Kediaman Randi.
”Jadi... selama ini...kalian...kalian berdua berselingkuh di belakang ku?” Air mata Fitri tak terbendung lagi. Dia sangat kecewa dan sakit hati mengetahui kebenaran perselingkuhan adik tirinya dengan suaminya, Randi.
Saat ia datang dari berbelanja, ia mendengar suara seorang wanita di dalam kamarnya. Suara wanita yang merasakan kepuasan dan kenikmatan.
Fitri penasaran dengan suaranya. Ia berjalan dengan pelan ke kamarnya, rasa gugup menghampirinya. Fitri memegang gagang pintu, menghela nafas sambil memejamkan mata. Semoga apa yang di dengarnya itu hanyalah suara dari TV.
Ia memutar handle pintu, membuka pintu kamarnya dengan pelan. Tubuhnya gemetar, matanya membulat sempurna. Betapa terkejutnya ia melihat suaminya, Randi sedang bercumbu mesra dengan adik tirinya, Cindy, di atas ranjang tempat dia dan suaminya pernah berbagi cinta.
”Ma__Mas...! Ci__Cindy...!”
Randi dan Cindy sama terkejutnya dengan Fitri sekarang, saat mereka mendengar suara Fitri menyebut nama mereka.
Cindy menyeringai puas dan mengejek melihat Fitri yang gusar.
”...Fi...Fitri...” Randi tergagap memanggil Fitri. Ia tidak menduga dia akan kedapatan juga.
Randi dan Cindy buru-buru melepaskan diri, mengambil pakaian dan memakainya. Mereka berdua gugup namun, semua sudah terlihat tidak perlu ada kebohongan lagi.
”Mas...!” Fitri melihat Randi yang duduk dengan tenang di sisi ranjang, ”Sejak kapan?” tanyanya pelan. Randi terdiam membisu.
”Mas... inikah cinta yang Mas berikan padaku?” Fitri kembali bertanya. Matanya berkaca-kaca.
”Apa kamu kira selama ini aku mencintai kamu?” Randi mulai membuka suaranya, setelah beberapa menit terdiam.
Tangan Fitri meremas kuat baju di dadanya. Hatinya sangat sakit mendengar kejujuran Randi, pria yang dia cintai dan menjadi suaminya sekarang, ternyata pria itu tidak pernah mencintainya.
”Hahaha... aku tidak pernah mencintai kamu, Fitri! Dia...” Randi berjalan mendekati Cindy, ”Dialah orang yang aku cintai selama ini...” Ia memeluk mesra tubuh Cindy. Cindy menarik sudut bibir kanannya ke atas melihat Fitri.
Hati Fitri semakin hancur, badannya lemas seketika. Jika saja tangannya tidak bertumpu pada kursi di sampingnya, ia sudah terjatuh.
”Mengapa... mengapa Mas memberiku luka sebesar ini? Apa salah ku padamu, Mas? Selama ini aku tulus mencintai mu...” Suaranya Fitri terdengar serak, air mata mengucur di pipinya.
”Salah mu?” Randi tersenyum pahit, ”Ayah mu yang membuat aku putus dengan kekasih ku dan menikahi kamu! Semua ini salah dari ayah mu....” Suaranya begitu tinggi.
”Tidak! Tidak!” Fitri menggelengkan kepalanya, ”Tidak mungkin! Ayah ku sudah tiada, bagaimana mungkin ayah ku punya waktu untuk menjodohkan kita? Bukan kah kamu yang mendatangi ku dan bilang padaku, kamu menyayangi ku, kan? Apa kamu sudah lupa itu?” Ia melihat Randi dengan sedih.
”Hahaha! Kamu terlalu naif, Fitri! Kamu kira Mas Randi beneran mencintai kamu?! Kalau bukan karena posisi Ceo di perusahaan ayah mu, belum tentu Mas Randi akan menikahi mu!” Cindy angkat bicara.
Fitri menghampiri Randi. ”Jadi... jadi cinta mu padaku hanyalah sandiwara saja, Mas? Kamu... kamu hanya menginginkan perusahaan ayah ku? Tidak! Itu tidak benar kan, Mas?” Ia memegang lengan Randi dan menggoyangkannya seraya berkata, ”Jawab aku, Mas! Itu tidak benar kan, Mas?”
”Menjauh dari suami ku!” Cindy mendorong Fitri dengan keras. Hingga Fitri jatuh di lantai. ”Jangan pernah sentuh suami ku lagi mulai sekarang...,” ucapnya lagi memperingatkan Fitri.
