Seorang laki-laki berjalan keluar dari bandara. Penampilan casualnya yang menawan dengan kacamata yang membingkai wajahnya membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Namun, tidak ada yang mengenali siapa dirinya.
"Darren!"
Ya. Dia adalah Darren Alvaro Grisam, putra dari Gara dan Alula. Seorang lelaki yang memanggilnya berlari menghampirinya. Dia satu-satunya orang yang mengenali Darren.
"Makin keren aja kamu." Ujarnya sambil melakukan tos bersama Darren. Ia kemudian memeluk Darren dengan erat, membuat laki-laki itu merasa risih.
"Lepaskan aku Jiyo!" Ujarnya membuat laki-laki itu melepas pelukannya kemudian terkekeh.
"Hehehe... Maaf-maaf, reflek. Soalnya kangen banget." Ujarnya.
Jiyo, si anak nakal yang berubah baik dan menjadi sahabat si kembar. Persahabatan mereka terjalin dengan baik. Membuat mereka merasa, bukan hanya memiliki ikatan persahabatan melainkan persaudaraan.
"Ayo, pulang!" Ajak Darren. "Ayah dan Ibuku nggak tahukan kalau aku pulang?"
"Gak. Tenang saja, aku pandai menjaga rahasia."
"Ck." Darren hanya berdecak. Dia kemudian membuka bagasi mobil dan memasukkan kopernya. Sementara Jiyo, lelaki itu hanya berdiri melipat tangannya sambil memperhatikan Darren.
"Tuan muda memang sangat mandiri." Ujarnya.
"Diamlah Jiyo!" Balasnya. Ia kemudian masuk mobil setelah menutup kembali pintu bagasi. Jiyo juga ikut masuk dan duduk di kursi pengemudi.
"Kau menyelesaikan pendidikanmu dengan cepat. Aku saja untuk S1 baru akan wisuda bulan depan." Ujar Jiyo, terus melajukan mobilnya.
"Ceritakan apa yang terjadi setelah aku pergi." Tanya Darren dengan wajah datar. Membuat Jiyo menoleh padanya sejenak.
"Ceritanya panjang."
"Ceritakan saja!"
"Jika aku menceritakannya, pasti akan ada beberapa episode dan bersambung."
"Aku gak peduli!" Balasnya dengan wajah datar.
"Baiklah-baiklah." Jiyo mengalah. "Dasar tuan muda dingin!" Lanjutnya menggerutu.
"Kau mengomel?"
"Tidak-tidak. Akan ku ceritakan. Jadi, beberapa tahun lalu setelah kamu pergi..." Jiyo mulai menceritakannya.
Empat tahun lalu.
Darrel, Asya dan juga Jiyo bergegas menuju kelas. Ketiganya datang bersama, namun kembali berpisah saat menuju kelas masing-masing.
Darren dan Jiyo berada di kelas yang sama. Sementara Asya sendiri yang berbeda. Gadis itu berjalan menuju kelasnya.
"Asya!" Seorang gadis menghampirinya yang sudah duduk di kursi mejanya.
Gadis yang dikenal Asya sedikit pemalu itu berdiri di depan Asya. Namanya Aurel.
"Ada apa?"
"Aku boleh nggak minta bantuan kamu?" Asya mengangguk.
"Bantu temenin aku beli buku ya? Aku belum begitu hafal jalanan kota ini." Ujarnya. Dia adalah murid pindahan seminggu yang lalu. Asya yang mudah beradaptasi langsung akrab dengannya.
"Boleh. Jam berapa?"
"Setelah pulang sekolah. Tapi, kita pake taksi, ya? Supirku gak bisa jemput hari ini."
"Oke. Supir Asya juga gak jemput hari ini."
"Makasih, ya?"
"Iya, sama-sama."
Mereka pun mengikuti pelajaran seperti biasanya. Jarum jam terus berputar. Hingga tak terasa, bel pulang berbunyi. Asya dan Aurel berjalan bersama menuju gerbang sekolah.
"Asya!" Panggilan itu menghentikan langkah Asya dan Aurel. Darrel yang memanggilnya berjalan mendekati mereka. Begitupun dengan Jiyo.
