Catatan penting sebelum mulai membaca!!!
Episode 1-5 akan menceritakan tentang dunia Nusantara versi Seni Bela Diri Sejati sekaligus kilas kisah dua pendekar terkuat di Pulau Jawa. Yang mau langsung ketemu MC, silakan longkap hingga episode 6.
Ilustrasi:
Peta Pulau Jawa versi Seni Bela Diri Sejati.
Kala Piningit, sang tokoh utama.
Silakan lanjut membaca jika ingin mengetahui dunia Seni Bela Diri Sejati lebih lengkapnya.
...***...
Di tengah pegunungan luas yang membentang ke seantero mata memandang. Daratan pulau Jawa. Tahun Nusantara 7881.
Di antara pegunungan luas itu, terdapat dua gunung tinggi yang sangat mirip satu sama lain, bagai saudara kembar, yang menjulang menembus awan. Orang-orang menyebutnya sebagai Gunung Loro Kembar.
Dengan ketinggian yang telah menembus awan tertinggi, Gunung Loro Kembar hampir mustahil disentuh kaki manusia hingga puncaknya. Meskipun demikian, dua sosok pria sepuh tampak berdiri kokoh di masing-masing puncak dua gunung itu. Jubah dan rambut panjang mereka berkibar-kibar diterpa angin liar, memberi suatu pemandangan sepasang seniman bela diri yang mengagumkan!
Dua pria sepuh itu saling memandangi. Mata mereka telah berumur, tetapi mampu saling melihat satu sama lain dengan jelas, padahal dua puncak itu terlampau jauh jaraknya.
Di puncak sebelah barat, Akhza berdiri dengan jubah hijau yang menyelimuti tubuh ringkihnya. Sebuah keris besar tersarung dan terikat kuat di punggungnya. Tatapan dan wajahnya tenang seperti danau yang tidak tersentuh angin sedikitpun.
Sedangkan di puncak sebelah timur, Satrya berdiri dengan tongkat api di tangannya. Matanya benar-benar diselimuti api sebagaimana yang terjadi pada tongkatnya. Berbeda dengan Akhza, tatapan Satrya liar dan ganas bagai air terjun di tepi jurang tinggi.
"Satrya, haruskah kita bertarung seperti ini?" Suara yang dikeluarkan Akhza sangat pelan dan lembut. Namun, dapat didengar dengan cukup jelas oleh telinga Satrya jauh di seberang sana.
"Harus." Satrya menjawab tegas dan singkat sebelum mengembuskan napas panjang. Mengeluarkan kepulan asap dari hidungnya.
"Aku sudah menganggapmu sebagai saudara kandungku sendiri, bahkan lebih dari itu. Aku tidak mungkin membunuhmu.” Akhza menimpal dengan nada kecewa.
"Percuma, pemahaman kita telah berbeda jauh."
Mereka kembali saling berpandangan setelah Satrya menjawab. Dalam hening penuh duka. Keduanya tidak mungkin membunuh yang satu lalu hidup di atas kematiannya, sebab mereka telah terikat janji sehidup-semati. Jika satu dari mereka mati, maka yang tersisa juga harus mati. Ini sama saja pertarungan bunuh diri, tidak akan ada yang hidup selepas bertarung.
"Mari kita luruskan, Saudaraku." Akhza kembali membuka pembicaraan setelah beberapa lama saling bertatapan, sinar matahari terik terpancang tepat di ufuk tengah.
"Luruskan bagaimana? Tetap saja kita akan saling membunuh, cepat atau lambat, bagaimanapun adanya. Aku aliran hitam, kau aliran putih, sesungguhnya kita saling membenci. Dan aku sudah dipenuhi kebencian teramat dalam pada aliranmu, yang tidak mungkin akan hilang begitu saja. Percayalah bahwa ini adalah jalan terbaik yang harus kita tempuh bersama. Lagi pula Akhza Saudaraku, jangan pikirkan diri kita berdua saja, tetapi pikirkan pula mereka-mereka yang berharap kita mati demi terciptanya kedamaian di Tanah Jawa. Jangan sempit pikiran, buka lebar-lebar matamu!" Satrya tetiba berteriak, menggema di seluruh kawasan Gunung Loro Kembar. Akhza tersentak, tapi berusaha untuk tetap tenang.
"Tidak, kita bisa meninggalkan dua aliran ini. Kita dapat meninggalkan segala perbedaan yang membatasi diri kita berdua. Kita akan hidup damai, pergi dari Nusantara, lebih jauh lagi dari telaga persilatan." Akhza menarik napas panjang sambil menggeleng pelan, lalu kembali menatap kawan yang kini telah menjadi lawannya itu. "Dunia awam masih sangat luas, tetapi dunia persilatan teramatlah sempit."