Fitri terkejut menatap Randi dan Cindy. ”Apa? Su__suami? Kalian berdua... kalian berdua sudah menikah? Mas!” Suaranya tercekat, menatap Randi seorang.
Randi terdiam. Sebenarnya, ia sudah mulai memiliki rasa kepada Fitri, istrinya. Namun, rasa bencinya kepada ayah nya Fitri membuatnya menjadi bengis.
Cindy tersenyum mengejek melihat Fitri dan berkata, ”Bukan hanya itu... sekarang... aku hamil anaknya, dua bulan!” Ia memegang perutnya yang masih datar.
Fitri melihat perut Cindy seakan tidak percaya. Air mata terus mengucur dari pelupuk matanya.
Randi berdiri, melangkah mendekati meja. Di tariknya laci meja atas. Tangannya meraih selembar kertas dari sana.
”Mulai sekarang! Kamu bukan istri ku lagi! Kamu tandatangani surat perceraian ini...” Randi melemparkan lembar kertas di depan Fitri.
Fitri mengambil surat cerai dengan tangan bergetar. Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali.
”Tidak! Aku tidak mau bercerai, Mas! Aku sedang mengandung anak mu, Mas!” Ia membuka tas, mengeluarkan kertas pemeriksaan kandungan dari dalam tasnya.
”Aku hamil anak mu, empat Minggu, Mas...” Ia memperlihatkan kertas hasil pemeriksaan pada Randi sambil tersenyum. Randi tercengang.
Cindy menatap marah pada Randi. Ia tidak menyangka seorang Randi jatuh juga dalam pelukan Fitri. Padahal, Randi telah berjanji padanya tidak akan menyentuh Fitri sedikitpun. Malah sekarang, Fitri telah mengandung anaknya Randi.
”Gugurkan anak itu!!” ucap Randi tanpa berpikir panjang. Fitri terdiam membeku menatap Randi. Cindy tersenyum bahagia.
”Aku tidak menginginkan nya! Dan cepat tandatangani surat cerainya!!” Lanjut Randi. Dia mengambil kwitansi dari laci meja. Ia menulis beberapa nominal di kertas itu.
Fitri masih terdiam membeku, kalimat Randi terulang-ulang terdengar di telinganya. Ia tidak menyangka Randi tega menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya, anak kandungnya sendiri.
Randi melemparkan kertas kwitansi di wajah Fitri yang masih terbengong melihat dirinya.
”Ambil itu! Aku kembali... surat cerai itu harus sudah kamu tandatangani!” Ia merangkul pinggang Cindy, ”Sayang, ayo kita pergi,” ucapnya lembut pada Cindy.
”Iya, sayang. Aku juga tidak ingin berlama-lama di sini...” Cindy tersenyum penuh kemenangan. Matanya memandang remeh melihat Fitri.
Mereka berdua melenggang pergi keluar dari kamar.
Fitri tersadar, ia berdiri. ”Mas! Tunggu Mas! Mari kita bicarakan ini baik-baik, Mas!” Ia mengejar Randi dan Cindy.
Fitri memegang tangan Randi seraya berkata, ”Mas...jangan begini! Kita... kita bicarakan ini baik-baik. Ok?” Ia menatap Randi dengan tatapan memohon.
Randi melepaskan tangan Fitri dan menghempaskan dengan kasar. ”Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi di antara kita...” Randi kembali melangkah pergi sambil memeluk pinggang Cindy.
”Mas...” Fitri semakin terisak. Randi begitu tega terhadap dirinya dan bayi di kandungnya.
Dia duduk dengan lemas di lantai. Apakah masih ada harapan baginya untuk mempertahankan rumah tangganya? Apakah Randi benar-benar tidak mencintainya?
Dia berdiri, berjalan ke kamarnya. Teringat lagi beberapa menit yang lalu, di ranjang yang biasa ia tiduri dengan suaminya, telah di tiduri oleh wanita lain dan bercumbu mesra dengan suaminya sendiri di ranjang itu.
”Argh! Hu...hu...” Fitri histeris, ia membuang bantal, selimut, dan kasur ke lantai. Ia menangis sedih di bawah ranjang. Ia melihat dua kertas yang berada di atas lantai. Di ambilnya kertas itu.
Kertas yang berisi surat perceraian, ia membuangnya begitu saja di lantai. Kertas yang berisi surat pemeriksaan kandungan, dipegangnya erat-erat.
