”
Vara masih mencerna apa yang dikatakan oleh Reyvan, dan mulai bertanya lagi pada Reyvan dengan tatapan penuh tanya.
“Kak apa maksudnya?”
Tapi Reyvan tidak menjawab apa-apa, dia hanya memeluk Vara dengan erat. Vara masih tidak percaya dan tidak menerima apa yang terjadi. Tubuhnya lunglai, sesaat masih dia rasakan pelukan Reyvan dan Mama Irena yang menahan tubuhnya.
*****************************
Vara berusaha menahan air matanya dengan sekuat tenaga, saat jenazah Arya perlahan dimasukkan ke liang lahat. Tapi air matanya seakan tidak mau berhenti. Vara memeluk Mama Citra dengan erat, meskipun tubuhnya lemas tidak bertenaga. Vara berusaha tegar, terlebih dia harus menenangkan Lana, adik Arya yang beberapa kali histeris dan tidak sadarkan diri.
Reyvan berdiri di belakang Vara untuk berjaga-jaga, karena Vara sudah terlihat lemas dan tatapannya mulai kosong. Reyvan takut Vara sewaktu-waktu bisa pingsan. Mama Irena dan Papa Devan pun menemani Vara dan terlihat meneteskan air mata. Mereka begitu menyayangi Arya yang sudah begitu dekat dengan mereka. Karena itu mereka merasa sangat kehilangan. Mereka pun menyadari, akan ada yang berubah pada diri anak mereka setelah ini. Karena sumber kebahagiaan dan keceriaannya kini sudah tidak ada.
Sahabat-sahabat Vara pun ikut datang. Brandon sesekali mengusap lengan dan punggung Vara untuk menguatkan sahabatnya itu. Begitupun Vanny, Danila juga Samuel yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dan support pada Vara.
************************
Pagi yang cerah seperti sebuah ironi yang bertolak belakang dengan hati Vara, begitu kelam dan penuh kesedihan. Dipandanginya photo-photo Arya yang terpajang dikamarnya. Gadis itu berpikir tidak akan pernah ada keceriaan itu lagi, hanya ada kenangan-kenangan indah bercampur kenangan tragis yang akan selalu menjadi trauma di hidupnya.
Masih teringat kata-kata terakhir yang Arya ucapkan padanya.
“Vi, ini akan lebih romantis dari sekedar makan malam”.
Vara merasa sangat marah jika mengingat perkataan Arya itu.
"Apa yang ingin dia tunjukan? Balapan itu sama sekali tak romantis, karena balapan itu Arya pergi dariku." Vara merutuki keadaan yang disesalinya.
Meskipun hati Vara masih diliputi emosi, tapi air mata kesedihan tidak pernah dapat dia bendung. Terlebih saat mengingat kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh Arya. Vara meyakini bahwa Arya mencintainya, karena masih jelas dalam ingatan Vara, Arya mengatakan “I love you” disaat terakhir memandang dirinya.
Seminggu sejak kematian Arya, Vara masih selalu mengurung diri di kamar, meratapi nasibnya karena kehilangan kekasih yang dicintainya. Mama Irena, Papa Devan dan Reyvan juga memberikan Vara waktu untuk menyendiri. Mereka hanya mengingatkan Vara saat waktu makan, shalat atau mandi.
Vara juga sama sekali tidak ingin menemui sahabat-sahabat terdekatnya yaitu Danila, Vanny, Samuel dan Brandon. Walaupun begitu mereka selalu berusaha memberi Vara semangat melalui chat group karena Vara selalu menolak menemui mereka secara langsung.
Vanny
"Vara, jangan lupa makan ya."
Brandon
"Aku kerumah kamu ya. Kita main game bareng."
Danila
"Ayooo, boleh kan Var?"
Samuel
"Ayooo ...."
Sebenarnya Vara begitu terharu dengan sikap sahabat-sahabatnya yang sangat peduli padanya itu. Tapi Vara merasa belum siap dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Terlebih jika Vara tidak bisa menahan air matanya didepan mereka.
"Maaf ya. tapi aku benar-benar masih ingin sendiri."
Beruntungnya sahabat-sahabat Vara mengerti dengan keinginannya. Mereka memberi Vara waktu namun tetap mendukung Vara dari jauh.
*********************
Setelah berhari-hari hanya menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar, Vara mulai merasa bosan. Sabtu malam ini cukup membuatnya tertarik untuk mencari udara segar. Mungkin dengan keluar rumah, rasa sesak didadanya bisa sedikit berkurang.
"Ma ... Pa ... Vara mau jalan-jalan keluar ya."
Mama Irena dan Papa Devan yang sedang menonton TV sesaat menatap Vara dengan tatapan menyelidik.
"Vara, kamu sebaiknya menunggu Kak Rey pulang dulu ya. Biar bisa ditemani Kak Rey."
Mama Irena menjawab permintaan Vara dengan ekspresi cemas.
"Kak Rey lagi malam mingguan sama pacarnya. Pasti pulangnya malam Ma."
Mama Irena melirik Papa Devan seolah meminta pendapat. Papa Devan tampak berpikir sejenak.
"Ya sudah, hati-hati ya perginya. Jangan pulang terlalu malam. Kalau ada apa-apa telpon Papa ya."
Akhirnya Papa Devan mengizinkan meskipun diikuti dengan tatapan Mama Irena yang penuh kekhawatiran. Vara bergegas untuk bersiap-siap dan langsung mengendarai mobil kesayangannya, sebelum Mama Irena dan Papa Devan berubah pikiran.
****************************
Vara menatap tempat yang mengambil Arya darinya. Gadis berwajah sendu itu sengaja datang kesini, hanya untuk belajar menghadapi traumanya. Diedarkan pandangannya ke segala arah, entah apa yang sedang dia cari.
Sentuhan lembut dipundak Vara cukup membuatnya terkejut. Seorang laki-laki yang mungkin umurnya lebih tua 4-5 tahun dari Vara yang berumur 20 tahun, menatap Vara tanpa ekspresi.
Laki-laki itu memakai topi yang menyamarkan wajahnya, berjaket tebal dengan wangi parfum yang cukup menyengat tapi menenangkan. Dalam keremangan, Vara masih bisa melihat matanya yang tajam dan agak sedikit menakutkan.
“Kamu pacarnya Arya kan?”
Tanyanya sambil menyalakan rokok, yang kemudian dihisapnya dalam-dalam. Vara hanya mengangguk, sekilas melihat wajahnya yang tidak terlalu jelas karena cahaya minim disekitar mereka.
"Kenapa kamu kesini?” Pertanyaan laki-laki itu masih terasa datar bagi Vara, dan Vara masih belum menangkap maksud dari pertanyaan-pertanyaannya itu.
"Memangnya ada larangan untuk aku datang kesini?” jawab Vara, sama datar dengan pertanyaan laki-laki itu. Tapi laki-laki itu tidak menjawab, hanya menghisap rokoknya lebih dalam lagi.
Tiba-tiba matanya bergerak cepat memandang Vara, membuat Vara terkejut dan salah tingkah seketika. Beberapa lama laki-laki itu masih memandangi Vara, yang akhirnya berani menatap langsung manik mata yang tajam di hadapannya. Mata dari seorang laki-laki berwajah tampan dengan rahang yang tegas dan alis yang tebal.
******************************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!