Satrya tetap bersikukuh. "Aku sudah dipenuhi segala keyakinan iblis; keyakinan yang selalu kauanggap sesat. Mustahil bisa hidup damai dengan caramu. Bebaskan saja aku dari dunia terkutuk ini, sekalipun itu akan mengirim diriku ke neraka.
"Waktu kita tidak banyak. Ingatlah bahwa sekalipun kita tidak bertarung di sini, maka kita akan menghadapi perang besar di Kerajaan Pandataran." Satrya tersenyum, untuk pertama kalinya setelah berpuluh-puluh tahun. "Aku sudah lama ingin bertarung denganmu."
Akhza mengepalkan tangannya hingga kuku nyaris menembus daging. "APA KAU SUDAH LUPA TUJUAN KITA?!"
"Kita harus bertarung, tidak ada penawaran sama sekali dan hentikan segala omong kosong ini. Kau adalah ancaman terbesar bagi aliran hitam, aku tidak bisa membiarkan dirimu hidup. Dan aku adalah ancaman terbesar bagi aliran putih, kau tidak bisa membiarkan aku hidup. Percayalah bahwa ini adalah jalan yang terbaik dari yang terbaik." Satrya mengambil posisi siap bertarung.
"Tapi ...." Akhza ingin menyangga, tetapi ia kehabisan kata-kata untuk melanjutkan. Apa yang dikatakan oleh Satrya banyak benarnya.
Telah dicanangkan sebuah peperangan besar antara aliran hitam dengan aliran putih di wilayah Kerajaan Pandataran. Peperangan itu mungkin akan menjadi peperangan terbesar dalam sejarah dunia persilatan di Nusantara. Jelas saja, peperangan itu akan melibatkan Akhza dan Satrya, sebab mereka adalah dua pendekar terkuat setanah Jawa!
Jika mereka tetap hidup, maka perang antar-aliran berkemungkinan besar akan terus terjadi. Adu domba pastinya tak bisa dihindarkan. Dua pendekar terkuat di tanah Jawa ini akan mendukung penuh alirannya masing-masing, dan perang akan berkembang dengan sangat cepat dan besar. Jika keduanya tidak mati, atau pergi jauh, maka perang besar itu benar-benar akan terjadi.
"Bila memang itu yang engkau inginkan, maka baiklah ...." Akhza berkata lemah.
Satrya segera memasang kuda-kudanya, bersiap terbang menerjang Akhza di puncak seberang. Tongkatnya semakin berapi-api, begitu pula dengan seluruh tubuhnya. Akhza menggelengkan kepala sebelum melepas ikatan kerisnya di punggung, tapi ia masih belum membebaskan bilah keris dari warangkanya.
"Aku akan merasa terhormat bertarung denganmu." Akhza bergumam, lalu tersenyum. "Kita memang bodoh."
"Kita selalu bodoh, tidak pernah pintar." Satrya mengambil napas dingin. "Aku akan menyerang."
Mereka menyentak kaki kuat-kuat. Sebuah kekuatan misterius bernama Prana mengalir deras menuju kaki keduanya, membuat lompatan mereka menjadi sangat cepat dan jauh. Melesat hingga tidak dapat dilihat dengan mata tel4nj4ng. Dalam satu tarikan napas saja, mereka sudah bertemu di udara, saling menghantam satu sama lain dengan senjatanya.
Prang!
Dua pusaka tersebut mengeluarkan suara ledakan dahsyat serta menciptakan gelombang kejut yang menggetarkan tanah dan menyibak awan.
Gelombang kejut itu menerjang hutan yang menyelimuti kaki Gunung Loro Kembar. Burung-burung yang tengah terbang kehilangan kendali, terjun bebas menghantam tanah. Sedangkan pepohonan yang rapuh segera tumbang. Daun-daun berterbangan begitu terlepas dari rantingnya, mencipta pemandangan seperti musim gugur yang tidak ada di Nusantara.
Deru angin memekik dan menakuti-nakuti ratusan, bahkan ribuan hewan hutan. Monyet-monyet menjerit keras seakan ekornya baru saja terpotong.
Akhza dan Satrya terpental cukup jauh dari titik jumpa, lalu jatuh perlahan ke lereng gunung di puncak sebelah barat. Di sana terdapat tanah lapang yang cukup luas, hanya ada sedikit pohon di tempat itu.
