...🥀🥀🥀...
..."Hina aku, tapi jangan fisikku!...
...Aku rapuh akan hal itu."...
...~Weva Evanita Said~...
...🌹🌹🌹...
..."Aku mencintaimu setelah aku menghina fisikmu."...
...~Ken Satya Negara~...
...🌷🌷🌷...
..."Jangan mengejar ku dengan segala kekuranganmu. Pergi! sempurnakan dirimu, jika kau sudah sempurna maka aku yang akan mengejarmu."...
...~Brilyan Pratama~...
...🥀🥀🥀...
Tatapan memburam yang dihalangi oleh genangan air mata yang telah menetes membasahi pipinya sejak tadi sembari terus menatap ke arah depan. Tubuh gendut dengan berat 150 kg ini gemetar menatap suasana kota Jakarta dari atas gedung rumahnya yang tinggi.
Tubuh gendut ini telah membuatnya sering mendapat cacian oleh orang-orang di sekelilingnya. Ini sangat menyakitkan baginya dan tak mampu lagi untuk menahannya.
Rambut pendek sebahunya nampak bergerak-gerak setelah ditiup angin malam yang membuatnya semakin menangis. Pipi gendutnya yang menghimpit hidung mancungnya itu sudah basah sedari tadi tanpa henti.
Mengapa ini semua terjadi kepadanya? Ini menyakitkan baginya membuatnya berniat memberanikan diri untuk melompat dari atas gedung rumahnya. Ini sebuah percobaan bunuh diri yang sudah sering kali memenuhi otaknya.
Tuhan, kalau hari ini jadi mati tolong masuki tubuh gemuk ini ke surga, kalau muat.
Dia adalah Weva Evanita Said, gadis bertubuh gendut yang selalu mendapat hinaan oleh milyaran orang-orang. Yap, Weva benci semuanya.
Weva melangkahkan kakinya selangkah ke depan membuat ujung kakinya yang tak beralas itu begitu sangat dekat dengan pinggir bangunan. Weva menunduk menatap suasana kota yang begitu sangat tinggi ada banyak kerlap-Kerlip lampu penerang yang nampak indah di bawah sana.
No! Ini tidak indah!
Jangan bahas masalah keindahan saat ini! Jangan sampai Weva terpengaruh! Pokoknya Weva mau lompat dan mati di bawah sana.
Weva menutup matanya, ini mungkin bisa menjadi akhir hidupnya dengan mati terkapar di bawah sana, jika ia melompat sekarang. Weva mengigit bibirnya, ini menakutkan.
"Aaaaaaa!!!" teriak Weva sambil meremas jari-jarinya yang sudah berkeringat karena takut.
"Weva mau bunuh diri, tapi Weva takut mati!!!" terik Weva penuh drama.
"Tuhan, bantu Weva!"
"Weva ini mau mati, loh!"
"Wahai malaikat yang ganteng, tolong cabut aja nyawa Weva! Weva janji nggak akan nolak, beneran, deh."
"Cius!!!"
"Oh Malaikat pencabut nya-"
"Lompat Weva!!!" potong seseorang dari bawah sana.
Weva membukanya matanya cepat, entah suara teriakan dari mana yang baru saja ia dengar namun, yang jelasnya Weva sangat kenal dengan suara itu.
"Weva!!!" teriak seseorang cukup keras di bawah sana.
Weva menunduk menatap pria bertubuh ideal yang kini menengadahkan kepalanya menatap ke arah Weva yang masih berdiri di pinggir bangunan rumah. Dia adalah Wevo Evanito Said, Kakak kandung Weva.
Mau tahu tentang dia? Ah, bahkan menyebut namanya saja Weva tidak berani, apalagi mengakuinya sebagai seorang Kakak kandung.
Tubuhnya tak seperti dengan tubuh Weva yang gendut, ditambah lagi wajah Wevo yang lumayan tampan membuatnya selalu mendapat cacian dan selalu dibeda-bedakan oleh Weva. Ini termasuk penyiksaan juga.
Pria tampan dari mana itu?
Hah, itu saudara kamu?
Kok, nggak mirip?
