NovelToon NovelToon

Badai Cinta

Pertemuan

Malam itu aku merasakan kegelisahan yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak besok pagi aku akan bertemu dengan lelaki yang akan menjadi suamiku. Aku akan menikah dengan lelaki yang tidak aku kenal sama sekali. Bahkan melihat wajahnya saja aku tidak pernah. Aku mondar mandir berjalan di depan lemari yang sudah terlihat reyot. Gubuk rumahku ini memang sangat sederhana. Di antara orang-orang yang tinggal di kampung ini akulah satu-satunya orang yang tergolong tidak mampu. Orang tuaku harus menghidupi saudara-saudaraku yang masih kecil bahkan ada yang balita. Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Kakakku sudah menikah dan tinggal dengan suami pilihannya sendiri, sementara aku harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku. Ayahku telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku hanya tinggal dengan Ibuku dan ketiga adikku. Ibuku bekerja seharian demi mereka, aku yang sudah beranjak dewasa pun juga harus membantu Ibuku untuk mencari nafkah. Aku berhenti sekolah sejak lulus sekolah dasar. Tidak ada biaya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Aku pun setiap hari hanya makan sekali saja demi berbagi dengan adik-adikku yang masih kecil. Kasihan jika mereka yang harus menahan lapar dengan usia yang masih dini.

Nora adalah nama yang diberikan untukku, aku menyukai nama itu tetapi teman-temanku sering mengganti namaku dengan sebutan mereka sendiri. Dora adalah panggilan di kampung halamanku. Selain rambutku yang pendek wajahku juga bulat. Teman-temanku sering mengejekku dengan keadaanku yang sekarang. Ibuku sering berkata kepadaku menikahlah dengan orang yang kaya agar hidupmu tidak selalu diejek dengan tetanggaku. Lelaki yang ada di kampung ku saja enggan untuk melihatku. Mereka bahkan sering mengejek paras ku yang sangat hitam dengan rambut yang keriting juga dekil. Wajar saja mereka memperlakukan aku seperti ini halnya. Tetapi aku selalu berdoa agar suatu saat nanti aku bisa berada di atas mereka yang selalu mengejekku.

"Nora kenapa kamu tidak tidur ini sudah larut malam?" tanya Ibu menghampiriku dengan langkahnya yang pelan. Aku melirik ke arah Ibu yang sedang duduk di kamarku.

"Ibu aku takut."

"Takut kenapa?"

"Rasanya Nora masih belum sanggup untuk menikah."

"Ibu sudah mempersiapkan lelaki yang akan menikahimu. Dia adalah orang yang baik."

"Ibu yakin dia orang baik atau karena dia kaya?" tanyaku mendesak dengan nada yang sedikit kasar.

"Nora kamu harus mau dengannya Ibu yakin kamu pasti akan hidup lebih baik jika menikah dengannya." mendengar jawaban itu aku hanya menghela nafas panjang, rasanya percuma untuk berdebat dengan Ibu kali ini. Karena aku yakin Ibu pasti memilih dia karena dia kaya. Bukan memikirkan bagaimana baiknya denganku. Yang dia pikirkan hanyalah harta yang bisa membahagiakan aku. Sebenarnya bukan harta yang aku harapkan di dalam pernikahan ini. Tapi apa boleh buat aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.

Malam itu aku melihat setiap jarum jam berputar, rasanya mataku enggan sekali untuk terpejam. Aku ingin sekali berlari dari kenyataan ini. Entah apa yang merasuki pikiranku kali ini aku berniat untuk mengemas semua pakaianku. Ku endap-endapkan langkahku menuju pintu belakang rumahku. Aku membukanya pelan-pelan dan mulai kulangkahkan kakiku satu langkah. Satu langkah aman akhirnya aku melangkahkan kakiku berikutnya.

"Plaaakkkk." kepalaku tertimpuk dengan kayu bambu yang kecil.

"Mau kemana kamu Nora? mau kabur?"

Aku melirik ke arah suara tersebut aku melihat Ibuku sudah berada di belakangku dengan membawa kayu. Matanya melotot ke arahku dan tangannya menggenggam erat tanganku.

