Jenderal Virendra adalah sosok pemimpin yang begitu tegas dan terkenal kejam. Usianya baru 28 tahun saat harus menaiki tahta sebagai pemimpin Negara Aleister. Negara bagian barat yang terkenal dengan pasukan tentara yang kuat dan menakutkan.
Jenderal Virendra adalah sosok yang begitu menyukai kesempurnaan. Dia tidak suka jika ada yang sedikit saja membuat kesalahan. Alasan itulah yang membuat Jenderal Virendra begitu ditakuti.
Saat ini saja, bawahan Jenderal Virendra sudah ketakutan menghadapi kemarahan sang pemimpin. Mereka baru saja menangkap mata-mata dari Negara tetangga dan hal ini tentu mengundang kemarahan Jenderal Virendra.
“Jika tidak sanggup menjalankan tugas, kalian bisa menyerahkan gelar kalian!” Ucapan tegas itu semakin membuat takut para prajurit.
Tentu saja Jenderal Virendra tidak pernah main-main dengan ancamannya. Satu lagi, menyerahkan gelar sama saja mengantarkan nyawa secara sukarela.
“SIAP KAMI TIDAK BERANI JENDERAL!” Seru para prajurit secara bersamaan.
“Kalau begitu jalankan tugas kalian dengan benar!”
“SIAP JENDERAL!” Seru mereka lagi seraya menunduk penuh rasa hormat.
“Jika sekali lagi ada mata-mata yang berhasil menyusup kalian akan merasakan penjara bawah tanah!”
Usai mengucapkan ancaman itu Jenderal Virendra segera berlalu, meninggalkan para prajurit yang ketakutan mendengar ancamannya.
Siapa yang tidak takut dengan penjara bawah tanah? Tempat itu sangat mengerikan, siapapun yang masuk ke sana sudah dipastikan akan menderita sampai memilih lebih baik mata daripada mendapat siksaan mengerikan.
...****************...
Jenderal Virendra begitu marah dengan kecerobohan prajuritnya. Bagaimana bisa mata-mata menyusup masuk ke dalam Negara kekuasannya. Hal ini tentu menjadi cela yang tidak baik. Beruntung mata-mata itu cepat ditangkap, jika tidak Negaranya pasti akan kacau balau.
Sepanjang jalan menuju kediamannya, Jenderal Virendra terus menahan amarah sampai dia tidak sadar ada seorang gadis yang tengah berlari kearahnya. Jenderal Virendra tidak bisa menahan laju langkahnya, begitupula dengan orang yang tengah berlari kearahnya.
Tabrakan terjadi begitu saja. Tubuh tegap Jenderal Virendra masih berdiri kokoh, sedangkan gadis bercadar itu hampir saja terjatuh jika Jenderal Virendra tidak menarik lengannya.
Untuk beberapa detik mereka saling tatap, sampai akhirnya gadis itu sadar siapa orang yang baru saja dia tabrak.
“Jen–Jenderal .... ” Gadis itu segera menarik diri dan menundukkan pandangannya.
Matilah dia kali ini, batin gadis itu.
“Siapa yang mengizinkanmu berlari seperti itu gadis kecil?” Tanya Jenderal Virendra dengan suara rendahnya.
Gadis itu menggeleng takut, rasanya dia ingin kabur begitu saja. Beruntung saat ini dia memakai cadar, sehingga sang Jenderal tidak bisa melihat wajahnya.
“Maafkan saya Jenderal. Saya tidak akan mengulanginya lagi, saya mohon maafkan saya.” Ucap gadis itu dengan suara lemah yang sarat akan permohonan maaf.
Jenderal Virendra terdiam sesaat, mempertimbangkan apa yang akan dia lakukan pada gadis di hadapannya ini.
“Siapa namamu?” tanya Jenderal Virendra.
Gadis itu terlihat kaget, dia tidak menyangka Jenderal Virendra akan menanyakan namanya.
Mungkin hidupnya akan berakhir hari ini.
“Saya--” ucapan gadis itu terpotong saat suara seseorang berteriak kearahnya, dia adalah Bibi Martha orang yang merawat gadis itu sejak kecil.
“Anak bandel, Bibi sudah bilang jangan bermain-main di kediaman Jenderal.” Bibi Martha mencubit gemas pipi gadis di depannya itu.
Kemudian secara hormat, Bibi Martha menundukkan kepala menghadap sang Jenderal.