Please, tolong jangan tanya hal itu. Itu bagaikan bertanya tentang jalur cerita uttaran di ANTV.
Kalau saja Weva mau, Weva bahkan tidak mau memiliki saudara setampan Wevo.
"Ayo lompat Weva!!!" teriak Wevo lagi.
Weva terdiam tak ada lagi tangisan, rasanya air mata yang keluar itu terasa menggelinding masuk kedalam matanya. Ucapan bodoh apa yang baru saja diucapkan oleh kakak kandungnya itu.
Jika saja Weva ada di bawah mungkin ia sudah menampar pipi pria yang punya roti di perut itu, yah bukan lemak di perut seperti apa yang Weva punya.
"Lompat! Lompat!"
Suara sorakan terdengar dari orang-orang di bawah sana bahkan Mommy-nya, Sasmita said dan Dady-nya, Burhan Said kini menatapnya dengan tatapan begitu bahagia.
Weva terbelalak. Apakah ini sebuah kenyataan, bahkan orang-orang terdekatnya juga menyuruhnya untuk melompat dari atas ketinggian ini. Ini begitu menyakitkan baginya.
Weva kini memejamkan matanya. Rasanya niatnya untuk bunuh diri dengan cara melompat dari sini semakin bertambah. Hidup ini begitu menyakitkan bagi gadis bertubuh gendut yang berusia 16 Tahun ini.
Rasanya memang tak ada yang peduli dengannya. Memangnya siapa yang peduli pada gadis gendut seperti ini. Semuanya hanya sibuk untuk menginjak dan menghinanya dengan sebuah nama julukan seperti gadis gendut yang bertubuh kerbau, tong berlemak, sumo sang petarung dan masih banyak lagi, Ini benar-benar menyakitkan.
Wah, bagaimana bisa ini terjadi? Bayangkan saja! Namamu yang sudah diberi dengan begitu indahnya malah diubah menjadi nama hewan atau bahkan yang lebih parahnya ia juga dipanggil tong lemak.
Weva kini melangkah semakin dekat dengan ujung bangunan itu. Kini niatnya untuk melompat begitu kuat.
Terima kasih atas dukungannya. Keluarga apa itu yang mendukung anaknya bunuh diri.
Weva menarik nafas dalam-dalam lalu perlahan ia mulai merentangkan kedua tangannya dan dengan penuh kepasrahan Weva kini melemaskan tubuh gendutnya yang siap untuk mendarat ke bawah sana.
"Aaaaaaaaaa!!!" teriak Weva saat ia bisa merasakan tubuhnya melayang ke bawah sana yang siap untuk terkapar di aspal.
Oh Tuhan, Weva belum beli tiket buat masuk surga.
Bruk
Tubuh Weva terhempas cukup keras ke lantai membuat semua siswa dan siswi menoleh menatap Weva yang kini sudah terbaring di lantai dengan kedua kakinya yang berdiri tegak.
Tubuh Weva terhempas cukup keras ke lantai membuat semua siswa dan siswi menoleh menatap Weva yang kini sudah terbaring di lantai dengan kedua kakinya yang berdiri tegak.
Semua orang tertawa melihat kejadian memalukan itu ditambah lagi dengan kursi yang Weva duduki itu patah berhamburan membuat Weva meringis merasakan sakit bahkan Bu Yungmi yang tengah asik memainkan ponselnya itu langsung tersentak kaget dan menatap dengan tatapan terkejut ke arah Weva.
Weva membuka matanya cepat, ini hanya sebuah mimpi bodoh yang baru saja menghiasi tidurnya disaat jam pelajaran sekolah.
"Astaga, Weva!" kaget gadis dengan poni yang lumayan tebal itu lalu segera menghampiri Weva yang masih terbaring dengan tubuh kaku.
Dia adalah Sahabat terbaik bagi Weva yang selalu setia bersamanya. Dari sekian ribuan siswa dan siswi SMA Cendrawasih Internasional Shcool hanya dialah yang tak pernah menghina Weva, yah walau kadang keceplosan.