Ia kembali mengingat saat ia merelakan kehormatannya kepada Randi, sang suami.
”Hu... hu... hu...! Mas...” Fitri semakin terisak pilu.
Sejak ia menikah dengan Randi, Randi tidak pernah menyentuhnya, sedikitpun. Meskipun Fitri terus menggoda Randi namun, pria itu kuat pendirian, dia tetap menolak bersentuhan dengan Fitri, dengan dalih belum siap.
Fitri yang polos bersabar menghadapi sikap suami yang enggan menyentuhnya. Ia sangat mencintai Randi semenjak mereka bertemu di bangku kuliah.
Hingga satu malam, tanpa Fitri merayu dan menggoda suaminya, suaminya tersebut bersikap manis terhadapnya.
Randi benar-benar memanjakan Fitri, hingga Fitri terlena, terbuai, dengan kelembutan yang di berikan Randi.
Kelembutan, kehangatan yang berujung selesai di atas ranjang. Fitri begitu puas dan menikmati permainan sang suami tercinta.
Namun, setelah peristiwa malam panas itu Randi berubah kembali, ia enggan menyentuh Fitri lagi.
Bahkan Randi jarang pulang tidur di rumah, dengan dalih ia bekerja lembur dengan semua karyawan di kantor.
Fitri tidak ambil pusing dengan suaminya yang jarang pulang ketika malam. Suaminya bekerja sampai lembur untuk menjaga perusahaan almarhum ayahnya.
Randi pulang hanya di pagi hari untuk mandi dan siang hari untuk makan siang.
Hingga di malam hari peringatan ulang tahun Randi, di malam itu, Randi kembali menyentuh Fitri untuk yang kedua kalinya. Kali ini, ia bermain cukup lama dengan Fitri.
Fitri mengelus perutnya yang masih datar. ”Mama tidak akan menggugurkan kamu, Nak. Mama akan mengandung mu hingga waktunya kamu lahir. Mama akan membesarkan mu dengan penuh kasih sayang.”
Fitri berdiri, ia mengganti kasur dan sprei juga bantal yang lama dengan yang baru. Kasur, bantal, dan sprei yang telah di gunakan Cindy dan Randi untuk bercumbu, di buang di tempat sampah.
Dia bertekad tidak akan menandatangani surat perceraian yang di berikan Randi. Ia akan mempertahankan pernikahannya yang baru berjalan sepuluh bulan, juga mempertahankan kandungannya.
Dia akan menerima Randi dengan Cindy, ia rela suaminya beristri dua, asal ia tidak bercerai. Fitri pergi ke dapur, air mata yang ia keluarkan menguras tenaganya, membuat badannya lemas dan perutnya menjadi lapar.
Dia pun memasak makanan untuk makan siangnya.
Keesokan paginya.
Setelah Fitri selesai memakan sarapan paginya, ia pergi berganti pakaian. Ia berdandan dengan cantik.
”Semoga Mas Randi terpesona dengan penampilan ku kali ini!” Ia tersenyum, menyemangati dirinya sendiri di dalam pantulan cermin.
Ia mengambil kunci mobil dari laci dan bergegas keluar dari kamar.
Fitri mengunci pintu rumahnya dan berjalan ke mobil. Ia masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya.
Beberapa menit dalam perjalanan, kini ia sampai di tempat tujuannya, menemui suaminya, Randi di kantor ayahnya.
Di kantor.
Fitri menepikan mobilnya di tempat parkiran Ceo. Salah satu satpam menghampirinya, membantu Fitri membukakan pintu mobil.
”Silahkan, Nyonya!”
”Terima kasih, Pak Udin. Apa pak Randi ada di dalam?” Fitri turun dari mobil.
”Sama-sama, Nyonya. Iya, tuan ada di dalam.” jawab sang satpam. Dia mengantar Fitri berjalan hingga ke pintu kantor.
”Oh, kalau begitu, saya langsung masuk saja ya, Pak!” Fitri berpamitan.
”Iya, Nyonya. Silahkan!” Dia membuka pintu dan mempersilahkan Fitri masuk.
Fitri berjalan masuk ke dalam perusahaan yang di bangun dengan kerja keras oleh mendiang ayahnya itu.
Pak Udin melihat punggung Fitri yang terus melangkah dengan iba. Kasihan nyonya... benaknya.
Di pos satpam.
