NovelToon NovelToon

Istri Kedua

Bab 1. Mempertahankan harga diri

Kisah ini berawal dari suara ketukan palu hakim, yang memisahkan sebuah hubungan halal menjadi haram. Hanya menyisakan panggilan mantan dan orang tua bagi seorang anak yang terlahir dari hubungan keduanya.

Status yang baru yang kini disandang oleh Winda, kerap kali membawa tatapan napsu dan menggoda bagi sebagian laki-laki. Apalagi pekerjaan Winda menuntutnya selalu berpenampilan menarik dan bertemu dengan banyak laki-laki, apa pun status mereka.

Tatapan dan kalimat menggoda sudah sering kali ia dengar. Bahkan sudah terasa akrab di telinganya. Meski begitu Winda tidak pernah menanggapi dengan serius. Sebab ia tahu resiko status yang di kini melekat pada dirinya.

Bukan inginnya memiliki status yang selalu di anggap miring dan hina bagi sebagian orang. Tapi keadaan 'lah yang memaksanya harus melakukannya demi kedamaian hidup bersama sang putri.

Sejak Winda memasuki lobby gedung sebuah dealer mobil tempatnya bekerja, siulan dan kerlingan mata genit dari karyawan laki-laki menyapanya. Namun Winda hanya membalasnya dengan senyum ramah. Meski begitu ia tetap mendapatkan tatapan tak suka dari karyawan perempuan. Yang menganggap dirinya sebagai wanita penggoda.

Winda menghempaskan tubuh di atas kursi empuk, sesaat setelah masuk ke dalam ruangannya. Kemudian menghela napas panjang, merasa lelah menghadapi mata beringas para laki-laki di kantornya.

Tok tok tok.

"Masuk." teriak Winda saat pintu ruangannya diketuk dari luar.

Seorang laki-laki muncul dari balik pintu. Kemudian masuk ke dalam ruangannya dengan membawa map berwarna biru tua. Lalu meletakkan di atas meja Winda.

"Data unit yang akan datang."

Sebagai satu-satunya manager marketing perempuan, tentu ia harus bersikap professional. Memastikan penjualan unit tepat sesuai terget. Agar tidak menimbulkan kerugian bagi dealer.

Berkumpul dan berdiskusi bersama dengan rekan kerja laki-laki, itu sudah biasa. Selama ia tidak menanggapi gombalan dan menjaga diri itu sudah cukup. Meski kerap kali emosinya terpancing. Sebab mengahadapi pria dewasa lebih sulit.

"Akan ku periksa nanti," jawabnya sambil memindahkan map tersebut ke sisi mejanya.

"Win, nanti malam ada acara nggak?" tanya laki-laki itu, "Kita jalan yuk?" lanjut laki-laki itu seraya mengering ke arah Winda.

Winda menanggapinya dengan senyum, kemudian menolak ajakan itu selembut mungkin.

"Nonton aja Win, nggak sampai tengah malam." laki-laki itu bersikukuh mengajak Winda.

"Nggak bisa, sudah ada janji," jawab Winda ramah dan penuh kesopanan. Berharap laki-laki itu mengerti dan segera pergi.

"Udah di boking ya?"

Namun, laki-laki justru semakin merendahkan Winda. Membuat emosi Winda terpancing. Kemudian menatap marah kearahnya.

"Pintu keluar belum berpindah!" Winda menunjuk kearah pintu. "Saya harap kamu keluar, sebelum saya panggil scurity untuk menyeret kamu keluar!" ucapnya dengan nada penuh emosional.

"Halah! Sok jual mahal Lo!" laki-laki itu menggebrak meja, kemudian beranjak keluar dari ruangan Winda.

Sudah sering kali Winda mendapat perlakuan seperti itu. Tetapi ia selalu bisa menghindari dan menolak baik-baik. Namun kali ini, ia sudah merasa lelah. Tak tahu lagi harus berbuat apa untuk melindungi dirinya dari mata beringas para laki-laki.

Winda menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan. Berusaha menenangkan diri untuk meredam emosinya. Terkadang ia ingin mudur dari pekerjaannya, tetapi ia masih membutuhkan biaya untuk dirinya dan putri semata wayangnya.

