Matahari mulai menampakkan sinar nya dari ufuk timur dan sinar nya menerobos di sela sela jendela kamar Karan, yang hanya terpasang korden tipis di dalam kamar tersebut.
"Met pagi Karan... Met pagi Karan... Met pagi Karan," Suara burung Beo nya membangun kan Karan dari tidur nya.
Karan yang terusik dengan suara burung tersebut mengambil sesuatu di atas nakas di samping tempat tidur nya dan langsung melemparkan barang tersebut kepada burungnya, sembari berkata, "Ach...berisik banget sich, bisa diam nggak," teriak Karan pada burungnya yang masih saja berisik.
Namun tak lama kemudian, suara sang Ibu terdengar dari depan pintu kamar nya seraya berkata, "Karan, bangun Nak? sudah pagi nanti telat ke sekolah nya," kata sang Ibu di balik pintu kamar Karan.
"Ibu, sekarang tuh hari minggu, sekolah juga libur?" jawab Karan sembari menyibak selimutnya dan bergegas membuka pintu kamar nya, karena Karan selalu mengunci pintu di kala ia mau tidur.
"Masak sich sekarang hari minggu, kok ibu nggak ingat ya," celetuk sang Ibu sambil mengingat ingat hari apa sekarang.
"Ibu, coba Ibu lihat kalender di dinding itu," tunjuk Karan pada sebuah kalender yang ada di dinding kamar nya.
Ibunya pun menghampiri kalender tersebut seraya menyunggingkan senyumnya. "Ibu nggak ingat kalau sekarang hari minggu," Ucapnya merasa bersalah pada sang Putra.
"Sudahlah, Karan mau mandi habis itu mau ke rumah Kirana," Karan mengambil handuk dan bergegas menuju ke kamar mandi di belakang rumahnya, Karan sendiri hanya tinggal bertiga dengan Ibu dan juga Adiknya.
Sedangkan sang Ayah sudah lama tiada setelah mengalami sebuah tabrakan di sebuah kota, ya Ayah Karan sendiri adalah seorang supir truk yang selalu bermuatan cabe, hari itu Ayah Karan hanya sendirian membawa mobilnya, tanpa seorang teman yang biasa menemani nya di saat mengantarkan muatan cabe ke kota Jakarta, di saat itulah kecelakaan tak bisa terhindar kan, Ayah Karan sendiri mati di tempat karena ter gencet kemudi mobil truknya.
Sejak saat itu Karan selalu membantu sang Ibu, setiap hari minggu Karan menjadi kuli yang membawakan barang belanjaan Ibu Ibu di pasar dengan mengharapkan upah yang tak seberapa, hanya untuk buat jajan sang adik dan juga dirinya sendiri.
Karan tak pernah mengeluh atas apa yang terjadi pada di kehidupan nya, yang paling penting Karan keinginan Karan adalah untuk membahagiakan sang Ibu dan juga adik semata wayang nya.
Selesai mandi dan berganti baju Karan, berpamitan pada sang ibu guna menemui teman sekolah nya.
"Ibu, Karan pamit ke rumah Kirana dulu ya, hari ini Karan tak pergi ke pasar dulu," Ucapnya seraya mencium tangan sangat Ibu.
"Iya, hati hati di jalan," pesan sangat Ibu pada Karan puteranya.
Karan mengambil sepeda nya dan bergegas menuju kerumah Kirana, seperti biasa Karan selalu manjat pagar tembok untuk menemui sang teman, karena Karan sendiri takut kalau lewat gerbang rumah Kirana, karena di sana terdapat satpam yang akan menghadang kedatangan Karan.
Karan bersiul setelah berada di atas pohon yang rindang di dekat jendela kamar Kirana, Kirana segera melihat kearah jendela kamar nya, dan melihat Karan sudah nangkring di atas dahan yang biasa Karan duduki saat menghampiri Kirana di rumah nya.