"Kalian berdua mau kemana? Gak tunggu jemputan?"
"Asya sama Aurel mau ke toko buku. Mau beli buku."
"Sama siapa?"
"Naik taksi."
"Asya, aku saranin. Mending kamu sama Aurel sama aku sama Darrel. Kita yang bakal antar kalian." Ujar Jiyo.
"Eng-enggak usah. Ki-kita naik taksi aja." Ucap Aurel, gugup.
Darrel menatap tajam pada Aurel. Ada sesuatu yang tidak beres yang ia tangkap dari gelagat gadis itu.
"Ya udah, kalian pergi saja. Hati-hati." Kata Darrel membiarkan mereka.
"Iya. Kami pergi dulu." Asya dan Aurel segera menuju taksi yang di pesan mereka. Setelah taksi itu melaju, Darrel dengan cepat menarik Jiyo menuju mobilnya.
"Eh eh, kok aku ditarik."
"Diam. Kita ikutin mereka." Ujar Darrel, dingin dan langsung melajukan mobilnya mengikuti Asya dan Aurel.
Jiyo meneguk ludahnya. Darrel dalam mode dingin, tidak kalah menyeramkan dari Darren.
Mobil mereka terus melaju mengikuti taksi yang di tumpangi Asya dan Aurel. Benar saja, taksi itu mendadak berhenti dan tiga orang remaja bermotorlah pelaku pemberhentian taksi tersebut.
Mata Darrel dan Jiyo menyipit, lalu bergumam bersama saat mengenali salah satu dari mereka. "Hendra!" Gumam keduanya saat melihat Hendra mulai menarik paksa tangan Asya keluar mobil.
Dengan gerakan cepat, Darrel dan Jiyo keluar dari mobil.
Bugh... Satu pukulan membuat tangan Hendra terlepas dari Asya. Laki-laki itu bangun dan balas menghajar Darrel. Perkelahian pun tak terelakan.
Jiyo juga ikut menghajar dua teman yang di bawa Hendra. Beruntung, beberapa pengendara yang melintas membantu mereka, hingga Hendra dan ketiga temannya kabur.
"Ayo!" Darrel menarik tangan Asya menuju mobil.
"Darrel, taksinya belum dibayar." Ujar Asya.
"Jiyo!" Anak itu sudah mengerti yang dimaksud Darrel. Dia pun membayar taksi yang Asya dan Aurel tumpangi.
Mata Darrel menoleh tajam pada Aurel. "Kamu juga!" Ujarnya, lalu lanjut menuju mobilnya.
"Jangan berdiri saja. Ayo!" Ajak Jiyo pada Aurel.
Setelah semuanya berada dalam mobil, Darrel melajukan mobilnya menuju taman. Mereka berhenti disana dan beristirahat. Nanun, sebelum keluar, Asya membawa kotak p3k yang memang tersedia dalam mobil tersebut.
Gadis itu mengobati wajah Darrel dan Jiyo yang sedikit memar. Tapi, pandangan mata Darrel sejak tadi menghunus ke arah Aurel yang terus menunduk.
"Kamu pasti punya rencana jahatkan?" Tuduhnya, membuat Aurel mendongak menatapnya. Begitupun Asya dan Jiyo yang menatap bingung keduanya.
"Maaf." Hanya gumamam yang terdengar dari mulut Aurel.
"Darrel, kenapa kamu sembarang menuduh seperti ini? Mana mungkin Aurel seperti itu?"
"Kalau dia bukan orang jahat, kenapa Hendra sama teman-temannya gak nyerang dia? Dia juga ada di mobil yang sama. Bahkan dia keluar dan berdiri di sisi mobil. Tapi, kenapa tidak ada yang menyakitinya?" Mereka terdiam mendengar perkataan Darrel.
"Kamu udah rencanain semuanya kan?"
"A-aku... Ma-maaf." Balas Aurel, menunduk, tak berani menatap mata Darrel.
"Huh, maaf?" Darrel tersenyum mengejek. "Jika terjadi sesuatu pada Asya, apa yang akan kamu lakukan?"
