NovelToon NovelToon

Ranjang Pelakor 1 Milyar

Tawaran uang 1 Milyar

Sebuah suara gaduh perlahan terdengar oleh telinga seorang gadis yang sedang lelap dalam tidurnya meski warna jingga kemerahan telah muncul di ufuk timur menyapa pagi. Gadis itu rupanya sudah terbiasa bangun siang karena pekerjaannya sebagai seorang penyanyi di Café Carita.

Sambil beranjak dari ranjang, Kalila Utami bergumam kesal atas apa yang ia dengar saat ini.

"Ada apa ini? Siapa yang bertengkar pagi-pagi buta?" gumam Kalila berjalan keluar kamar berniat mencari sumber suara.

Baru saja dirinya membuka mata coklatnya yang sempurna, Kalila langsung dikejutkan dengan pemandangan adiknya yang sudah berseragam putih abu-abu rapi sedang dipegangi oleh satu pria berbadan tinggi besar.

Lalu matanya beralih pada sang ibunda, tampak tersungkur karena di dorong kasar oleh seorang pria lain yang juga berbadan tinggi besar dengan kepala pelontos. Satu orang lainnya sedang marah-marah, dia perempuan yang tampak sebaya ibunya dengan rokok di tangannya yang menyala dan asap mengepul dari mulut orang itu. Menakutkan, Kalila terkejut bukan main.

"Ada apa ini?" teriak Kalila yang segera berlari ke arah ibunya, dengan cepat ia membantu ibunya berdiri.

"Lepaskan aku!" teriak sang adik lagi saat terus meronta minta dilepaskan.

Kalila melihat ke arah adiknya. Ia marah, marah sekali.

"Ada apa ini Bu?" desak Kalila menatap ibunya yang menangis.

"Oh sayang, kau sudah bangun rupanya. Maaf mengganggu tidurmu cantik. Aku kemari untuk menagih hutang," sahut wanita yang merokok itu dengan nada santai.

Kalila berdegup, hutang? Siapa yang berhutang? Begitu isi pikiran Kalila saat ini.

"Hutang? Apa maksudmu Nyonya?"

"Hutang Ibumu sayang, kau tidak tahu? Ayo Citra, jelaskan pada putrimu ini berapa hutang yang kau tumpuk hingga tidak bisa membayarnya?"

Kalila melihat ibunya lagi dengan raut sejuta tanya.

"Bu?"

Ibu Citra mengangguk, ia menjelaskan bahwa hutang itu ia buat modal untuk sebuah bisnis investasi yang menggiurkan dari temannya beberapa minggu lalu, berharap untung besar agar mereka bisa hidup enak namun ternyata bisnis itu adalah investasi bodong.

Uang modal yang dipinjamkan rentenir ini raib entah kemana dibawa lari oleh teman Ibu Citra, yang ada hanya hutang yang terus bunga berbunga.

"Tidak tanggung-tanggung, Ibumu berhutang padaku hampir Delapan Ratus Juta Rupiah. Dan ini sudah minggu ketiga janji akan dibayar lunas, jangan salahkan aku jika hal ini akan ku bawa ke jalur hukum, Ibumu bisa ku penjara karena menipu," jelas Nyonya rentenir kejam itu.

"Apa? Bu?" desis Kalila lagi yang tidak tahu harus berkata apa sekarang.

"Maafkan Ibu nak, ini salah Ibu.... Biarlah Ibu dipenjara saja, tidak ada jalan lain yang bisa membantu. Ibu akan bertanggung jawab atas perbuatan ini," ucap Ibu Citra menangis memeluk putri sulungnya.

Kalila menggeleng, ia memeluk ibunya lagi.

Ia mulai mengerti, ternyata itu penyebab ibunya sering pergi keluar kota bersama temannya beberapa bulan lalu, meninggalkan ia dan adiknya yang hidup serba mandiri. Membangun bisnis dari modal rentenir, namun berakhir kecewa karena ditipu iming-iming investasi bodong yang kini entah kemana, bahkan sekarang terancam dipidana.

Pantas saja sejak ibunya pulang, selalu murung dan tidak banyak bicara ternyata ini penyebabnya hutang yang kian menggunung minta dilunasi sedang mereka tidak punya penghasilan lebih selain dari Kalila bernyanyi setiap malam untuk biaya hidup dan adiknya sekolah.

