Beberapa pelayan menyajikan hidangan di meja makan untuk sarapan pagi. Ya, hari ini adalah hari pertama Darren bekerja di Arta Fashion.
Clarissa dan suaminya sudah menunggu putranya itu untuk sarapan bersama. Darren muncul dihadapan kedua orang tuanya dengan kemeja putih dibalut jas berwarna navi dan celana hitam.
Clarissa memuji putranya yang tampak gagah dan tampan seperti suaminya.
Darren menarik kursi dan duduk bersama kedua orang tuanya dengan tersenyum.
"Kamu terlambat sepuluh menit," ujar Devan.
"Papa, kita tidak sedang di kantor," protesnya.
"Biasakan disiplin, Papa tidak mau kebiasaan burukmu ini terbawa sampai ditempat kerja," jelas Devan.
"Baik, Pa."
"Semoga kamu betah ya, sayang!" Clarissa memberi semangat buat putranya.
"Ya, Ma."
"Papa hanya bisa membimbingmu selama sebulan saja, selebihnya kamu yang menjalankan semuanya," jelas Devan lagi.
"Kak Raisa apa tidak bekerja lagi?"
"Tidak, suaminya menginginkan dia di rumah saja dan menjalankan bisnis yang mereka kelola," jawab Devan. "Pastikan tidak ada perubahan peraturan di Arta Fashion. Semua tetap sama, kamu pahamkan?" Devan menatap putranya.
"Baik, Pa. Darren akan lakukan seperti yang Papa minta," jawabnya.
"Bagus!" Devan tersenyum.
"Kalau ada karyawan atau model yang menyukaimu, katakan pada Mama," ujar Clarissa.
"Kenapa harus bilang pada Mama?" Tanya Darren.
"Mama ingin menyeleksinya pantas atau tidak denganmu. Tapi Mama mau dia wanita yang baik dan tulus padamu," ungkap Clarissa.
"Papa tidak mau kalau calon istrimu dari kalangan model atau artis," sahut Devan.
"Memangnya kenapa?" Tanya Clarissa.
"Kau dan menantumu itu saja sudah sangat merepotkan," jawab Devan.
"Jadi menurutmu itu aku tidak baik dan menyebalkan," Clarissa menatap tajam suaminya.
"Bukan begitu sayang, kau itu baik kalau tidak mana mungkin kita menikah dan punya anak. Dirimu dan menantu kita baik," Devan mengusap punggung tangan istrinya yang mulai kesal.
"Kenapa kalian jadi membahas pasangan?" Darren menatap kedua orang tuanya.
"Kami ingin mencari terbaik untukmu, Darren," jawab Clarissa.
"Aku tidak mau punya kekasih, menurutku sangat ribet. Apalagi melihat kisah cinta Kak Raisa dan suaminya buat pusing saja," ujarnya.
"Jangan begitu, sayang. Kalau kamu sudah jatuh cinta baru tahu deh," tutur Clarissa.
"Cukup, Ma. Jangan bahas wanita atau pernikahan lagi, Darren mau fokus dengan perusahaan saja," ujarnya.
"Kamu memang putraku," Devan tersenyum bangga.
-
Gedung Arta Fashion
Seluruh karyawan bersiap menyambut kedatangan Presdir baru di perusahaan tempat mereka bekerja.
Yuno, berdiri paling depan untuk menyambut atasannya itu. Sejak Hilman pensiun dialah menggantikan posisi menjadi sekretaris Presdir. Pekerjaannya ini sudah dijalaninya selama 3 bulan.
Mobil berwarna hitam dan mewah tiba di pintu utama gedung. Seorang penjaga keamanan membuka pintu untuk dua atasannya.
Ya, Devan Artama dan Darren Artama turun bersamaan. Yuno bergegas meraih tas yang dibawa oleh suami Clarissa itu.
"Selamat datang, Presdir baru!" Sapa seluruh karyawan dengan sedikit menunduk.
Darren hanya tersenyum.
"Yuno yang akan menjelaskan semuanya kepadamu," Devan berkata sambil berjalan ke ruangannya.
"Pa, kita di ruangan yang sama?"
"Ya, agar Papa bisa mengawasi kinerjamu," jawabnya.
Sementara itu di lain kota seorang wanita baru saja bangun tidur, ia terburu-buru membersihkan tubuhnya.