"Darrel, sudahlah. Aku gak apa-apa. Aurel juga gak apa-apa."
"Jangan membelanya Asya. Dia tahu sesuatu. Ayo, katakan padaku!" Desaknya. Jiyo yang berada di samping Darrel hanya bisa menarik nafas. Dia juga merasakan hal aneh itu dari Aurel. Dia hanya berharap Aurel mengakuinya.
"A-aku... A-aku diancam Kak Hendra." Aurel bicara sambil menunduk. "Kak Hendra bilang, kalau aku tidak menurutinya, dia akan melakukan sesuatu padaku." Ujarnya. Wajahnya dipenuhi ketakutan saat mengatakan hal tersebut.
Darrel dan Jiyo saling memandang. Tiba-tiba perasaan bersalah menyerang Darrel.
"Lain kali, jangan diulangi. Jika dia mengancammu lagi, katakan saja padaku atau Jiyo. Ayo, pulang!" Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, Darrel bergerak kembali ke mobilnya.
Jiyo juga ikut berjalan menuju mobil. Dan Asya, dia meraih kotak p3k, lalu meraih tangan Aurel.
"Ayo, kita pulang!" Ajaknya lembut, membuat Aurel mendongak menatapnya.
"Ka-kamu..."
Asya tersenyum padanya. "Jangan takut, Darrel gak marahin kamu lagi. Dia orang baik. Jiyo juga." Ujar Asya sambil tersenyum. Aurel menganguk dan maraih tangannya.
***
Darren menatap Jiyo yang sudah berhenti bercerita. Satu alisnya terangkat tak mengerti.
"Kenapa diam?" Tanyanya.
"Ceritanya sudah selesai. Sisanya, aku dan Darrel menjaganya dengan baik."
"Ck. Kau bilang ceritanya panjang sampai beberapa episode."
"Hehehe... Aku hanya bercanda. Sisanya hanya cerita siswa-siswa gak penting yang terus mengejar Asya. Tapi, mereka gak segila Hendra. Sejak kejadian itu, Hendra menghilang begitu saja." Ujarnya.
Darren hanya terdiam tak menanggapinya lagi. Ia kemudian mengeluarkan handphonenya. Sejak menaiki pesawat dari negara X dia mematikan handphonenya dan tidak memeriksanya begitu turun tadi.
Dua pesan dengan isi yang sama dari Asya dan Darrel tak mengubah ekpresi apapun di wajahnya. Dia hanya menggerakkan jarinya, mengetik balasan.
Ya.
Satu kata itu dirasanya sudah bisa dipahami Darrel dan Asya.
Gara baru saja kembali dari kantornya. Keningnya mengerut heran saat Alula tak menyambutnya pulang. Ia melangkah menuju dapur, berharap istrinya ada disana.
"Sayang..." Panggilnya saat di dapur. Tapi, dia tidak menemukan siapa-siapa selain pelayan.
"Dimana nyonya?" Tanyanya pada seorang pelayan.
"Nyonya di kamar tuan. Katanya, dia lelah setelah memasak cukup banyak." Ujar pelayan tersebut dengan polosnya. Membuat beberapa pelayan lain yang ada disana, melotot padanya.
Gara yang mendengarnya melotot garang ke arah pelayan tersebut. "Kalian membiarkan istriku memasak?! Apa yang kalian kerjakan?! Hah?! Kalian sebanyak ini, apa tidak ada satupun yang bisa memasak?! Jika istriku yang memasak, untuk apa kalian disini?!" Ujar Gara penuh emosi.
Alisha yang mendengar keributan di dapur berjalan cepat ke ruangan itu. Ia melihat ayahnya sedang berdiri dan memarahi para pelayan.
"Ayah, kenapa marah-marah?" Gadis kecil yang mulai beranjak menjadi remaja cantik ini meraih lengan Ayahnya.
Gara berbalik menatap putrinya. Seketika, hilang sudah rasa marahnya. Ia kemudian memeluk putrinya dan mengecup kening anak itu.