"Aku akan segera keluar," Kata Kirana pada Karan, Karan yang mendengar hanya mengangguk dan segera turun dari atas pohon lalu mengambil sepeda ontel nya yang di taruh dengan sembarangan tadi.
Kirana keluar dari rumahnya lewat pintu belakang, yang penjagaan nya tak terlalu ketat, di sana hanya ada seorang bibi yang biasa membantu Kirana pergi untuk menemui Karan temannya.
"Jangan lama lama ya Non," Kata sang Bibi mengingat kan Kirana sebelum pergi.
"Kirana janji nggak akan lama kok Bi." jawab Kirana sembari mengambil sepeda ontel nya yang ada di taman belakang rumahnya.
Kirana dan juga Karan mengayuh sepeda nya ke tempat biasa yang sering ia datangi berdua. Mereka berdua bercanda tawa di danau yang mereka kunjungi sekarang ini, setelah merasa capek setelah kejar kejaran mereka berdua duduk di bawah pohon yang rindang, dan di sisi pohon besar tersebut terdapat taman bunga yang sangat indah, Kirana merentangkan kedua tangannya saat angin berhembus dan menerbangkan sebagian rambutnya, Kirana adalah gadis yang agak berisi waktu itu, jadi dia susah sekali untuk bermain kejar kejaran dengan Karan, dengan nafas yang masih naik turun Kirana membaringkan tubuhnya di atas rerumputan yang hijau.
"Kapan kapan saja ya Kirana, besok aku masih harus sekolah, belum tau pulang jam berapa," Ucap Karan menjelaskan pada sang teman.
"Karan, besok kita pergi ke air terjun saja ya, yang ada di ujung jalan sana," Tunjuk Kirana pada jalan di depan nya.
"Bosan main di sini terus," tambahnya seraya menatap Karan yang juga ikutan membaringkan tubuhnya di atas rumput.
"Ya sudah, kapan kapan saja ya Kirana. Besok aku nggak bisa main dengan kamu, soalnya besok aku akan ikut Les, kamu tau sendiri kan ujian sebentar lagi, dan aku ingin menjadi orang yang sukses kelak. Aku nggak mau menjadi seorang pecundang seperti yang di ucapkan ayah kamu minggu lalu," Ucap Karan pada Kirana. Kirana sendiri merasa amat sangat bersalah pada Karan temannya, karena ucapan sang Ayah waktu itu.
"Maafkan aku Karan," Jawab Kirana pelan sembari menundukkan kepalanya.
"Kamu nggak bersalah, namun ucapan Ayah kamu membuat ku berfikir keras, agar aku kelak bisa sesukses Ayah kamu," Lalu aku bangun dari tiduran, sekilas aku melihat wajah Kirana yang lumayan sedih atas ucapan ayahnya terhadap ku waktu itu.
"Sudahlah, jangan di bahas lagi. Kita kesini untuk main kan, kalau gitu kita main sepuasnya hari ini,"
Karan menarik tangan Kirana, lalu membawanya ke tengah kebun bunga yang berada di samping pohon besar tersebut.
Kirana memaksakan senyuman nya, mengingat Karan yang begitu tegar menghadapi setiap hinaan yang Ayah nya lontarkan waktu itu.
"Ya sudah, tapi kamu besok ke rumah lagi kan Karan, ada yang mau aku tunjukkan pada kamu," Ucap Kirana pada Karan, aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
"Tapi aku nggak janji ya, kalau besok telat ke rumah kamu," Jawabku terus menatap wajah Kirana yang tembem, ya Kirana emang lumayan berisi sehingga dia gampang capek menghadapi kejailan ku selama ini, namun dia begitu senang dengan semua itu, karena Kirana sendiri tak punya banyak teman, teman temannya hanya memanfaatkan Kirana saja, karena Kirana anaknya orang yang sangat kaya di kota tempat ku tinggal.
BERSAMBUNG
Akhirnya Karan dan juga Kirana memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing, karena matahari sudah berada di atas kepala.