Begitu selesai ia berlari ke arah meja makan meraih segelas susu sambil mengunyah roti isi selai strawberry yang tersedia.
"Kau mau kemana?" Tanya Elisa.
"Aku ingin melamar pekerjaan di Arta Fashion," jawabnya.
"Itu sangat jauh dari sini, nanti kamu akan tinggal di mana?"
"Aku akan menyewa kamar, Bu."
"Ibu tidak mengizinkanmu sendirian di sana," Elisa melarang.
"Bu, Arta Fashion adalah perusahaan besar. Bukankah Ibu sangat mengidolakan artis Clarissa Ayumi?"
"Apa hubungannya dengannya?"
"Clarissa Ayumi itu istri pemilik Arta Fashion, pasti dia akan datang mengunjungi perusahaannya. Aku bisa minta foto dirinya, lalu ku tunjukkan kepada Ibu," jelasnya.
"Kamu benar juga," ujar Elisa.
"Makanya izinkan aku ke sana, ya!" Mohonnya.
"Kalau begitu, pergilah!" Elisa memberi izin.
Gadis itu pun pergi membawa tas ransel, rencananya sementara dia akan menginap di rumah temannya untuk semalam saja.
Perjalanan menuju Kota A membutuhkan waktu sejam menggunakan transportasi kereta api.
Begitu sampai, ia melihat arlojinya menunjukkan pukul 11 siang. Dia berlari cepat agar tidak terlambat.
Gadis cantik yang berusia 23 tahun itu, bergegas ke resepsionis memberikan lamaran kerjanya. Namun, ia ditolak karena waktu penerimaan telah habis. Ia terlambat satu jam.
"Nona, tolong saya beri kesempatan," ucapnya memohon.
"Maaf, seluruh berkas lamaran sudah diterima dan sedang diseleksi. Lain waktu saja Nona kemari jika Arta Fashion kembali membuka lowongan," jelas karyawan resepsionis.
Gadis itu menghela nafasnya, impiannya masuk ke Arta Fashion gagal. Ia berjalan keluar gedung dengan langkah gontai. Ia duduk di pinggir jalan, sembari menghapus air matanya yang menetes.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada Ibu?" Batinnya bertanya.
"Sebaiknya aku pulang dan mengatakan sejujurnya kepada Ibu," ucapnya pada diri sendiri.
Dengan berjalan kaki menuju stasiun kereta api, ia menggenggam sebotol air mineral di tangan kanannya. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, duduk di bangku yang tersedia di trotoar.
Dengan perasaan kesal, marah dan sedih ia melempar botol kosong ke jalanan tanpa ia sadari mengenai mobil salah satu pengguna jalan.
Mobil itu pun berhenti seketika dan pengemudinya pun turun.
"Hei, Nona. Bisakah anda membuang sampah pada tempatnya?"
Gadis tersebut tak menghiraukan pertanyaan sang pria.
"Hei, aku bicara padamu. Apa kau mendengar ku?"
"Tuan, jangan ganggu aku. Kau tidak tahu, diriku sedang sedih," ia menutup wajahnya sambil menangis.
"Kalau menangis jangan di sini!"
"Anda kalau mengomel, jangan di sini juga!"
"Botol yang kau buang itu mengenai mobilku," ujarnya.
"Tapi tidak ada yang rusak, kan?" Tanya gadis itu polos.
"Kau sudah mengganggu konsentrasi menyetir ku, Nona!"
"Kau sangat cerewet, Tuan. Mobil anda tidak lecet dan tidak rusak, lalu aku harus tanggung jawab apa?" Gadis itu berdiri dari bangkunya.
"Kau harus minta maaf!"
"Ya sudah, aku minta maaf. Sudah sana pergi!" Usirnya. "Kau mengganggu ku saja!" Lanjutnya.
Devan menurunkan kaca jendela mobil lalu memanggil, "Darren!"
"Sebentar, Pa!" Teriaknya. Lalu menatap gadis, "Jangan sampai aku bertemu denganmu!" Menekankan kata-katanya.
"Aku juga tidak mau bertemu denganmu, Tuan!" Ia kembali duduk.
Darren kembali ke mobil, wajahnya masih terlihat kesal.
"Kamu membuang waktu kita," ujar Devan.
"Maaf, Pa. Tapi itu wanita sangat menyebalkan sekali," ucap Darren.