Wiwi Afriawi gadis cantik yang akrab di panggil Wiwi ini merupakan gadis yang berkepribadian sok tegas dan sok dewasa, yah itu semua bisa dilihat dari setiap kalimat yang ia sampaikan. Setiap kata yang ia ucapkan, itu semua seperti ceramah yang siap datang kapan saja. Hanya Wiwi yang mau menjadi sahabat Weva di kelas ini.
Weva mulai bergerak, berusaha untuk bangkit dari lantai namun, karena tubuhnya yang besar ia tak mampu bangkit dari lantai tersebut. Kini Weva seperti seekor kura-kura yang berusaha membalikkan tubuhnya yang gemuk itu. Ini memalukan, ditambah lagi dengan suara tawa murid-murid yang seakan menghantam telinganya begitu nyaring membuat Weva ingin lenyap di tempat ini juga.
"Astaga, Weva. Lo itu kenapa, sih?" tanya Wiwi yang kini berusaha menarik kedua tangan Weva dengan susah payah.
Weva tak menjawab, Ini bukan waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari Wiwi. Kini Weva berusaha bangkit dari lantai dengan susah payah.
"Huuuuu!!!" seru teman-teman sekelas dengan kompak lalu mereka tertawa lagi.
Yap, pertunjukan gratis sedang dimulai.
Weva kini bangkit dan merapikan seragam sekolahnya yang agak berantakan. Weva menoleh ke arah lantai membuatnya terbelalak ketika kursi yang selama ini ia duduki patah berhamburan.
Oh Tuhan, kasian sekali nasib kursi itu.
"Astaga Weva!" Tatap Wiwi lagi sambil menutup mulutnya.
Ia tak menyangka kursi ini bisa hancur. Bayangkan jika Wiwi yang ada di situ, hah, pasti sangat menyakitkan.
"Woy, kasian banget tuh kursi," ujar Edo, salah satu pria yang duduk paling depan membuat semuanya kembali tertawa.
"Jahat banget lo, Ndut!" sahut pria yang lain lagi.
"Iya nih si gendut!!!"
"Makanya kalau punya badan itu dijaga!"
Suara ucapan siswa dan siswi itu terdengar membuat Weva tertunduk malu. Hinaan itu benar-benar menyakitkan baginya.
Tuhan, sumbat saja telinga Weva! Nggak apa-apa Weva rela, Tuhan.
"Sudah! Sudah! Sudah!" teriak Bu Yungmi berusaha menghentikan ocehan para siswa dan siswi yang kini tengah menghakimi Weva.
Semuanya terdiam dengan langkah Bu Yungmi yang kini melangkah mendekati Weva yang kini masih tertunduk.
Sesekali Weva menoleh menatap Bu Yungmi yang kini mendekatinya. Weva meneguk salivanya. Demi dewa para uttaran, Bu Yungmi sama menyeramkannya dengan malaikat pencabut nyawa.
Tongkat kayu berwarna pink yang ada di tangan Bu Yungmi itu membuat Weva takut. Masalahnya tongkat itu sudah banyak memakan korban. Kuku-kuku panjang yang dapat pukulan, kepala siswa yang diketuk karena rambutnya panjang bahkan bibir pun bisa disentil manja jika mengalahkan warna lipstik merah membara dari bibir merona Bu Yungmi.
Kini sebuah musibah sepertinya akan segera menghampirinya. Yang pertama adalah Weva telah membuat keributan di jam Bu Yungmi yang terkenal sebagai guru cempreng, lebay dan penuh sosialita. Yang kedua Weva telah merusak kursi dan ini merupakan salah satu tindakan merusak properti sekolah dan yang ketiga adalah...
"Oh maaaaay goaaaaaaad!!!" jerit Bu Yungmi sambil menutup kedua matanya membuat Weva yang belum selesai berpikir itu menutup kedua telinganya dengan rapat, hah, bahkan cara ini tak mempan.
Rasanya suara cempreng Bu Yungmi seakan menusuk secara bertubi-tubi gendang telinga Weva.
"Kamu tidur, yah?" tanya Bu Yungmi sambil menunjuk ke arah wajah Weva yang sudah pucat seperti mayat hidup.
"Ti-ti-tidak, Bu!" jawab Weva cepat.