"Ayah gak marah-marah." Ujarnya, mengecup lagi puncak kepala putrinya.
Ck. Bukannya barusan marah-marah sama pelayan-pelayan ini. Lihatlah bagaimana pucatnya mereka. Ayaaah...ayah. Batinnya.
"Dimana Ibumu?" Gara melepaskan pelukannya, dan menatap sang putri.
"Aku baru saja dari ruang baca. Tapi, aku melihat Ibu memasuki kamar Kak Darrel tadi. Lalu Ibu ke kamar Kak Darren."
"Ya sudah. Kamu lanjut bacanya. Ayah mau ketemu Ibu dulu." Anak itu hanya mengangguk.
Setelah Gara pergi, ia menatap satu persatu pelayan yang mulai bernafas lega. "Aku tidak bisa terus membantu kalian. Semua yang berkaitan dengan Ayah, terutama soal Ibu, jangan kalian menyinggungnya. Ini baru titik kecil kemarahan Ayah. Jangan sampai amarahnya meledak. Jika itu sampai terjadi, berdoalah untuk keselamatan kalian."
"Maafkan aku nona muda. Aku belum terbiasa."
"Jangan meminta maaf padaku. Aku tidak marah padamu. Aku tahu, kamu pelayan baru. Lain kali, jangan sembarang berbicara. Tanyakan dulu pada yang lain. Okey?"
"Siap nona muda."
Setelah mengatakan itu, Alisha bergegas kembali ke ruang baca.
Sementara di lantai atas, Gara mendorong pelan pintu kamar Darren. Bisa dilihatnya, Alula sedang tertidur di sofa dengan sebuah foto dalam pelukannya. Gara masuk dan berjongkok di sisi sofa.
Ia mengusap pelan kepala Alula, lalu mengecup keningnya. "Kamu sangat merindukan mereka. Jika pekerjaanku tidak begitu sibuk, kita akan mengunjungi mereka. Tidak, kita akan mengunjungi Darren. Anak itu selalu menolak untuk kita kunjungi. Sangat berbeda dengan Darrel." Ujarnya, maraih pelan foto si kembar yang dipeluk Alula.
Gerakan tangan Gara membuat Alula terbangun. Ia mengerjab pelan.
"Sayang," Gumamnya pelan.
"Kenapa tidur disini? Ayo, tidur di kamar kita."
"Tidak. Ayo, kamu ganti baju dulu. Setelah itu, kita makan."
"Yakin gak ngantuk lagi?"
"Iya."
"Ya udah. Ayo, bantu aku ganti baju." Ujar Gara yang beranjak bagun dan langsung menggendong Alula.
"Eh, apa yang kamu lakukan? Ayo, turunkan aku."
"Sayang, walaupun usiaku sudah mulai tua, aku masih kuat menggendongmu." Ujar Gara, lalu membawa Alula ke kamar mereka.
Setelah beberapa menit berganti baju, Alula dan Gara turun. Tapi, belum sempat kaki mereka menginjak tangga terakhir, deru mobil memasuki halaman rumah terdengar.
"Apa kamu menyuruh sekretaris Kenan kemari, sayang?"
"Tidak."
Alisha yang baru muncul dari ruang belajar mengernyit. Ia menatap kedua orang tuanya yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Siapa, Bu?"
"Ibu juga gak tahu. Tapi, Ibu merasakan sesuatu..." Belum sempat Alula menyelesaikan ucapannya, bel rumah berbunyi. Seorang pelayan yang hendak membuka pintu ditahan Alula.
"Biar saya saja." Ujarnya pada pelayan itu.
"Sayang, biarkan pelayan yang membukanya."
"Tidak apa-apa, biar aku yang membukanya."
"Tidak. Bagaimana jika itu penjahat? Biar aku saja."
"Sayang, keamanan rumah ini begitu ketat. Mana mungkin bisa dibobol penjahat."
Melihat kedua orang tuanya sedang berdebat masalah sepele, Alisha dengan cueknya menuju pintu dan membukanya.
"Cari si... Kak Darren!" Pekiknya dan langsung memeluk Darren. Alula dan Gara yang mendengarnya langsung menghentikan perdebatan kecil mereka.