“Maafkan kecerobohannya Jenderal, saya akan menghukumnya. Saya mohon untuk kali ini lepaskan gadis kecil ini.”
Jenderal Virendra tampak diam, matanya terus menatap pada gadis yang masih setia menundukkan kepalanya. Dengan penuh pertimbangan Jenderal Virendra akhirnya menyerah.
“Kembali ke kediamanmu dan jangan berkeliaran seperti ini lagi ... kau Martha ikut aku segera!” Ucap Jenderal Virendra memberi perintah.
Gadis itu menarik lengan Bibi Martha, merasa bersalah karena telah menyeret Bibi Martha ke dalam masalah yang dia perbuat. Namun, Bibi Martha hanya tersenyum kecil berusaha meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja.
“Kembali ke kediamanmu, Venus. Tunggu Bibi disana, semua akan baik-baik saja.” bisik Bibi Martha pada gadis yang ternyata bernama Venus.
...****************...
“Kau membiarkannya berkeliaran seperti itu, Martha?” Jenderal Virendra bertanya dengan nada marah.
“Maafkan saya Jenderal, saya akan berhati-hati lain kali.” Bibi Martha menunduk hormat, ekspresinya tampak tidak ada ketakutan diwajahnya. Wanita paruh baya itu terlihat begitu tenang menghadap Jenderal Virendra.
“Kecerobohanmu tentu membawa bahaya, Martha. Kau tahu itu dengan pasti, kajadian hari ini membuatku yakin akan suatu hal. Kali ini kau dan orang lain tidak akan bisa menentangnya.” Ucapan Jenderal Virendra membuat Bibi Martha terkejut.
Bibi Martha sangat tahu apa makna dari kalimat Jenderal Virendra.
“Tapi, Jenderal ... dia masih terlalu muda. Saya harap Anda tidak membuat keputusan gegabah.” Bibi Martha segera menyangga ucapan Jenderal Virendra.
Bibi Martha jelas tidak akan setuju dengan keputusan Jenderal Virendra. Bagaimanapun Bibi Martha merawat Venus sedari kecil dan begitu menyayanginya, karena itulah dia akan melindungi Venus dengan cara apapun. Meski dengan mempertaruhkan nyawanya.
“Aku tidak meminta pendapatmu. Ingat satu hal, tidak akan ada yang bisa membantahku atau ... kau sudah bosan hidup Martha?” Nada dingin Jenderal Virendra begitu menakutkan, beruntung Bibi Martha sudah mengenal dengan baik seperti apa Jenderal Virendra.
“Saya tidak berani Jenderal, akan tetapi, saya telah merawatnya sejak kecil karena itulah tugas saya adalah menjaganya dari hal-hal buruk yang akan menyerangnya.” Jawaban Bibi Martha tetap tidak bisa mengubah keputusan Jenderal Virendra.
TBC
Di kediamannya Venus tidak berhenti berjalan bolak-balik, sesekali menatap ke arah pintu menanti kehadiran Bibi Martha. Venus benar-benar gelisah, Bibi Martha sudah lama pergi dan belum kembali.
"Ada apa, Nona?" Tanya salah satu pelayan yang biasa melayani Venus.
"Tolong cari tahu keadaan Bibi Martha. Aku tidak bisa keluar, Bibi melarangku meninggalkan kediaman." Pinta Venus memelas.
Pelayan bernama Avi itu segera mengangguk, dia memang bertugas menjalankan apapun perintah Venus.
"Baik, Nona. Tapi, saya mohon Nono segera masuk ke dalam dan beristirahat." Ucap Avi pelan seperti berbicara pada seorang anak kecil.
"Baiklah," Venus menyerah dan segera menuruti ucapan Avi.
Avi memang pelayan Venus, namun, Bibi Martha sudah memberi perintah bahwa apapun yang Avi suruh demi kebaikan Venus maka harus segera dituruti tanpa bantahan.
Dimata Bibi Martha, Venus adalah gadis kecil meski usia gadis itu sudah menginjak 18 tahun. Bibi Martha akan selalu menjaga gadis itu sebagai mana menjaga putri kandungnya sendiri.
Tidak lama, Bibi Martha datang. Wanita paruh baya itu tampak gelisah mengingat apa yang diinginkan Jenderal Virendra.
Avi yang melihat hal itu memilih diam, dia jelas tidak memiliki hak untuk bertanya dan ikut campur.
*
*
Di kediamannya, Jenderal Virendra tengah termenung memikirkan sosok gadis bermata biru. Beberapa hari sejak pertemuan pertamanya dengan gadis itu, Jenderal Virendra terus memikirkan mata birunya yang begitu jernih.
