"Enak?"
Pria bernama Marvin Nicholas Sievert tersebut bertanya pada perempuan muda, yang baru saja ia selesaikan di sebuah kamar.
"Iya, om." jawab perempuan itu sambil tersenyum.
Marvin menarik salah satu sudut bibirnya, kemudian pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak lama ia kembali dan membuka laci meja. Kemudian ia mengambil lalu menyerahkan sejumlah uang cash pada perempuan muda itu.
"Wah, banyak banget om." ujar si perempuan dengan wajah yang sumringah.
"Ambil dan tinggalkan tempat ini dalam lima belas menit." ujar Marvin.
"Oke."
Perempuan muda itu beranjak, mengambil pakaiannya lalu menuju kamar mandi. Tak lama ia telah kembali rapi seperti saat pertama kali datang.
Ia mengumpulkan sejumlah uang yang tadi diberikan oleh Marvin dan memasukkannya ke dalam tas.
"Aku pulang ya, om." ujarnya kemudian.
"Ya." jawab Marvin singkat.
Perempuan muda itu segera bergegas keluar dari kamar dan menuju ke lantai bawah. Di bawah ia berjingkrak-jingkrak karena mendapatkan uang yang lebih dari ekspektasinya sendiri.
Sementara di atas Marvin mendapat telpon dari seseorang. Tak lama ia pun bersiap. Pertama-tama pria itu kembali ke kamar mandi dan benar-benar membasahi tubuh di bawah terpaan shower. Ia juga menggunakan sampo dan sabun dengan wewangian yang berkelas.
Usai mandi ia keluar lalu mengeringkan badan. Kemudian ia membuka sebuah ruangan, yang merupakan ruang tempat dimana seluruh pakaian dan suit mahalnya berada.
Pria itu memilih salah satu diantaranya. Kemudian ia berganti di ruangan tersebut. Tak lama pria tampan dengan tinggi 185cm itu keluar, ia tampak telah mengenakan salah satu suit favoritnya. Lengkap dengan jam tangan super mewah koleksi terbaru yang ia beli minggu lalu.
Telpon kembali berdering, Marvin yang juga telah memakai sepatu itu meraih tas kerja miliknya. Kemudian ia juga meraih kunci mobil dan turun ke bawah.
Ia keluar, dan pintu rumahnya terkunci secara otomatis. Pria itu kemudian masuk ke dalam sebuah mobil sport seharga dua belas milyar, lalu tancap gas meninggalkan kediamannya.
***
Kantor perusahaan Sievert.co. Pagi hari sebelum peristiwa di kamar Marvin terjadi.
Seorang gadis berpakaian ala pekerja kantor namun seksi masuk ke pekarangan gedung tersebut. Dengan sebuah map berwarna biru ditangannya.
Map itu berisi lamaran pekerjaan. Dimana ia akan melamar untuk posisi sekretaris yang saat ini tengah kosong.
Menurut informasi yang ia dapat dari temannya. Posisi sekretaris di Sievert.co memang tak ada yang mengisi. Terhitung semenjak sekretaris lama resign lantaran menikah, dan si suami cemburu kepada bos di perusahan tersebut.
"Dert."
"Dert."
Handphone si gadis bergetar, ia pun lalu mengangkat panggilan yang masuk.
"Hallo, Dinda."
Terdengar suara di seberang. Gadis bernama Dinda itu kemudian menjawab.
"Iya hallo, Ren." ujarnya.
"Lo udah sampe?" tanya Reni.
"Udah, gue di lobi nih." ujar si gadis lagi.
"Ntar lo bilang ke resepsionis, mau ketemu bu Hilda HRD. Ntar biar dia ngarahin lo dimana ruangan si bu Hilda itu." ujarnya kemudian.
"Oh, oke." jawab Dinda.
"Lo dandan abis-abisan kan?" tanya Reni.
"Iya beb, sesuai instruksi lo." jawab Dinda.
"Bagus, karena syarat melamar di kantor itu harus good looking. Kalau cowok harus good looking, smart, punya visi-misi dan kreatif. Kalau cewek mesti good looking dan penampilan berkelas." ujar Reni.
Dinda mematut dirinya di depan kaca lobi dan memperhatikan penampilannya hari itu.
"Ini gue udah cukup oke koq." ujar Dinda lagi.
"Oke, good luck ya beb." ucap Reni.
"Makasih beb, semoga aja." ujar Dinda.
