NovelToon NovelToon

Affair Dengan Seorang Dokter?

Heni

Pagi masih buta, namun Heni sudah terbangun. Dia langsung menuju ke kamar mandi, membersihkan diri lalu menuju ke dapur untuk membuatkan kopi dan sarapan untuk suaminya.

Selesai membuatkan kopi, diletakkannya dimeja makan. Lalu dia bergegas menuju ke kamar membangunkan suaminya yang masih terlelap.

" Mas Bimo, ayo bangun. Ntar rejekinya keburu dipatok ayam, " ujar Heni dengan mengusap kepala sang suami. Suaminya mendengar suaranya, kedua tangannya diregangkan lalu membuka kedua matanya. Nampak dihadapannya sang istri sudah cantik dan berpakaian rapi.

" Kau kerja pagi? " tanyanya.

" Iya, tapi nanti aku cepat pulang. Aku akan memasakkanmu saat makan siang. Cepatlah bangun,makanlah yang ada dulu, " ujar Heni dengan senyum manisnya.

Dia segera mengambil tas yang ada dimeja rias. Lalu pergi berangkat kerja di sebuah rumah sakit dengan menggunakan motor maticnya.

Heni adalah seorang apoteker di sebuah rumah sakit swasta di kota. Sementara sang suami seorang karyawan di bengkel milik temannya. Bimo nama suaminya yang sudah bersamanya selama tiga tahun, rumah tangga mereka selalu sepi. Hal itu membuat Heni kadang bosan tapi untuk berpisah dari Bimo, dia ragu karena sangat mencintainya. Aktivitasnya diisi dengan bekerja, pun dengan suaminya. Agar tidak selalu berada dirumah dan merasakan keheningan yang memilukan. Ya, mereka tak akan bisa memiliki momongan karena Bimo mandul dan mereka paham hal itu.

Berulangkali Bimo menyarankan agar mengadopsi seorang anak, tapi selalu ditolak oleh Heni. Dia masih ingin menanti keajaiban, yakni mempunyai anak dari rahimnya sendiri. Bimo pun pasrah dan tak pernah membahas soal itu lagi meski dalam hatinya sudah sangat mendamba ada tangisan bayi mungil dirumah. Tak masalah jika harus mengadopsi anak orang lain.

Heni sudah sampai dirumah sakit. Dia berjalan menyusuri koridor menuju tempat apotek berada, tempatnya mengais rejeki. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya masuk ke sebuah ruangan. Begitu masuk ke ruangan, pria yang memakai jas putih itu langsung mengunci dan berdiri menghalanginya. Heni menatapnya dengan marah.

" Apa yang kau lakukan, Tama? " tanya Heni.

" Aku merindukanmu, Heni. Kenapa kau terus menghindariku? " tanya Tama sembari terus menatapnya lekat-lekat.

" Aku sibuk, " jawab Heni. Tangannya berusaha meraih gagang pintu agar bisa keluar dari ruangan itu. Namun Tama berusaha menghalangi upaya yang dilakukan Heni.

" Kau mau kemana? Aku belum selesai. Diam dulu disini, " ujar Tama. Heni diam, ditatap nya lelaki dihadapannya tersebut. Dia tidak menyangka akan berada di ruangan itu bersamanya.

" Aku mencintaimu, Heni. Aku tidak mau kehilanganmu, " ujar Tama lirih.

" Aku sudah bersuami, Tam. Kita akhiri saja hubungan ini, " ujar Heni.

" Dari awal kita berhubungan kau memang bersuami tapi aku tak peduli, " ujar Tama.

" Tama, aku tak pernah mencintaimu mengertilah, " ujar Heni dengan memelas. Dia takut lelaki itu akan berbuat nekat di ruangan tertutup itu.

" Aku tidak mau kita berakhir. Aku ingin terus bersamamu, " ujar Tama.

Lelaki itu terus memegang tangan Heni, wanita yang sangat dicintainya. Dia takut wanita itu akan pergi.

" Tama, sebaiknya kita akhiri hubungan terlarang ini. Aku tak bisa mencintaimu, aku hanya kasihan saja padamu, " pinta Heni.

" Aku tak peduli. Bagiku kau segalanya untukku, " ujarnya marah.