Terlalu larut dengan lamunannya membuat Jenderal Virendra tidak mendengar suara ketukan pintu.
“Jenderal! Mohon maaf ini saya, Letnan Dean.” Suara teriakan Letnan Dean akhirnya membuat Jenderal Virendra tersadar.
“Masuk!" Perintah Jenderal Virendra dengan tegas.
Letnan Dean segera masuk dan langsung memberi hormat ala militer.
"Maafkan saya Jenderal, saya tidak bermaksud mengganggu waktu istirahat Anda. Hanya saja, ada tamu dari Departemen Timur dan Barat serta perwakilan Negara Barat."
Jenderal Virendra sudah tahu dengan pasti apa maksud kedatangan para tamunya itu. Dengan segera Jenderal Virendra menyiapkan dirinya dan meminta Letnan Dean untuk pergi bersamanya.
Sepanjang jalan, raut wajah Jenderal Virendra begitu menakutkan. Sorot matanya begitu tajam, bahkan Letnan Dean takut untuk sekedar mengajak bicara.
"Salam hormat, Jenderal!" Seru para tamu memberi hormat pada Jenderal Virendra begitu pria itu masuk ke dalam aula pertemuan.
"Aku harap kalian menyampaikan sesuatu yang penting, sampai-sampai begitu berani mengganggu waktu istirahatku." Ucapan Jenderal Virendra membuat para tamu sedikit tegang.
Ini memang sudah malam hari dan mereka baru memiliki waktu untuk datang berkunjung. Selain itu, ada hal penting yang ingin mereka bahas.
"Maafkan kami, Jenderal. Kami ingin mengadakan rapat penting dengan Anda. Hal ini menyangkut kekuatan politik Negara kita." Ujar John mewakili para tamu. John adalah kepada departemen politik Barat.
"Katakan dengan singkat karena aku tidak punya banyak waktu." Jenderal Virendra segera duduk, menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh orang-orang penting ini.
"Begini Jenderal, Anda sudah menjabat selama dua tahun dan sampai saat ini Anda belum memiliki pendamping. Kami hanya takut hal ini akan merusak kepercayaan Negara lain yang ingin bekerja sama dengan Negara Aleister."
Jenderal Virendra menatap sinis, "Apa urusannya pendampingku dengan kepercayaan Negara lain?"
"Mereka takut Anda tidak bisa segera memberi pewaris tahta tepat waktu. Anda tahu, selama beberapa tahun Negara Aleister-"
Ucapan itu terhenti ketika Jenderal Virendra dengan marah memukul meja. Suasana menatap tegang, Letnan Dean segera bersiap takut jika terjadi hal diluar kendali.
"Berani sekali mereka mengungkit masa lalu Negara Aleister! Lancang!" Teriak Jenderal Virendra murka.
Jenderal Virendra tidak suka jika ada orang lain yang membahas masa lalu Negara Aleister, hal itu dikarenakan menyangkut kisah orang tuanya.
"Jenderal, saya mohon-" Lagi-lagi Jenderal Virendra memukul meja, tidak suka jika ada yang berniat membantah.
"Katakan pada orang-orang itu, aku akan segera menikah. Secepatnya ... tapi, harus kalian ingat. Dengan siapa aku menikah, kalian tidak boleh ikut campur."
Usai mengatakan hal itu Jenderal Virendra segera pergi, meninggalkan para tamu yang menghela napas lega.
Mereka berpikir setidaknya Jenderal Virendra mau menikah. Dengan siapapun Jenderal Virendra menikah mereka tidak akan ikut campur, karena mereka yakin calon istri Jenderal Virendra adalah gadis terbaik.
*
*
Jenderal Virendra berdiri tegak di bawah pohon, matanya memperhatikan gerak gerik seseorang. Di samping Jenderal Virendra ada Letnan Dean yang dengan setia menemani.
"Katakan secepatnya pada Martha, aku akan menikahi gadis bermata biru itu." Ucap Jenderal Virendra kemudian pergi begitu saja.
Letnan Dean hanya menatap bingung, dia tidak mengerti jalan pikiran Jenderal Virendra. Letnan Dean tahu siapa gadis uang dimaksud Jenderal Virendra, tapi, demi Tuhan gadis itu masih begitu muda.
Orang-orang politik dan Negara Barat serta Negara Selatan pasti akan mengkritik keputusan Jenderal Virendra.