”Kasihan nyonya, selama ini di bohongi oleh suaminya. Coba saja hari ini selingkuhan suaminya itu datang. Selesai sudah pak Randi dan selingkuhan nya itu, di pergoki oleh nyonya!” Gerutu Udin sambil duduk.
”Apa ini, pagi-pagi sudah berbicara sendiri, kehabisan obat kamu?” sahut satpam satunya, yang baru datang bekerja.
”Kamu tuh yang kehabisan obat! Makanya jangan terlambat melulu datang ke tempat kerja!”
”Ada apa sih? Kesal lagi sama pak Randi? Sudah! Itu urusan rumah tangganya orang! Kaga usah di urus! Yang penting kita dapat gaji tiap bulan!” ucap satpam tersebut sambil tersenyum lebar. Ia duduk di kursi satunya.
Udin menghela nafas, ”Siapa yang gak kesal kalau suami berselingkuh di belakang istri, Budi! Aku kasihan dengan nyonya, punya suami kok kayak gitu!” Ia yang pusing memikirkan perselingkuhan atasannya.
”Lalu, kamu mau apa? Mau melaporkan kelakuan pak Randi pada nyonya?” tanya Budi.
Udin tertawa kecil, ”Mana berani! Nyonya hari ini datang berkunjung ke kantor. Aku berharap tuh selingkuhan pak Randi juga datang, supaya nyonya tahu kelakuan suaminya itu seperti apa di kantor ini!” Wajahnya menampakan kebencian.
”Jadi, nyonya ada di dalam kantor sekarang?” Budi tidak percaya. Udin mengangguk.
”Selama menikah dengan pak Randi, nyonya tidak pernah lagi datang ke kantor. Dan selama itu juga nyonya tidak tahu kalau suaminya membawa selingkuhan nya di kantor ini, bahkan sering keluar bersama.” Budi menggelengkan kepalanya lalu berkata, ”Di pikir-pikir... kasihan juga nyonya!” Wajahnya berubah kasihan juga sedih.
”Iya, makanya itu aku kesal, sebal, dengan pak Randi itu! Gak tahu di untung pak Randi itu! Dia menduduki jabatan sebagai Ceo di perusahaan istrinya, mana istrinya cantik, baik hati, ramah, di selingkuhi begitu saja!”
”Iya, ya! Coba kalau mba Fitri Raihana menikah dengan Mang Udin! Pasti hidup mba Fitri Raihana akan bahagia, kan?” sahut Budi.
”Iya, tentu saja! Eh... ” Udin tersadar akan bicaranya. ”Kamu ngomong apa tadi? Ngomong kok sembarangan! Hati-hati loh kalau di dengar sama pak Randi, mau di pecat kamu!!” Ia mengomeli Budi.
”Gak mau!!”
Di dalam kantor.
Fitri berhenti di depan sekretaris Randi. ”Apa pak Randi sedang sibuk di dalam?” tanyanya pada sang sekretaris.
”Tidak, Bu! Pak Randi sedang santai, beliau hanya kedatangan teman-teman nya saja. Saya akan menghubungi pak Randi untuk memberitahu jika Ibu datang berkunjung.” Ita mengambil gagang telfon.
”Tidak usah!” cegah Fitri. ”Aku langsung masuk saja!”
”Oh, silahkan, Bu!” Ita meletakkan kembali telfon tersebut.
Fitri memasuki ruangan kantor Ceo. Di dalam sana terdengar begitu ramai dari depan pintu kantor Ceo.
”Jadi, kamu sudah menyentuh si Fitri itu?” Terdengar suara Jaka. Fitri menghentikan tangannya untuk membuka pintu.
Ia berdiri di sana untuk mendengarkan pembicaraan suaminya dan temannya itu. Apalagi, namanya menjadi target topiknya.
Di dalam kantor Randi.
Randi menarik ujung kanan bibirnya ke atas dan mengangguk.
”Wah! Sudah berapa kali kamu menyentuhnya? Kapan? Gimana rasanya, beda gak dengan Cindy?” Dito penasaran.
Randi tersenyum. ”Apa yang kamu katakan betul, Jaka! Sia-sia dong aku menikahi Fitri kalau tidak menyentuhnya! Kapan aku menyentuhnya, dan sudah berapa kali menyentuhnya, kalian berdua tidak perlu tahu!”
Fitri menutup mulutnya, air mata mengalir di pipinya. Rupanya Jaka dan Dito tahu kalau Randi berselingkuh dengan Cindy. Dan mereka malah mendukung Randi. benaknya.