Ibu Kalila bernama Citra, ia sudah menjadi single parent sejak Kalila duduk di bangku SMP dan adiknya Kania masih sekolah SD waktu itu.

Hidup mereka keras, hanya tinggal di kontrakan sederhana, dulu ibunya seorang ART yang bekerja di rumah tetangga, namun kini Kalila yang memenuhi semua kebutuhan sejak bekerja sebagai penyanyi Cafe yang bergaji cukup untuk makan sebulan.

Namun semua berubah saat ibunya berteman dengan wanita itu, wanita yang mengajak ibunya sering keluar kota untuk bergabung dengan bisnis investasi.

"Aku masih berbaik hati, ku beri waktu satu minggu dari sekarang. Jika tidak kau benar-benar akan ku penjarakan Citra!" teriak Nyonya rentenir itu lagi, setelah itu ia memerintahkan dua anak buahnya melepaskan Kania dan berlalu dari rumah kecil itu.

"Kak bagaimana ini?" tanya Kania memeluk kakaknya ketakutan.

Kalila hanya bisa terdiam, ia juga bingung.

Pada malam harinya, Kalila bekerja seperti biasa. Namun malam ini penampilannya kurang memuaskan, bernyanyi tidak seceria biasa, bisa dilihat dari raut wajah dan tatapan matanya yang kosong.

Manager Cafe yang sering dipanggil Bu Lina memberi teguran atas penampilan Kalila usai bernyanyi.

Ia dimarahi, Bu Lina yang terkenal tegas itu tidak peduli dengan alasan Kalila yang sedang buntu memikirkan hutang ibunya. Ia minta gadis itu untuk tetap profesional dalam bekerja.

"Maafkan aku Kalila, Cafe ini bukan bank yang bisa meminjamkan uang sebanyak itu padamu. Kita disini tidak menerima jalur pribadi, sebaiknya bekerja dengan baik dan tetap bernyanyi seperti biasa jika tidak ingin kehilangan pekerjaan!" ucap Bu Lina seolah tidak mau mengerti perasaan bingung Kalila saat ini.

Gadis ini buntu, ia terus memikirkan ibunya yang akan dipenjara oleh rentenir itu.

Baru saja bernapas lega saat Bu Lina sudah pergi, Kalila dibuat kaget oleh sentuhan tangan di bahunya.

"Ah kau Loli, membuatku terkejut saja," sungut Kalila kesal pada teman satu profesinya itu.

"Maaf, aku kemari ingin mengatakan ada seseorang yang memanggilmu dari ruang VIP."

"Siapa?"

"Mana ku tahu, dia ingin bertemu denganmu. Pergilah, mereka menunggu."

Kalila bingung, namun ia mengangguk juga. Tanpa berpikir panjang Kalila menuju sebuah ruangan private bagi tamu eksklusif.

Setelah di ruangan, Kalila bertambah bingung saat yang menemuinya adalah tiga orang lelaki berjas mahal, satu diantara mereka mendominasi tampak dari gayanya yang arogan.

Lelaki yang cukup berumur yang dikira Kalila sebaya ibunya. Ia gugup dalam hati apa jangan-jangan orang-orang ini suruhan rentenir itu lagi pikir Kalila.

"Kau yang bernama Kalila?"

Gadis itu mengangguk.

"Duduklah, tenang saja aku tidak akan memakanmu!"

Kalila memberanikan duduk di hadapan tiga orang itu, wajah pria yang bicara itu cukup menakutkan meski dibalut ketampanan.

Kalila duduk dengan raut bingung, matanya melirik sebuah koper berisi uang tunai lembar ratusan ribu rupiah.

"Siapa Tuan-Tuan ini? Hingga aku dipanggil kemari?" tanya Kalila gugup.

"Oh kau gadis yang tidak pandai berbasa basi rupanya," kekeh pria itu.

Kalila menelan ludah sambil menatap wajah pria yang sedang tertawa.

"Kau butuh uang, dan aku butuh jasa perempuan cantik sepertimu."

"Ini uang 1 milyar."

Kalila terkejut, ia melirik lagi uang itu dengan perasaan bertambah gugup. Ia menelan ludah berkali-kali.

