Gita berdiri di depan
cermin melihat tubuhnya yang semakin memesar, perutnya pun membuncit. Dia
mengelus perutnya sambil tersenyum.
“Aduh, pasti kamu sudah
tidak sabar ya kelua dari perut mama.” Kata Gita dengan tangannya yang masih
terus mengelus perut saat sang bayi di kandungannya menedang-nendang.
“Baiklah sayang...
tunggu beberapa bulan lagi ya kamu akan segera ketemu mama sama papa. Mama juga
udah pegel nih bawa-bawa kamu kemana-mana.” Katanya lagi.
“Sayang..” Panggil
Gilang dari luar kamar.
“Ya.” Jawab Gita namun
belum beranjak dari depan cermin. Dia masih memandangi tubuhnya.
“Kamu ngapain disitu?
Ayo kita udah telat nih.” Gilang masuk ke kamar dan berdiri di samping Gita.
“Sayang, mending kamu
pergi sendiri saja deh.” Kata Gita.
“Kenapa? Kamu udah
kontraksi?”
“Bukan, aku nggak pede
saja sama penampilan aku. Lihat tubuhku sekarang membesar. Aku di rumah saja,
daripada malu-maluin kamu.” Gita pergi duduk di atas kasur. Dia tidak pede
untuk datang ke pesta-pesta semenjak dia hamil.
“Kamu ngomong apaan
sih. Ayo buruan kita berangkat sekarang.” Gilang tetap mau mengajak Gita pergi.
Dia tidak mau mendengar alasan Gita yang tidak masuk akal itu.
“Sayang, disana itu
pasti banyak cewek-cewek cantik. Sedangkan aku bulat seperti ini. Nanti kalau
kamu jadi omongan bagaimana. Ih.. ganteng-ganteng kok istrinya bulat kayak
bola.” Oceh Gita.
Gilang menatap Gita
lekat,”Coba sini aku lihat.” Gilang meminta Gita berdiri lalu melihat Gita dari
ujung kaki sampai ujung kepala.
“Mana gendut, Ini mah
sexy bukan gendut.” Gilang menyentuh hidung Gita dengan jari telunjuknya.
“Kami bisa saja, pasti
kamu cuma mau menghiburku kan.” Kata Gita dengan bibir yang menahan senyuman.
Ia tersanjung dengan pujian Gilang hanya saja dia tahan.
“Kamu nggak percaya sama
suami kamu ini. Dengar ya, kamu itu selalu cantik di mataku. Dan harusnya
kecantikan kamu itu hanya buat aku bukan buat orang lain. Lagian kan aku juga
yang membuat kamu gendut seperti ini.” Gilang mendekatkan wajahnya kearah Gita.
Dia ingin memberikan kecupan di bibir Gita namun perut Gita sedikit
menghalangi.
“Ah.. kamu masih
disini.” Kata Gilang mengurungkan niatnya untuk mencium Gita. Dia menundukan
kepalanya lalu mencium perut buncit Gita.
“Dasar papa kamu genit
sayang.” Kata Gita sambil tertawa kecil.
“Papa nggak genit sayang,
papa cuma mau minta jatah saja. Jadi kamu jangan lama-lama ya diperut mama.”
“Ish.. apaan sih kamu.
Dah yuk berangkat katanya terlambat.” Kata Gita sembari berdiri.
Gilang membukakan pintu
mobil untuk Gita, dia juga menggandeng erat tangan Gita. Dia tidak pernah lupa
meratukan sang istri dimana pun berada. Tak hanya itu dia juga selalu
menunjukan kepada dunia kalau dia sudah beristri.
“Sayang, aku ketoilet
sebentar ya.” Kata Gita.
“Mau aku anterin?”
“Nggak usah, kamu
duluan nanti aku menyusul.” Gita buru-buru ke toilet.
Gilang kemudian menemui
pemilik acara, sambil menunggu Gita.
“Selamat datang Pak
Gilang, terima kasih sudah menyempatkan datang ke acara saya.” Pak Bimo pemilik
hajat menyambut kedatangan Gilang.
“Sama-sama Pak Bimo,
semoga pembukaan perusahan baru ini bisa cepat berkembang dan sukses.”
“Terima kasih, oiya Pak
perkenalkan ini putri saya Gebrilia Hanita yang akan menjalankan perusahaan
baru saya ini.”
“Gebrilia, panggil saja
Lia.” Lia menjabat tangan Gilang.
“Gilang.”