”Lalu, apa Cindy sudah tahu kamu menyentuh Fitri?” tanya Jaka.
Randi menghela nafas. Punggungnya ia sandarkan di sandaran bangku. Dengan santai ia menjawab, ”Awalnya Cindy tidak tahu. Tapi, kemarin dia tahu hal ini... bahkan Cindy juga tahu kalau Fitri telah mengandung anakku.”
Dito dan Jaka terkejut. Randi sungguh bajingan hebat!
”Wah! Langsung hamil! Cepat juga kamu buatnya! Cindy hamil, Fitri juga hamil, bagi resep dong! Istriku belum hamil juga sampai sekarang.” ucap Dito.
”Resepnya? Pergi konsultasi sama dokter kandungan!” jawab Randi.
”Bagaimana Cindy bisa tahu? Lalu apa reaksinya saat dia tahu kamu ternyata sudah menyentuh Fitri? Apakah dia marah?” Jaka penasaran.
Randi teringat lagi saat Cindy marah padanya setelah mereka keluar dari rumah Fitri.
”Dia marah? Tentu saja marah! Aku sudah berjanji padanya untuk tidak menyentuh Fitri sedikit pun. Tapi... aku malah tergoda untuk menyentuh Fitri jadi aku menyentuhnya. Kemarin, aku dan Cindy bercumbu di rumah kami dan ketahuan oleh Fitri. Bukan hanya itu, Fitri mengatakan kalau dia hamil. Di hadapan Fitri, Cindy menahan amarahnya. Tapi di belakangnya Fitri, ia memarahiku.”
Fitri menutup mulutnya yang terkejut mendengar pengakuan Randi. Jadi Randi tidak menyentuh ku selama ini karena permintaan Cindy? benaknya. Matanya berkaca-kaca.
”Setelah kalian keluar dari rumah itu, Cindy memarahi mu mati-matian dan kamu tentunya gak berkutik! Iya, kan? Hahahaha!” Jaka menertawakan ketidak berkutiknya Randi dari Cindy.
Randi menatap Jaka tidak senang. ”Tertawa lah sepuas mu! Selagi istri mu tidak tahu kamu berselingkuh, kamu tertawa kan saja aku! Setelah kamu kepergok selingkuh oleh istri mu, saatnya aku yang menertawakan kamu!” Ia mengutuk Jaka.
Jaka berhenti tertawa. ”Sialan kamu! Kamu mengutukku? Aku tidak akan sesial kamu, aku akan berhati-hati untuk itu.” Ia percaya diri jika ia pandai merahasiakan perselingkuhannya dari istrinya.
Fitri kembali terkejut. Ternyata... mereka semua sama saja, sama-sama tukang selingkuh!! benaknya. Ia masih berdiri di depan pintu kantor suaminya itu. semua sama, tukang selingkuh! benak Fitri.
”Lalu, apa rencana mu?” tanya Dito.
”Cindy memaksa ku untuk bercerai dengan Fitri. Sebelum kejadian kemarin, aku sudah mengurus surat cerai itu. Tinggal nunggu Fitri yang menandatangani surat cerai itu.” jawab Randi. Fitri menangis sedih mendengarnya.
”Apa kamu tidak mencintai Fitri selama kalian hidup sepuluh bulan ini? Dia cantik, pintar, dan... baik loh!” Jaka ingin tahu perasaan Randi untuk Fitri.
Di depan pintu kantor Randi, Fitri juga menunggu jawaban Randi atas pertanyaan Jaka. Apakah Randi pernah mencintai ku?
Randi terdiam. Teringat lagi kebaikan-kebaikan Fitri ketika memperlakukan dirinya sebagai seorang istri dari bangun tidur hingga kembali tidur.
Fitri selalu menyiapkan sarapannya, pakaiannya, bahkan ketika ia sakit, Fitri lah yang merawat nya dengan tulus sampai ia sembuh total.
Dia juga teringat kembali pada kecantikan alami Fitri. Kulitnya yang putih, halus, mulus, saat ia menjamah tubuh Fitri.
”Bu Fitri! Gak masuk, Bu?” Terdengar suara sekretaris Randi dari depan pintu. Randi terkejut saat mendengar nama ”Bu Fitri”.
”Sttstsst! Jangan berisik!” ucapnya pelan pada Jaka dan Dito.
Di depan pintu kantor Randi.