"Mobil kita tidak ada yang rusak, kan?"
"Tidak, Pa. Tapi sikapnya dia, sudah salah bukannya minta maaf," jawab Darren sembari menyetir.
"Sudahlah jangan diperpanjang, sebentar lagi kita akan rapat," ujar Devan.
...****************...
Hai semua ini kelanjutan kisah keluarga Devan Artama..
Semoga kalian suka...
Jangan lupa like, komen dan vote..
Ayumi Charista, nama gadis yang membuat Darren terlihat kesal. Ia berjalan memasuki rumah peninggalan ayahnya dengan wajah ditekuk.
"Kenapa sudah pulang? Apa kamu diterima?" Cecar Elisa tak sabar.
"Aku terlambat, Bu. Jadi mereka tidak mau menerima lamaran ku," Rista mengencangkan tangisannya.
"Hei, sudah. Jangan menangis, nanti di dengar tetangga. Mungkin belum rejekimu bekerja di sana," Elisa menenangkan putrinya.
"Padahal aku sangat ingin jadi desainer, Bu."
"Kerja yang lain saja, kalau ada lowongan di perusahaan fashion kamu melamar saja lagi," ujar Elisa.
Rista menghapus air matanya. "Maafkan aku, Bu!"
"Maaf, kamu tidak melakukan kesalahan. Ini cuma tentang tidak keberuntungan saja, Nak."
"Aku tidak bisa meminta foto Clarissa Ayumi untuk Ibu," Rista berusaha agar air matanya tidak jatuh.
"Sudahlah tidak masalah bagi Ibu," ujar Elisa.
"Ibu tidak bisa pamer dong sama tetangga kita yang sombong itu!"
"Orang yang seperti tetangga kita itu tidak perlu dianggap, hanya membuat pusing saja," jelas Elisa.
...----------------...
Keesokan harinya, Devan memeriksa beberapa rancangan pakaian yang akan dikirim ke bagian produksi. Darren juga turut membantunya.
"Sepertinya kita membutuhkan beberapa orang desainer baru," ujar Devan.
"Memangnya kenapa dengan yang sekarang, Pa?"
"Sangat tidak menarik," jawab Devan.
"Apa kita perlu bantuan Mama atau Kak Raisa untuk memilih calon desainer?"
"Ini sekarang jadi tugasmu," jawab Devan.
"Aku, Pa." Darren menunjuk diri sendiri.
"Selain memilih brand ambassador, kamu juga mencari desainer terbaik. Sebelum mereka menjualnya kepada perusahaan lain," jelas Devan.
"Bagaimana aku mencarinya, Pa?"
"Astaga, Darren. Buat iklan atau apalah, coba berpikir. Jangan semua Papa, perusahaan ini harus segera dilepas kepadamu," jawab Devan.
"Nanti Darren akan mencari ide untuk merekrut desainer terbaik," janjinya.
Yuno bergegas berdiri menghampiri Darren yang keluar dari ruangan, dia juga memberikan laporan tentang karyawan baru.
"Yuno, apa kau tahu di mana kita bisa merekrut desainer terbaik?"
"Kalau terbaik tentunya mahal dengan honornya, mereka pasti punya nama yang besar," jawab Yuno.
"Di mana aku harus mencarinya? Papa merepotkan saja," gumamnya.
"Bagaimana jika Tuan membuka audisi untuk para desainer baru?"
"Audisi?"
"Kita akan menemukan desainer baru dengan honor tidak terlalu mahal tapi kita mendapatkan hasil yang bagus dan baik," jawab Yuno.
"Ya, ide yang kau tawarkan cukup menarik," Darren setuju dengan ucapan sekretarisnya.
"Tentunya, Tuan." Tersenyum bangga.
"Baiklah, nanti aku akan bicarakan ini kepada Presdir," ujar Darren.
......................
Beberapa hari kemudian...
Darren menikmati waktu sore hari di sebuah kafe. Sambil bekerja dan menyesap secangkir teh matanya tertuju pada seorang gadis yang duduk seorang diri tak jauh darinya.
Rista tampak melihat orang-orang berjalan di depannya dengan tangannya mencoret-coret kertas yang dipegangnya.
"Apa yang dilakukannya?" Batin Darren.
Tatapannya matanya terus memperhatikan gadis yang menguncir rambutnya ke atas hingga masih tersisa helaian rambut yang menutupi wajah.