Yah, kali ini Weva sedikit berbohong, harus bagaimana lagi jika ia jujur dan mengatakan jika ia memang tidur dan bermimpi akan melakukan tindakan bunuh diri, ini sama saja menjerumuskannya ke dalam lubang neraka.
"Bohong kamu!" ujar Bu Yungmi lagi.
Weva terdiam. Kini sorotan mata para siswa dan siswi kini mengarah ke arahnya. Jujur saja Weva sangat malu.
Tolong, lenyapkan saja Weva dari tempat ini. Bu Yungmi menyipitkan matanya menatap Weva penuh selidik.
"Kursi kamu hancurin, punya masalah apa kamu?!!!" teriaknya membuat Weva memejamkan kedua matanya.
Weva kini terdiam, ia bahkan tak mampu mengerakkan bibirnya untuk menjawab.
"Kamu tahu karena apa?"
Weva masih terdiam.
"Ini semuaaaa karena ini." Tusuk Bu Yungmi ke permukaan perut Weva.
Weva sedikit tersentak dengan langkahnya yang sedikit mundur ketika ujung tongkatnya itu menusuk perutnya, ah ini bukan perut, tapi lemak!
"Ini apa ini?" Tusuk Bu Yungmi ke perut gemuk Weva menggunakan ujung tongkatnya yang berwarna pink itu.
"Apa ini?" tanya Bu Yungmi begitu sangat kejam sambil menusuk-nusuk pelan perut Weva yang tersentak-sentak.
Semua siswa dan siswi kelas XI IPS B kini terdiam sembari melipat bibirnya ke dalam berusaha menahan tawanya. Mereka semua kini tak sabar menanti jawaban dari Weva.
Weva menggaruk telinganya pelan. Entah pertanyaan bodoh apa yang baru saja Bu Yungmi tanyakan kepadanya hingga harus bertanya tentang apa yang baru saja ia tunjuk itu. Tentu saja ini perut, apa lagi?
"Apa ini?" Tunjuk Bu Yungmi dengan memperkuat tusukannya ke perut Weva.
"Pe-pe-pe-perut, Bu," jawab Weva gugup.
"Salah!!!" bantah Bu Yungmi cepat.
Weva mengangkat pandangannya berusaha menatap kedua bola mata Bu Yungmi, Weva hanya ingin memastikan jika Bu Yungmi masih membuka kedua matanya ketika Bu Yungmi mengatakan jika yang baru saja dia tusuk itu bukanya lah perut. Beberapa detik kemudian Weva tertunduk, mata Bu yungmi masih aman.
"Kamu tahu ini apa?" tanya Bu Yungmi.
Weva terdiam lalu mengangguk pelan.
"Iniiiiiiiiiiiii...." ujar Bu Yungmi memperpanjang suaranya sambil menggerakkan ujung tongkat itu ke area perut Weva membentuk garis bundar.
"lemak!!!" teriak Bu Yungmi membuat semua siswa dan siswi meledakkan tawanya.
Weva tertunduk, lagi-lagi hinaan itu terlontar dari mulut Bu yungmi. Weva melirik Bu Yungmi beberapa detik lalu kembali tertunduk. Jika ia boleh mengeluarkan ruh dari tubuhnya dan mampu mencekik orang maka Bu Yungmi lah orang pertama yang Weva cekik hari ini juga.
"Sana keluar!" pinta Bu Yungmi.
"Keluar, Bu?" Tatap Weva heran.
"Keluar, Bu?" Tatap Weva heran.
Raut wajah Bu Yungmi berubah setelah mendengar pertanyaan Weva. Apa pertanyaan itu perlu dijawab?
Bu Yungmi menarik nafas panjang membuat kedua mata Weva membulat menatap takut pada lubang hidung Bu Yungmi yang terbuka lebar. Yap, itu berarti dia siap untuk berteriak.
"Ya ampyuuuuuuun!!!" jerit Bu Yungmi lagi membuat semua siswa dan siswi kembali menutup kedua telinganya. Suara cempreng dan super nyaring Bu Yungmi benar-benar meresahkan. Kalau saja ada suara yang bisa memembunuh maka tujuh tahun lalu semua para siswa dan siswi SMA Cendrawasih Internasional School sudah punah saat itu.