Fitri menghapus air matanya dan berbalik melihat Ita. Wanita itu berdiri sambil memegang beberapa map di tangannya.
Fitri tersenyum terpaksa. ”Pak Randi sedang bercerita dengan temannya, aku tidak berani mengganggu nya. Setelah temannya pergi... baru aku masuk.” Ia berbicara pelan agar tidak terdengar Randi di dalam sana.
”Gak apa-apa, Bu. Ibu tidak akan mengganggu pak Randi, justru pak Randi akan senang dengan kehadiran Ibu Fitri. Mari masuk saja Bu sama saya. Kebetulan, saya ingin memberikan beberapa berkas penting untuk pak Randi tinjau.” Ajak Ita. Fitri tersenyum dan mengangguk.
Ita membuka pintu ruangan Randi. Dia masuk, Fitri ikut masuk ke dalam. Randi melihat Fitri dengan gugup. Apakah Fitri mendengar pembicaraannya dengan kedua temannya?
Ita terus melangkah menghampiri meja kerja Randi. ”Pak Randi, ini proyek baru yang Bapak tangani. Saya sudah memperbaharui nya. Silahkan, Bapak koreksi lagi.” Ia memberikan berkas tersebut pada Randi.
”Oh, simpan saja di atas meja. Aku akan memeriksanya nanti.” Sahut Randi, tatapannya tertuju pada Fitri.
”Baik, Pak!” Ita meletakkan map yang di pegang nya di atas meja. ”Kalau begitu, saya permisi, Pak!”
”Hum.”
Ita segera keluar dari ruangan itu.
Randi masih melihat Fitri yang sangat cantik hari ini. ”Em__” ucapannya terhenti di sela Fitri.
”Kamu sangat sibuk. Aku tidak akan menggangu mu.” Fitri melenggang keluar dari ruangan Randi. Randi tidak berniat menghentikan ataupun mengejar Fitri untuk pergi.
Randi melihat Jaka dan Dito. ”Apa Fitri mendengar pembicaraan kita barusan?” Ia penasaran.
Kedua temannya tidak menjawab. Mereka juga bingung untuk menjawabnya.
Di depan meja sekretaris, Ita.
”Loh, Bu. Sudah mau pulang, Bu?” tanya Ita.
”Iya, pak Randi sedang sibuk. Ita, jika pak Randi bertanya padamu, apakah saya sudah lama datangnya? Jawab saja belum lama. Saya datangnya bersamaan dengan kamu. Ok?”
Kening Ita mengerut melihat istri dari atasannya itu. ”Hmm? Oh, iya
Baik, Bu!” Jawabnya kemudian.
Fitri segera pergi dari sana.
Siang hari di kantor Randi.
Gubrak!!!
Randi terkejut mendengar pintu ruangannya di buka kasar. Ia sangat marah melihat ke arah pintu.
”Papa?” Seketika Randi berdiri, marahnya juga di redakan setelah melihat orang yang melangkah masuk ke dalam ruangannya adalah papanya sendiri.
”Anak kurang ajar! Apa yang sudah kamu perbuat pada Fitri?!” Andika melemparkan selembar surat ke wajah Randi dengan marah.
Randi mengambil surat itu dan membacanya. Ia terkejut, namun, tetap tenang. ”Papa! Mengapa surat ini ada sama Papa?”
”Mengapa surat ini ada sama Papa?! Randi! Beraninya kamu memberikan surat cerai pada Fitri! Kamu ingin menghancurkan rencana Papa?!” Ia sangat murka pada Randi. Ia tidak ingin usahanya selama ini sia-sia begitu saja.
Randi gugup dan sedikit takut. ”Em...tidak! Bu...bukan begitu! Papa... aku....” Ucapannya terpangkas oleh Andika.
”Tidak ada alasan apapun yang ingin Papa dengar, Randi! Yang Papa mau, sementara kamu belum mendapatkan 60% saham perusahaan dari Fitri, kamu jangan macam-macam pada Fitri! Paham!!” Ia menekan ketidak berdayaan Randi.
”Randi mengerti, Pa!” jawab Randi pelan. Ia mengerti maksud papanya.
”Papa sudah memberimu 40% saham yang di pegang Raihan! Papa juga sudah mengizinkan kamu menikah siri dengan Cindy! Kamu jangan coba-coba untuk menghancurkan harapan Papa!” Andika mengancam Randi.
”Tidak akan, Pa!” Randi menjawab dengan cepat.