Entah kenapa Darren begitu penasaran dengan gadis yang melempar mobilnya dengan botol minuman.
Teman Rista yang baru saja duduk di samping melihat ke arah Darren. "Sepertinya pria itu terus menatap ke sini, apa kau mengenalnya?"
Rista pun mengikuti pandangan temannya. "Ayo, kita pergi dari sini!" Ia pun berdiri kemudian berlalu.
Darren melihat Rista pergi bergegas menutup laptopnya lalu mengikuti langkah gadis itu.
Rista berjalan tergopoh-gopoh menjauhi kafe sampai ia menabrak orang lain membuat isi tasnya berserakan.
Darren yang berada dibelakangnya, melihat kertas bertebaran penuh dengan gambar desain pakaian. Ia hendak mengambil satu kertas namun tangannya ditepis.
"Jangan menyentuh punyaku!" Sentaknya.
Darren segera menyemprotkan anti kuman ke tangan yang disentuh Rista. Hal itu membuat dua gadis yang ada dihadapannya merasa heran.
Rista dan temannya bergegas mengumpulkan kertas dan barang-barang yang berserakan itu.
Darren pun meninggalkan kafe dengan langkah cepat.
"Dia sungguh pria yang aneh!" Celetuk Rista.
"Ya, apa kita begitu menjijikkan sampai dia menyemprotkan cairan itu ke tangannya?" Tanya temannya.
"Entahlah," jawab Rista.
Sambil berjalan terburu-buru ke mobilnya, Darren berkali mengelap punggung tangannya dengan tisu padahal ia sudah menyemprotkan cairan.
Begitu sampai di mobil, ia teringat dengan kertas yang berserakan itu. "Kenapa desainnya begitu bagus?" bertanya dalam hati.
Darren bergegas turun dari mobil mencari keberadaan Rista tapi gadis itu tidak ia temukan. "Harusnya tadi aku bertanya padanya, apa itu asli karyanya atau tidak?" gumamnya.
-
-
Kediaman Artama
Darren menghampiri orang tuanya yang sedang mengobrol di balkon rumah selepas makan malam.
"Pa, aku ada ide. Sebenarnya dari Yuno, sih!" ujar Darren.
"Ide apa dari dia, Nak?" tanya Clarissa.
"Yuno menyarankan perusahaan membuka audisi untuk desainer baru," jawab Darren.
"Begitu juga boleh," Devan menerima usulan putranya.
"Kapan kita akan membuka audisi tersebut?" tanya Darren lagi.
"Secepatnya, karena kita butuh desainer muda dan selalu mengikuti perkembangan zaman," jawab Devan.
"Baik, Pa. Besok kita akan kembali rapatkan," ujar Darren.
...----------------...
Seminggu setelah lamaran pekerjaannya ditolak karyawan Arta Fashion. Rista kembali ke kota A untuk mencari keberuntungan.
Ayumi Charista atau biasa dipanggil Rista selama di kota A bukan hanya untuk mencari pekerjaan tapi juga untuk berlibur dan senang-senang sebelum waktunya dihabiskan dalam bekerja.
Ya, pagi ini ia pergi ke toko buah dan sayur untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dirinya selama menumpang hidup di rumah temannya.
Seperti biasa, ia sengaja memutar jalan lebih jauh ke toko agar dapat melihat gedung besar Arta Fashion. Dia berharap bisa bekerja dan bergabung di perusahaan itu.
Ini adalah kali ketiga selama di Kota A, ia melewati gedung tersebut. Namun, pagi ini suasana gedung lebih ramai. Sebuah mobil mewah berwarna putih memasuki perkarangan dengan beberapa orang mengelilinginya.
Rista yang dari kejauhan sejenak berhenti melihat kerumunan orang-orang.
Ya, Clarissa pagi ini datang ke Arta Fashion bersama suaminya dan putranya.
Melihat kedatangan Clarissa Ayumi, gadis itu berlari mengejar sang artis untuk sekedar berfoto dan tanda tangan.
Belum sampai, Rista sudah dihadang penjaga keamanan. "Mau ke mana, Nona?"
"Saya ingin meminta foto pada wanita itu!" Rista menunjuk ke arah Clarissa.
"Tidak bisa, anda dilarang mendekatinya."
"Kenapa?" tanya Rista.
"Karena dia tidak ingin diganggu," jawab penjaga keamanan.