Tak lama telpon tersebut pun di sudahi dan Dinda kini masuk ke pintu lobi otomatis. Sesuai instruksi dari Reni, segera ia menghadap ke resepsionis dan bertanya dimana ia bisa menemui bu Hilda.
Awal melihat look resepsionis tersebut, Dinda langsung insecure. Sebab resepsionis tersebut dandanannya lebih elegan, fashionable, dan mirip seperti artis Korea.
Resepsionisnya saja sudah begini, bagaimana dengan yang lainnya nanti. Dinda takut tak diterima, sedang ia sangat butuh pekerjaan.
"Mari saya antar." ujar si resepsionis tersebut.
Dan ketika si resepsionis berdiri, Dinda makin tenggelam dalam insecure. Sebab resepsionis itu ternyata memiliki tinggi sekitar 168cm dan ditambah high heels. Tubuhnya langsing namun proporsional.
Sedang Dinda hanya bertinggi 159cm saja, dan memiliki sedikit lemak di bagian perut. Resepsionis tersebut mengantar Dinda hingga ke muka ruangan bu Hilda.
"Saya langsung masuk aja, mbak?" tanya Dinda.
"Iya, langsung masuk aja." jawab resepsionis tersebut.
Dinda lalu mengetuk pintu.
"Tok, tok, tok."
"Silahkan masuk!" terdengar suara dari dalam.
Dinda pun membuka pintu lalu masuk. Tampak seorang perempuan yang tengah berdiri menghadap kaca gedung, kemudian menoleh.
Lalu seperti ada sinar-sinar bling-bling yang menyertai. Membuat Dinda yang sudah insecure sekali, menjadi insecure berkali-kali.
Pasalnya wanita bernama Hilda itu juga sangat cantik. Tak kalah cantik dengan si resepsionis yang tadi mengantarnya. Dinda makin takut tak diterima.
"Maaf bu, boleh saya duduk?" tanya Dinda yang sejak beberapa detik lalu tak dipersilahkan.
"Oh nggak usah, kamu yang mau jadi sekretaris bos disini kan ?" tanya bu Hilda dengan nada yang tak begitu mengenakkan telinga.
"I, iya bu." jawab Dinda dengan terbata-bata.
"Lihat ke kaca besar yang ada di belakang kamu itu!" perintah bu Hilda.
Dinda pun lalu menoleh. Tampak dirinya ada di pantulan kaca tersebut.
"Lihat look dan outfit kamu. Kamu seperti calon sekretaris di kantor yang gajinya dibawah UMR."
Dinda benar-benar tersentak hatinya kali ini. Ia bukan lagi insecure melainkan seperti jatuh ke dalam got hitam.
"Di setiap iklan yang kami pasang di mana-mana. Sudah jelas syarat melamar ditempat ini, di utamakan yang good looking. Good looking dalam artian secara keseluruhan. Mulai dari tampilan wajah, rambut, dan juga selera outfit yang digunakan. Semuanya harus selaras dan sepadan. Tidak bisa asal-asalan, karena itu perintah langsung dari bos." ujar bu Hilda.
Dinda makin terdiam, dan merasa tubuhnya sudah tak dapat lagi bergerak kemanapun.
"Sekarang kamu bawa lamaran kamu dan keluar dari ruangan ini." ujar bu Hilda.
Dengan penuh kekesalan Dinda pun keluar dari ruangan tersebut. Di muka pintu ia berpapasan dengan seorang gadis super good looking dan berwajah blasteran.
Di tangan gadis itu juga terdapat sebuah map dan tampaknya ia juga hendak melamar di posisi sekretaris.
Mental Dinda makin down, sebab ia sudah di tolak mentah-mentah dan kini saingannya merupakan wanita yang lebih segala-gala dari dirinya.
Ia tak mungkin bisa mendapatkan posisi sekretaris itu dan pupuslah sudah harapannya. Ia melangkah masih dengan kekesalan yang memuncak lalu mencari dimana lift berada.
"Lo dimana?" ujarnya seraya menelpon seorang teman.
"Gue masih kerja, Din. Kenapa?" tanya temannya itu.
"Ntar malem nge-club yuk!. Bete gue hari ini, sumpah." ucap Dinda dengan nada seperti marah.
Ia kini telah keluar dari pintu lobi Sievert.co.
"Bete kenapa lo?" tanya temannya lagi.
"Pokoknya ntar aja gue ceritain, biar puas."