Dia langsung menciumi wajah Heni. Sementara tangannya bergerilya masuk ke baju yang dikenakan Heni. Bibirnya mencoba menjelajahi bagian leher, mengisapnya sampai hampir meninggalkan tanda merah disana. Heni meronta, tangannya mendorong tubuh Tama agar menjauh darinya. Dia sangat ketakutan.

Akhirnya Tama mundur setelah mendapat tamparan dari Heni. Dia memandang wanita itu dengan marah. Telunjuknya menunjuk kearahnya.

" Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tahu kau hanya menganggapku sebagai mainanmu. Tapi aku menganggapmu sebagai kekasihku. Cepat atau lambat aku akan memberi tahu suamimu yang bodoh itu, " ancam Tama sembari meninggalkan ruangan itu.

Heni terduduk, dia bingung. Dialah yang memantik api dalam rumah tangganya. Berselingkuh dengan Tama, seorang dokter sekaligus anak pemilik rumah sakit tempatnya bekerja. Awalnya dia senang karena diperhatikan oleh lelaki yang masih single itu, namun lama kelamaan dia seperti ketagihan. Dan memutuskan untuk menjalin hubungan terlarang itu, meski hanya setengah hati. Karena cinta seutuhnya untuk suaminya dirumah.

Perselingkuhan itu sudah berjalan selama enam bulan, dan Tama sangat bahagia meski hanya dijadikan selingkuhan. Sering kali mereka terlihat makan berdua di kantin saat jam makan siang. Semua karyawan di rumah sakit itu juga mengetahuinya, namun mereka tak mau ikut campur. Karena Tama adalah orang dengan kedudukan tinggi ditempat itu, dia bersifat mutlak atas apa yang dilakukannya.

Heni memang berniat mengakhiri hubungan itu. Dia berusaha menghindari lelaki tampan yang menjadi selingkuhannya selama ini. Dia tak mau melibatkan hatinya terlalu jauh. Hatinya juga merasa hancur saat dilihatnya sang suami dirumah masih setia dengan dirinya meski tak memiliki seorang anak. Sedangkan dirinya menduakan cinta. Begitu jahatnya dia.

Setelah jam kerjanya berakhir, Heni segera merapikan barangnya kedalam tas. Dia terlihat sangat buru-buru membuat Sella heran.

" Ada apa? Kenapa begitu terburu-buru? " tanya Sella.

" Aku mau cepat pulang. Aku sudah berjanji dengan suamiku, " ujar Heni.

" Suami? " tanya Sella.

Sella heran dengan jawaban teman seprofesinya itu. Memang dia wanita bersuami tapi jarang menyebutkannya. Karena semua juga tahu siapa lelaki yang selalu bersamanya.

" Ayo kuantar pulang, " ajak seseorang di luar apotek. Heni menoleh kearah sumber suara. Dia terhenyak, karena lelaki yang dia hindari sudah berdiri menunggunya.

" Tidak, aku pulang sendiri saja, " tolak Heni.

Sella merasa heran dengan penolakan tekan kerjanya itu. Biasanya saat si tampan itu menawarkan bantuan atau mengajaknya pergi ke suatu tempat, selalu disambut dengan penuh sukacita oleh Heni. Namun dia tak berkata apa-apa, hanya menjadi penonton saja disiang itu. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, karena saat ini dialah yang bertugas ditempat obat-obatan itu setelah Heni pulang.

" Aku bisa pulang sendiri, " tolak Heni. Dia berusaha menepis tangan Tama yang berusaha meraih pergelangan tangannya.

" Pliss, Heni. Apa aku harus melakukan kekerasan disini? " tanya Tama.

Mendengar hal itu, Heni terdiam. Akhirnya dia harus pasrah saat Tama menggandeng nya menuju tempat parkiran. Sementara karyawan yang lain hanya memandang sejoli terlarang itu dari kejauhan. Diantara mereka ada yang mencemooh tapi dengan berbisik-bisik tentunya. Sangat disayangkan karena Heni wanita bersuami dan lelaki tampan itu masih bujang. Sungguh pasangan yang ironis.

" Sudah Tama, aku pulang sendiri saja. Aku bawa motorku, " ujar Heni.