Mereka mengayuh sepeda ontel nya, sampai di pertigaan jalan, mereka pun akhirnya berpisah, karena rumah mereka berbeda arah.
"Karan!! Jangan lupa besok aku tunggu kamu seperti biasanya," Teriak Kirana sebelum berbelok ke jalan arah rumah nya.
Aku tak menjawab ucapan Kirana, karena aku hanya fokus ke jalanan saat ini, ''Sebenarnya kalau boleh ku jujur hatiku teramat sakit, ketika mengingat semua ucapan Ayah dari Kirana.'' Gumamku terus mengayuh sepeda ontel ku yang biasa aku naiki.
"Kamu hanya seorang anak dari keluarga yang sangat miskin! dan, apa kamu bilang? kalau kamu adalah teman Kirana Puteri ku!!'' Ucap Pak Lukman dengan lantang seraya menunjuk ke muka Karan dan juga Sania.
''Kamu hanya seorang penjilat, yang pura-pura baik dan mau berteman dengan Kirana, hanya untuk memanfaatkan putriku saja," Teriak Pak Lukman lagi pada Karan waktu itu.
"Dan ingat!! Kamu nggak pantas menjadi teman dari putri seorang konglomerat, seperti Putri saya, saya sarankan dari sekarang, kamu untuk meninggalkan Putriku, aku berharap kamu punya rasa malu, karena kita beda level dan juga beda kasta. Sebelum kesabaran ku hilang cepat keluar dari rumahku!!'' Ucap nya lagi dengan ketus, sedangkan tangan nya mengacung mengarah ke pintu agar aku cepat pergi, aku hanya merasakan kesedihan waktu itu, tanpa tau harus menjawab apa pada Ayah Kirana. Aku menatap Sania yang terus saja menangis, linangan demi linangan aku hapus dari pipi Adikku. Adik yang selama ini sudah merasakan kebahagiaan setelah kepergian sang Ayah, namun kini aku membuat dia merasakan kesedihan kembali.
Sedangkan Kirana terus membela ku, Kirana mulai berdebat dengan sang Ayah. ''Cukup Pa! hentikan semua perkata'an mu yang menyakitkan itu, Karan bukan orang seperti itu, Kirana lah yang meminta Karan untuk menjadi teman Kirana, Papa nggak boleh menghina temanku seperti itu, Papa nggak pantas menghina nya!?'' Ucap Kirana lantang, dengan berderai air mata Kirana menghampiri Aku dan juga Sania di dekat pintu, namun belum juga Kirana sampai di dekat ku, Papa nya sudah mencekal tangan Kirana, agar dia tak menghampiri ku yang berdiri mematung di dekat pintu.
Kirana meronta ronta di dekapan Papanya, namun sang Papa tak menghiraukan teriakan demi teriakan yang di keluarkan oleh Kirana.
''Cepat usir mereka berdua, dan ingat? jangan sekali kali mengijinkan mereka berdua untuk datang lagi ke rumah ini, kalian mengerti!!'' sentak Papa nya Kirana seraya menggendong sang Putri di atas bahu nya.
''Maaf, sebaiknya kalian pulang saja dulu, besok bisa kembali lagi ke sini,'' Ucap ramah sang kepala pelayan, aku hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan kepala pelayan di rumah Kirana.
Kepala pelayan mengantarkan aku dan juga adikku ke depan gerbang, setelah keluar dari gerbang pelan pelan aku mengusap dadaku pelan, kutahan agar air mataku tak jatuh menetes di hadapan Sania Adikku, Ku akui Pak Lukman adalah seorang Bapak yang teramat sombong.
Dari sanalah tekad ku menggebu-gebu, agar kelak aku lebih sukses dari pada Ayah Kirana.
Semua kepedihan aku simpan sendiri, tanpa mau memberi tahukan pada ibuku, biarlah sakit hati ini aku saja yang merasakan, aku tak mau menambah kesedihan Ibu yang selama ini merawat ku dengan kasih sayang nya.