"Oke-oke berkabar aja." tukas temannya itu. Dinda pun lalu menyudahi telpon dan menyetop sebuah taksi.
"Happy birthday to you."
"Happy birthday to you, Bambang."
"Happy birthday Kuyang."
Edgar O'Brien Panggabean yang hari ini genap berusia 15 tahun tertawa. Usai teman-teman akrab sekaligus teman sekolahnya menyanyikan lagu happy birthday, dengan sentuhan irama lokal yang membagongkan.
"Happy birthday, bro. Selamat panjang anu." celetuk Ello sahabatnya.
"Semoga Edgar nggak jomblo lagi." Angga menimpali.
Hadirin pun tertawa.
"Bangsat." ujar Edgar kemudian.
"Dan semoga Edgar kalau tidur nggak ileran mulu." Dino turut meramaikan suasana.
Para undangan makin tertawa dan terus merekam semua itu dengan handphone mereka. Sementara Edgar tampak sewot.
"Kapan gue pernah ngiler?. Elu." ujarnya kemudian.
"Udeh Gar, buruan potong kuenya!. Kita udah nggak sabar pengen langsung ke acara makan." Celetuk salah seorang gadis.
"Hahahaha." Hadirin kembali tertawa termasuk Edgar sendiri.
"Bener, Gar. Udah laper." Yang lain mengompori.
Maka host acara tersebut pun kemudian mengajak mereka semua untuk kembali bernyanyi.
"Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya tolong buruan, tolong buruan, tolong buruan."
Edgar tak henti-hentinya tertawa. Ia kemudian memotong kue dan memberikan potongan pertama untuk ayahnya, Edward Panggabean. Seorang lawyer sukses yang cukup terkenal di negri ini bahkan di luar.
Kekayaannya diperkirakan mampu bertahan hingga tujuh turunan. Ia memiliki begitu banyak aset mulai dari properti, kendaraan, hingga tanah dimana-mana.
"Happy birthday, Edgar. Semoga Edgar menjadi anak yang baik." ujar Edward.
"Aamiin." Celetuk hadirin secara serentak.
"Jangan ngeselin papa terus." lanjut pria itu sambil tertawa. Edgar sendiri menahan senyum.
"Aamiin."
"Jangan bikin anggaran papa makin membengkak."
"Aamiiiiiin."
Hadirin makin panjang mengucap doa.
"Bener banget, om. Edgar malah ada rencana mau pake kartu kredit punya om buat beli laptop gaming baru." celetuk Angga.
Edgar rasanya ingin mengirim sahabatnya itu ke matahari.
"Nggak ada, pa. Edgar nggak berniat seburuk itu." Edgar membela diri.
Edward terus mengungkapkan harapan-harapannya terhadap sang anak. Diiringi celetukan dan tawa dari para teman dekat Edgar.
Kemudian semua itu diakhiri dengan pelukan. Edward sempat menitikkan air mata saat memeluk anak itu, begitupula dengan Edgar. Namun teman-temannya menyemangati dengan bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Setelah semua prosesi selesai, mereka semua makan sambil mendengarkan musik dari DJ. Meski tak begitu gegap gempita mengingat ini masih siang. Jika terlalu heboh bisa-bisa pak RT dan tetangga akan protes kemudian berunjuk rasa.
"Lo belum mau ngomong sama dia?"
Andreas sahabat sekaligus orang kepercayaan Edward kini bertanya sambil menatap Edgar dari kejauhan.
"Gue belum siap, bro." jawab Edward kemudian.
"Bisa nggak ini semua kita skip aja dan jangan dibahas lagi." lanjut pria itu.
"Dia anak laki-laki, dia nggak butuh perwalian apa-apa saat dia menikah nanti." tambahnya.
"Tapi lo udah janji, untuk kasih tau dia tepat di usianya yang ke lima belas tahun." Lagi-lagi Andreas berujar.
Edward kini menatap mata sahabatnya itu.
"Berapa banyak orang di dunia ini yang berjanji, lalu mengingkari janji tersebut." tukasnya.
"Tapi lo nggak harus jadi salah satu diantara mereka kan?" ujar Andreas.
Edward terdiam cukup lama, namun kemudian ia kembali berujar.
"Edgar anak gue, gue bapaknya."
Edward berlalu meninggalkan tempat itu. Dari tempatnya berdiri Edgar ada sempat melihat. Namun ia pikir ayahnya itu hendak pergi ke toilet.