" Masuklah, " ujar Tama sembari mendorongnya masuk kedalam kendaraannya.

Heni cemas dan bingung, dia tak tahu harus berbuat apa. Karena lelaki dihadapannya itu memang keras kepala dan egois. Dia menyesal kenapa pernah dekat dengannya. Meski sesal itu selalu datang dibelakang.

Tama mengendarai mobilnya menuju ke suatu tempat. Dia tak mempedulikan Heni yang menyuruhnya untuk segera mengantarnya ke rumah kontrakannya.Disebuah restoran dia menghentikan mobilnya.

"Mari kita makan.Aku sangat lapar, " ajak Tama. Dia melempar senyum kearah Heni. Namun Heni membalasnya dengan muka masam.

"Aku akan mengantarmu pulang selesai makan, " ujarnya. Heni pun akhirnya. menurut.

Memasuki restoran itu, Heni memandang ke segala penjuru. Dia takut ada seseorang yang mengenalinya dan mengatakan apa yang tengah dilakukannya saat ini kepada suaminya dirumah. Tama sepertinya mengetahui kecemasan wanita yang dicintainya tersebut,

" Duduk dan tenanglah. Aku akan segera memesankan makanan untuk kita, "

Kemudian Tama memberikan sebuah buku berisi aneka makanan di restoran itu kepadanya. Heni memilih dan Tama segera memesan makanan beserta minumannya.

" Aku sangat merindukanmu, Heni. Kenapa kau menghindari ku beberapa hari ini? Duniaku seperti kiamat saja, " ujar Tama.

" Aku sangat sibuk, " ujarnya.

Mertua

Menjelang malam, Heni baru sampai dirumah. Lampu juga sudah dinyalakan, dia membuka pintu. Suara teguran membuatnya terkejut.

" Kau baru pulang? Syukurlah aku sudah memasakkan makanan untuk anakku. Kalau menunggumu, dia bisa mati kelaparan, " ujar wanita paruh baya yang duduk di kursi tamu.

Heni tak menyahut, baginya diam adalah emas untuk saat ini. Dibantah juga percuma, memang benar kenyataannya. Juga meladeni omongan wanita itu akan membuatnya tambah runyam. Dia terus melangkah menuju ke kamar mandi yang berada dibelakang untuk membersihkan diri.

Usai mandi dan berganti pakaian, dia menghampiri suaminya yang duduk di depan televisi. Dia bermaksud untuk meminta maaf karena tidak bisa menepati janjinya pulang awal dan memasakkannya. Dia lupa karena masih diajak berputar-putar oleh Tama. Dia terpaksa harus menuruti kekasih gelapnya itu karena terus mengancam akan melaporkan perbuatannya kepada sang suami.

" Maafkan aku, mas. Aku janji jika berjanji lagi akan menepatinya, " ujarnya.

Bimo hanya memandangnya sekilas. Dia sudah hafal dengan sang istri, berjanji lalu melanggarnya. Namun dia maklum karena sudah terbiasa.

" Kau sudah makan? Makanlah. Ibu sudah memasak makanan untuk kita, " ujarnya.

Masakan ibu mertua? Malas. Pasti nanti saat makan, beliau menceramahi ku. Suruh cari asisten rumah tanggalah, beli makanan online lah untuk mas Bimo. Ujung-ujungnya juga pakai uangku lagi? Harusnya dia bersyukur, aku sudah membantu keuangan keluarga dengan mencari nafkah sendiri. Ogah ah, mending beli makanan diluar.

" Kau mau kemana? Kau tidak suka masakanku? Kurang apa aku? Sudah jauh-jauh datang kesini untuk mengurus suamimu. Kau tidak menghargaiku? Setidaknya cicipi dulu masakanku, dasar menantu mandul, " hardiknya.

Heni hanya diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia malas jika menanggapi omongan wanita yang disebutnya mertua itu. Selalu mengajak ribut, seperti tidak ada hal lain saja? Suka sekali mengatai mandul, padahal kalimat itu pantas ditujukan kepada anaknya bukan dirinya.

" Aku ada urusan yang lebih penting, bu, " ujarHeni.