Sementara itu, telopon di meja Winda berdering. Sebuah panggilan dari kepala dealer, yang meminta Winda datang keruanganya membawa data penjualan bulan lalu.

Merasa ada yang aneh, Winda menanyakan kembali perihal permintaan kepala dealer datang ke ruangannya. Sebab selama ini, Winda hanya mengirimkan data melalui email.

Namun, kepala dealer mengatakan ada beberapa titik yang tidak mencapai target penjualan. Ia perlu berdiskusi dengan Winda untuk meningkatkan penjualan di bulan berikutnya.

Winda pun segera menuju ruang kepala dealer dengan membawa data yang di minta. Ia cemas, apa yang di ucapkan kepala dealer benar adanya. Sebab itu adalah tanggung jawabnya sebagai manager marketing.

Winda menarik napas panjang sesaat setelah sampai di depan pintu ruangan kepala dealer. lalu menghembuskan perlahan, sebelum mengetuknya.

"Masuk."

Perlahan Winda memutar kenop pintu melangkah masuk. Sedangkan kepala dealer sudah berdiri menyambut kedatangannya dengan senyum mengembang.

"Ini data yang bapak minta," ucap Winda dengan perasaan khawatir bercampur cemas. Karena mendapat tatapan tak biasa dari kepala dealer.

"Bawa ke sini, kita harus berdiskusi," laki-laki berperawakan tegap itu berjalan menuju kursi sudut yang ada di ruangannya. Lalu mengambil duduk tepat di tengah kursi. Winda pun segera mengikutinya, lalu duduk di jarak yang agak jauh dari kepala dealer.

"Kenapa jauh sekali duduknya? Bagaimana bisa diskusi kalau begini?" lantas, kepala dealer berpindah duduk di samping Winda.

Winda tersenyum kaku, kemudian langsung membuka map yang ia bawa. Berusaha fokus pada pekerjaan, mengabaikan sepasang mata beringas yang menatapnya penuh napsu.

"Tunggu sebentar." kepala dealer berjalan kearah pintu kemudian menguncinya.

Wajah Winda berubah cemas, ketika mendengar suara kunci pintu yang terkait sempurna, "Kenapa pintunya dikunci pak?" tanyanya khawatir.

"Nggak pa-pa, biar kita bisa lebih fokus diskusinya," kepala dealer tersenyum. Lalu kembali duduk di sebelah Winda, dengan sebelah tangan mengusap paha Winda yang tertutup rok sebatas lutut.

Seketika Winda menepis tangan jahil itu dari atas pahanya. Kemudian beranjak untuk mengambil jarak duduk dari kepala dealer. "Maaf pak, jangan seperti ini." ucap Winda sambil menelan ludah gugup.

"Kamu, maunya gimana?" mata kepala dealer berubah memerah penuh napsu . "Se nyamannya kamu aja, aku ikuti," lalu mendekat lagi pada Winda dengan senyum yang sulit diartikan.

"Bisa kita mulai saja pak?"

"Bisa, aku... atau kamu yang mulai duluan?" kepala dealer mendekatkan wajahnya pada Winda, lalu menatapnya dengan senyum paling menjijikkan. Kemudian menunduk demi menatap dada besar Winda yang tertutup rapi oleh kemeja.

Winda menelan ludahnya perlahan, lalu sedikit menggeser tubuhnya kesamping untuk menghindari tubuhnya dari tatapan beringas.

Namun kepala dealer justru tertawa. "Kenapa menjauh? Aku hanya ingin melihatnya dari dekat," ia pun kembali mendekat. Kali ini, tangannya terangkat untuk mengusap bahu Winda.

"Sepertinya bapak, sedang tidak sehat. Kita lanjutkan lain kali saja, saya permisi." Winda langsung bangkit dan siap berlari keluar.

Namun kepala dealer menahan lengan Winda, "Mau kemana? Kita lanjutkan, aku sudah sangat siap." Lalu menarik lengan Winda, hingga tubuh Winda terlentang di atas kursi.