"Apa maksudmu Tuan?" tanya Kalila bertambah penasaran.

"Aku ingin membeli kecantikan mu."

"Apa? Apa maksud Tuan bicara seperti itu?" Kalila tersinggung.

Lelaki itu terkekeh.

"Iya, aku tidak sedang berbasa basi apalagi bercanda. Aku ingin membeli kecantikan mu dengan uang ini. Kecantikan mu ku hargai 1 Milyar Rupiah."

Kalila berdecak kesal.

"Apa mau mu Tuan? Aku bukan gadis sembarangan! Anda salah orang."

Kalila berdiri dengan perasaan marah merasa dilecehkan, namun terhenti saat menatap koper yang terbuka itu, menampilkan uang selembaran seratus ribu yang memenuhinya. Banyak sekali. Dan terlihat asli. Bayangan ibunya dipenjara mulai menguasai Kalila lagi.

"Aku tahu kau butuh uang." Kalila terdiam.

Kalila mengambil napas kasar, ia duduk lagi setelah berpikir sejenak sambil menatap uang itu.

"Tidak ada waktu dan kesempatan seperti ini lagi. Kenapa masih memikirkan soal harga diri, semua kebetulan. Kebetulan yang akan menentukan nasib ibuku," gumam Kalila dalam hati.

Lelaki itu tertawa menakutkan.

"Kau ku beli untuk menjadi seorang pelakor yang akan merebut pria playboy dari putriku, uang 1 milyar ini menjadi milikmu saat ini juga. Tentu kau harus berhasil, jika tidak uang ini akan dianggap hutang."

Kalila masih diam.

"Kau bisa memberi keputusanmu hingga besok."

Tidak ada waktu berpikir disaat keadaan benar-benar mendesak, yang diinginkan Kalila hanya satu yaitu uang tersebut.

"Aku bersedia, aku mau uang ini sekarang!"

Pelakor Bayaran

Kalila menjelaskan pada ibunya tentang uang 1 milyar yang ia bawa pulang saat ini. Ia berhasil meyakinkan ibunya bahwa uang itu sebagai pinjaman dari bosnya di Cafe, dan gajinya akan dipotong setiap bulan tentu akan terus terikat bekerja di sana sampai hutang lunas.

Setelah melunasi hutang, masih ada tersisa uang dari 1 milyar, Kalila dan ibunya gunakan untuk membayar kontrakan rumah yang kebetulan habis akhir bulan ini, selebihnya untuk kebutuhan adiknya yang akan lulus SMA.

Pukul 10 pagi.

Kalila bertemu dengan orang suruhan Tuan Harun yang telah membeli jasanya sebagai pelakor bayaran tidak jauh dari rumahnya, ia dijemput dengan mobil SUV mewah.

"Kenapa kita ke salon?" tanya Kalila saat mobil yang membawanya berhenti di depan salon kecantikan ternama.

"Tentu kau harus cantik dan terlihat menarik sebelum bertemu target mu nanti, jika berpenampilan seperti ini apa kau kira lelaki playboy itu bisa suka padamu? Tidak mungkin bukan?" jawab Dina yang mengenalkan diri sebagai sekretaris Tuan Harun itu seraya membuka pintu mobil bagian Kalila.

Gadis itu terdiam, ia melirik pakaian dan penampilannya saat ini. Benar, siapa yang akan tertarik dengan gadis miskin seperti Kalila, semuanya tampak biasa saja. Karena yang akan ia goda adalah lelaki playboy yang sudah tentu pula mahir dalam menilai wanita cantik.

Di Restoran Hotel Mahardika Luxury.

"Ingat, tugasmu membuat pria itu tergoda akan kecantikan mu, pembahasan pekerjaan menjadi nomor dua. Tunjukkan bahwa kau gadis yang benar-benar menggoda iman pria itu." Dina mengingatkan Kalila sebelum mereka berpisah.

"Baik, aku mengerti."

Setelah berpisah, Kalila yang telah didandani cantik mulai duduk di sebuah meja yang telah diatur dalam sebuah ruangan private, tempat biasa para pengusaha meeting.