" Kemana? Kerumah orang tuamu? Mau minta uang dari ayahmu yang kaya raya itu? Silahkan pergi kalau begitu. Besok kau harus bawakan sesuatu untukku, " ujarnya ketus.

Heni mendongkol dalam hati. Mertuanya selalu berusaha memerasnya, bukan sekali tapi berulang kali hingga dia selalu menghindar saat sang mertua datang berkunjung. Karena pasti beliau menginap hampir seminggu dan selalu memantau dirinya. Yang terakhir memintanya untuk pulang kerumah sekedar meminta uang atau barang dari mamanya guna diberikan untuknya.Hal yang benci dilakukannya.

Dulu dia sering melakukannya karena takut dengan sang mertua, tapi lama-kelamaan dia muak dengan semua itu. Mamanya tetap memberikan permintaannya tapi mertuanya bukan berterima kasih dengan memperlakukannya secara baik, tetap saja menyakitinya. Rumah yang ditempatinya dengan sang suami juga berkat bantuan dari mamanya. Sang mama memberikan uang guna membayar kontrakannya. Sementara sang ayah tidak peduli dengannya selama masih bersama Bimo. Beliau tetap ingin mereka berpisah, karena tidak merestuinya. Mertuanya hanya tahu semuanya berkat sang anak yang sudah bekerja keras selama ini. Tidak pernah sekalipun memuji menantunya karena tidak bisa memberikan keturunan.

" Kau mau kemana, Hen? " tanya Bimo.

" Dia mau pulang kerumah orangtuanya. Biarkan saja, " ujar sang mertua.

" Jangan lupa pesananku ya, " tambahnya. Heni hanya diam, dia benar-benar marah saat ini.

" Aku menginap dirumah Siska, mas. Besok aku berangkat kerja dari sana saja, " ujar Heni saat mertuanya meninggalkan mereka.

" Ya, sudah. Kuantar ya? " tanya Bimo. Tapi Heni menggeleng.

" Mana motormu? " tanyanya lagi. Bimo heran karena saat istrinya pulang tidak mendengar deru motor maticnya.

Ups, Heni lupa. Kendaraannya masih diparkiran rumah sakit. Tadi dia pulang bersama dengan Tama. Bagaimana menjawabnya? pikirnya. Lama dia berpikir mencari jawaban yang pas.

" Tadi dibawa sita, mas. Besok juga dikembalikan kok, " ujar Heni berbohong. Sita saja selalu naik mobil, mana mungkin pakai motor?

" Oh, gitu ya? Mari kuantar ke rumah Siska, " ujar Bimo.

Tapi Heni tetap menolaknya. Selama mertuanya ada dirumah, dia tidak mau merepotkan Bimo. Meski mengantar saja? Ibunya pasti mengejeknya lagi, mau kuantar sekalian juga? Dasar manja. Pasti begitu, seperti tidak bosannya mengejeknya terus?

" Sudahlah, sayang. Heni kan tidak mau, tidurlah sana. Biar besok badanmu segar dan bisa kerja lagi, " ujarnya. Heni benar-benar mendongkol. Yang manja siapa? batinnya.

" Besok jangan lupa oleh-oleh untukku ya, menantuku, " ingat mertuanya lagi.

" Sudahlah, bu. Heni tidak pulang ke rumah orangtuanya, dia mau menginap dirumah teman, " ujar Bimo.

" Besok kan juga bisa. Dia harus berterima kasih dong denganku, sudah mengurusmu. Dia tahunya hanya kerja saja. Dasar menantu tidak becus, " umpatnya saat Heni sudah keluar dari rumah. Dia sangat membenci menantunya itu, berulang kali mengejeknya agar segera berpisah dengan anaknya.

Heni melangkah menuju ke rumah Siska karena memang dekat. Siska adalah tetangganya yang dekat dengannya. Dia berasal dari Jawa, dia mengikuti suaminya bekerja dikota dan mengontrak sekompleks dengannya meski beda gang. Heni sangat akrab dengannya. Dia mempunyai anak satu, seorang anak lali-laki dan masih batita. Kadang anaknya dia pinjam dibawa pulang untuk dimong saat libur bekerja.

Tak lama kemudian, sampailah dia didepan rumah Siska. Diketuknya pintu rumahnya, keluarlah siempunya dengan menggendong sang putra.