"Darren?" Keduanya bergumam bersamaan. Setelah beberapa detik, mereka melangkah cepat menuju pintu.
Mata Alula memerah saat melihat seorang yang berdiri di depannya, dan sedang di peluk erat oleh Alisha.
"Darren," Gumamnya dan langsung memeluk Darren. Alisha yang sudah melepas pelukannya tersenyum.
"Ibu," Ujar anak itu, memeluk Ibunya.
"Ibu sangat merindukanmu, nak."
"Aku juga, Bu." Balasnya. Tubuhnya yang tinggi membuat Alula mendongak menatapnya. Wanita itu maraih wajah putranya dan menciumnya dengan penuh sayang.
Darren hanya terdiam dan sedikit menunduk, agar Ibunya bisa menjangkaunya. Setelah mendapatkan ciuman dari Alula, Darren menatap sang Ayah.
"Ay..." Ucapannya terpotong saat sang Ayah langsung menariknya dalam pelukan.
"Anak nakal. Aku pikir Darrel lebih nakal darimu. Ternyata aku salah. Kamu lebih nakal darinya. Bagaimana bisa kamu selalu menolak untuk kami kunjungi? Dan sekarang, kamu diam-diam pulang tanpa memberitahu kami." Ujar Gara, seolah sedang marah pada putranya.
"Paman, jika memberitahu kalian, itu bukan namanya pulang diam-diam." Timpal Jiyo yang sejak tadi diabaikan oleh mereka.
Suara Jiyo membuat Alisha dan Alula tersadar jika dia juga di tempat itu sejak tadi. Sementara Gara, ia hanya menatap Jiyo sekilas. Jika Jiyo berbicara seperti itu sebelum ia memeluk Darren tadi, sudah ia pastikan akan menyentil kening anak itu.
"Jiyo? Maaf tante tidak memperhatikanmu."
"Iya, Kak Jiyo. Maaf, Alisha juga gak sadar Kak Jiyo ada disini juga, hehehe..."
"Gak papa tante, Alisha."
"Ya udah. Ayo, masuk. Kita makan dulu. Ayo, Jiyo."
"Iya, tante. Tahu aja kalau aku lagi lapar." Ujarnya tanpa malu-malu.
***
Hari-hari terus berganti. Setelah seminggu Darren kembali, Gara membawanya ke perushaan. Tapi, bukan untuk menggantikannya menjadi seorang CEO Grisam Group. Melainkan menempatkannya sebagai manajer.
Itulah yang diminta Darren. Ia ingin menjalani masa percobaan terlebih dahulu, sebelum mengambil alih perusahaan.
"Aku dengar, akan ada manager baru di divisi kita." Ujar salah satu karyawan.
"Benarkah? Manager yang lama?"
"Kamu belum tahu kalau dia dipecat?"
"Dipecat? Kenapa? Bukankah dia sangat tampan?"
"Ketampanan tidak menjamin dia untuk tidak berbuat jahat. Dia menggelapkan uang perushaan. Ya, walaupun jumlahnya sangat kecil untuk perushaan sebesar ini."
"Grisam Group memang tidak pernah bermain-main dengan masalah."
"Namanya masalah, mau besar atau kecil, tetap masalah. Harus dibersihkan."
Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba beberapa karyawan lain berlari, kemudian berdiri sejajar dengan rapih. Kedua karyawan wanita yang sedang bergosip tadi pun ikut berbaris.
"Ya Tuhan, siapa dia yang berjalan bersama tuan dan sekretarisnya? Dia begitu tampan."
"Ya, dia sangat tampan. Mimpi apa aku semalam? Bisa bertemu tiga orang tampan berjalan bersama."
Bisik-bisik pujian terus terdengar. Saat Gara bersama sekretaris Kenan dan Darren berhenti, bisik-bisik itu pun tak terdengar lagi.
"Perkenalkan, dia manajer baru kalian." Ujar Gara.
"Saya, Darren Alvaro. Senang bekerja sama dengan kalian." Ujarnya datar dan dingin.