"Bukan Nyonya yang tidak mau bertemu tapi suaminya yang melarang mendekati istrinya," ujar penjaga keamanan yang satunya lagi bersuara pelan.
"Anda tidak boleh mendekatinya apalagi meminta foto, pekerjaan kami jadi taruhannya," jelas penjaga keamanan bertubuh lebih kurus daripada temannya yang satunya lagi berbadan besar dan sedikit gendut.
"Nyonya Clarissa Ayumi!" teriak Rista.
Clarissa, suami dan putranya menoleh ke arah suara.
"Ibuku mengidolakanmu!" Rista berkata dengan suara keras dari kejauhan.
Clarissa tersenyum lalu melambaikan tangannya.
"Bolehkah aku berfoto denganmu?" teriaknya lagi.
Clarissa menatap suaminya meminta izin.
Darren memperhatikan gadis yang berteriak memanggil nama mamanya. "Bukankah itu dia?" batinnya bertanya.
Clarissa berjalan mendekati Rista, sementara itu suami dan putranya memilih lebih dahulu masuk ke dalam gedung.
Empat orang pengawal berada disekeliling Clarissa, memberikan perlindungan kepada istri pemilik Arta Fashion itu.
Rista yang dihampiri oleh Clarissa tersenyum bahagia, ia mengambil kamera lalu berfoto bersama tak lupa ia mengeluarkan sebuah buku tulis yang lembarannya ada kosong, kemudian meminta tanda tangan. "Terima kasih, Nyonya!"
"Apa ada lagi?" tawar Clarissa.
"Tidak, Nyonya. Sekali lagi, terima kasih!"
Clarissa tersenyum," Sama-sama, sampaikan salam dariku untuk ibumu."
"Dengan senang hati, Nyonya."
Clarissa melanjutkan langkahnya ke arah gedung.
Rista memandang foto dirinya dan sang artis di ponselnya. "Pasti ibu senang, aku mendapatkan ini!"
Begitu Clarissa berada di dekat suaminya dan putranya, Yuno segera menyodorkan penyemprot anti kuman.
Clarissa sedikit heran dan menatap bingung sekretaris putranya.
"Tuan Darren yang menyuruhnya, Nyonya!" jelas Yuno tanpa diminta.
Clarissa pun menyodorkan kedua telapak tangannya untuk disemprot Yuno. "Papa dan anak sama saja!" gerutunya.
Rapat pertama bagi Darren Artama dilakukan pagi ini bersama beberapa jajaran direksi. Clarissa menunggu keduanya di ruangan khusus tamu Presdir bersama dua asisten wanita sang artis yang masih muda.
Darren akan membahas ide pencarian desain muda dan berbakat melalui audisi. Mereka yang hadir setuju dengan usulan yang diberikan oleh calon Presdir Arta Fashion itu.
"Baiklah, kita akan membuka pendaftaran selama dua hari dan audisi akan dimulai hari berikutnya," jelas Darren.
"Kami setuju dengan ide anda, Tuan." Ujar salah satu direksi.
"Terima kasih, semua!" Darren tersenyum senang.
Begitu rapat selesai, Darren dan papanya menemui mamanya. Sebelumnya ia berbicara kepada Yuno untuk menyampaikan hal ini kepada pihak terkait.
Clarissa tersenyum ketika putranya menjemputnya di ruang tamu khusus, wanita paruh baya itu berdiri. "Bagaimana? Berjalan lancar, kan?"
"Mereka semua setuju, Ma."
"Syukurlah," Clarissa mengalungkan tangannya di lengan putranya.
-
-
Sore harinya Rista mendengar kabar bahwa Arta Fashion membuka audisi untuk desainer muda berbakat dari salah satu tetangga temannya tempat dirinya menginap yang kebetulan bekerja di perusahaan itu sebagai sopir salah satu direksi.
Penuh semangat ia pun ingin mengikuti audisi tersebut. Sebelum mendaftar ia menyampaikan niat baiknya kepada sang ibu untuk memohon restu.
Elisa yang mendengar keinginan putrinya mengikuti audisi menjadi desainer di Arta Fashion sangat senang. Apalagi putrinya itu mengirimkan fotonya bersama Clarissa Ayumi membuat dirinya semakin tersenyum.
Teman Rista bernama Sella membantunya mempersiapkan apa-apa saja syarat yang diminta oleh Arta Fashion.