***
Kembali ke Sievert.co.
Marvin tiba saat bahkan jam makan siang telah usai. Meski tak patut dilakukan oleh seorang pemimpin, namun nyatanya ia tetap bekerja dengan baik. Meski seringkali datang di jam segini.
Para karyawan laki-laki kadang ingin protes. Namun gaji mereka besar dan tak pernah terlambat. Termasuk dengan segala tunjangan dan biaya-biaya lainnya.
Mereka sangat di sejahterakan oleh Marvin. Sehingga ingin protes pun mereka merasa tak enak hati.
Sedang untuk karyawati, mereka sudah keburu terpesona dengan ketampanan dari bos mereka yang over good looking tersebut.
Sesuai dengan kebiasaan bangsa ini dimana-mana. Good looking selalu dibela dan bebas melakukan apa saja. Itulah yang terjadi di kantor Sievert.co.
Hanya karena sang CEO super tampan serta memiliki body yang hot. Maka semua kesalahan yang ia lakukan dapat termaafkan dan dimaklumi dengan sangat.
"Siang pak Marvin."
"Siang pak."
Para karyawan menyapa. Marvin yang cool dan tampak berwibawa tersebut hanya menggunakan anggukan tipis untuk menjawab. Tak lama seorang karyawati mendekat lalu meraih dan membawakan tasnya ke dalam.
Sejatinya itu tugas sekretaris. Namun karena posisi sekretaris sedang kosong, maka hal tersebut digantikan oleh karyawati yang mau saja.
Tentu semuanya mau dan mereka sejatinya berebut. Siapa yang punya power lebih, maka merekalah yang berhak membawakan tas milik bos mereka itu.
"Miranti."
"Iya pak."
Karyawan cantik bernama Miranti itu menoleh sambil mengibaskan rambutnya. Tadinya ia sudah hendak kembali ke luar. Sebab tugas membawakan tas bos dan mengantarnya hingga ke ruangan, kini telah usai.
"Udah dapat sekretaris pengganti Sari?" tanya Marvin kemudian.
"Mmm, belum ada yang sesuai kriteria bapak. Tapi kata bu Hilda akan dipercepat. Soalnya udah banyak juga pelamar baru." jawab Miranti.
"Oke." tukas Marvin.
Ia mengerakkan tangan sebagai kode untuk menyuruh Miranti segera keluar. Maka Miranti pun bergegas. Wanita itu kini kembali ke meja kerjanya.
"Gimana Mir, berhasil godain bos?"
Ira yang duduk di dekat Miranti bertanya pada wanita itu dengan nada yang menggoda.
"Belum nih, susah banget ngerayu dia. Padahal kan gue lebih cantik dari si Kinan."
Miranti melirik ke arah karyawati bernama Kinan yang saat ini tengah hamil enam bulan. Rumornya Kinan yang sudah bersuami tersebut memiliki affair dengan Marvin.
Kabar tersebut berhembus menyusul Daryanti si office girl super gosip, yang tak sengaja mendengar suara ah, oh, ah, oh di dalam ruangan Marvin.
Saat karyawan lain tengah istirahat makan siang, sekitar enam bulan yang lalu. Tak lama kemudian Kinan hamil.
"Lo percaya nggak sih, kalau yang diperutnya si Kinan itu anaknya pak Marvin." tanya Miranti pada Ira.
"Ya percaya nggak percaya sih, gue. Soalnya kan dia punya suami juga. Gue sih berharap itu bukan anaknya pak Marvin. Jadi kita masih punya kesempatan." jawab Ira.
"Iya sih. Kalau sampai itu beneran anaknya pak Marvin, yang ada si Kinan makin songong dan seenaknya di kantor ini." ujar Miranti.
"Ya lo liat aja gayanya sekarang. Suka perintah-perintah orang seenaknya, mentang-mentang ada hubungan sama bos." Ira menimpali.
"Kita kasih tau aja apa sama lakinya. Biar rusak sekalian tuh rumah tangga." Miranti memiliki ide jahat.
"Jangan!. Ntar dia malah cerai, terus dinikahin lagi sama pak Marvin." ucap Ira.
"Iya juga ya. Jangan sampe deh, amit-amit. Gue masih mau mengincar pak Marvin, apapun yang terjadi." ujar Miranti.
Tak lama Marvin keluar. Para karyawan langsung duduk siap dan menatap layar komputer masing-masing. Sebab Marvin terkenal tidak menyukai orang yang banyak bicara tapi sedikit bekerja.