"Eh Iii Ibu." jawabku lirih ketakutan.

"Kembali ke kamarmu jangan pernah coba-coba untuk kabur dari rumah ini. Mau ditaruh dimana mukaku kalau kamu pergi meninggalkan rumah ini!" kali ini Ibu benar-benar marah kepadaku akupun hanya tertunduk dan terpaksa harus ikut dengannya untuk kembali ke dalam kamarku. Kuletakkan semua baju yang ada di dalam tas yang sudah kukemas tadi.

"Tidur sekarang jangan coba-coba untuk kabur!" Ibu mengunci kamarku dari luar dan aku berusaha untuk berontak.

"Jangan kunci pintunya Bu, dor dor dor." aku berteriak dari dalam kamarku dengan menangis.

"Diam Nora ini sudah malam nanti tetanggamu bangun dan marah jika kamu tidak berhenti berteriak!"

Mendengar jawaban itu rasanya sangat percuma aku berteriak. Pintu kamarku sudah terkunci dari luar. Aku sudah tidak mempunyai cara untuk pergi dari rumah ini. Semalaman aku menangis tersedu-sedu meratapi nasibku. Berkali-kali aku memanggil nama Ayah yang sudah meninggalkan aku.

'Ayah jika saja kamu masih bersamaku mungkin hidupku akan jauh lebih baik dari ini. Ayah aku rindu kamu Yah, aku ingin bertemu denganmu Yah. Yah tolong aku Yah, tolong Nora.'

Tangisanku masih terisak di malam purnama ini. Aku melihat ke arah jendela dan masih meneteskan air mataku. Rasanya air mata ini terbuang sia-sia. Sampai pagipun telah menyinari bumi aku masih tergeletak di lantai yang sangat dingin.

Ibu membangunkanku dengan membuka pintu dengan keras. Dia masih kesal dengan tingkahku yang berniat untuk kabur kemarin. Wajahnya sudah bisa kubaca dengan jelas bahwa dia marah denganku. Aku bergegas untuk pergi ke kamar mandi membasuh mukaku. Ibu yang melihatku ke kamar mandi segera memberiku handuk.

"Cepat mandi sebentar lagi calon mertuamu akan datang kerumah." suara Ibu masih lantang sekali.

Aku yang masih kecewa hanya menganggukkan kepalaku. Aku masuk ke dalam kamar mandi sementara Ibu yang ada di dapur masih terus melanjutkan ceramahnya yang membuat telingaku bising. Rasanya ingin sekali aku berteriak dan marah dengannya, tapi aku sama sekali tidak berani melakukannya. Tubuhku lemah hatiku lemah aku tidak kuasa untuk membentak seseorang yang sudah berjuang untuk melahirkanku ke dunia ini. Aku mengguyur tubuhku bukan hanya dengan air melainkan tubuhku terguyur dengan air mata yang tiada henti mengalir di pipiku. Air mata ini adalah saksi dimana aku harus menjalani hidupku ke depannya. Entah apa yang akan terjadi dengan hidupku di kemudian hari. Kebahagiaan yang diidamkam oleh Ibuku ataukah kesedihan seperti bayanganku. Aku hanya bisa berpasrah dengan takdir yang akan datang menjemputku.

"Nora cepat mandinya." teriakan Ibu membuatku terhenti untuk membayangkan bayangan masa depanku.

Aku segera bergegas mengambil handukku dan pergi ke kamar untuk ganti baju.

"Pakai baju yang sopan pakai kerudung." masih saja terdengar suara Ibu yang berteriak.

Aku mengambil baju yang ada di paling bawah. Baju yang tidak pernah aku pakai sehari-hari. Baju ini menurutku baju yang paling bagus di antara yang lainnya. Aku mengenakannya dan melihat tubuhku di depan kaca. Kulihat diriku dari atas sampai ke bawah. Rasanya ini cukup sopan untuk bertemu dengan tamu. Aku keluar dari kamar dan berdiri di samping Ibu yang sedang mempersiapkan makanan untuk menjamu mereka.

"Nanti jangan sampai berkata hal yang membuat Ibu malu, ingat pesan Ibu kamu harus mau menikah dengan anak mereka."