Kalila menetralisir kegugupannya dengan bernapas dalam beberapa kali. Ia tidak pernah bekerja kantoran sebelumnya, mana bisa ia mengerti dengan cepat apa yang telah Dina ajarkan tadi. Kalila bahkan tidak pernah makan di restoran mahal seperti ini, apalagi harus bertemu dengan seseorang yang akan ia goda.

"Aduh..... Ini benar-benar gila, kenapa aku gugup sekali," gumam Kalila sambil menarik napas dalam-dalam.

Sampai pandangannya mengarah pada seseorang yang datang bersama seorang pelayan dari restoran.

Gadis ini tercengang. Tanpa sadar ia berdiri, pria itu tampan dan gagah. Penampilan formal yang berkharisma, sungguh kata playboy jauh dari wajahnya yang dingin dan teduh. Sejenak Kalila terpesona, demi apa pria itu seperti dewa yang tersesat di dunia manusia.

"Nona Kalila, ini Tuan Anggara sudah datang," ucap sang pelayan yang juga merupakan orang suruhan Tuan Harun.

Kalila tergagap, ia mengangguk lalu mengulurkan tangannya dengan gerakan cepat.

"Kenalkan aku Kalila, aku utusan dari PT. Bima Tama, perusahaan konstruksi yang akan mengerjakan proyek anda di Sumatera."

Kata-kata Dina begitu lancar Kalila ucapkan, ia menjadi ingat semua yang Dina ajarkan tadi.

"Aku Anggara, silahkan duduk kembali. Santai saja, jangan terlalu formal, maaf sekretaris ku sedang di jalan mungkin dia akan datang sedikit terlambat."

Suara berat itu menjawab seraya menyambut tangan Kalila yang dingin dan berkeringat karena terlalu bersemangat.

Gadis itu tersenyum malu, inikah lelaki yang akan ia goda?

Kalila merasa harga yang wajar jika 1 milyar ia terima jika mampu menaklukkan si pria sempurna di hadapannya ini. Kesempatan dalam kesempatan pikir Kalila.

Percakapan yang normal tentang pekerjaan, namun saat Anggara lengah, Kalila berpura menumpahkan gelas jus hingga mengotori tangan pria itu.

"Oh, aku benar-benar tidak sengaja, maafkan aku Tuan."

Kalila meraih tangan Anggara lalu mengelapnya dengan tisu, usapan tangan lembutnya membuat Anggara tertegun, melihat wajah cantik utusan dari PT Bima Tama itu yang sangat dekat dengannya saat Kalila beralih duduk di sampingnya hanya untuk mengelap tangannya yang tertumpah jus tomat.

Sama-sama diam, Anggara tidak menolak. Ia sibuk memperhatikan wajah oval itu, alis lebat yang terukir indah di atas mata, bulu mata asli yang lentik dan tebal, pemandangan yang tidak biasa.

Kalila tersenyum, ia tahu Anggara memperhatikannya, ia sengaja mendongak dan mata mereka bertemu. Kalila tersenyum dibuat semanis mungkin.

"Maaf, aku lancang menyentuhmu."

Lamunan pria itu buyar, entah ia terpesona atau tidak yang pasti dadanya cukup gugup saat bertatapan dengan mata cokelat milik gadis itu.

"Tidak masalah, ayo lanjutkan!" jawab Anggara tak kalah canggung.

Kalila duduk kembali pada kursinya, kembali sedang membahas pekerjaan, Anggara melihat wajah Kalila yang tampak meringis seperti menahan sakit.

"Nona Kalila, kau kenapa?" tanya Anggara heran.

"Ah..... Sepertinya sakit kepala ku kambuh," jawab Kalila seraya memegang kepalanya seolah sakit hingga meringis.

Anggara tampak menatap Kalila dengan serius.

"Nona, kau baik-baik saja? Bagaimana jika kita membahas ini lain waktu, sebaiknya kau pulang saja, apa kau datang sendiri?" ucap Anggara segera saat merasa tidak tepat untuk melanjutkan pertemuan itu.

Kalila mengangguk, "Maafkan aku Tuan, maaf sekali, aku suka sakit kepala sebelah jika terlambat makan."

"Baiklah, bertahanlah sebentar. Aku akan menghubungi seseorang agar mengantar mu pulang."

Kalila melihat Anggara yang sibuk menelepon seseorang.