Istilahnya ia sudah berusaha keras mensejahterakan seluruh karyawan, dan ia ingin karyawannya memberikan timbal balik berupa pekerjaan yang tepat waktu dan zero mistake.
Jika terdapat karyawan yang lebih banyak bicara, dan hasil kerjanya buruk. Marvin tidak akan segan-segan untuk memecat mereka.
Masih dengan kekesalan yang belum mereda sejak tadi siang, Dinda menemui temannya Zara di sebuah bar yang biasa mereka datangi. Ia memesan minuman beralkohol dua botol sekaligus.
"Lo pesan minuman banyak banget, udah tau keuangan lo lagi soak. Sugar daddy lo udah nggak mau kasih duit lagi, sejak punya sugar baby baru."
Zara berkata pada Dinda seraya mereguk satu sloki minuman yang ia tuang. Sementara Dinda sudah mereguk tiga sloki sejak tadi.
"Biarin aja lagi bete gue." ujar Dinda lalu kembali menuang minuman.
"Bete kenapa sih?" tanya Zara penasaran.
"Gue kan ngelamar kerja nih, buat posisi sekretaris." ujar Dinda.
"Ngelamar dimana?" tanya Zara.
"Di Sievert.co." jawab Dinda.
"Terus?"
"Gue langsung di tolak dong, gara-gara gue katanya kurang good looking."
"Hah, serius?" tanya Zara tak percaya.
"Iya, beneran. Jadi tuh pas gue masuk ke ruangan HRD nya. Gue nggak dikasih duduk, terus malah di suruh balik badan dan ngaca. Di situ ada kaca gede, dan dia ngeroasting penampilan gue habis-habisan. Sampe gue rasanya kaku dan malu banget, sumpah." ujar Dinda lagi.
"Ih parah banget, koq ada kantor yang kayak gitu?" tanya Zara heran.
"Ya lo tau sendiri kan di negara kita, kalau mau melamar kerja syaratnya cuma dua. Satu orang dalem, satunya good looking." tukas Dinda kesal.
"Tapi lo kan lumayan good looking, Din. Emang seisi kantor itu se-good looking apa, sampe itu HRD berani menghina penampilan lo." tukas Zara lagi.
"Ya, mereka..." Dinda agak menjeda ucapannya dengan menarik nafas agak dalam.
"Cantik sih." ujarnya kemudian.
"Cantik banget?" Lagi-lagi Zara bertanya.
"Banget." jawab Dinda.
"Kayak Idol K-Pop dan model papan atas pokoknya." lanjut perempuan itu.
Sementara itu di pintu depan bar tempat dimana Dinda berada. Seorang pria tampan bertubuh atletis, dan mengenakan setelan suit mahal tampak masuk bersama dua rekannya.
"Selamat malam pak bos Marvin." Sapa sang resepsionis.
Marvin dengan gayanya yang cool hanya menarik salah satu sudut bibirnya. Ia dan kedua temannya yakni Igor dan juga Dean masuk kedalam dan langsung menuju ke arah table yang telah di reservasi.
"Sebel banget tau gue."
Dinda masih mengoceh, namun Zara menatap ke suatu arah dengan bibir yang menganga. Persis orang yang roh-nya diambil Dementor, tokoh dalam film Harry Potter.
"Lo kenapa?" tanya Dinda heran.
Zara tampak menunjuk-nunjuk dan seperti tak mampu untuk bicara. Dinda mengikuti arah pandangan sahabatnya itu. Dan akhirnya ia pun seperti tengah menghadapi Dementor. Ia kaget dengan bibir yang sama menganga.
"Ga, ganteng banget." ujarnya seperti terhipnotis.
Ia melihat ke arah Marvin yang tengah melintas bersama Igor dan juga Dean. Pucuk dicinta ulam pun tiba, entah mengapa Marvin merasa perlu menoleh ke suatu arah.
Padahal yang melihatnya sampai menganga bukan hanya di satu sisi saja, melainkan di berbagai sisi. Namun ia menoleh ke arah Dinda dan juga Zara. Seketika Dinda dan Zara pun menjadi kaku.
Kemudian tanpa memberikan reaksi apa-apa Marvin lanjut berjalan, hingga tiba di sebuah meja di pojok bar. Ia dan kedua temannya duduk di tempat tersebut.
"Anjrit ganteng banget, sumpah."