“Lia, Pak Gilang ini
adalah rekan bisnis papa yang sangat keren. Masih mudah sudah menjadi pengusaha
yang sukses. Jadi kamu harus belajar banyak kepada Pak Gilang. Dan kerjasama
perusahaan kita ini berjalan langgeng. Yah kalau bisa berlanjut ke
kekeluargaan.” Pak Bimo menepuk pelan lengan Gilang sambil tertawa.
“Maksud bapak
kekeluargaan gimana ya?”
“Masa Bapak nggak tahu
maksud saya.”
“Saya memang nggak
mengerti?” Gilang bingung dengan apa yang di maksudkan oleh Pak Bimo.
“Yah kalau jodoh, siapa
tahu putri saya bisa menikah dengan Pak Gilang.” Katanya sambil tertawa kecil.
Gilang adalah menantu
yang sangat perfek dimata Bimo. Dia ingin sekali menikahkan putrinya dengan
Gilang. Semenjak pertama bertemu dia sudah terpesona dengan kerja keras, dan
pencapaian yang Gilang miliki. Dengan menikahkan putriya dengan Gilang maka
perusahaannya akan semakin besar pula baginya. Akan menjadi keuntungan besar
dan menjadikan orang paling kaya di indonesia.
“Papa, kenapa ngomong
begitu sih.” Wajah Lia langsung memerah. Dia malu meskipun dalam hati dia juga
sudah terpikat dengan ketampanan Gilang.
“Maaf Pak Bimo, tapi saya sudah berkeluarga. Dan
saya datang kesini berserta dengan istri saya.” Kata Gilang.
“Pak Gilang sudah
menikah?” tanya Pak Bimo dengan wajah kaget. Dia tidak pernah tahu kalau Gilang
sudah menikah.
“Benar Pak, itu istri
saya.” Gilang menunjuk Gita yang sedang berjalan menuju dirinya.
Kekecewaan terpancar
dalam wajah Pak Bimo, harapan untuk menjadi mertua Gilang langsung hancur.
“Sayang, kenalkan ini
Pak Bimo rekan bisnis aku.”
“Halo Pak, saya Gita
istrinya Gilang.” Gita mengulurkan tangannya.
“I-iya, saya Bimo. Em
sepertinya saya pernah lihat dimana ya?” Bimo merasa tidak asing dengan Gita.
“Oiya. Ah.. mungkin
bapak melihat saya di kantor kali pak waktu bapak berkunjung di kantor kami.”
Kata Gita.
“Mungkin, pantas saja
saya tidak asing melihatnya.”
“Ah.. jadi istri bapak
ini hanya karyawan di kantor Pak Gilang ya?” kata Lia. Dia menatap Gita dengan
sangat rendah dan tidak selevel dengan dirinya. Jika di bandingkan dia yang
lebih pantas bersanding dengan Gilang.
“Memangnya kenapa kalau
istri saya hanya seorang karyawan?” Gilang mulai tidak suka dengan ucapan Lia.
“Ya tidak apa-apa,
rasanya tidak pantas saja Pak Gilang bersanding dengan seorang karyawan biasa.”
“Lia, kamu ngomong
apaan sih?” Bimo mulai tidak enak dengan Gilang.
“Mungkin menurut anda
seorang karyawan biasa tidak pantas, tapi karena kariyawan biasa lah saya bisa
berdiri seperti ini. Pak Bimo terima kasih atas undangannya saya dan istri saya
mohon permisi dulu.” Gilang menudukan kepalanya lalu mengajak Gita langsung
pergi.
“Eh... sayang kenapa
udah mau pulang. Kita saja belum makan apa-apa.” Kata Gita.
“Nanti kita cari makan
di luar.” Kata Gilang.
“Kamu kenapa kelihatan
marah sih?”
“Sayang, kamu nggak
apa-apa di katain seperti itu?” Gilang heran kenapa dia tidak ada respon ketika
Lia mengatainya dengan kariyawan biasa yang tak pantas bersanding dengan
dirinya.
“Memangnya kenapa harus
marah, memang benarkan apa yang di katakan dia kalau aku karyawan biasa.”
“Ya tapi kan..”
“Sayang, mau apapun
yang di katakan orang aku tidak perduli. Selagi kamu masih mencintaiku dan
hanya milikku.” Katanya sambil meringis.
“Kenapa semenjak hamil
kamu tidak pernah cemburu sama aku, jangan-jangan kamu lagi sudah mulai tidak cinta sama aku.” Gilang
merengut.