”Pergi! Temui Fitri dan minta maaf padanya! Jika tidak, Papa yang akan membuat kamu bercerai dengan Cindy!” Andika keluar dari ruangan Randi setelah mengutarakan ancaman terakhirnya.
Randi duduk dengan menghela nafas kasar. Tatapannya melihat kertas di atas mejanya. ”Argh! Mengapa begini, sih?! Tidak menyangka dia berani juga mengadu pada papa! Hah!” Ia meremas surat cerai itu.
Randi melihat lagi ke arah pintu saat pintu itu terbuka. Ia melihat Cindy berjalan masuk, wajahnya masih terlihat kesal.
”Sayang!” Cindy duduk di pangkuan Randi, mencium pipi pria itu. ”Kenapa? Kok muka kamu kesal begitu?”
Randi menghela nafas, ”Tadi papa datang, memarahi ku!” Keluhnya.
Kening Cindy mengerut. ”Papa? Kenapa? Fitri mengadu lagi pada papa?”
Randi mengangguk pelan, ”Tuh, lihat surat cerai yang ada di atas meja! Fitri mengadukan tentang surat cerai itu pada papa.” Ucapnya malas.
Cindy mengambil surat cerai itu, ia langsung melihat bagian bawah.
Ku kira Fitri sudah menandatangani surat cerai ini. Ternyata belum! benak Cindy.
”Lalu, apa yang papa katakan padamu?” Ia berdiri dari pangkuan Randi. Randi juga berdiri dan berjalan ke arah dinding kaca.
”Papa tidak setuju dengan perceraian ini! Papa ingin aku mendatangi Fitri dan meminta maaf padanya! Papa juga ingin aku mencabut kembali gugatan cerai ku di pengadilan!”
Wajah Cindy berubah masam dan marah. Sial! Lagi-lagi kali ini gagal cerai! Kalau begini terus, kapan aku akan menjadi istri resmi dari Randi? Aku tidak mau, aku hanya jadi istri simpanan Randi! Apa jangan-jangan ini hanya akal-akalan Randi saja, yang sebenarnya dia tidak ingin menceraikan Fitri? Apa dia jatuh cinta pada istri sah nya itu setelah beberapa kali mereka bersentuhan? Tidak! Itu tidak mungkin! Dan tidak akan ku biarkan!!benaknya.
”Jadi... kamu akan membatalkan lagi perceraian itu? Kamu sudah janji padaku untuk segera menceraikan dia dan menikahi ku!” suara Cindy meninggi.
Randi memeluk Cindy dari belakang. ”Sabar, sayang! Aku pasti akan menceraikan Fitri cepat atau lambat! Tapi, sekarang kita tunda dulu. Ok?” Ia membujuk Cindy.
Cindy melepaskan pelukan Randi. ”Tau ah! Kamu sudah tidak sayang aku lagi! Kamu sudah terpesona dengan kecantikan Fitri!” Ia merajuk.
”Sayang! Itu tidak benar! Hanya kamu yang aku sayangi! Dia hanya pilar tempat ku memanjat saja, setelah perusahaan ini 100% menjadi milikku, dia akan ku ceraikan! Dan kamu, satu-satunya yang akan menjadi Nyonya Randi di perusahaan ini.” Ia kembali memeluk Cindy dan memberi kecupan di pipinya.
Seketika Cindy tersenyum senang. Raut wajahnya kembali berubah menjadi cemberut, ia memutar badan, menghadap Randi. ”Apa ucapan mu, benar?”
Randi mencium kening Cindy, ”Tentu saja, sayang! Mana berani aku membohongi mu!” Ia semakin memeluk erat tubuh Cindy.
”Ok! Aku percaya kamu! Tapi, kalau kamu belum bisa menceraikan Fitri lagi, kamu jangan harap bisa bertemu dengan ku dan anak mu lagi!”
”Kamu mengancam ku?” Randi menggigit pelan telinga Cindy.
”Tentu saja, kenapa tidak!”
”Baiklah! Baiklah! Selain papa, kamu yang berani mengancam ku. Aku terima ancaman mu itu!” ucap Randi mengalah.
Cindy tersenyum, ”Apa kamu masih ada pekerjaan?”
”Tidak ada! Kenapa? Apakah Nyonya Randi ingin healing dan ingin mengajak ku pergi bersama?”
Cindy mencium singkat bibir Randi, ”Apa kamu tidak mau?”
”Tentu saja aku tidak menolak! Tugas ku, harus membuat Nyonya Randi senang dan puas!” Tangannya menoel hidung Cindy.