Namun, Letnan Dean tentu tidak berhak ikut campur. Dia yakin Jenderal Virendra pasti sudah memikirkan rencana ini dengan matang.
Dengan langkah yakin, Letnan Dean berjalan menuju kediaman Bibi Martha. Bermaksud menyampaikan pesan sang Jenderal.
"Bibi Martha!" Panggil Letnan Dean membuat Bibi Martha dan Venus yang tengah berbincang segera menoleh.
Bibi Martha tahu ada hal penting yang ingin disampaikan Letnan Dean, karena itulah dia segera memberi kode pada Venus untuk masuk ke dalam kamar.
"Ada apa Letnan?" Tanya Bibi Martha setelah memastikan Venus maka ke dalam kamarnya.
"Jenderal menitip pesan penting. Jenderal akan segera menikahi gadis bermata biru itu." Ucap Letnan Dean menyampaikan pesan dari Jenderal Virendra.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Bibi Martha.
"Orang-orang politik mendesak Jenderal untuk segera menikah. Saya tidak tahu alasan Jenderal memilih gadis bermata biru itu."
Bibi Martha menghela napas lelah, jujur saja dia tidak rela melepas Venus yang masih begitu muda.
"Saya akan segera menemui Jenderal. Tolong sampaikan pada Jenderal, saya akan segera berkunjung."
Letnan Dean mengangguk dan segera berpamitan menuju kediaman Jenderal Virendra.
Bibi Martha tidak tahu harus bagaimana menghadapi Jenderal Virendra yang terkenal keras kepala itu. Oh Venus yang malang, gadis itu masih terlalu muda untuk menghadapi beratnya melawan kekuasaan dan keserakahan orang-orang.
TBC
Rekomendasi novel menarik karya author senja_90
jangan lupa mampir dan dukung karyanya ya 😊
Judul : DIKHIANATI KARENA TAK KUNJUNG HAMIL
*Blurb : Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Jenderal Virendra tidak main-main dengan ucapannya. Ketika Bibi Martha datang menemui Jenderal Virendra, pria itu sudah menyiapkan jawaban yang tidak bisa dibantah oleh Bibi Martha.
Mau tidak mau, Bibi Martha harus merelakan Venus menikah diusia muda.
"Bibi ... Bibi Martha!" Venus berteriak memanggil Bibi Martha.
"Ada apa, Venus. Kenapa berteriak seperti itu?" Tanya Bibi Martha lembut, dia sudah terbiasa menghadapi sikap menggebu-gebu Venus.
"Mereka bilang ... mereka bilang, Venus mau menikah. Apa itu benar Bibi?" Venus bertanya pelan, memastikan berita yang beredar tidaklah benar.
Bibi Martha terdiam sejenak sebelum menjawab dengan ragu, "Benar, kau akan segera menikah."
Jawaban Bibi Martha membuat Venus terkejut, bagaimana bisa dia menikah saat usianya baru 18 tahun.
"Tapi ... Bibi ... Bagaimana ini bisa terjadi? Venus tidak memiliki kekasih. Bagaimana bisa Venus menikah?" Tanya Venus tidak mengerti.
Bibi Martha memaksakan senyuman agar menenangkan Venus.
"Jenderal Virendra akan menikahimu." Jawaban tenang dari Bibi Martha semakin membuat Venus terkejut.
"A-apa? Bagaimana mungkin? Ini mustahil, Bibi!" Venus melotot tidak percaya.
"Semua mungkin saja terjadi, Venus. Apa yang mustahil di dunia ini? Jika Tuhan berkehendak, semua akan menjadi mungkin."
"Tapi, Bibi maksudku bukan itu. Bibi tahukan dia seorang Jenderal dan Venus hanya gadis biasa."
Bibi Martha tersenyum, "percaya pada Bibi."
Bibi Martha terus berusaha meyakinkan Venus, meski hatinya sendiri meragu. Venus masih begitu kecil, begitu polos dan apa adanya. Dia takut Venus akan dimanipulasi orang-orang serakah.
*
*
Kabar mengenai pernikahan Jenderal Virendra sungguh mengejutkan banyak orang. Namun, yang lebih mengejutkan adalah calon istri Jenderal Virendra.
Departemen politik Mila bertanya-tanya, apa yang sebenarnya direncanakan oleh Jenderal. Untuk itulah Departemen politik Barat dan Timur segera meminta diadakannya rapat.