Gita selalu berbeda
dengan orang-orang lainnya, biasanya orang hamil akan sangat sensitif tapi Gita
selalu biasa saja. Seperti tidak ada rasa cemburu sedikitpun kepada Gilang.
“Kamu ngomong apaan sih
sayang, kalau nggak cinta sama kamu kenapa ini aku bawa-bawa kemana-mana.” Gita
mengelus perutnya. Gilang terkekeh dengan jawaban Gita.
“Bisa saja.”
“Kamu pikir saja, kalau
bukan cinta akupun tidak akan sudi di buat seperti ini sama kamu.”
“Iya-iya sayangku. Ayo
kita cari makan sekarang.” Kata Gilang.
Kehamilan Gita yang
sudah membesar tidak membuat dirinya berleha-leha di rumah. Dia tetap masih
bekerja di perusahaan milik Gilang.
“Hah.. duduk dulu lah.”
Katanya dengan ngos-ngosan.
“Buk, mau saya bawakan
filenya?” kata salah satu karyawan.
“Nggak perlu saya masih
bisa bawa kok. Makasih ya tawarannya.” Kata Gita dengan tubuh yang masih
bersandar di kursi,kaki selonjoran.
“Beneran Buk?”
“Iya beneran, kamu bisa
kerjakan yang lain.” Kata Gita.
“Permisi kalau begitu
Buk.”
“Iya..iya.” Gita tidak
mau menyusahkan siapapun, selagi dia masih bisa dia akan mengejakannya sendiri.
“Ya ampun ibu bos,
perut udah segede gaban juga belum ambil cuti.” Vian membantu Gita yang hendak
berdiri.
“Orang bayinya juga
masih betah di dalam perut kenapa gue harus cuti. Nanti kalau udah lahiran baru
gue mau cuti.” Kata Gita sembari membawa berkas-berkas yang dia taruh di meja.
“Jangan memaksakan diri
kanapa sih, gue udah nggak tega lihat lo jalan. Kalau terjadi sesuatu gimana?”
Vian sangat perhatian kepada bumil yang ngeyelan ini kalau di kasih tahu.
“Vian, aku sama anak
bayiku itu kuat. Jadi jangan lihat gue lemah begini lah.” Kata Gita mulai
berjalan menuju ruangan Gilang.
“Bukan begitu, lo kan
udah kayak hulk nih gedenya. Kalau jatuh tuh bisa bikin rubuh ini gedung
gimana? Rugi besar pasti Gilang.” Canda Vian.
“Cih.. urusin saja sana
kerjaan lo.” Arumi mendorong Vian agar menjauh darinya.
“Gue anterin lo lah,
takut gue.” Vian tidak mau membiarkan Gita berjalan keruangan Gilang.
Sebenarnya tidak jauh hanya saja dia terlalu takut Gita kenapa-kenapa. Meskipun
kesanya lebay tapi tetap saja Vian
lakuin.
Gita menghentikan
langkahnya saat ada perempuan yang masuk ke ruangan Gilang.
“Kenapa berhenti?”
Tanya Vian sembali mengambil berkas di tangan Gita.
“Perempuan barusan,
sepertinya tidak asing.” Gita melihat ke arah Vian.
“Oh.. itu namanya
Gebrilia Hanita anak dari Pak Bimo. Perusahaan yang baru di buka akan bekerja
sama dengan perusahaan kita ini.” Jelas Vian.
“Ah, benar. Pastesan
saja gue kayak kenal, baru beberapa hari bertemu dengan dia.” Ujar Gita sambil
berjalan lagi.
**
“Selamat pagi Pak.” Lia
menyapa Gilang setelah di persilahkan masuk olehnya.
“Selamat pagi.” Jawab
Gilang.
“Mari silahkan duduk.”
Gilang mempersilahkan Lia dan sekretarisnya duduk di sofa.
Gilang langsung
memeriksa dengan cepat berkas dari perusahaan Lia, dia tidak mau lama-lama
melihatnya. Dia segera memberikan acc ketika semuanya sudah sesuai agar mereka
berdua cepat pergi dari perusahaannya.
Namun berbeda dengan
Lia, dia ingin sekali berlama-lama dengan Gilang. Bahkan dia menyuruh
asistennya untuk keluar lebih dulu.
“Pak Gilang..” Panggil
Gilang lalu duduk di samping Gilang. Gilang menggeser duduknya.
“Ada yang mau di
sampaikan?”