Aku dan Sania memilih untuk pulang ke rumah setelah di usir dari rumah Kirana, di perjalanan pulang, aku mewanti wanti pada Adikku agar tak menceritakan semua kejadian hari ini pada Ibu di rumah, Sania yang di pesan hanya mengangguk kan kepala nya tanpa menjawab sepatah katapun yang aku ucapkan. Aku menoleh pada Sania yang masih terus saja menangis.
''Sudah lah Adik, tak usah menangis lagi hanya karena hina'an ini, berdo'alah dan meminta kepada sang Khalik agar kelak derajat kita di angkat dan menjadi orang yang sukses,'' Ucapku pada Sania.
''Iya kak, berjanjilah padaku kalau kamu akan membalas semua perlakuan Papa Kirana pada kita,'' jawab nya, dan menghapus air mata nya yang terus menerus membanjiri kedua pipi nya.
''Iya, kakak berjanji,'' Ucap ku memegang tangan Sania Adikku.
*-*-*-*-*-*
Sesampainya di rumah, Kirana langsung masuk dari gerbang depan, karena
gerbang belakang sudah di kunci oleh pekerja rumah nya, mungkin karena Pak Lukman sang Ayah sudah pulang dari kantor dan diapun sudah tau kalau Kirana sang Puteri menemui Karan lagi, berulang kali sang Ayah mengingat kan Kirana sang Puteri, agar ia menjauh dari kehidupan Karan, karena menurut Pak Lukman Ayah-nya Kirana, Karan tidaklah selevel dengan nya. Kirana adalah Puteri satu satu-nya, makanya Papa nya melarang nya untuk berteman dengan Karan yang hanya seorang anak dari keluarga miskin.
"Kalau boleh aku membenci Ayahku, mungkin akan aku lakukan, namun sekarang ini yang aku punya hanyalah Papa yang Kirana punya," Gumam Kirana saat melewati seorang penjaga yang sudah lumayan lama menunggu kedatangan sang majikan kecil nya.
Sampai di dalam rumah Kirana melewati Pak Lukman Papa nya, begitu saja saat melintas di ruang tamu.
Pak Lukman akhirnya menutup koran yang sedang ia baca, seraya berkata, "Dari mana saja kamu setengah hari ini," Tanya-nya tegas, namun Kirana hanya acuh tak acuh mendengar ucapan Papa nya.
Kirana tak menghiraukan perkata'an sang Papa, dia terus berjalan menuju kamar nya yang ada di lantai dua, tanpa menoleh pada sang Papa. Kirana langsung mengunci pintu di saat dia sudah berada di dalam kamar nya.
Sinar Matahari sudah ter gantikan dengan sinar Rembulan, Kirana membawa sebuah komik yang baru ia beli kemarin bersama Karan sang teman.
Kirana menuruni anak tangga menuju ruang tamu yang terletak di lantai dasar.
Di ruang tamu Kirana duduk santai sambil membaca komik kesuka'an nya, lalu tak lama kemudian Pak Lukman Papa nya menghampiri Kirana dan berkata.
"Kirana, minggu depan kita akan pindah ke Paris," Ucap Papa nya Kirana sembari mengambil komik Kirana sang anak.
Kirana hanya bisa meneteskan air mata nya dan tidak menjawab sepatah
katapun. Sedangkan Papa nya terus mengeluarkan kata kata yang tak di sukai Kirana, sampai akhir nya Kirana pun menjawab perkata'an dari sang Papa, "Cukup pa!!'' Teriak Kirana yang langsung berdiri dari tempat duduk nya.
BERSAMBUNG
" Oke!! Papa, kita pindah, tapi jangan lagi ngomongin Karan. Karan tidak bersalah, dan Karan juga tidak mau di lahir kan di keluarga miskin, tapi itu semua sudah takdir, takdir yang menentukan kapan kita kaya, dan kapan kita miskin," Seru Kirana dengan tegas pada sang Papa.