"Tolong lepaskan! jangan seperti ini!" Winda memberontak di bawah Kungkungan kepala dealer.

"Diam 'lah! Sebentar saja," kepala dealer mengunci kedua tangan Winda di atas kepala. Tatapannya semakin di penuhi oleh napsu. Sehingga membuat Winda, berontak sambil berteriak agar kepala dealer melepaskannya.

Namun, semakin Winda memberontak, kepala dealer semakin berubah menjadi kasar. Memaksa mencium bibir Winda lalu menarik kancing teratas kemeja Winda.

Winda berteriak, memohon agar kepala dealer menghentikan perbuatannya. Pipinya pun telah basah oleh air mata. Namun kepala dealer tak menghiraukan. Justru malah menindih tubuh Winda dengan tubuhnya.

Winda mulai putus asa dan pasrah jika sesuatu terjadi padanya saat itu. Ia hanya bisa berharap semoga ada orang yang datang membantunya. Namun, sedetik kemudian ekor matanya menangkap bayangan sebuah asbak rokok berwarna bening dan tebal di atas meja.

Ketika kepala dealer sibuk menikmati wajah Winda, tangan Winda meraih asbak rokok dan langsung memukulkan tepat mengenai tulang punggung kepala dealer.

"Aahh! sialan!" seketika kepala dealer bangun dengan wajah meringis kesakitan.

Sementara Winda, berlari kearah pintu dan berusaha membukanya. Namun pintu itu tak mau terbuka sebab kuncinya tak berada di tempatnya.

Bab 2. Menikahlah denganku

"Tolong... siapa pun di luar, tolong aku," Winda memukul-mukul daun pintu yang terbuat dari lembaran alumunium. Barharap ada seseorang yang mendengar lalu membantunya membuka pintu.

Sementara itu kepala dealer, sudah semakin mendekat ke arah Winda dengan senyum licik di wajahnya. Kemudian menarik lengan Winda dan menghempaskan kembali ke kursi sudut.

"Tolong, hentikan. Jangan lakukan ini, saya mohon." Sedah ribuan kali Winda memohon. Namun, kepala dealer sama sekali tidak peduli dengan permohonannya.

"Saya sudah memintanya dengan baik, tapi sepertinya kamu tidak bisa di ajak main baik-baik." Kepala dealer mendorong tubuh Winda ke atas kursi hingga terlentang. Lalu menindih tubuh Winda dengan tubuhnya.

"Saya mohon, jangan lakukan ini pada saya," air mata Winda mengalir semakin deras, saat tangan kepada dealer berhasil membuka kancing ketiga kemejanya.

"Aku hanya ingin mengingatkan saja Win, kamu sudah lama tidak melakukannya bukan?" kepala dealer tersenyum saat melihat dada mulus Winda di hadapannya. Lalu mendesis menatapnya penuh napsu. Perlahan namun pasti, tangannya mulai mengusap perlahan dada Winda

"Saya mohon hentikan," Winda menahan tangan kepala dealer yang masih bergerak di atas dadanya. "Saya berjanji akan lakukan apa pun, asal anda menghentikan semua ini," Winda menatap pias penuh harap. Tetapi kepala dealer tidak menghiraukan. Justru malah menarik bra-nya kebawah. Sedetik kemudian, mata kepala dealer membelalak ketika telah melihat pu tingnya.

Winda menelan ludah perlahan, ketika kepala dealer mulai menundukkan kelapa mendekat pada dada Winda. Tangis Winda sudah tidak dapat dibendung lagi. Lelehan air mata semakin mengalir deras saat mulut kepala dealer berhasil menyentuh pu tingnya.

Winda memejamkan matanya pasrah, tangannya mencengkram ujung bawah kursi. Namun sedetik kemudian, matanya terbuka saat punggung tangannya menyentuh sesuatu. Dengan gerakan cepat, ia mengambil dan langsung menghantamkan sesuatu itu tepat di kepala bagian belakang laki-laki yang berada di atas tubuhnya.

Kemudian, Winda mendorong agar menjauh dari tubuhnya. Ia berlari lalu memukul-mukul kembali pintu ruangan itu, saat kepala dealer masih memegangi kepalanya. Menahan sakit akibat hantaman benda tadi.