" Ada apa, Hen? " tanyanya.

" Boleh aku menginap disini? " tanya Heni. Dia celingukan mencari sosok suami Siska.

" Boleh, masuklah. Lusa baru pulang mas Diwan, " ujarnya dengan bahasa medoknya yang khas. Dia tahu jika Heni akan sungkan bila suaminya ada dirumah.

Mas Diwan adalah nama suaminya. Dia bekerja sebagai kernet truk bahan bakar, pulangnya seminggu sekali. Dan Siska hanya sendiri dirumahnya, jadi Heni terbiasa menginap menemaninya saat mertuanya datang berkunjung. Dia malas lama-lama seatap dengan wanita itu. Kupingnya panas dan kepalanya seperti mau meledak saja.

" Masuklah, " ujarnya riang. Dia senang karena malam itu ada yang menemaninya.

" Ibu mertuamu datang ya? " tebaknya, dia hafal.

" Iya, biar 'dikeloni anaknya sendiri. Aku sama kamu saja. Kenapa anakmu sudah tidur sih, aku bawakan makanan untuknya, " ujar Heni.

" Badannya panas, setelah minum obat langsung tidur, ''jelas Siska. Heni meletakkan bungkusan makanan yang dibelinya tadi ditoko. Ada biscuit, permen, wafer dan minuman. Dia membawakan untuk anaknya Siska.

" Kalau ini untukmu, "ujar Heni dengan memberikan dia sebuah bungkusan makanan, ketoprak. Siska tersenyum menerimanya, karena memang itu makanan favoritnya.

" Terima kasih ya, Hen, "ujarnya.Langsung diletakkannya di piring, lalu dimakannya dengan lahap.

Heni pun memakan makanan satunya yang juga dia beli di jalan tadi. Dia malas kalau harus memakan masakan dari mertuanya. Semua perkataan wanita itu sudah membuatnya kenyang seketika. Tapi saat dirumah Siska laparnya datang lagi. Dia merasa seperti tidak makan berhari-hari.

" Sis, bagaimana dengan mertuamu? Apa dia memperlakukanmu dengan baik? ''tanya Heni.

" Baik. Saat aku datang berkunjung, dia selalu sibuk. Ada saja yang dilakukannya, " ujar Siska.

" Memasak makanan untukku, mengajak Raihan, banyaklah, " tambahnya.

" Oohhh..... " ujar Heni.

" Sebenarnya aku tidak boleh tinggal di sini. Tapi mas Diwan bersikeras mengajakku, " ujar Siska.

" Kenapa? " tanya Heni.

" Beliau ingin agar aku tinggal dengannya dikampung, " ujarnya.

" Menemaninya karena johan, adik iparku sudah tinggal dirumahnya sendiri. Jadi jarang menemuinya, " terang Siska.

" Lalu,? "tanya Heni.

" Tetap baik sih, "

Tidak Pulang

Heni sudah berada ditempat kerjanya.Dia sibuk membuat laporan akhir bulan, sembari melayani resep dari keluarga pasien yang memintanya. Tanpa disadarinya, Tama memperhatikannya dari balik pintu. Dia tidak tahu jika ponselnya terus berbunyi. Sehingga orang yang menghubungi harus mendatanginya. Saat Heni melihatnya, dia menghentikan apa yang dilakukannya. Lalu menghampiri Dokter jantung itu.

" Kenapa kau kemari? Apa kau tidak punya kerjaan selain hanya berdiri disitu? " tanya Heni. Dia risih karena lelaki itu terus memandanginya.

" Ada, tiga jam lagi, "ujarnya.

" Lalu apa yang kau lakukan disini? " tanya Heni.

" Aku ingin memandangimu dulu sebelum kerja, " ujarnya.

" Apa ada pengaruhnya? " tanya Heni.

" Ya, nanti aku ingin mengajakmu jalan-jalan, " ajaknya.

Heni diam. Sebenarnya dia sangat malas harus bertemu dengan lelaki itu lagi. Tapi mengingat masih bekerja ditempat milik orangtuanya, dia hanya bisa pasrah. Tama masuk keruangan yang penuh dengan obat-obatan tersebut. Diraihnya lengan wanita itu, mendekatkan ke tubuhnya.