"Semoga keinginanmu bekerja di sana terwujud," harapnya.
"Mudah-mudahan, Sell."
...----------------...
Pendaftaran pun dibuka hingga pukul 12 siang saja sudah ada mendaftar sekitar 30 orang termasuk Rista.
Begitu melewati pintu keluar gedung dari kejauhan Sella melihat Darren masuk ke dalam mobil mewah. "Rista, bukankah itu pria yang kita temui di kafe beberapa hari yang lalu?"
"Iya, kau benar. Apa mungkin dia bekerja di sini?" tanyanya.
"Bisa saja dia bekerja di sini, tapi di bagian apa secara dia sangat aneh begitu," ujar Sella.
"Dari tampangnya dan ia duduk di kursi pengemudi pasti dia hanya sopir dari bos besar di sini," tebak Rista.
"Tidak mungkin, Rista. Menurutku wajahnya keren dan tampan begitu, pasti dia berada di petinggi perusahaan atau jangan-jangan dia salah satu model di sini," Sella menerka-nerka.
"Aku tidak percaya dia salah satu petinggi di sini," ujar Rista. "Sudahlah kita pulang, kenapa bahas dia?" lanjutnya lagi.
"Ya sudah, ayo!"
-
Darren mengendarai mobilnya seorang diri menuju restoran. Siang ini mereka sekeluarga akan makan bersama. Devan lebih dahulu pulang untuk menjemput sang istri.
Begitu sampai, di restoran Raisa memeluknya erat. "Aku rindu sekali denganmu adikku," ia mencubit pipi pria yang kini berusia 25 tahun.
"Kakak sakit sekali!" protesnya.
"Sayang, jangan mencubitnya terlalu kuat pipinya jadi merah," ujar Eza.
"Aku begitu merindukan dia, sayang. Apalagi sekarang dirinya akan menjadi Presdir," ungkap Raisa.
"Kakak, apa ingin calon bayi kalian seperti aku?" Darren menatap sang kakak.
Raisa menurunkan tangannya dari pipi adiknya. "Aku tidak mau, kamu sama papa aneh," tuturnya.
"Apa kamu bilang, Papa aneh?" Devan ikut bicara setelah namanya disebut.
"Ya, kalian memang aneh. Ke mana-mana bawa penyemprot anti kuman, pakai masker, semua serba bersih," ungkap Clarissa.
"Jadi kau tidak menyukaiku begitu, kenapa baru bicara sekarang?" Devan menatap istrinya.
"Itulah keunikan dari dirimu, suamiku. Daya tarikmu begitu, makanya ku mengejarmu," Clarissa tersenyum manis membuat Devan tak bisa memarahinya.
"Kita kapan makan, dari tadi mengobrol saja," celetuk Darren.
"Kamu duduk, Nak. Kita akan makan siang bersama, kami dari tadi memang menunggumu," jelas Clarissa.
Selesai makan siang, mereka kembali mengobrol. "Bagaimana dengan pekerjaanmu, Darren?" tanya Raisa.
"Ya, begitulah. Masih di bantu Papa menjalankannya," jawab Darren.
"Oh, begitu." Raisa tersenyum.
"Kamu nanti lahiran di sini, kan?" tanya Clarissa pada putrinya.
"Iya, Ma. Raisa ingin dekat dengan kalian," jawabnya.
"Ya, Papa juga ingin ada disaat kamu melahirkan nanti," sahut Devan.
"Kapan kata Dokter melahirkannya?" tanya Clarissa.
"Kemungkinan pertengahan bulan depan, Ma," jawab Raisa.
"Berarti Papa sudah tidak bekerja lagi di perusahaan dan bisa menemani kamu melahirkan," ujar Clarissa.
"Jangan begitulah, Pa. Beri waktu untuk Darren dua bulan lagi menjalankan perusahaan," pinta putra bungsu Devan.
"Sayang, kamu harus berani menjalankan perusahaan. Jangan seperti anak kecil yang terus berada di dekat papa," nasehat Clarissa.
"Iya, adikku. Kamu itu sudah dewasa, harus siap menjadi pemimpin begitu saat menjadi kepala rumah tangga," sambung Raisa.
"Kenapa bahas rumah tangga?" Darren tak suka.
"Nak, cepat atau lambat kamu pasti akan menikah," jawab Clarissa.