Kalila berdiri, dengan sengaja ia condong ke arah Anggara dan ia berpura pingsan setelah pria itu terkejut mendapati Kalila yang sudah jatuh ke pengakuannya yang sedang bicara di telepon hingga ponselnya terjatuh.

"Astaga..... Nona Kalila? Nona, nona."

Anggara terus memanggil gadis itu namun tidak ada pergerakan, pria itu hanya mendesis kesal, meski terpaksa ia tetap menggendong gadis cantik yang terkulai dalam pelukannya itu keluar dari ruangan private tersebut guna mencari bantuan.

"Maaf, Tuan bisa membawa gadis ini ke ruangan sebelah sini saja," tegur salah satu pelayan restoran.

"Beri aku jalan! Gadis ini berada dalam tanggung jawab ku sekarang!" perintah pria itu pada dua pelayan restoran yang ingin membantu, tapi entah kenapa ia tidak menuruti mereka yang menawarkan ruangan untuk gadis itu dibaringkan.

Tanpa ia sadari seorang memotret pemandangan itu bahkan sejak awal bertemu, seperti hasil yang diinginkan.

Sesekali Kalila membuka matanya diam-diam memperhatikan wajah tampan yang berhasil menggendongnya. Sungguh menyenangkan berada dalam gendongan pria tampan.

Sampai kamar hotel ia dibaringkan, lalu pria itu segera keluar setelah memanggil pelayan hotel untuk menemani Kalila hingga sadar.

Baru akan berpura sadar, terdengar suara gaduh dari luar, suara perempuan marah-marah memaksa masuk.

Kalila sempat mengintip dengan matanya yang ia buka separuh, lalu segera terpejam lagi saat perempuan itu berhasil masuk. Ia kembali berpura tidak berdaya.

"Aku kecewa padamu, lihat ini!" Kata wanita itu pada Anggara yang menjelaskan padanya jika yang terjadi hanya salah paham.

Sambil berteriak ia memberikan ponselnya berisi foto Anggara dan Kalila saat di restoran tadi hingga ia menggendong Kalila sampai ke kamar hotel.

"Kau hanya salah paham Diana, aku hanya menolongnya tidak lebih, kasihan dia..... Dia pingsan, jangan percaya foto ini, aku tahu sepertinya seseorang memang ingin kita bertengkar."

"Menolong tapi tidak membawa ke kamar mu juga bukan?"

Anggara terdiam, ia melirik Kalila yang masih terpejam. Tidak ada yang mencurigakan.

"Maafkan aku. Percayalah..... Bukankah sudah biasa kau menerima foto-foto seperti ini? Jangan cepat percaya, aku tidak berselingkuh, sejauh ini apa ada yang terbukti?"

"Kita sudah bertunangan Diana, kenapa kau masih saja tidak percaya padaku?"

Diana terdiam, ia memang selalu menerima foto-foto Anggara dengan wanita lain yang berbeda akhir-akhir ini, namun hingga kini belum ada bukti pasti jika pria yang ia cintai itu mengkhianatinya. Tapi kali ini Diana merasa benar-benar marah, Anggara tidak pernah membawa wanita hingga ke kamar hotel apapun alasannya.

Ia melirik wanita cantik yang terbaring di ranjang.

"Tapi foto mu ketika bertatapan di restoran itu membuat ku benar-benar cemburu. Itu bukan tatapan biasa, siapa sebenarnya gadis itu?"

"Tenanglah itu hanya perasaanmu saja, aku baru bertemu dia sekali ini, dia utusan baru PT Bima Tama."

Diana akhirnya terbujuk juga oleh rayuan Anggara, mereka berpelukan lalu berbaikan. Anggara membawa Diana pergi dari sana setelah memberi perintah pelayan hotel untuk menjaga gadis pingsan itu sampai sekretarisnya Don datang.

Kalila bernapas kasar, sungguh ia cemas.

"Bagaimana jika aku ketahuan tadi? Huh, ini cukup berbahaya. Nona itu tampak menakutkan," gumam Kalila setelah mereka pergi dari sana.