"Tolong... siapapun di luar, tolong buka pintunya." Winda berteriak dengan suara suara gemetar ketakutan. "Tolong...," lalu memukul-mukul pintu itu agar seseorang dari luar mendengarnya.

"Ada orang di dalam?!" suara teriakan dari arah luar. Seketika Winda tersenyum senang dan memukul kembali pintu itu sambil berteriak minta tolong.

"Baiklah! Kamu menyingkir dari sana. Saya akan dobrak pintunya."

Brak!

Suara gebrakan pintu menghantam tembok. Sebab dibuka dengan paksa.

Betapa terkejutnya Detta, saat mendapati Winda dengan rambut acak-acakan dan baju yang sudah terkoyak di beberapa bagian. Berdiri tak jauh dari pintu. Sedangkan di sisi lain, Detta melihat kepala dealer masih memegangi kepalanya sambil terguling-guling kesakitan.

Meski tak ada yang memberitahu, Detta paham dengan situasi yang terjadi saat itu. Sejurus kemudian, Detta melepaskan jasnya untuk menutupkan ke tubuh Winda. "Tunggu di sini," ucapnya. Lalu berjalan mendekat pada kepala dealer dan langsung menarik bagian belakang kerah kemejanya.

"Brengsek!" satu pukulan tepat mengenai rahang kepala dealer. Sementara itu, tubuh kepala dealer yang tidak siap dengan pukulan itu, langsung terhuyung kebelakang.

"Kamu pikir, kantorku tempat apa!" Detta kembali menghadiahi kepala dealer bogem mentah kedua dengan wajah merah padam menahan amarah.

***

Sesaat setelah kekacauan di ruangan kepala dealer berhasil di atasi, Detta meminta Winda dan kepala dealer untuk datang ke ruangannya.

Winda menundukkan kepala tak berani menatap kepala dealer maupun Detta, sang direktur. Sementara kepala dealer mendesis dan menatap marah pada Winda.

"Saya harap kamu minta maaf pada Winda." Detta menatap tajam kepala dealer. Wajahnya masih memerah sebab menahan amarah.

"Wanita ini, menggoda saya pak," kepala dealer beralasan. Tangannya menunjuk Winda.

"Bohong! Pak, saya tidak pernah menggoda." Sahut Winda memotong ucapan kepala dealer. "Dia meminta saya datang keruanganya dengan membawa dokumen yang di minta. Setelah sampai di sana dia melakukan...," Winda menangkup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Sebab tak mampu meneruskan ucapannya. Ia sangat jijik untuk mengingatnya apa lagi mengatakannya.

"Sekarang kamu minta maaf," perintah Detta. Tangannya menunjuk kepala dealer yang terlihat sama marahnya.

"Kenapa saya harus minta maaf?" ia tak terima jika harus meminta maaf pada Winda.

"Ini perintah!" tegas Detta dengan tatapan mata elangnya. "Apa perlu saya tunjukkan rekaman CCTV?"

Kepala dealer mengeratkan rahangnya kesal, lalu menundukkan kepala. Namun, tak ada kata permintaan maaf yang keluar dari mulutnya. Meski Detta memintanya dengan tegas. Ia masih bersikukuh bahwa ia tidak bersalah dalam kejadian itu. Detta geram hingga menggebrak meja.

"Ini, surat pemecatan kamu," Detta melempar amplop berwarna putih di hadapan kepala dealer. Kepala dealer tidak terima dan malah mengancam Winda sebelum keluar dari ruangan Detta.

Detta menghela napas panjang sesaat setelah kepala dealer keluar dari ruangannya. Sementara Winda masih diam dan menunduk. Beberapa menit kemudian, Winda berpamitan untuk kembali ke ruangannya.

"Saya antar kamu pulang," Detta langsung berdiri sambil menyahut kunci mobil di atas mejanya.

Winda mendongak, "Tapi pak, sekarang masih jam kerja."

"Hari ini saya ijinkan kamu pulang cepat," Detta berjalan keluar dan diikuti oleh Winda di belakangnya.