" Apa-apaan denganmu? Nanti ada orang menebus obat, bagaimana kalau mereka tahu perbuatanmu? " tanya Heni kesal. Dia marah, Tama berusaha memeluknya ditempat umum.

" Aku tidak peduli. Aku selalu ingin bersamamu, " ujarnya.

Heni berusaha melepas pelukan lelaki selingkuhannya itu. Dia merasa tidak nyaman. Apalagi banyak sekali mata tertuju kearah mereka. Heni malu dengan perbuatannya selama ini. Bersama dua lelaki dalam waktu yang bersamaan. Hati nuraninya dilema, ingin mengambil keputusan harus melepaskan salah satu. Tapi yang mana? Memilih selingkuhan atau suaminya? Keduanya sangat berlawanan. Selingkuhannya memberikan semua yang dia inginkan, sementara suaminya memberikannya banyak pikiran?

" Bagaimana kalau kau mengajakku ke mall. Aku ingin berbelanja " ajak Heni.

Akhirnya dia tidak jadi memutuskan hubungan. Diraihnya lagi ikatan semu itu meski dia kelelahan. Tama tersenyum, dia mengangguk bahagia. Dia akan menuruti semua permintaan wanita itu meski hanya berstatus selingkuhan, dia tidak peduli. Dia sangat mencintainya sepenuh hati. Berharap suatu saat wanita itu akan terus selamanya.

Sebenarnya kedua orangtuanya mengetahui hubungan gelapnya dengan Heni. Mereka mengetahuinya dari salah satu karyawannya dirumah sakit itu. Berulangkali mereka mengingatkan dan melarangnya untuk terus bersama istri orang, namun tidak dihiraukannya. Akhirnya mereka berusaha menjodohkan Tama dengan anak dari salah seorang rekan. Agar setelah pertunangannya, Tama bisa segera melupakan Heni.

....

Sesampainya di mall, Tama meminta Heni untuk mengambil apa saja barang yang diinginkannya. Bahkan jika perlu mallnya sekalian, namun Heni menolak. Untuk saat ini dia hanya butuh jalan-jalan sembari melepas lelah pikirannya.

" Apakah sebaiknya aku harus mengadopsi saja? " cetusnya tiba-tiba, membuat Tama berpaling kearahnya.

" Adopsi? " tanyanya heran. Tidak mungkin wanita itu belum mempunyai anak. Karena dia tidak pernah terlalu ikut campur dengan rumah tangganya. Yang dia tahu hanya suami orang itu saja. Dia juga baru menjalin hubungan dengannya dalam hitungan bulan. Awalnya mereka berkenalan karena sama-sama satu tempat kerja. Tetapi entah mengapa Tama nyaman bersama dengan wanita yang lebih pantas disebut kakaknya itu. Mulanya Heni menolak perasaan Tama kepadanya, namun karena hatinya juga sudah mulai goyah dengan rumah tangganya yang sepi akhirnya dia menerimanya dengan setengah hati. Karena masih sadar telah berstatus istri orang.

" Adopsi anak? " ulangnya lagi karena Heni tidak menjawab pertanyaannya. Dia penasaran. Heni langsung mengubah topik, dia menunjuk ke sebuah gerai pakaian bermerk. Dia memilih-milih kemeja.

" Ambillah yang kau mau? Aku yang akan membayarnya, " ujar Tama. Heni tersenyum kecut. Sungguh sangat berbeda dengan mas Bimo. Boro-boro membelikan di mall, masuk saja tidak mau. Mau membelikannya itu di pasar tradisional dengan menawar setengah mati. Sungguh ironis. Ini tinggal ambil doang? batinnya.

" Mbak tolong layani dia, apapun yang diambilnya segera bungkus, " pinta Tama kepada seorang pramuniaga. Dia mengangguk sopan, langsung mendatangi Heni yang sibuk memilih.

Heni bingung memilih karena menurutnya selain mahal, barangnya juga bagus-bagus. Selama jalan bersama Tama, baru kali ini berbelanja. Dia sungkan meminta barang darinya, meski itu tidak memberatkannya. Tama mendatanginya, mencoba memilihkan dan menempelkannya ke badan kekasihnya itu. Bagus, gumamnya. Dia memberikannya kepada pramuniaga.