Kirana menghela nafas panjang dan meneruskan ucapan nya yang sempat terhenti, "Ingat Pa? roda kehidupan terus
berputar, ada kalanya kita di atas dan ada kalanya kita di bawah, jadi, Kirana mohon hentikan omongan Papa yang tak berfaedah itu," Ucap nya mengingat kan Pak Lukman Papa nya, Kirana pun berlalu meninggalkan sang Papa di ruang keluarga seorang diri. Papa nya hanya memandangi kepergian sang putri, lalu beralih memandang foto mendiang sang istri yang tergantung rapi di tembok berwarna cream tersebut.
Pak Lukman sang Papa Kirana hanya bisa menghela nafas panjang dan
menghembuskan dengan kasar, seraya berkata, "Ma? kamu lihat sendiri kan kelakuan Putri kita barusan, ini semua karena Mama selalu memanjakan dia, dan sekarang Mama malah meninggalkan kita berdua di sini untuk selama lamanya," Lirih nya, namun Pak Lukman masih mencoba untuk tetap tegar.
Ya, Mama Kirana sudah meninggal waktu Kirana berumur 4 tahun, setelah sang Mama melahirkan Kirana, setahun kemudian dokter memvonis kalau Mama Kirana menderita kanker otak stadium akhir, segala macam pengobatan telah ia jalani untuk menekan penyakit yang di derita nya, namun Tuhan lebih sayang pada Mama Kirana, tepat di hari ulang tahun Kirana yang ke 4 tahun sang Mama menghembuskan nafas terakhir nya, Mama Kirana, meninggalkan Kirana kecil untuk selama lamanya. Sedih, pasti sedih banget, mengingat selama Mama Kirana masih hidup, Kirana lebih akrab dengan sang Mama, karena sang Papa sendiri jarang berada di rumah nya, karena alasan pekerjaan nya yang tak bisa di tinggal kan.
Sejak kepergian sang Mama, Kirana selalu merasa sedih, sampai suatu hari Kirana bertemu dengan Karan, dan akhirnya Kirana dan juga Karan memutuskan untuk menjalin persahabatan antara mereka berdua.
*-*-*-*-*-*-*-*
Kirana mengerjapkan mata nya, karena merasa silau oleh sinar mentari pagi.
Kirana menyibak selimut tebal nya, dan mulai menurunkan kedua kakinya ke lantai, Kirana memakai sendal nya dan langsung masuk ke kamar mandi, karena jam dinding nya sudah menunjukkan pukul 5:30 pagi.
Tak membutuhkan waktu lama Kirana segera menyelesaikan mandi nya, dan dengan segera Kirana menyambar seragam sekolah nya di walk in closet.
Setelah rapi dengan pakaian nya, Kirana buru buru turun dari lantai dua menuju lantai satu, dengan tas sekolah di punggung nya, Kirana melewati sang Papa yang sedang menunggu nya di meja makan.
''Nona Kirana, sarapan dulu,'' kata sang Bibi Wati asisten rumah tangga di rumah nya.
''Nggak usah Bi, Kirana langsung berangkat saja,'' Jawabnya singkat.
Pak Muklis sudah menunggu di depan rumah, karena mendengar Kirana yang tak mau sarapan sebelum berangkat ke sekolah nya.
''Ayo Pak,'' ajak Kirana pada sang sopir.
''Baik Non?'' sahut Pak Muklis menganggukkan kepalanya, sembari membukakan pintu mobil untuk Nona kecilnya.
''Maaf Non, bukannya masih pagi, kenapa tidak sarapan dulu bersama Tuan,'' tanya Pak Muklis ragu ragu.
''Lagi nggak nafsu makan Pak,'' jawab Kirana sekenanya. Pak Muklis hanya manggut-manggut mendengar jawaban dari sang majikan.