Keduanya menginjak tanah dengan begitu ringan laksana sehelai bulu elang belaka, lalu mendekati satu sama lain di atas rerumputan hijau dengan kecepatan teramat tinggi.
Tongkat Satrya yang dipenuhi api itu terus berputar bagaikan baling-baling, menyasar Akhza yang berkelebatan kesana-kemari. Keris panjang Akhza menangkis segala serangan itu serta membalas dengan serangan mematikan pula.
Kaki kedua seniman bela diri itu seakan membawa tubuh tanpa beban, tetapi juga dengan kecepatan yang bahkan telah melebihi cepat. Seumpama sehelai kapas yang tertiup angin badai.
Tempo serangan kian meninggi dan mematikan. Akhza memusatkan perhatian pada pertahanannya, sebab ia masih belum menemukan celah untuk menyerang.
Suara bentakan terdengar seiring dengan serangan yang dilepaskan. Namun, di antara keduanya belum ada yang terluka. Kekuatan masih bisa dikatakan berimbang.
Tempat pertarungan berubah, Akhza melompat seringan kapas ke lereng gunung bagian bawah, di mana banyak pepohonan yang tumbuh di sana. Satrya mengikutinya dengan bentakan keras, tapi raut wajahnya segera berubah menjadi buruk. Banyaknya pohon membuat serangan tongkat panjangnya menjadi terhalang, dan keris Akhza dapat menyerangnya dengan sangat mudah.
"Sepertinya kau tidak ingin bermain-main lagi." Satrya melompat mundur, lalu berdiri tegap di atas sebongkah batu besar. "Kalau begitu, diriku akan berbuat sedemikian pula."
Satrya menelsat ke arah Akhza dan serangannya kini tidak lagi lembut.
Akhza kewalahan menghadapi tongkat Satrya yang sangat cepat dibandingkan kerisnya, ia terus mundur ke belakang tanpa bisa memberikan serangan balasan.
Pertarungan semakin memanas. Satrya mulai menggunakan segenap kemampuannya untuk membunuh Akhza. Beberapa serangannya hampir berhasil menikam tubuh pria tua itu.
Akhza menatap Satrya dengan tatapan tak percaya. Sepertinya kawannya itu lupa, bahwa Akhza masih memiliki sebuah jurus yang bisa membunuh musuh manapun dengan sangat cepat, walau berisiko tinggi pula. Atau sebenarnyalah Satrya memang sengaja memaksa Akhza mengeluakan jurus tersebut agar dirinya dapat segera terbunuh dan pertarungan berakhir cepat?
Tetapi kemudian, Akhza tersenyum lembut, ia mengetahui sikap kawan yang bagai saudara kandungnya itu. Jika Satrya berkeinginan seperti itu, maka Akhza akan melakukannya tanpa berat hati. Sekalipun nanti Satrya mati, maka Akhza akan mati, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Keris Akhza tetiba saja berpijar putih. Satrya mundur dan menggenggam tongkatnya di belakang punggung. Bibirnya tidak menunjukkan senyum atau cemberut. Datar. Namun dari matanya, dia terlihat rela. Satrya membentangkan tangan sebelah kirinya, seakan sedang menyambut seseorang yang baru saja datang.
Akhza juga mundur beberapa langkah, dan menarik kerisnya yang bersinar itu ke samping. Ia tersenyum penuh makna, seakan berkata, "Aku akan menyusulmu nanti."
Keris itu semakin bersinar, dan Akhza mengentak kakinya. Tubuhnya terbang kencang ke arah Satrya, dengan keris yang terhunus ke hadapan. Satrya menutup matanya perlahan-lahan dan membiarkan tubuhnya tertembus pusaka mematikan itu.
Ledakan asap tercipta. Begitu besar. Asap itu teramat sangat dingin, dan bergerak cepat bagai awan panas yang biasanya muncul sehabis gunung meletus.
Tetiba saja Gunung Loro Kembar tertutupi kabut tebal, tak nampak lagi gunung tersebut dari kejauhan, melainkan hanya sekumpulan awan tebal yang tampak sangat mengerikan.
Jeritan hewan-hewan hutan semakin melengking saat mereka hampir tidak bisa melihat apa pun. Jeritan yang seakan hendak mengusir kabut itu jauh-jauh, tetapi sayangnya, kabut itu enggan pergi dari rumah barunya. []
Seni Bela Diri Sejati merupakan novel silat berlatarkan geografis Nusantara, yang boleh dikata memiliki fantasi yang tinggi (high-fantasi) dengan tempat dan waktu alternatif.