"Terimakasih banyak atas bantuan bapak," Winda menundukkan kepala hormat. sesaat setelah mobil Detta berhenti di depan pagar rumahnya. "Maaf, jadi merepotkan.

"Jika butuh bantuan, cari saya. Jangan sungkan."

Winda tersenyum, kepalanya mengangguk hormat sebagai jawaban dari ucapan Detta.

Keesokan harinya, Winda kembali masuk kerja. Kejadian itu telah memusnahkan keberanian Winda. Ia menjadi sangat hati-hati saat bertemu dengan lawan jenis.

Seperti sekarang ini, wajah Winda terlihat cemas, saat ia di minta salah seorang supervisor masuk ke dalam mobilnya. Hari itu mereka akan datang ke gudang untuk melihat ketersediaan unit dan strategi pemasaran.

"Winda, ayo naik. Orang gudang sudah menunggu." seorang supervisor meneriaki Winda. Sebab tidak segera masuk kedalam mobil. Sementara rombongan mobil lainnya sudah berangkat.

Detta yang saat itu berada di sana, melihat Winda sangat ketakutan. Lalu berjalan mendekat pada Winda. "Winda, kamu masuk mobil saya," semua orang yang berada di sana menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

"Tapi, bukannya bapak tidak ikut ke sana?"

"Saya ada kepentingan di daerah sana," kata Detta lagi sambil berjalan melewati Winda. Kemudian masuk ke dalam mobil.

Sepanjang waktu, Detta mengawasi Winda dari kejauhan. Hal itu membuat Winda merasa sungkan Namun, ia juga merasa nyaman sebab merasa terlindungi. Ia mengharapkan ada seseorang yang melindungi dirinya seperti yang dilakukan Detta padanya.

"Sudah selesai?" Detta menghampiri Winda dan duduk di sebelahnya. Membuat Winda yang saat itu melamun, terjingkat karena orang yang dipikirkannya telah duduk di sampingnya.

"I-iya pak, saya masih menunggu taksi," jawabnya gagap.

"Saya antar kamu pulang," Detta langsung berdiri tanpa mendengar persetujuan Winda.

"Tidak usah pak, terimakasih," Winda menolak, ia merasa sungkan dan tidak enak hati jika harus merepotkan Detta lagi. Namun Detta tetap memaksa mengantar Winda pulang ke rumah.

"Suami kamu tahu, kamu pulang dengan saya?" Detta bertanya saat mereka sudah dalam perjalanan pulang.

"Saya sudah berpisah dengan suami, dua tahun lalu,"

"Jadi, kamu tinggal sendiri?" Detta mengerutkan dahi menoleh pada Winda sesaat. Lalu kembali menatap jalanan yang mulai gelap oleh malam.

"Bersama putri saya,"

Detta mengangguk-anggukan kepala. "Jadi karena itu, kamu sering di perlakukan seperti itu di kantor."

Winda tersenyum, "Saya tidak mengerti pak." Lalu menundukkan kepala. "Saya sudah berusaha menjauhi mereka."

"Tidak menikah lagi?"

Winda tersenyum lagi. "Untuk apa menikah, jika suami tidak bisa melindungi dan memberikan kenyamanan," mata Winda menerawang jauh ke depan. "Hidup sendiri jauh lebih baik, dari pada menerima siksaan dan tekanan setiap hari."

"Maksudnya suami kamu...," Winda mengangguk, sebelum Detta melanjutkan ucapannya.

"Kamu tidak takut?" Detta menatap Winda serius. Sesaat setelah mobil berhenti di depan pagar rumah Winda.

"Sudah biasa dan terbiasa," Winda membalas tatapan Detta dengan senyum. "Saya hannya akan menikah dengan seseorang yang bisa melindungi dan menjaga saya dan putri saya." mata Winda berubah pias. Membuat Detta semakin dalam menatap Winda.

Beberapa saat mereka saling tatap, Winda melihat dan merasakan kenyamanan dalam mata Detta. Begitu juga dengan Detta, ia begitu mengagumi sosok wanita mandiri di hadapannya.