"Tuli, yah? Tuli? Hah?!!! Nggak denger?!!!" oceh Bu Yungmi.
Ocehan Bu Yungmi terdengar sambil menarik sendiri daun telinganya yang dihiasi dengan anting-anting yang cukup besar dengan pola bunga matahari yang nampak cetar membahana, bahkan Weva sendiri takut jika melihat bagian ujung telinga Bu Yungmi yang nampaknya tak lama lagi akan putus karena anting-anting besar itu.
Kata Bu Yungmi anting itu dibeli di Korea. Percaya saja!
Weva kini melirik Bu Yungmi lagi, menatap sekilas bibir Bu yungmi yang terlihat sangat seksi dengan polesan listip menor berwarna merah menyala. Weva saja heran. Bagaimana bisa guru ini melarang siswi untuk memakai lipstik tebal, tapi dia saja lipstiknya sampai melewati area bibirnya. Kata Wiwi itu disengaja, biar seksi katanya.
Hal yang paling membuat Weva selalu terkagum dan mampu membuat Weva menganga adalah polesan make up yang begitu cetar, ini mampu mengalahkan penganting yang siap resepsi.
Weva selalu bertanya diam-diam saat memperhatikan Bu Yungmi menjelaskan di depan papan tulis. Ini Bu Yungmi dandan berapa lama?
Itu masih aman yang tidak aman itu sanggul Bu Yungmi yang begitu tinggi, katanya sanggul itu diberi nama sanggul Monas. Alasannya apa? Biar terkenal dan bersejarah.
Weva tertunduk lagi.
"Kamu saya hukum!!!" teriak Bu Yungmi membuat kedua mata Weva membulat.
"Serius, Bu?"
"Yah iya lah."
"Bu tolong jangan hukum Weva, Bu," rayu Wiwi membuat semua orang terbelalak menatap tindakan nekat Wiwi.
Satu hal yang perlu diingat! Jangan pernah berusaha untuk menolong seseorang jika itu berhubungan dengan Bu Yungmi karena akibatnya adalah...
...🥀🥀🥀...
Weva mengerakkan ujung sepatunya ke permukaan betisnya yang terasa gatal, betisnya terasa gatal karena sengatan panas matahari. Betisnya terlihat bengkak, ini bukan karena benturan atau apapun itu melaingkan ini adalah lemak, yah tak jauh beda dengan apa yang Bu Yungmi katakan tadi.
Lemak!
"Yeeeee, kita dihukum!!!" sorak Weva begitu bahagia.
Weva menengadahkan kepalanya menatap ke arah kibaran bendera merah putih yang nampak berkibar bebas di atas sana sambil memberi hormat yang diiringi dengan paparan sinar matahari yang terasa menyengat.
"Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku..."
Wiwi menghela nafas, ia melirik menatap Weva yang sudah sejak tadi menyanyi. Jangan tanyakan kenapa Wiwi ada di sini dan dihukum bersama dengan Weva. Bahkan jika boleh diulang, Wiwi tak mau lagi berusaha untuk menolong seseorang.
"Wev, lo bisa diem nggak, sih?"
"Weva nyanyi."
"Iya gue tahu, tapi suara lo dicampur sama panas matahari bikin gue mau bunuh diri tahu nggak?" cerocos Wiwi yang menunjuk matahari lalu kembali memberi hormat.
"Bunuh diri?"
"Em."
"Ih, Weva mau bunuh diri," rengeknya membuat kedua mata Wiwi melotot tak menyangka.
"Diam lo!"
Bibir Weva mengerucut. Satu hal yang ada pada Wiwi, suka membentak.
"Wiwi, ternyata kalau kita dihukum enak, yah?" bisik Wiwi sambil sesekali tertawa dan memukul pelan lengan kurus Wiwi yang meringis.
Oh Tuhan, Weva bahkan tidak sadar jika tulang Wiwi menangis mendapat pukulan dari Weva.
Si gendut banyak tingkah!
"Wiwi makasih, yah."
"Makasih buat apaan?"
"Yah, makasih soalnya Wiwi mau nemenin Weva dihukum. Saranghae, Wiwi."