Seni Bela Diri Sejati : Bangkitnya Putra Garuda adalah judul baru setelah sebelumnya True Martial Art : The Rise of Garuda Knight. Diganti sedemikian rupa demi memperdayakan bahasa tanah air.
Penulis bertekad kuat untuk mengembalikan jaman kejayaan cerita silat Nusantara. Dengan karya ini, penulis juga berharap memberi sumbangsih kendati tidak seberapa kepada kelangsungan budaya tanah air di seluruh Nusantara.
Sedemikian prakata yang singkat ini. Penulis sarankan kepada para pembaca budiman untuk coba membaca 5 chapter terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk lanjut atau tidak.
^^^All right's reserved, Seni Bela Diri Sejati @2019^^^
Catatan: Bagi yang tidak mau membaca kisah Akhza dan Satrya dan langsung masuk ke dalam alur utama, maka silakan longkap dua episode berikutnya sampai bertemu dengan Kala Piningit. Episode yang menceritakan Akhza dan Satrya ini hanya sebagai pengenalan dunia yang ada di dalam novel Seni Bela Diri Sejati.
____
Dalam bayangan pikirannya, kenangan singkat di masa lampau kembali terputar.
Di sebuah desa melarat, Kerajaan Pandataran. Tahun Nusantara 7750.
Akhza keluar rumah saat matahari masih belum menyambut, ia mengenakan caping di kepalanya sembari menentang cangkul. Satrya, tetangganya, menyambut dengan sapaan seperti biasa.
"Selamat pagi yang sangat tidak menyenangkan," kata Satrya sambil tersenyum, "seperti biasanya."
"Ya, kau selalu seperti biasa. Tidak pernah bersemangat meskipun sedikit saja." Akhza membalasnya. "Berangkat lebih dini tak akan jadi masalah, bukan?"
"Seharusnya begitu." Satrya berjalan ke depan, mengikuti petani-petani lain menuju pesawahan. "Jika ingin jadi pendekar, kita harus bangun pagi-pagi."
"Aku tahu, tapi kita harus latihan silat juga." Akhza mengikutinya. "Jadi, kapan kita akan meminta restu pada orangtua kita?"
"Tidak perlu terburu-buru. Aku yakin orangtuaku tidak akan peduli bahkan jika aku menghilang dimakan buaya sekalipun. Tinggal kau saja yang meminta restu pada ibumu."
"Seandainya saja itu mudah dilakukan." Akhza menarik napas panjang-panjang, sawah sudah terbentang luas di hadapannya. "Kita harus menjadi pendekar, karena tidak ada yang mau membebaskan desa kecil ini dari jeratan pencuri-pencuri bajingan yang rakus itu. Untuk apa kita kerja setiap hari di ladang jika hasilnya untuk mereka minum tuak dan menyewa gadis saja, sedangkan kita kelaparan di sini?"
"Kau memangnya juga mau menyewa gadis dan minum tuak setelah menjadi pendekar?" Satrya tertawa. "Jangan-jangan, setelah kau mendapatkan kekuatan, justru dirimulah yang merampok. Lalu kau akan minum seratus kendi tuak dan menyewa seribu gadis dalam satu malam."
"Itu tidak lucu." Akhza mendengus, sebelum melangkahkan kaki ringannya ke pematang sawah, disusul Satrya yang terkekeh di belakang.
Pekerjaan yang mereka lakukan dari pagi hingga siang itu sebenarnya dilakukan sekadarnya saja. Tidak ada niatan untuk panen bagus, sebab mereka akan dapat jatah padi yang buruk apa pun hasil panennya.
Setelah selesai menyelesaikan semua pekerjaan, matahari sudah berada di ufuk tengah sedikit ke barat. Keduanya mengangkat cangkul ke pundak lalu pergi ke sungai untuk membersihkan diri.
"Bagaimana jika kita izin malam ini, dan berangkat esok?" Akhza membuka pembicaraan panjang.
"Kita berangkat esok-esok saja, aku masih belum siap." Satrya menimpali.
"Aku juga berpikir demikian, sebetulnya. Tapi umur orang tua kita tidak terlalu panjang mulai sekarang. Aku tidak mau ibuku menderita terlalu lama, dia harus bahagia."
"Usia kita masih dua belas tahun, tidak perlu berpikir terlalu jauh," katanya. "Lima belas tahun, sepertinya itu umur yang cukup untuk pergi mengembara."
"Entahlah. Saat aku diam saja, terlintas semangat untuk mengembara ke hutan-hutan berbahaya di wilayah tengah. Tapi saat aku sudah bersiap melangkahkan kaki dan pergi mengembara, tetiba hatiku berkata, 'Jangan lakukan itu atau mati.'" Akhza menghela napas panjang.