Kalila merasa belum berhasil saat ini, Anggara dan tunangannya berbaikan dalam waktu singkat. Iya setidaknya itu awal yang bagus untuk pertemuan pertama pikir Kalila. Tuan Harun segera menghubunginya, ia memberi pujian atas kerja Kalila hari ini. Itu artinya Tuan menakutkan itu mengawasi segala gerak geriknya.

Tuan Harun juga mengatakan bahwa nanti malam Anggara akan menghadiri pertemuan dengan teman lamanya di Cafe Carita tempat Kalila bekerja.

Senyum devil gadis ini tampilkan. Terbesit sebuah ide gila di kepalanya. Biar bagaimanapun ia tahu ini permainan berbahaya, Tuan Harun bukan orang sembarangan, namun ia telah memakan budi uang 1 milyar yang telah menyelamatkan ibunya, kini saatnya menuntaskan hutang itu agar tidak terlalu lama berada dalam tekanan Tuan Harun.

"Lebih cepat putus lebih baik bukan? Sudah seharusnya memberi hal yang sebanding dengan uang 1 milyar."

Bertaruh Kehormatan Demi Sebuah Pelunasan

Kalila bertemu Anggara di Cafe, beruntung malam ini ia minta izin libur bekerja karena satu alasan.

Pria itu sedang duduk seorang diri, seperti sedang menunggu seseorang. Ia sibuk bermain ponsel tanpa peduli sekeliling.

Datang seorang pelayan mengantarkan minuman, Anggara tampak ramah pada pelayan itu dan memberi uang lebih saat minuman langsung dibayar. Lagi-lagi Kalila ragu jika pria itu adalah seorang playboy, ada banyak perempuan cantik di Cafe malam ini tapi pria itu tampak biasa saja.

"Hai."

Kalila berani mendekati, ia sedang membawa sebuah gelas minuman yang masih baru. Gelas dan minuman yang sama dengan pesanan Anggara tadi.

Pria itu mengernyitkan dahi saat menoleh pada sumber suara.

"Nona Kalila?"

"Iya, syukurlah jika Tuan mengingatku."

"Kebetulan sekali," kekeh pria itu ikut berdiri sambil berjabat tangan dengan gadis cantik itu.

"Maaf, aku melihat mu duduk seorang diri. Apa kau menunggu seseorang?"

"Iya, aku menunggu teman lama. Kami berjanji bertemu disini."

"Sepertinya kau baru pertama kali kemari?"

"Wah, kau pandai menebak."

Tentu saja karena Kalila merasa selama ia bekerja di Cafe ini belum sekalipun ia melihat Anggara datang seperti malam ini.

"Apa boleh aku duduk? Aku juga sedang menunggu teman," ucap Kalila menahan malu.

Sejenak Anggara tertegun saat menatap gadis itu menyisipkan rambutnya ke belakang telinga. Ia berusaha menahan senyum, namun lamunannya buyar saat Kalila menegur.

"Tuan Anggara?"

"Ah, iya tentu saja.... Silahkan duduk."

Kalila bersyukur dalam hati jika pria itu tidak menolaknya.

"Maaf kemarin aku lancang membawamu ke kamar hotel, aku hanya tidak ingin kau kenapa-kenapa. Maaf juga tidak menunggu mu hingga sadar."

"Oh soal itu, seharusnya aku yang meminta maaf. Aku mengacaukan pertemuan kita, aku malu sekali kenapa bisa pingsan di restoran kemarin. Aku berterimakasih padamu, kau tidak meninggalkan ku mati disana sendirian."

Kalila tersenyum manis, membuat pria itu segera mengalihkan perhatiannya pada pandangan lain.

"Sudah seharusnya aku membantu," sahut pria itu ikut tersenyum mengingatnya.

"Terimakasih banyak Tuan Anggara."

"Soal pertemuan kita kemarin, sudah ku serahkan pada Don sekertaris ku, dia akan menghubungi mu nanti kapan bisa bertemu lagi membahas lebih lanjut proyek itu, karena lusa aku akan keluar kota."

Kalila mengangguk saja meski ia tidak mengerti sama sekali tentang pekerjaan yang Anggara sebutkan itu.

Lagi, Kalila berpikir keras tentang sosok Anggara. Pria ini tidaklah mencerminkan lelaki hidung belang, tutur katanya yang sopan, seperti pria baik-baik dan berpendidikan tinggi. Meski tampan namun tidak sombong.