Namun, karakternya ini membuat karyawan wanita terus menggigit bagian dalam bibir mereka. Setelah sesi perkenalan, Darren menuju ruangannya. Begitupun Gara dan sekeretaris Kenan.
"Menurutku, tuan dan manajer Darren sangat mirip. Apa dia putranya tuan, ya?"
"Aku juga merasa begitu. Tapi, keluarga tuan begitu tertutup. Tidak banyak yang mengenali istri dan anak-anak tuan. Bisa jadi, dia anak tuan. Bisa jadi juga, dia hanya keponakan atau orang lain yang kebetulan mirip tuan."
"Ck. Kalian ini bicara apa. Nikmati saja saat ini. Suatu hari pasti akan ketahuan siapa manajer Darren sebenarnya. Yang jelas aku sangat bahagia manajer Darren berada di divisi kita."
"Bagaimana dengan manajer sebelumnya yang terus-terusan kau puji?"
"Ck. Dia sudah ku buang. Lagi pula, ketampanannya tidak ada apa-apanya dibandingkan manajer Darren."
"Ck. Dasar!" Ujar karyawan-karyawan wanita yang ada di tempat itu untuknya.
Beberapa tahun berlalu. Darren sudah menggantikan posisi Ayahnya dan memimpin perushaan. Tak sedikit karyawan perusahaan yang terkejut saat mengetahui identitas Darren yang sebenarnya. Dan sebagian tidak terkejut karena sudah menebaknya dari awal. Kemiripan mereka membuat sebagian karyawan mampu menebaknya. Meskipun tidak ada klarifikasi dari Gara.
Darren memarkirkan mobilnya di parkiran perusahaan, lalu memasukinya. Auranya yang begitu kuat menarik setiap karyawan untuk menatapnya. Tapi, hanya beberapa detik. Setelah itu semuanya kembali menunduk hormat menyapanya.
"Selamat pagi, tuan muda." Sapa setiap karyawan. Dan seperti biasa, dia hanya mendengarnya tanpa menjawab. Tidak masalah untuk karyawan lama. Tapi, karyawan baru akan mengatainya sombong.
Pintu lift tertutup lalu bergerak menuju lantai teratas gedung perusahaan itu. Darren keluar setelah lift berhenti.
"Selamat pagi, tuan muda." Sapa Jiyo, sahabat sekaligus sekretaris Darren.
"Hmm..." Ia membalas dengan deheman. Sesuatu yang sangat jarang Jiyo dengar.
"Hari ini ada rapat jam 8 pagi. Setelah itu, ada pertemuan dengan klien di restoran B jam 3 sore."
Darren mengangguk. Ia menatap jam yang melingkar di pergelangannya. Masih 40 menit lagi rapatnya di mulai. Jiyo berpamit kembali ke ruangannya.
Darren memutuskan untuk memeriksa beberapa dokumen yang belum sempat ia periksa kemarin. Tiba-tiba hpnya mendapat notifikasi pesan dari Darrel.
Darrel
Aku sudah menemukan pelaku penggelapan uang perusahaan Ayah yang ada disini. Bagaimana menurutmu? Ku bawa ke kantor polisi, atau ku adili sendiri saja?
Darren menyunggingkan sedikit senyumnya. Senyum yang membuat setiap orang yang melihatnya akan merasa cemas.
^^^Darren ^^^
^^^Lakukan yang kamu mau. ^^^
Setelah mengirimkan pesannya, Darren kembali memeriksa dokumennya. Saat hampir jam 8, dia bersama Jiyo menuju ruang rapat.
Kehadirannya dan Jiyo di ruang rapat, membuat suasana ruangan tersebut terasa begitu mencekam. Setiap orang yang ada di tempat itu merasa seolah sulit bernafas.
"Kita mulai rapatnya." Ujarnya dingin, membuat orang-orang itu meneguk ludah.
Darren terlihat lebih kejam dari Paman Gara. Batin Jiyo.
Satu persatu peserta rapat memberikan pendapat dan ide mereka. Beban di wajah mereka langsung hilang saat rapat berakhir.