Detta tak mengerti dengan perasaannya. Hanya beberapa kali bertemu dengan Winda. Membuatnya selalu mengkhawatirkan Winda dan juga ingin melindungi.

"Menikahlah denganku."

Mata Winda terbelalak, ia benar-benar terkejut dengan ucapan Detta. Bagaimana mungkin, pria yang sudah beristri berani menawarkan sebuah pernikahan dengan wanita lain.

Apa mungkin Detta tidak bahagia dengan pernikahannya? Ataukah, Detta hanya menggunakan alasan pernikahan hanya untuk menginginkan dirinya seperti semua laki-laki yang pernah merayunya?

Sedetik kemudian, Winda tertawa sampai menggeleng-gelengkan kepala. Sementara Detta masih menatap Winda serius.

"Saya serius?"

"Kenapa? Apa hubungan bapak dengan istri sedang baik?" Winda menelisik.

Sementara Detta menggeleng dengan seulas senyum. "Hubungan saya dan istri baik-baik saja. Justeru saya yang akan tidak baik-baik saja jika membiarkanmu sendiri."

Dahi Winda berkerut, "Kenapa? Saya terbiasa hidup sendiri. Saya bukan wanita lemah, saya bisa menjaga diri."

"Apa kamu yakin?"

Winda mengangguk.

"Apa yang akan kamu lakukan jika kejadian seperti tempo hari terulang kembali?"

Winda terdiam, otaknya berusaha keras memikirkan jawabannya.

"Tidak bisa menjawab?" Detta tersenyum, dan dahinya berkerut.

"Tapi, bagaimana dengan istri Anda?"

"Semua akan aman jika tidak ada seorang pun yang mengetahuinya."

,

Jangan lupa dukungannya ya mams... terimakasih 🤗

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 3. Bibit pelakor

Jatuh cinta yang kedua? Kedengarannya aneh, tapi itulah kenyataannya. Meski tahu itu milik orang lain, tapi keinginan untuk memiliki terlanjur menggebu. Tak peduli dengan perasaan seseorang yang telah lebih dulu memiliki. Terdengar egois memang, tapi ketahuilah setiap wanita hanya ingin mencintai dan di cintai. Kemudian menjadikan cinta itu satu-satu miliknya.

"Menikahlah denganku."

Winda terkejut saat Detta mengatakan itu. Tubuhnya mematung dengan mata membulat sempurna menatap Detta yang saat itu juga tengah menatapnya penuh arti.

"Apa yang bapak pikirkan?" tanya Winda, berpura-pura bodoh. Sangat tidak mungkin, wanita dewasa seperti dirinya tidak paham dengan arti dari dua kalimat Detta.

"Aku ingin kamu, menikah denganku."

Winda tersenyum miring. Lalu memalingkan wajah kesamping. Bagaimana mungkin, pria beristri mengatakan pernikahan dengan wanita single seperti dirinya.

"Aku serius," Detta menatap lekat mata Winda. Seolah meminta Winda mencari celah kebohongan di sana.

Winda menggeleng lemah. "Bagaimana dengan istri bapak? Apa dia akan diam saja dengan rencana bapak?"

"Iya." Winda menajamkan mata, seraya mengernyitkan dahi. "Selama dia tidak mengetahuinya." Lalu tertawa sumbang. Hingga ia harus menutup mulutnya menggunakan sebelah tangan. Sebab mulutnya terbuka lebar.

"Maksudnya, semacam pernikahan tersembunyi?" Masih dengan suara tawa Winda.

Detta mengangguk, ia berjanji memberikan perlindungan dan kehangatan untuk Winda. Sama seperti yang ia berikan pada istri dan anak-anaknya.

Namun, Winda tidak setuju begitu saja. Ia masih memastikan sejauh mana hubungan yang akan terjalin dengan Detta. Dengan cara memberikan sederet pertanyaan mengintimidasi yang langsung dijawab oleh Detta tanpa ragu.

"Aku akan membawa pernikahan kita ke meja hukum. Saat semua sudah terlihat baik-baik saja." kata Detta yakin.