“Iya Pak, saya mau
meminta maaf karena kelancangan saya waktu di pesta.” Lia menaikan kaki kiri ke
kaki kanannya sehingga terlihat kaki jenjangnya yang putih. Lia ingin
menunjukan ke sexyan dirinya agar Gilang tergoda.
“Saya sudah memaafkan
kesalahan anda.” Gilang melempar
pandangannya ke lain tempat.
“Kalau begitu boleh
nggak saya berteman dengan bapak, yah selain pertemanan bisnis. Menjadi teman
dekat.” Lia menggeser tubuhnya agar semain mendekat dengan Gilang.
“Terima kasih
tawaranya, tapi kita cukup saja berteman dalam bisnis untuk lebihnya saya tidak
menerima.” Kata Gilang dengan tegas. Dia tidak mau bermain api, dia tahu arah
tujuan Lia kepadanya.
“Ehem.. permisi Pak. Saya
mau mengantar berkas.” Gita masuk ke ruangan dengan diawali dehem yang sangat
keras.
Gilang langsung
berdiri, dia nyamperin Gita di ambang pintu sedangkan Lia langsung menurunkan
kakinya. Dia juga merapikan rambutnya yang tadi sengaja dia bentuk agar terlihat
sexy dan menggoda Gilang.
“Sayang, kamu kan kamu
bisa tinggal telpon aku. Biar aku yang ambil berkas kamu ke ruangan.” Gilang
mengembil berkasnya lalu menggandeng Gita untuk duduk di kursinya.
“Lagi ada tamu ya, saya
keluar dulu saja.” Gita hendak beranjak namun di tahan sama Gilang.
“Kita udah seledai kok,
iya kan Buk Lia.” Gilang melihat ke arah Lia.
“Iya..iya, Pak Gilang
saya permisi dulu. Untuk kedepannya kabarin saja saya.” Lia merasa terusir
dengan perkataan Gilang.
“Baik, biar asisten
saya yang menghubunginya.”
“Baik, saya permisi dulu.”
Gita melihat Gilang dengan wajah serem, bibirnya manyun. Dia tidak keberatan di katain Lia apa saja waktu di pesta namun ketika dia sudah mulai menggoda Gilang membuatnya kesal.
"Sayang..." Gilang langsung mendekati Gita. Dia mencium Gita lalu mengelus perutnya.
"Cantik ya dia." Katanya sambil berdiri.
"Eh.. mau kemana?" Gilang memegang tangan Gita.
"Mau kerja lagi, kan disini udah selesai." kata Gita.
"Kok kamu gitu sih." Gilang masih menahan Gita agar tidak pergi.
"Kita kan kalau di kantor bukan suami istri, tapi karyawan dan bos." Gita menirunkan tangan Gilang yang ada di pundaknya.
Gita keluar dari ruangan Gilang, sambil ngomel tentang cewek yang berusaha mendekati Gilang.
"Bumil, ngapain sih ngedumel." kata Ina.
"Nggak, cuman kayaknya baby gue pingin es cendol dekat SD dulu." kata Gita sembarangan.
"Wah, udah hamil tua masih aja ngidam yang aneh-aneh."
"Namanya juga ngidam Mbak. Aduh..." Gita memegangi perutnya yang tiba-tiba sakit.
"Kenapa bumil.. mau lahiran kah?" Mbak Ina panik.
"Nggak tahu Mbak, tiba-tiba sakit." Gita tidak bisa nahan.
"Duduk dulu..duduk dulu." Ina meminta Gita duduk di kursi panjang dekat ruangan Gilang. Dia meminta Gita menselonjorkan kakinya.
"Mbak Lila...Mbak Lila..." Ina teriak-teriak dengan panik.
"Ada apa?" Lila lari dari ruangannya.
"Tolong...panggilin Pak Gilang. Buruan."
"Ok..Ok.. itu Bumil kenapa mau melahirakan?" Lila bukanya bergegas memanggil Gilang justru menanyakan keadaan Gita.
"Udah nanti saja tanyanya, panggil Pak Gilang sekarang."
"Ok..Ok.."
"Pak...Pak... permisi. Itu Bumil.."
"Bumil?"
"Maksudnya Gita mau melahirkan."
"Dimana sekarang?"
"Di luar."
Gilang berlari, hatinya sudah tidak karuan. Sebulan terakhir ini dia sudah berlatih untuk tenang menghadapi kelahiran Gita. Namun tetap saja dia tidak bisa tenang melihat Gita yang akan kesakitan melahirkan darah dagingnya.