"Ya, aku tahu bagaimana rasanya itu." Satrya tertawa malas. "Karena aku juga merasakannya."
"Kalau begitu, kita harus tidak memikirkan apa pun!"
"Maksudmu?"
"Jangan pikirkan apa pun bahayanya ke depan, dan tetap berjalan walau hati tidak punya nyali." Akhza berkata sambil membusungkan dadanya.
"Ya, mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Nanti di tengah hutan, dirimu akan merengek minta pulang. Jangan menyusahkanku!"
"Aku kira kalimat itu lebih pantas ditunjukkan untukmu," kata Akhza. "Tapi sekarang aku serius."
"Kalau kau mau serius, kita bicara empat mata di gubuk sana setelah mandi. Jangan sambil jalan." Satrya berkata datar, sambil menunjuk sebuah gubuk di dekat sungai.
"Agaknya ada yang beda dari sungai ini." Akhza menggaruk kepalanya.
"Tidak ada. Airnya selalu jernih, segar, dan enak. Kalau kau mau tahu, di tengah sungai ada banyak ikan semanis tebu."
Akhza dan Satrya melepas seluruh pakaian mereka, seperti biasanya setelah pulang bekerja dari sawah kedua bocah itu selalu membersihkan diri di tepi sungai yang ada di dekat sawah itu.
Mereka merendam diri ke dalam air yang luar biasa sejuk sambil membersihkan peralatan bertani. Air sungai ini seakan selalu sejuk bagi mereka, walau keduanya hampir setiap hari berendam di sini, tapi tiada kata bosan.
"Ayo matahari, bersinarlah terik-terik. Itu tidak apa-apa! Karena kau tidak akan bisa mengalahkan segarnya air sungai ini!" Satrya tertawa keras, diikuti tawa Akhza.
"AAAHHH...!!!"
Akhza dan Satrya sontak berbalik dengan panik setelah mendengar suara jeritan di dekat mereka. Arahnya dari belakang, dan itu adalah suara perempuan!
Keduanya memperkirakan kemungkinan terburuk. Misalnya ada perampok yang maju menyerang untuk menuntaskan hasrat berahi. Namun, yang mereka temukan hanyalah seorang perempuan muda yang berdiri di sungai dalam keadaan aman.
"Ada apa!" Akhza berteriak.
Gadis itu tidak segera menjawab, melainkan menunjuk Akhza dan Satrya dengan tangan bergemetar. Itu berhasil membuat mereka menjadi panik, mengira bahwa bahaya ada di dekatnya, mereka lari ke tepi sungai sambil berteriak ketakutan. Gadis yang tadinya mematung itu justru berlari ke belakang sambil berteriak tambah kencang.
"Apa yang terjadi?!" Satrya tidak mendapat jawaban, karena Akhza juga bertanya seperti itu.
"Tidak ada apa pun di sungai, kecuali ikan-ikan semanis tebu itu katamu." Akhza menimpali, "apa yang salah ...." Ucapan Akhza terhenti saat melihat Satrya tersenyum lebar, lantas bertanya, "Kau kenapa?"
"Kau tahu apa yang salah?" kata Satrya. "Kita tak berpakaian."
Akhza termenung sedikit sebelum tertawa pelan. "Ya, kita tak mengenakan pakaian apa pun. Dan andai juga kau tahu apa lagi yang salah? Sungai ini tampak lain, bukan? Aku merasa kita belum pernah mandi di sini, airnya juga lebih sejuk."
"Ya, aku baru sadar." Satrya tertawa. "Ini tempat khusus untuk perempuan. Tempat kita ada di sebelah sana." Satrya menunjuk tikungan sungai yang tajam. "Tepat setelah tikungan itu."
"Oh, ya pantas." Akhza tertawa lebih keras. "Dan andai kau tahu, tadi itu adalah gadis tercantik di desa. Aku yakin kau menyukainya, dan aku juga menyukainya. Dan sekarang, kita mengacaukan segalanya!"
"Andai juga kau tahu, bahwa sebentar lagi wanita-wanita seluruh desa akan datang untuk mandi dan mencuci pakaian di sini."
Teriakan-teriakan lainnya terdengar dari balik batuan-batuan besar di tepi sungai.
"Kita sudah terlambat." Akhza tersenyum kecut.
Keduanya tak lagi menunggu lama, segera mengambil pakaian dan pacul dan menceburkan diri ke dalam sungai. Hanya menimbulkan kepala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!