"Maaf Nona, aku akan menerima telepon dulu. Sepertinya ada hal penting."

"Tentu, silahkan!" Kalila mendapat kesempatan dan memanfaatkan kala Anggara sedang lengah menerima telepon berdiri sedikit menjauh, gadis ini dengan gugup dan gemetar menukar minuman mereka.

"Huh, ini sungguh gila," gumam Kalila menetralisir perasaan takutnya.

Saat Anggara kembali ke meja, Kalila gugup bukan main, tangannya berkeringat.

Tanpa curiga, pria itu duduk dan meminum minuman milik Kalila yang sengaja ditukar.

"Ya Tuhan...." desis Kalila menggigit bibir bawahnya.

"Maafkan aku Nona, sepertinya aku akan pergi sekarang, temanku tidak bisa kemari karena ada sesuatu mendesak. Senang bertemu dengan mu," pamit Anggara sambil menjabat tangan Kalila lagi seolah mereka memanglah rekan kerja.

Kalila hanya bisa mengangguk saja. Diam-diam ia mengikuti Anggara yang menuju mobilnya, ia ingin melihat reaksi dari obat yang sengaja ia masukkan ke dalam minuman untuk menjebak Anggara jika sesuai rencana.

Benar saja, Anggara tampak lain saat ingin membuka pintu mobil. Kalila segera menopang saat pria itu terkulai.

Kalila melihat pria itu setengah sadar, ia segera menghubungi temannya satu pekerjaan untuk membantu membawa Anggara ke hotel murah tidak jauh dari Cafe, semua ini sudah direncanakan gadis itu dengan baik, entah kenapa semua rencana seperti berjalan lancar malam ini.

Kalila tidak ingin bertele-tele seperti kemarin, ia harus nekad dalam hal ini jika ingin cepat terbebas dari jerat Tuan Harun yang menakutkan.

Kalila menunggu Anggara terbangun, ia sudah mengunci pintu kamar hotel yang sengaja ia sewa untuk satu malam ini.

Kamera ponselnya sudah menyala di sudut kamar, guna mengambil gambar yang dikira akan membuat Diana sang tunangan Anggara menjadi mendidih dan merasa dipermainkan lalu meminta putus dari pria yang terus membuat Kalila gugup saat ini.

"Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?" gumam Kalila dalam hati, ada rasa menyesal namun ia tidak bisa mundur lagi sekarang.

"Maafkan aku Bu, Kania maafkan kakak! Biarlah aku bertaruh kehormatan demi sebuah pelunasan uang 1 milyar itu."

Kalila menatap Anggara yang mulai terbangun.

"Tuan Anggara, maaf aku lancang membawa mu kemari.... Aku tidak tahu harus berbuat apa, kau pingsan. Kebetulan aku menginap di hotel ini, jadi ku bawa kau kemari karena aku tidak bisa menyetir untuk mengantarmu pulang. Lagi pula aku tidak tahu alamat mu."

Kalila berpura menjelaskan.

Anggara memijat kepalanya, ia menatap Kalila dengan perasaan lain, badannya panas seketika menatap indahnya sosok perempuan di hadapannya saat ini, Kalila berdiri dengan dress berbahan lembut jatuh mengikuti lekuk tubuhnya berwarna Milo.

Dada yang berukuran di atas rata-rata membuat sesak kejantanannya saat ini. Gila, ternyata gadis yang baru dua hari berkenalan dengannya itu sungguhlah cantik dan seksi. Sempurna sebagai perempuan yang menggugah selera pria normal seperti Anggara. Terlebih dalam pengaruh obat perangsang pula.

"Maafkan aku Nona Kalila, aku merasa terjadi sesuatu padaku. Aku benar-benar tidak bisa menahannya, kau cantik sekali. Aku menginginkan mu sekarang, aku tidak bisa menahannya lagi."

Anggara berkata sambil meraih pinggang Kalila, tangannya yang lain ia raih leher gadis itu lalu mulai mencium bibir Kalila tanpa permisi.

Gelanyar hasrat Anggara kian muncul saat tangannya mulai naik turun di punggung gadis itu. Kalila tidak menolak, entah kenapa ia pun ikut terbawa suasana.