"Sayang....sayang... ayo kita ke rumah sakit." ajak Gilang.
"Nggak usah, aku udah baikan kok." Kata Gita sambil tersenyum tipis. Perutnya udah enakan.
"Hah.. syukurlah, aku sudah panik." Kata Gilang lega.
"Sayang, Kalau mau gerak pelan-pelan ya, jangan cepet-cepet. Kasian mama kesakitan." Gilang mengusap perut Gita lalu mengecupnya. Gilang tak sungkan bermesraan di depan Ina dan Lila.
"Ya Tuhan, perut Bumil yang di elus kenapa hati aq yang meleyot." bisik Lila di telingan Ina.
"Makanya buruan nikah, biar ada yang ngelus nggak mleyot mulu lihat orang bermesraan." Kata Ina, Lila hanya manyun mwndengar perkataan Lila.
Gita berjalan sembari memegangi pinggulnya, dia mencoba berusaha duduk di sofa depan televisi milik Raka dan Fara.
“Eh.. bumil, kapan datang?” Kata Fara sambil menutup pintu kamarnya.
“Baru saja sampai.” Kata Gita, dia mencari posisi yang nyaman.
“Ada apa lagi nih bumil, dari raut wajahnya roman-romannya sedang tidak baik-baik saja nih.” Fara duduk di samping Gita.
“Gue lagi bete banget.” Katanya sambil menekan tombol on off remot tv.
“Kenapa? Kak Gilang nggak bawaiin makanan pesanan lo?”
“Bukan.”
“Lo ketahuan nonton drakor sampai pagi ya?” tebak Fara.
“Nggak juga.”
“Terus apa kalau semua nggak? Ngomong yang jelas biar plong dan baby yang di perut kamu itu baik-baik saja. Kasian tahu, kalau kamu terlalu banyak pikiran bakalan ngaruh ke baby yang ada di dalam perut.” Fara duduk tegak menghadap Gita, dia menatap lekat teman sekaligus adik iparnya itu.
“Ada perempuan yang genit-genit nih sama Kak Gilang, kan gue jadi kesal.”
“Perempuan mana nih yang berani godain suami adik ipar gue.” Fara berapi-api, baru mendengar satu kalimat saja sudah terbakar emosinya. “Orang mana katakan biar aku samperin dia, perlu di kasih wejangan sama aku nih.” Cerocos Fara. “Apa dia bekerja di kantor kita?”
“Nggak, dia itu anak dari rekan kerjanya Kak Gilang yang kebetulan sekarang juga menjalin kerja sama dengan perusahaan kita.”
“Hhm, apa dia sering ke kantor?”
“Gue baru saja lihat kemarin sih, dan tahu nggak dia itu dekat banget duduknya sama Kak Gilang, mana dia tuh ya memakai baju sexy banget sampai pahanya itu kelihatan. Dia juga
menunjukan lehernya yang jenjang hingga terkesan semakin menggoda.” Cerita Gita dengan menggebu-gebu.
“Kurang ajar banget, sayang banget nih aku sedang cuti kalau nggak bisa-bisa gue bantai tuh orang. Mana sih lihat orangnya kayak apa?” Fara ingin melihat pelakor di rumah tangganya Gita. Gita menunjukan Foto Lia waktu di pesta.
“Cantik kan.”
“Biasa saja.”
“Gue cuma heran sama pemikiran dia, Dia itu masih muda, cantik. Harunya kan dia bisa mendapatkan yang lebih baik, muda dan juga masih singgel. Tapi kenapa pada doyan banget sih godain suami oang.” Kata Gita.
“Yah, yang dewasa lebih berpengalaman sama berduit.” Kata Fara dengan santainya.
"Tapi kenapa harus Kak Gilang juga, yang lain kek kalau mau godain Raka misalnya." Gita terkekeh.
"Heh.. sembarangan kalau ngomong. Gita, apa lo belum paham juga kenapa Gilang itu menjadi incaran cewek-cewek."
Gita menggelengkan kepala pelan.
"Lo sadar nggak kalau Kak Gilang itu ganteng?"
"Sadar banget, Kak Gilang itu paling ganteng di mataku. Raka aja kalah." Gita meringis dia senang banget membuat Fara emosi.
"His, gue tampol juga lo. Gue lagi serius nih."
"Iya..iya... sorry...sorry."