Sebagai wanita yang sangat membutuhkan perlindungan, Winda tidak lagi bisa untuk mengatakan tidak. Entahlah, yang dia lakukan saat itu benar atau salah. Yang pasti ia hanya memposisikan diri sebagai wanita yang tidak berdaya. Kenapa harus menolak jika seseorang itu datang sendiri tan diminta.

***

Di sebuah mosholla, Winda dan Detta duduk berdampingan. Menghadap seorang ustadz yang siap menikahkan mereka mereka. Sementara di sisi kanan dan kiri ustadz, duduk dua orang laki-laki yang berperan sebagai saksi dari pernikahan.

Detta menjabat tangan sang ustadz. Mulutnya mulai terbuka mengatakan sederet kalimat keramat yang di ucapkan setiap kali pernikahan berlangsung.

Satu kalimat Sah. Mentuntun kedua tangan menengadah keatas. Meng amini setiap doa yang panjatkan untuk kebahagiaan pernikahan.ke duanya.

Selanjutnya Winda mencium punggung tangan Detta. Matanya sempat terpejam untuk memanjakan doa di dalam hati.

Sebelum pulang ke rumah, Detta sempat mengabadikan foto pernikahan mereka bersama dengan ustadz dan dua orang saksi. Lalu menjabat tangan sebagai ucapan terimakasih sebelum meninggal musholla.

"Apa kamu menyesal?" mata Detta merilik Winda sebentar lalu kembali fokus menatap jalanan. Saat itu mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju membawa mereka pulang ke rumah.

"Bapak, belum berkenalan dengan putri saya." Winda tak menanggapi pertanyaan Detta. Justeru memberi Detta sebuah pernyataan. Yang mengharuskan Detta lebih mengenal siapa dirinya.

Detta mengangguk-anggukan kepala, bibir tersenyum tipis. "Aku yakin, dia pasti sekuat dirimu."

Mobil sudah berbelok dan masuk ke halaman rumah Winda. Siang itu, rumah masih tampak sepi. Bisa di pastikan Zara (nama anak Winda dari pernikahan sebelumnya), belum pulang dari sekolah.

"Apa tidak sebaiknya, kita kembali ke kantor saja," tawar Winda menginginkan. Sebab Detta memutuskan untuk menikah di saat jam bekerja.

Namun, Detta menggeleng. Bersama dengan pintu rumah yang terbuka. Mata Winda terbelalak ketika Zara, remaja usia tiga belas tahun itu, menatap marah padanya dari ambang pintu.

Mereka bertiga (Winda, Detta dan Zara), telah berada di dalam rumah. Duduk memutari meja dengan background Zara, yang melipat kedua tangan di depan dada. Sorot matanya mengisyaratkan ketidak sukaan pada orang baru yang datang bersama ibunya.

"Zara, perkenalkan ini Om Detta." Kata Winda hati-hati. "Mama baru nikah sama Om Detta. Jadi sekarang kamu boleh panggil papa sama Om Detta." Lalu menatap Zara. Takut jika Zara semakin murka.

Bibir Zara semakin, terkatup rapat. Napasnya terdengar semakin memburu. Persis seperti orang yang menahan marah.

"Zara, tahu kan, selama ini mama sendiri?" Winda berkata lembut. Berusaha memberi pengertian.

"Tahu!" Zara menyahut ketus, dan semakin memperlihatkan ketidak sukaan pada Detta. Dengan menatap benci pada Detta. "Selama ini, mama juga baik-baik saja kan?! Kenapa sekarang harus nikah lagi!" Wajah Zara berubah memerah. Sementara matanya sudah penuh dengan cairan air mata yang siap membanjir kedua pipi.

"Apa aku, nggak bisa jadi teman baik mama?" air mata Zara kini telah benar-benar jatuh. "Zara, nggak mau lihat Mama menangis lagi. Zara cuma ingin lihat Mama senyum." Zara menghapus air matanya kasar. "Tapi kenapa mama, nikah lagi kalau akhirnya mam akan menangis." Lalu masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.

Winda menghela napas pasrah. Sulit menyembunyikan sesuatu dari Zara. Apa lagi usia Zara, sudah bisa memahami masalah orang dewasa. Sebagai seorang ibu, adalah tugasnya memberi penjelasan pada Zara.