Jam menunjukkan pukul 6:20 Kirana sudah di antar ke sekolah nya bersama Pak Muklis sang sopir, di dalam perjalanan Kirana selalu memikirkan Karan, oleh karena itu Kirana memutuskan untuk mampir ke rumah Karan barang sejenak.
"Pak, kita ke rumah Karan sebentar?'' Ucapnya lembut sambil menatap sang sopir yang ada di depannya.
"Baik Non," Jawabnya sopan pada Nona kecilnya, Kirana terbilang anak yang sangat mandiri, ketika di tinggal pergi oleh sang Mama nya, Kirana tak pernah menampakkan raut sedih nya di depan sang Papa, karena dia mengerti akan kesedihan sang Papa yang begitu dalam atas kepergian sang istri (Mama) untuk selama lamanya.
"Tapi ingat Pak, Pak Muklis nggak boleh bilang sama Papa," Kirana mengingat kan sang sopir, sang sopir pun hanya mengangguk kan kepala nya pelan.
Sesampainya di rumah Karan, Kirana segera mengetuk pintu rumah Karan.
Tok... Tok... Tok.
Suara pintu di ketuk, dan tak lama kemudian wanita paruh baya membuka pintu rumahnya, sembari bertanya, "Cari siapa Nak?" Tanya Ibu Karan lembut.
"Maaf Bu, mengganggu pagi pagi, kalau boleh tau Karan nya ada," Tanya balik Kirana dengan sopan nya.
"Karan nya, baru saja berangkat ke sekolah nya," Jawab Ibunya Karan.
Mendengar perkataan dari sang Ibu Karan, Kirana merasakan kesedihan yang amat dalam.
"Ya sudah, kalau gitu Kirana pamit Bu?" Ujar Kirana dengan nada sedihnya, Kirana bergegas melangkah pergi setelah berpamitan Ibu Karan.
Sedangkan Ibunya Karan hanya mengiyakan kepergian Kirana, tanpa bisa bertanya padanya, ''Untuk apa dia datang kemari, dan siapa dia,'' Gumam nya pelan setelah kepergian Kirana.
Setelah Kirana benar-benar pergi, lantas Ibunya Karan menutup pintu rumah nya kembali, dan meneruskan pekerjaan rumahnya yang belum kelar.
Sedangkan Kirana yang berada di dalam mobil, masih dengan kesedihan nya, "Karan, kamu tau nggak, kalau aku bakalan pindah ke Paris minggu depan," Lirih nya sembari mengusap air mata yang tak terasa sudah menetes di kedua pipinya.
"Non Kirana, nggak apa apa kan," Tanya sang sopir karena melihat sang majikan menangis.
Kirana menggeleng, "Saya nggak apa apa kok Pak, hanya saja saya merasa sedih karena akan berpisah dengan sahabat ku" Gumam nya menundukkan kepala nya.
"Mungkin Non Kirana dan sahabat nya akan bertemu kembali setelah dewasa nanti," Sahut Pak Muklis sang sopir, dia mencoba menghibur Nona kecilnya.
"Iya kalau Kirana balik lagi kesini Pak, kalau nggak gimana?" Tanya Kirana dengan keputus asa'an.
"Non Kirana yang sabar ya, ngadepin Papa nya Non, saya rasa Papa Non sangat sayang sama Non Kirana."Ujar nya menenangkan Kirana.
Tak ada jawaban dari Kirana, akhirnya suasana di dalam mobil menjadi hening karena orang yang ada di dalam mobil tak ada yang berbicara walau hanya sepatah dia patah, Sampai akhirnya Kirana sampai lah di sekolah nya. Sekolah Kirana tergolong sekolah yang elit, hanya untuk di peruntukkan orang orang kaya yang tajir melintir.
Kirana beranjak dari tempat duduk nya, pintu mobil pun sudah di buka oleh pak Samin sang sopir. Kirana turun dari mobilnya seraya berkata, "Makasih ya Pak," Ucap Kirana sambil melangkah pergi menuju kelasnya yang sebentar lagi pelajaran akan segera di mulai.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!