"Kegantengan, kepintaran, dan semua hal yang di miliki Kak Gilang itu idaman banget buat cewek-cewek di luaranan sana. Apa lagi Kak Gilang tuh penyayang banget siapa yang nggak klepek-kelepek sama dia." ujar Fara yang membuatnya jadi terdiam.
Fara benar, kalau Kak Gilang itu idaman kaum wanita. Di tambah lagi dia sangat sopan menjadi nilai plus.
Fara menyenggol lengan Gita, "Ngapain lo diem aja?"
"Lagi mikir aja."
"Mikirin apaan?
"Lagi mikirin Rafa, kasian banget dia." Gita melihat Rafa anak dari Fara yang sedang asyik bermain.
"Eh..eh.. kasian kenapa? anak gue nggak kekurangan apapun, dia juga sangat bahagia."
"Kasian aja, emak bapaknya nggak kreatif banget kasih nama. Mana gabungan nama mak bapaknya lagi." Ujar Gita sambil terkekeh.
"Sialan lo, anak gue pasti sangat bahagia tahu. Itu nama gabungan yang sangat indah, akan selalu mengingatkan kisah emak bapaknya."
"Anak gue nanti namanya kalau cewek Gigi, Gilang-Gita." Gita tertawa renyah.
"Sesuka hati lo, sama-sama gak krearif kok ngatain." omel Fara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gita duduk memandangi Gilang yang sedang mengenangkan kaos. Dia mengingat ucapan Fara tentang Gilang. Gita langsung insecure, melihat dirinya.
"Kamu kenapa ngelihatin aku kayak gitu?" kata Gilang saat sadar Gita terus memandanginya lekat.
"Nggak apa-apa." Gita tersenyum lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Dia menarik selimut dan langsung memejamkan matanya.
"Harusnya kamu me
Gilang merasa ada yang aneh dengan Gita, dia merebahkan tubuhnya lalu memeluk Gita dari belakang.
"Apa ada masalah?" bisik Gilang pelan.
"Tidak ada masalah apa-apa, memangnya kenapa?" kata Gita pelan.
Gilang menarik Gita pelan, hingga Gita terlentang. Gilang menatap lekat istrinya itu, dia sedang menganalisa sikap Gita malam ini.
"Ada apa sayang? aku udah ngantuk." Kata Gita kembali memiringkan tubuhnya kembali dengan lumayan bersusah payah.
"Kamu sepertinya mengabaikan ku? apa aku punya salah?" ucap Gilang sembari dia mengingat jika ada yang terlewat atau hal yang membuat Gita bete.
"Tidak sayang, aku cuma ngantuk kok." Gita berusaha duduk, Gilang pun langsung membantunya.
"Kamu berhenti saja kerja dan di rumah biar kamu tidak capek."
"Jangan sayang, nanti aku gabut kalau di rumah. Aku pasti bosan." kata Gita.
"Tapi sayang, ini semua demi kamu sama anak kita."
"Apa kamu keberatan kalau aku ada di kantor?" tiba-tiba nada bicara Gita merendah.
"Nggak sama sekali sayang, aku cuma mau kamu banyak istirahat saja."
"Baiklah." Kata Gita penuh kekecewaan. Dia kembali merebahkan tubuhnya.
"Sayang, kamu marah?" tanya Gilang.
"Tidak, aku tidur dulu." Gita memejamkan matanya. Dia sebenarnya belum ngantuk tapi hanya pura-pura saja. Dia tak ingin debat lagi dengan Gilang.
"Apa Kak Gilang bahagia menikah denganku, kira-kira kak Gilang menyesal tidak ya menikah denganku?" batin Gita.
"Bagaimana kalau sampai Kak Gilang tergoda sama perempuan itu. Apa dia akan meninggalkanku?" batin Gita. Dia mulai overthingking.
Gilang memeluk Gita, "Jangan terlalu dipikirkan sayang. Yang kamu pikirkan saat ini belum tentu benar." kata Gilang pelan. Dia tahu kalau istrinya itu sedang resah karena tidurnya gerak-gerak terus.
"Menghadap sini." kata Gilang meminta Gita menghadap dirinya.
"Sebenarnya apa yang kamu cemaskan?" tanya Gilang saat mereka sudah saling bertatapan.
"Tidak ada." jawab Gita.
"Kamu jangan bohong sama aku, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Katakan."
Gita hanya tersenyum, dia mencium cepat bibir Gilang lalu masuk ke dalam pelukannya.
"Aku sayang banget sama kak Gilang." Gita mengeratkan pelukannya.
"Aku juga sayang banget sama kamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!