Cindy tersenyum kecil, ”Ayok kita pergi!” Ia menggandeng tangan Randi dan menariknya keluar dari ruangan.
”Tunggu! Aku atur file-file ini dulu.” Randi merapikan file-file di atas mejanya. File yang sudah ia periksa, ia simpan terpisah dengan file yang belum ia periksa.
Ia melihat surat cerai yang ia layangkan untuk Fitri. Ia menatapnya sekejap, lalu, ia meremas kasar surat itu dan membuangnya di tong sampah.
”Ayo, pergi!” Ajaknya pada Cindy.
”Ayo!” Cindy kembali menggandeng lengan tangan Randi dan keluar dari ruangan. Mereka terus berjalan seperti itu tanpa peduli dengan tatapan mata para karyawan di perusahaan itu.
”Tidak malu sekali si Cindy itu, dia merebut pak Randi dari mba Fitri!”
”Jangan salahi Cindy saja, pak Randi juga bersalah di sini! Kasian mba Fitri, mungkin saja mba Fitri tidak tahu kelakuan suaminya.”
”Eh... tapi, ku dengar-dengar Cindy sudah menikah dengan pak Randi. Benar gak tuh!”
”Menikah siri kali! Yang istri sah itu pemilik sebenarnya perusahaan ini... mba Fitri Raihana!”
Komentar-komentar para karyawan menyudutkan Cindy dan Randi.
”Ssttssstt! Sudah! Jangan pada ngegosip! Kalau sampai ucapan kalian ini di dengar pak Randi, jangan salah kan pak Randi jika kalian tiba-tiba dapat panggilan dari HRD untuk mengambil gaji terakhir kalian di perusahaan ini!” Ucap Ita menasehati.
Semua karyawan yang mencibir Randy terdiam sambil menunduk.
”Sudah! Jangan memasang tampang kalian seperti itu di hadapan ku! Cepat berkemas, waktunya pulang.” ucap Ita lagi.
Semuanya pun berkemas, merapikan mejanya masing-masing.
Di parkiran perusahaan.
Udin dan Budi menggeleng sedih melihat mobil pak Randi yang keluar dari parkiran.
”Kasian sekali dengan mba Fitri.” ucap Udin.
”Iya...” sahut Budi.
*
*
*
Di rumah Fitri.
”Fitri, Papa sudah bicara dengan Randi. Papa sungguh tidak tahu anak itu berselingkuh di belakang mu, bahkan berani menggugat cerai kamu. Papa sangat marah pada Randi! Papa akan membuatnya untuk melupakan selingkuhannya itu.” Andika membujuk Fitri, mencoba mengambil hati Fitri agar tidak marah pada Randi dan menarik saham yang sudah di berikan pada Randi.
”Fitri memang sakit hati mas Randi tega berselingkuh di belakang Fitri. Fitri tidak akan terlalu mempermasalahkan perselingkuhan mas Randi, asal mas Randi tidak menceraikan Fitri saja.”
Fitri sebagai seorang wanita tentunya ia sangat tahu bagaimana rasanya jika di ceraikan. Ia tidak ingin itu berlaku padanya juga pada Cindy. Apalagi Cindy juga telah hamil anaknya Randi. Bayi itu tidak bersalah.
Andika tersenyum senang. Bagus!!!
”Papa mewakili Randi meminta maaf sama kamu. Papa jamin Randi tidak akan menceraikan kamu.”
Sampai saham mu yang 60 % itu menjadi milik anakku, Randi. Baru kamu, kami depak dari rumah kami dan dari perusahaan! benak Andika.
Fitri tersenyum kecil, ”Terima kasih, Papa. Papa selalu mendengarkan keluhan-keluhan Fitri.”
Andika tertawa kecil, ”Kamu ni bicara apa to Fit! Setelah papa mu meninggal, kamu sudah jadi tanggung jawab Papa. Apalagi sekarang kamu adalah anak mantu Papa, hubungan kita semakin erat. Kalau Randi berbuat tidak baik lagi padamu jangan sungkan beritahu Papa.”
”Iya, Pa.” jawab Fitri.
”Baiklah! Ini sudah hampir malam Papa pulang dulu.” Andika berdiri. Fitri juga ikut berdiri.
”Iya, Pa. Hati-hati di jalan.”
”Hum!” Andika berjalan keluar dari rumah Fitri. Fitri kembali duduk di kursi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!