Darren berjalan keluar diikuti Jiyo dibelakangnya. Seketika, hawa dingin dalam ruagan rapat menghilang, dan digantikan hembusan nafas lega.
Jiyo mengikuti Darren hingga ke ruangannya. "Hampir waktunya makan siang. Apa tuan muda mau ku pesankan makanan?"
"Ya." Satu kata yang keluar dari mulut Darren bersamaan dengan getaran hpnya. Lagi-lagi getaran yang bersumber dari notifikasi pesan.
Aku kangen
Darren langsung memasukkan kembali hpnya dan menyambar kunci mobilnya. Ia kemudian berjalan menuju pintu.
"Batalkan pertemuan sore ini." Ujarnya pada Jiyo yang masih berdiri.
"T-tap..."
"Lakukan saja!" Darren menarik gagang pintu ruangannya.
"Bagaimana dengan makanannya?"
Tidak ada lagi jawaban. Yang terdengar oleh Jiyo hanya dentuman pelan pintu yang tertutup.
"Bodoh! Pertemuan dengan klien saja, Darren gak peduli. Apa lagi urusan makanan?" Gumam Jiyo.
***
Ketukan pintu apartemennya membuat kening seorang gadis mengerut. Ia tidak meminta siapapun datang atau memesan apapun. Lagipula, ini sudah cukup larut.
Dia dengan sedikit keberaniannya bergegas menuju pintu apartemennya. Ia lalu membukanya dan menemukan seseorang yang beberapa jam lalu dikirim pesan olehnya.
"Darren," Ujarnya pelan dan langsung memeluknya. Lelaki itu juga balas memeluknya.
"Gimana? Udah gak kangen kan?" Tanyanya, lembut.
Gadis itu melonggarkan pelukannya, lalu mendongak menatap Darren. Ia kemudian tersenyum. "Masih." Ujarnya, lalu kembali memeluk erat Darren.
Darren tidak memprotesnya. Ia hanya berdiri dan membiarkan gadis itu memeluknya. Tidak peduli jika mereka masih berada di depan pintu unit apartemen milik gadis itu.
"Sekarang sudah cukup. Ayo, masuk!"
Darren hanya mengangguk dan mengikuti gadis itu memasuki apartemennya. Sudah tidak asing baginya apartemen ini. Dia sudah beberapa kali melakukan penerbangan mendadak hanya untuk mengunjungi apartemen tersebut. Dan itu semua hanya karena sebuah pesan yang sama dengan pesan yang di dapatkannya tadi.
Keduanya duduk di sofa ruang tamu. Tak lama, gadis itu bergegas bangun, namun dihentikan oleh Darren.
"Mau kemana?"
"Asya mau ke dapur. Darren pasti lapar kan? Asya mau maskin Darren makanan dulu."
Ya, gadis yang di datangi Darren hanya karena sebuah pesan itu adalah Asya. Satu-satunya gadis yang bisa mengusik Darren selain Alisha.
Darren menarik Asya hingga gadis itu kembali terduduk. Dia kemudian memeluknya erat. "Aku nggak lapar." Ujarnya.
"Tetap disini. Aku disini untuk menghilangkan rasa rindumu. Bukan memintamu memasakkan aku makanan." Lanjutnya, masih dengan suara yang datar. Namun, mampu membuat Asya tersenyum.
"Makasih." Ucapnya.
Suasana menjadi hening sejenak. Hingga tiba-tiba, Asya mulai membuka suara.
"Darren,"
"Hmm?"
"Darren bolos kerja lagi, ya?"
"Hmm." Dehemnya dengan tangan yang masih setia mengusap rambut Asya.
"Asya tau, perusahaan itu milik Paman yang nantinya akan jadi milik Darren sama Darrel. Tapi, gak baik ninggalin pekerjaan hanya karena hal kecil. Asya cuman mau vidio call-an aja sama Darren. Asya udah kirim pesannya setelah pesan pertama."
"Tidurlah!" Hanya itu yang dibalas Darren. Ia tidak menanggapi apa yang Asya ucapkan.