" Sudah itu saja, " ujar Heni.

" Kalau kau masih mau, ambillah lagi. Tidak apa-apa, " ujar Tama. Dia sangat bersemangat seakan-akan dia yang hendak membeli pakaian itu. Heni tidak berkata apa-apa lagi, dia beralih ke bagian celana.

Selesai berbelanja mereka meneruskan acara jalan-jalannya yang bisa disebut dengan kencan. Tama mengajaknya ke pantai di luar kota, Heni mengiyakannya. Dia memang tidak pernah ke tempat itu, karena memang tidak suka pantai. Tetapi karena Tama terus-terusan merengek, akhirnya mereka berangkat keluar kota. Diperjalanan, Tama terus memegang tangan Heni, kekasihnya. Dia bahagia untuk saat ini. Tidak pernah dia lewatkan momen berdua seperti ini, serasa dunia miliknya saja. Ditengah jalan dia berhenti, ditatapnya lekat-lekat kekasihnya itu yang nampak kelelahan.

" Lain kali saja ya? Sepertinya kau kelelahan, " ujarnya lembut. Dia cium kening Heni, sementara tangannya terus memegang jemarinya.

" Terserah, antarkan aku pulang saja, " ujar Heni. Dia memang kelelahan, dia pun tertidur.

Tama berputar balik, dia membatalkan niatnya ke pantai. Akan dibawanya kekasihnya itu ke suatu tempat, dimana hanya mereka berdua saja tanpa gangguan siapa pun.

Di sebuah apartemen, Tama membangunkan Heni. Dia mengajaknya untuk menginap di apartemennya. Heni ragu, namun Tama terus membujuknya. Mereka masuk menuju ke apartemen Tama. Begitu masuk kedalam, Tama menyuruhnya untuk mandi. Dia menunggu di sofa. Heni mengikuti perintahnya. Begitu selesai dia keluar dengan memakai salah satu baju yang dibelinya di mall tadi. Tama mendekatinya, mencium aroma tubuhnya yang harum. Nafsunya langsung memuncak, di peluknya Heni, diciuminya sampai ke bibir dan menggigitnya dengan lembut. Heni meronta, dia berusaha menjauhkan diri dari Tama yang tengah bergejolak melihatnya.

" Tam, jangan lakukan itu,. Sudah hentikan, " Heni berusaha menghindari ciumannya. Namun Tama seperti kehilangan akal. Setelah puas menciuminya, dia mencoba melepas pakaian Heni dan menggerayangi seluruh tubuhnya. Heni terkejut, dia berusaha meronta. Dia dorong tubuh kekasih gelapnya itu agar menjauh darinya.

" Hentikan, Tama, " ujar Heni. Dia tidak mau melakukan hal diluar batas itu. Sungguh bukan keinginannya selain hanya jalan-jalan saja. Menikmati kebebasannya dari nyinyiran mertua dan kepenatan hidup yang belum mempunyai anak.

Setelah lepas dari Tama, dia keluar dari apartemen menuju lift. Memencet tombol ke lantai paling dasar untuk pergi pulang. Dia tidak mau disentuh lelaki itu, meski menjadi kekasihnya. Dia masih ingat Bimo. Sesampainya dibawah semua mata tertuju kearahnya karena penampilannya yang acak-acakan. Namun dia tidak peduli, dia hanya ingin segera meninggalkan tempat itu. Tama terus berusaha mengejarnya. Dia menyesal, dia hanya ingin memiliki Heni seutuhnya dengan menyentuhnya. Dia lupa justru perbuatannya itu menyakitinya.

" Heni, berhenti!? " panggil Tama. Heni tidak mempedulikannya, dia terus berlari dan menghentikan sebuah taksi. Taksi pun berhenti, Heni langsung masuk dan menginstruksikan kepada sopir untuk segera melajukan kendaraan.

Didalam taksi, Heni menangis tersedu-sedu. Dia menyesal mengikuti ajakan Tama ke apartemennya. Dia ingin pulang ke kontrakan tapi benci jika harus bertemu dengan mertuanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya. Sementara ponselnya terus berbunyi, dia biarkan saja. Dia hafal pasti dari Tama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!