"Jenderal, kami mendengar berita mengejutkan. Apakah benar Anda akan menikah dengan gadis berusia delapan belas tahun?" Tanya Endo, kepala Departemen politik Timur.
"Benar, lalu apakah tujuan kalian mengadakan pertemuan ini hanya untuk mencari tahu kebenaran berita itu?" Jenderal Virendra menatap sinis para elit politik yang haus akan kekuasaan.
"Mohon maaf Jenderal, Anda jelas sangat tahu mengapa kami mempertanyakan keputusan Anda." Kali ini John bersuara, mengutarakan keresahannya.
"Sudah ku peringatkan untuk tidak ikut campur mengenai pernikahanku. Apakah kalian berniat menentang?" Jenderal Virendra berucap dingin membuat siapa saja yang mendengarnya menggigil ketakutan.
"KAMI TIDAK BERANI, JENDERAL!" Ucap mereka kompak mengundang kepuasan Jenderal Virendra.
"Kalau begitu, tutup mulut kalian semua!" Jenderal Virendra berteriak penuh peringatan.
"Bagaimana dengan Putri dari Negara Selatan? Anda tahu perjodohan Anda dan -" Ucapan Endo terpotong saat Jenderal Virendra dengan marah melempar gelas hingga hancur berkeping-keping.
"Siapa yang berani mengaturku akan bernasib sama dengan gelas itu!" Jenderal Virendra mengancam dengan sungguh-sungguh.
Tanpa berniat melanjutkan pembicaraan, Jenderal Virendra segera pergi meninggalkan aula.
Jenderal Virendra begitu marah karena pertentangan yang orang-orang itu lakukan. Mereka seolah meragukan keputusan Jenderal Virendra.
Jenderal Virendra sangat tahu alasan dibalik perjodohannya dengan Putri dari Negara Selatan. Dia tidak sudi jika harus menikahi gadis yang akan dijodohkan dengannya.
*
*
Venus duduk merenung di halaman kediamannya. Memikirkan nasibnya yang harus menikah dengan Jenderal Virendra. Seorang Jenderal yang terkenal kejam.
Venus tidak tahu alasan mengapa dia harus menikah dengan Jenderal Virendra. Mereka bahkan baru bertemu satu kali dan pertemuan itu tidaklah berkesan.
Venus terlalu asik merenung, hingga tidak sadar ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari jauh.
Dia adalah Jenderal Virendra. Pria itu berdiri di bawah pohon sembari mengamati Venus. Entah apa yang ada dipikirannya.
"Maafkan aku karena kau harus terlibat seperti ini." Ucap Jenderal Virendra pelan.
Jenderal Virendra sesungguhnya menyesal telah menyeret gadis bermata biru itu. Terlebih usia gadis itu masih terlalu muda.
Jenderal Virendra juga tahu akan banyak pertentangan mengenai keputusannya ini. Namun, dia tidak akan mundur. Dia akan tetap pada keputusannya, yaitu menikahi gadis itu.
Jenderal Virendra juga tahu bahwa orang-orang di Negara Aleister sangat menentang pernikahan gadis dibawah usia 20 tahun.
Bagi mereka usia dibawah 20 tahun sangat rentan dan beresiko besar jika melahirkan. Negara Aleister sangat menjaga anak-anak gadis dibawah usia 20 tahun.
Namun, saat ini Jenderal Virendra pemimpin Negara Aleister justru melanggarnya. Jenderal Virendra justru memaksa untuk mempercepat pernikahannya dengan gadis berusia 18 tahun.
Tidak ada yang tahu apa rencana Jenderal Virendra sebenarnya. Mereka hanya bisa menebak-nebak tanpa tahu jawaban pastinya.
TBC
Rekomendasi novel keren dan menarik karya author CovieVy
yuk mampir dan dukung karyanya ya..
Judul : AKHIR PERNIKAHAN DINI
*Blurb :
Seperti biasanya, Bang Alan pulang kerja ketika Azan Subuh mulai menggema. Saat itu pula aku mulai bekerja mengais rezeki sebagai buruh cuci, pakaian para tetangga.
Sebelum mencuci pakaian orang lain, aku memprioritaskan mencuci pakaian keluargaku sendiri. Namun, aku sungguh dikejutkan oleh benda keramat dari kantong celana yang digunakan suamiku tadi malam.
Benda itu merupakan sebuah bekas bungkus ****** yang dulu sering aku lihat di televisi. Ini milik siapa? Kenapa ada di kantong celana milik suamiku*?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!