Dinda berujar seperti orang yang tidak pernah melihat pria tampan sebelumnya. Agak sedikit norak namun ia jujur pada apa yang ia ucapkan.
"Dua temannya juga ganteng lagi. Sayang meja mereka jauh." Zara menimpali.
"Mana remang lagi ini lampu." tambah Dinda.
"Coba Din, lo pura-pura ke toilet." ujar Zara.
"Gue yang jaga meja, ntar kita gantian." ujarnya lagi.
"Oke."
Maka Dinda pun berdiri. Ia merapikan rambut dan dress yang ia kenakan. Kemudian wanita berusia 23 tahun tersebut mulai melangkah.
Ia menuju ke arah toilet dan benar saja. Sesuai dugaannya meja si tampan berada pada jalur yang ia lewati.
Jantung Dinda langsung dah, dig, dug. Di sekitar si tampan juga banyak terdapat ladies yang mencuri-curi pandang bahkan cari perhatian.
Dinda pergi ke toilet dan sesampainya disana, ia tidak melakukan apa-apa. Hanya pura-pura mencuci tangan di wastafel, kemudian menunggu selama beberapa saat lalu kembali keluar.
Ia melintas lagi di dekat si tampan. Namun kemudian seseorang yang tampak terburu-buru menabrak bahunya.
"Braaak."
Dinda oleng, kemudian terjatuh ke arah si tampan. Si tampan yang belum ia ketahui namanya tersebut refleks menangkap tubuhnya.
Untuk beberapa saat Dinda memanfaatkan momen dengan menatap wajah si tampan. Sementara tangan si tampan masih melingkar di tubuhnya.
"Hati-hati." ujar si tampan itu padanya.
"Sorry." jawab Dinda lalu tersenyum.
Tak lama posisinya sudah kembali berdiri tegak. Dengan jantung yang kian berdegup kencang Dinda kembali ke mejanya.
"Zar, gue mau jatuh dan dia nangkap badan gue dong." ujar Dinda sambil senyum-senyum sendiri.
"Oh ya?" tanya Zara sambil tertawa kecil.
"Iya ganteng banget, anjir." ujarnya kemudian.
"Permisi."
Seseorang terdengar bersuara di belakang Dinda. Ia dan Zara pun seketika menoleh. Keduanya terkejut karena itu adalah suara dari salah satu teman si tampan, yang kebetulan juga tak kalah good looking. Dinda dan Zara jadi ketar ketir dibuatnya.
"Mmm, iya mas. A, ada apa ya?" tanya Dinda dengan nada terbata-bata.
"Saya, Dean. Teman saya tadi mau minta mbaknya gabung disana, sekalian sama mbak yang ini. Kalau kalian berminat, tapi kalau tidak berminat juga tidak apa-apa." ujar Dean.
Zara menyenggol kaki Dinda dengan kakinya. Bermaksud memberi kode agar perempuan itu menerima saja ajakan tersebut.
"Oh, oke." jawab Dinda secara pasti."
Tak lama mereka pun membawa minuman dan gelas mereka, dibantu oleh Dean. Mereka sengaja tak memanggil waitress, karena hanya membawa sisa satu botol minuman dan juga dia gelas sloki. Mereka tiba di meja si tampan dan dipersilahkan duduk.
"Hai, saya Igor."
Salah satu teman si tampan selain Dean memperkenalkan diri.
"Dinda."
"Zara." jawab keduanya di waktu yang berdekatan.
"Ini Marvin, teman kami. Dia yang meminta kalian untuk gabung disini." ujar Igor.
"Oh, hai." ujar Dinda.
Marvin masih dengan gayanya yang cool, ia hanya menggerakkan sedikit kepala dan matanya. Tanda ia menerima kehadiran perempuan tersebut.
Waktu berlalu, akhirnya mereka semua terlibat obrolan. Sesekali terdengar canda tawa dari Igor dan juga Dean, yang memang suka membicarakan hal-hal lucu. Marvin sendiri tak begitu banyak bicara ataupun tertawa.
Lambat laun Igor mulai berani merangkul Zara. Sedang Marvin mulai memperhatikan gerak-gerik Dinda yang kadang menyentuh tangannya, atau sekedar gelendotan di bahu pria itu.
Musik semakin gegap gempita dan malam semakin larut. Dinda berakhir di pelukan Marvin dalam keadaan yang cukup mabuk, namun masih sadar dan bisa diajak komunikasi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!