"Kakak tak bisa bayangkan bagaimana calon istrimu kelak," ujar Raisa.
"Papa tidak mau dia dari kalangan artis," sahut Devan.
"Kenapa, Pa?" tanya Raisa.
"Kamu pasti tahu alasan Papa menolak hubungan kalian," jawab Devan sembari menatap anak dan menantunya itu.
Eza menghela nafas lalu kemudian tersenyum. Dirinya paham atas kekhawatiran papa mertuanya.
"Bagaimana kalau Darren menyukai seorang artis, Pa?"
tanya Raisa.
"Sebelum itu terjadi Papa mengingatkannya," jawab Devan.
"Kalian membahas tentang jodohku, ku tak mau jatuh cinta saat ini. Sangat ribet, harus ada waktu berdua. Belum lagi kalau wanitanya merajuk, semua buat pusing kepala saja," ungkap Darren.
"Kamu belum pernah merasakannya, Nak. Coba tanya papa dan kakak ipar kamu ketika jatuh cinta kepada kami, mereka tak mau lepas," ucap Clarissa tersenyum bangga.
"Kau selalu saja memuji dirimu, Rissa!" Devan membalas senyuman istrinya itu.
"Kan, memang benar!" Clarissa menaikkan kedua alisnya.
"Iya, Darren. Apa yang dikatakan Mama kamu benar," ujar Devan.
"Hentikan pembahasan itu, jangan bebankan aku dengan kata pernikahan," tutur Darren.
"Dia belum merasakannya," sahut Eza.
"Kakak doakan kamu yang akan mengejarnya," celetuk Raisa.
"Semoga saja tidak," Darren menampilkan senyum percaya diri.
...----------------...
Hari audisi pun dimulai beberapa peserta sudah memenuhi halaman parkir gedung Arta Fashion. Beberapa orang peserta dipanggil satu persatu bertemu dengan juri.
Selain menunjukkan gambar, mereka juga akan ditanya tentang bahan kain.
Dua jam yang lalu, Rista sudah bersiap akan berangkat namun saat menunggu bus, pakaiannya basah terkena cipratan kendaraan yang melintas dan terpaksa harus menggantinya.
Begitu selesai, ia kembali menunggu bus hampir sejam kendaraan roda empat itu juga tak muncul belum lagi hujan turun sangat lebat akhirnya ia tunda sampai langit cerah.
Begitu hujan reda Rista dan sahabatnya berjalan menuju gedung Arta Fashion. Lagi-lagi kesialan ia dapatkan, sebuah mobil mewah melaju kencang hingga membuat air yang tergenang di jalanan mengenai pakaiannya.
Rista menatap geram mobil tersebut.
"Tidak mungkin kau seperti ini ke sana?" tanya Sella.
"Jika kita kembali yang ada akan terlambat," jawab Rista.
"Apa kau yakin ke sana dengan pakaian ini?" tanya Sella lagi.
"Iya," jawab Rista dengan pakaian ujung roknya ke atas sebelah kanan basah. Hingga tertempel bercak sedikit lumpur.
Dengan berjalan cepat, Rista menuju gedung Arta Fashion. Begitu sampai ia melihat pria turun dari mobil mewah yang membuat bajunya basah.
Tak mau berdebat karena mengejar waktu juga ia memilih bergegas ke tempat audisi. Namun, harapannya kembali hancur. Panitia menolaknya karena pakaian yang digunakannya sangat tidak rapi dan kotor belum lagi tim juri sudah selesai menyeleksi peserta.
"Tolong berikan saya kesempatan lagi, Tuan!" mohonnya dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf, Nona. Tim juri sudah selesai dan mereka sedang beristirahat," jelasnya.
"Saya mohon, Tuan. Izinkan mengikuti audisi ini!" Rista mengatupkan kedua tangannya.
"Nona, coba lihat dengan pakaian yang ada gunakan. Juri tidak menyukai penampilan anda begini," jelasnya lagi.
"Tuan, tadi kami ke sini telah rapi cuma ada pengendara mobil yang membuat pakaian yang digunakan teman saya ini basah," Sella turut memberikan penjelasan.
"Saya tidak peduli dengan alasan yang kalian beri, waktu audisi sudah habis. Maaf!" karyawan tersebut kemudian berlalu meninggalkan Rista dan temannya di depan ruang audisi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!