Anggara semakin liar mencium dan merenggut manisnya bibir ranum Kalila yang tidak pernah berciuman sebelumnya.

"Ini sudah terlanjur, aku milikmu malam ini Tuan Anggara," gumam Kalila dalam hati.

Anggara tidak berbasa basi lagi, ia menjatuhkan dirinya dan tubuh Kalila ke ranjang berukuran queen size itu.

Setelah melepaskan semua benang yang melekat, Anggara sibuk menciumi leher hingga bermain dada gadis itu. Liar semakin liar.

"Aku inginkan ini sekarang juga, aku sungguh ingin gila Nona Kalila, kau benar-benar sempurna dan cantik, cantik sekali," puji Anggara sambil membuka paha gadis itu seolah meminta izin seraya memaksa.

Kalila meneteskan air mata, "Aku sudah dibayar untuk hal ini Tuan Anggara, kau bebas melakukannya, aku mohon lakukan dengan perlahan, ini pertama kalinya untuk ku."

Mendengar suara tangis Kalila membuat Anggara semakin menginginkan gadis itu, sepenuhnya, sampai kinerja obat itu tuntas.

"Aku akan masuk sekarang!"

Bersamaan dengan ekspresi wajah yang meringis dari Kalila, jari lentiknya mencengkram rambut pria itu kuat-kuat seolah menahan sesuatu.

"Oh.... " desis Anggara setelah berhasil masuk setelah kesusahan.

"Kau masih perawan?" Anggara tidak menyangka, ia sedang memerawani seorang gadis saat ini.

Kalila tidak menjawab, ia hanya menoleh ke lain arah, menetralisir perasaannya yang menyesal bukan main.

"Aku akan melakukannya dengan pelan."

"Oh sial..... Kau benar-benar membuatku gila Nona Kalila," racau pria itu memejamkan matanya menahan nikmat.

Sejenak kemudian, ia menjadi liar lagi menjamah setiap inci tubuh gadis Kalila untuk pertama kalinya. Menghantarkan hasrat yang memuncak, sinyal-sinyal kenikmatan duniawi hingga Kalila pun terbuai dan mulai melupakan rasa perih di bawah sana disaat Anggara lihai memberinya sakit yang kini berubah kenikmatan.

Lama bermain, hingga mencapai puncak dan menabur benihnya pada rahim Kalila meski Kalila memohon untuk tidak menanamkan di dalam, namun Anggara menolak, ia tetap mengeluarkan airnya di dalam inti jiwa Kalila.

Anggara benar-benar berada dalam kegilaan yang besar.

Mereka menuntaskan apa yang seharusnya dituntaskan, lalu lelap saling berpelukan, malam yang panjang sekaligus melelahkan.

Pagi harinya.

Anggara mulai membuka mata, ia menoleh ke samping terdapat gadis yang ia nodai semalam. Kalila hanya duduk memeluk lututnya dalam selimut tebal, matanya menatap kosong pada lain arah.

Raut menyesal menguasai gadis itu sekarang.

Anggara mendudukkan dirinya, ia beralih ke sisi ranjang lalu memungut celananya dilantai lalu memakainya segera.

Ia ikut duduk di samping Kalila yang masih diam.

"Nona Kalila, aku benar-benar minta maaf. Aku bisa bertanggung jawab jika kau merasa tidak terima, aku tidak akan lari. Percayalah."

"Semua sudah terjadi, lupakanlah. Segeralah mandi dan berpakaian, aku tidak bisa berlama disini."

Anggara terdiam, ia tidak berani bersuara lagi. Ia mengangguk lalu menuju kamar mandi, Kalila melihat punggung pria itu lalu menangis lagi.

Sedang Anggara di kamar mandi, mata Kalila tidak sengaja menangkap sebuah dompet yang tampak tercecer isinya. Ia tertarik melihat kartu nama dan identitas pria yang sedang mandi itu.

Kalila memungutnya, ia menutup mulut saat membaca kartu nama sekaligus kartu identitas milik Anggara.

"Anggara Mahardika?"

Kalila menelan ludah.

"Tuan muda Anggara Mahardika?" ulangnya lagi.

"Huh, aku tahu sekarang..... Aku benar-benar dalam masalah besar."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!