Wajah Wiwi datar menatap tangan Weva yang membentuk love di atas kepalanya itu.
"Sarange sarange, sarang beo tahu nggak. Kalaupun kita sahabatan dari jaman prasejarah gue nggak mau dihukum. Panas tahu nggak!"
Weva menghembuskan nafas berat. Ia menggaruk rambut sebahunya itu dan menyisirnya pelan. Sahabatnya itu selalu saja marah-marah.
"Wiwi jangan marah-marah! Emang suka makan apa, sih sampai suka marah-marah?"
"Maka batu bara, ngerti lo?!!"
"Ih, mau makan batu bara."
Wiwi menghela nafas berat. Tolol sekali sahabatnya ini. Wiwi tak mengerti mengapa sahabatnya itu bisa dapat peringkat satu di kelas sementara kalau masalah non pelajaran otaknya super bego.
"Wev, hari ini lo bawa apa?" tanya Wiwi sambil menatap harap ke arah Weva yang masih setia menatap kibaran bendera sambil memberi hormat.
"Nasi goreng," ujar Weva.
Wiwi menterbelalakkan kedua matanya. Jujur saja nasi goreng yang Weva selalu bawa ke sekolah itu sangat enak.
"Seriusan?" tanya Wiwi dengan wajahnya yang jadi
Weva menoleh lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Ah, gue ma-"
"Eits!" potong Weva membuat senyum Wiwi lenyap dari bibirnya.
"Apa, sih?"
"Wiwi nggak boleh minta!"
"Kenapa?"
Weva tersenyum malu. Ah, lihatlah! Bahkan pipinya yang seperti bakpao itu memerah karena malu sementara Wiwi kini menatap aneh pada sahabat gendutnya itu.
"Sini!" bisik Weva yang menggerakkan jari tangannya memberi kode agar Wiwi mendekat.
Wiwi melongo.
"Apa, sih?"
"Sini!" bisiknya lagi membuat Wiwi mendekatkan telinganya pada bibir Weva yang kini berbisik membuat Wiwi menggeliat.
"Ah, lo ngomong apaan, sih? Ngomong aja kali! Lagian nggak ada yang denger, kok," ocehnya sambil mengusap daun telinganya yang masih terasa geli itu.
Weva tertawa kecil seakan ia tak berbuat kesalahan.
"Ini buat dia," ujar Weva membuat Wiwi senyum Wiwi benar-benar hilang dari bibirnya. Ini seperti berita buruk yang sudah bertahun-tahun Wiwi dengar dari jaman SMP sampai sekarang.
Oh Tuhan, Sahabatnya ini telah diguna-guna atau salah makan, sih sampai cintanya itu bertubi-tubi sekali kepada pria itu.
Wiwi sama sekali tak mengerti, entah mengapa sahabatnya ini sangat tergila-gila dengan pria yang satu ini.
Tampan? Ah, lihat saja sendiri!
"Dia lagi, dia lagi. Kenapa sih, Wev? Lo itu kok suka banget sama dia?" tanya Wiwi penuh keseriusan.
Weva tersenyum lalu tak lama ia terdiam seakan memikirkan sesuatu.
"Emang kenapa?"
"Ini masalah hati, Wi!" ujar Weva sambil menepuk dadanya.
"Itu jantung!"
"Yah, sama aja. Jantung sama hati itu sama."
"Beda! Nggak sama."
"Sama, sama-sama tertulis nama dia di sini. Ah, soswet, deh," ujarnya sambil menyentuh kedua pipinya dan mengoyang-goyangkan tubuhnya seperti anak kecil.
"Gila!"
"Iya, Weva emang gila. Tergila-gila sama dia, hahahaha."
Wiwi memejamkan kedua matanya saat Weva yang tertawa itu memukul lengannya.
Ah, lihatlah! Tangan besar itu kembali memukulnya.
"Emmm, Wiwi mau tahu apa yang buat Weva suka banget sama dia?" tanya Weva tak kalah serius.
Wiwi mengangguk dengan raut wajahnya yang datar seakan tak tertarik untuk mendengarnya.
"Dia itu..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!