"Tapi kan, kasian Jiyo urusin semuanya sendiri."
Mendengar nama Jiyo disebut, Darren semakin mengeratkan pelukannya pada Asya. "Jangan menyebut laki-laki lain saat bersamaku." Ujarnya dingin. "Tidurlah." Ucapnya lagi.
Namun, Asya sedikit keras kepala. Gadis itu tidak menurut untuk segera tidur.
"Kalau nggak suka membicarakan laki-laki lain, bagaimana kita membicarakan seorang perempuan saja? Asya mau kenalin Darren sama teman kuliah Asya."
"Aku tidak tertarik."
Asya menarik nafasnya. Ia kemudian mendongak menatap Darren. "Kalau nanti Darren punya pacar, Darren gak bakal putusin hubungan persahabatan kita kan?"
"Apa yang kamu pikirkan?" Darren menatap lekat wajah Asya.
"Enggak. Hanya saja..."
"Kamu akan tetap jadi sahabatku." Ujarnya, tegas.
Asya tersenyum mendengarnya. Dia tidak berharap lebih tentang hubungannya dengan Darren. Darren mau menerimanya menjadi sahabat saja sudah cukup baginya. Walaupun ada rasa untuk Darren, ia berusaha untuk tetap menyembunyikan nya.
"Tidurlah! Sudah selarut ini. Tidak baik begadang." Ujar Darren, yang mendapat anggukkan dari Asya.
Gadis itu perlahan-lahan terlelap dalam pelukan Darren. Hingga pada akhirnya, ia terlelap sepenuhnya. Darren tersenyum kecil lalu menggendongnya menuju kamar Asya.
Setelah membaringkan dan menyelimutinya, Darren bergegas menuju salah satu kamar apartemen Asya dan beristirahat disana.
Darren menyalakan handphonenya yang sengaja di matikannya sebelum menaiki jet pribadi.
1 panggilan tak terjawab dari Darrel
10 panggilan tak terjawab dari Ibunya.
5 panggilan tak terjawab dari Alisha.
8 panggilan tak terjawab dari Jiyo.
2 chat dari Alula.
2 chat dari Alisha.
1 chat dari Asya.
"Mengenai hal ini, Ayah yang paling paham apa yang ku lakukan." Gumamnya sambil melihat layar handphonenya.
Dia kemudian membaca pesan dari Ibunya dan Alisha.
Ibu
Darren, nak. Kamu menemui Asya?
Apa dia sakit?
Alisha
Kak, kenapa tiba-tiba pergi? Apa Kak Asya sakit?
Kabari kami terus keadaannya.
Darren sedikit tersenyum membaca isi chat Ibu dan adiknya. Sepertinya, Ibu dan adiknya sudah mulai mengerti akan kepergian tiba-tibanya.
"Pasti Jiyo yang membuat semuanya heboh." Gumamnya.
Ia kemudian teringat dengan ucapan Asya. Segera dia membuka isi pesan dari Asya. Ternyata benar. Gadis itu melarangnya mengunjunginya dan hanya memintanya melakukan panggilan vidio.
Lagi-lagi Darren menyunggingkan senyum tipis. Ia berpikir, apakah ini benar-benar karena Asya rindu padanya, atau dia yang merindukan Asya?
Dia kemudian menepis pikiran itu. Lalu ia mendial nomor Darrel, menelponnya.
"Hallo," Sapa Darrel dari seberang sana.
"Hallo. Bagaimana?"
"Sudah ku bereskan." Ujar Darrel. "Aku tahu, kamu di negara ini. Berkunjunglah kemari untuk melihatnya nanti."
"Hmm..."
"Ya sudah. Aku akan matikan telponnya. Ingat! Kamu hanya berdua dengan Asya. Jangan macam-macam. Jika ter..."
Panggilan langsung dimatikan sepihak oleh Darren. Membuat Darrel menahan kesal atas perlakuan Kakak kembarnya itu.
Untung saja aku merasa memarahi diri sendiri saat aku memarahinya. Jika tidak, aku akan memarahinya hingga gendang telinganya pecah. Kesal Darrel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!