Sementara Detta hanya diam menyaksikan. Bukannya ia tak mau tahu, tetap ia lebih ingin memberi ruang bagi Winda dan Zara.

***

Perjalanan hidup terus berlanjut. Walaupun Zara belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran Detta, tetapi ia sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Detta di rumahnya.

Pagi sekali, tepatnya sebelum subuh. Detta berpamitan untuk pulang kerumah (Rumahnya bersama istri pertama) setelah dua hari bermalam di rumah Winda. Setelah dinyatakan hamil, Winda sering mengeluhkan pusing dan mual.

Detta tidak memberikan jadwal yang pasti, kapan ia akan tinggal dan kapan ia akan pergi. Yang pasti jatah bermalam di tempat Winda berjalan lancar hingga saat ini.

Winda bersandar di bingkai pintu, mengantar kepergian Detta. Setelah sempat sebelumnya, mencium kening Winda, Detta melajukan mobil meninggalkan halaman rumah Winda.

Perubahan setelah Winda menikah dengan Detta perlahan mulai dirasakan. Secara menteri, Winda sangat kecupan. Sebab Detta benar-benar bertanggung dalam pembiayaan hidup Winda bersama putri, dan janin yang sedang dikandungnya. Tidak hanya itu, Detta juga mendatangkan seorang ART dan scurity yang siap berjaga selama dua puluh empat jam di rumahnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 wib setelah kepulangan Detta. Winda bersiap untuk pergi ke kantor dengan diantar oleh seorang sopir yang ditugaskan Detta mengantar jemput Winda dan Zara kemanapun.

Sejak masuk di lobby kantor, kedatangan Winda sudah menjadi pusat perhatian. Namun, Winda tidak peduli dengan tatapan mengintimidasi dari rekan-rekannya.

Tatapan itu sudah menjadi teman akrab bagi Winda. Namun, kali ini Winda merasakan perbedaan dari tatapan yang ditujukan padanya. Tatapan itu, seolah mengatakan ketidak sukaan dan meremehkan dirinya.

Langkah Winda, perlahan melambat saat suara kasak-kusuk mulai terdengar. Winda menajamkan telinga demi mendengar sederet kalimat mencemooh untuk dirinya.

Dadanya pun mulai bergerak naik turun, menahan sesak. Mukanya perlahan memerah dan mata pun sudah mulai memanas. Namun ia masih setia berdiri di balik tiga wanita yang yang membicarakan dirinya.

"Gila, Si Winda. Setelah menggoda kepala dealer, sekarang Direktur juga di goda." kata salah satu wanita yang berdiri ditengah. Sementara dia wanita yang berasa di sisinya mengangguk setuju.

"Itu janda gantel, selaranya bukan main...." Wanita di sisi kanan menimpali.

"Dengar-dengar mereka juga sudah menikah." Wanita di tengah kembali menerangkan. Sementara wanita di sisi kiri hanya mengangguk-anggukan kepai menyimak.

"Pakai pelet apa tuh si Winda bisa langsung dinikahi sama direktur?" Wanita di sisi kanan kembali bertanya. "Istrinya direktur tahu nggak ya?"

"Jelas nggak lah! Kalau istri direktur sampai tahu, bisa habis tuh Winda." tangan wanita yang berada di tengah, terarah ke leher seperti sebuah pisau yang di sayatkan.

"Wah, wah nekat benar Winda. Mau cari mati dia." Kiini wanita di sebelah kiri ikut bersuara.

"Bibit pelakor sejati." ketiganya terkikik. Tak menyadari keberadaan Winda yang berdiri di belakangnya.

Perlahan namun pasti, kaki Winda melangkah mundur dan berlari masuk ke dalam ruangannya. Ia menangkup wajah yang telah basah oleh air mata menggunakan kedua tangan.

Apa kah dia sehina itu hingga semua orang menyapanya buruk?

Tunggu kelanjutannya ya...

...----------------...

Sambil menunggu yuk intip cerita keren ini👇

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!