"Iya Bu." jawabku kaku.

"Jangan tunjukkan kesedihan kamu di depan mereka."

Aku segera mengusap air mataku yang masih menetes. Semuanya sudah siap kami duduk di ruang tamu menunggu tamu yang akan datang. Rasanya hatiku masih terasa sangat sesak. Ingin rasanya aku pergi dan berlari meninggalkan semua ini. Rasanya aku ingin tertidur dan berdoa agar semua ini adalah mimpi. Tapi rasanya aku benar-benar ada di dunia nyata. Kucubit lenganku dan rasanya sakit. Ya Allah ini bukan mimpi tapi ini nyata tolong hapus skenariomu di bagian ini saja Ya Allah. Rasanya aku tidak sanggup untuk menjalaninya.

Meminang

Setelah beberapa lama kita menunggu akhirnya yang dinanti-nantikan telah datang. Aku melihat ada beberapa orang yang datang ke rumah. Aku sulit menerka siapakah di antara mereka yang akan menjadi pendamping hidupku. Aku mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam rumahku. Ibu menjamu mereka dengan sangat ramah. Aku juga melontarkan senyuman kepada mereka semua. Satu per satu kuperhatikan dengan seksama. Tapi aku masih belum bisa menerka siapa di antara mereka yang akan melamarku. Aku menundukkan wajahku dengan sedikit gugup. Tanganku mulai dingin dan berkeringat. Rasanya aku ingin berbicara tetapi mulutku terasa terbungkam. Aku hanya diam dan mendengar pembicaraan mereka. Sampai pada pangkal pembicaraan ternyata lelaki yang tepat ada di depankulah yang akan melamarku hari ini. Dia seorang lelaki dengan rambut panjang dan kulitnya hitam. Aku menghela nafas panjang ketika mengetahui dialah yang akan menjadi suamiku nanti. Bila saja bisa memilih aku lebih memilih saudaranya yang ada disampingnya. Tetapi aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Aku hanya menganggukkan kepalaku di hadapan mereka. Walaupun sebenarnya hatiku meronta-ronta untuk menolaknya. Aku tidak ingin menjadi istri dari lelaki itu. Kenapa harus dia yang akan melamarku. Melihat wajahnya saja aku enggan sekali. Rambutnya terurai panjang dan pirang. Dia tersenyum kepadaku dan aku membalasnya dengan senyuman tipis setipis kertas yang akan robek.

'Ya Allah andai saja aku bisa menolak perjodohan ini.'

"Nora coba kamu perkenalkan diri kamu di hadapan calon mertua dan suami kamu." ucap Ibu yang membuatku terkejut.

"Eh Ibu tapi...."

"Sudahlah tidak apa-apa kelihatannya Nora ini adalah gadis yang pemalu ya?" sahut calon mertuaku.

Aku menganggukkan kepalaku dan melontarkan senyuman kepadanya.

"Ini adalah calon suami kamu Nora yang berada tepat di depan kamu namanya Randi. Memang rambutnya agak panjang tapi dia hatinya baik kok. Hanya wajahnya saja yang agak menyeramkan." ucap calon mertuaku.

"I..iya Bu." jawabku sambil mengangguk.

"Nanti kalau kalian ada waktu sering-seringlah untuk bertemu agar kalian tidak canggung." tambahnya lagi kepadaku.

Lagi-lagi aku hanya bisa menganggukkan kepalaku.

"Nora kamu bersediakan menjadi menantu Ibu?"

"Ehmm Ehmmm."

"Nora jangan diam saja jawab pertanyaan mertua kamu." Ibuku menepuk pundakku.

"I...iya Bu."

"Alhamdulillah akhirnya kamu bersedia menerima lamaran ini, rasanya Ibu sangat lega sekali mendengarnya."

"Iya saya juga senang mendengarnya." tambah Ibu yang sedang merangkul pundakku.

"Kalau begitu kita akan tentukan tanggal pernikahannya secepatnya." tambah calon mertuaku.

"Bagaimana kalau minggu depan?" Ibu memberikan pertanyaan yang membuatku sangat terkejut.

"Ibu apa tidak terlalu cepat?" tanyaku lirih.

"Saya setuju." jawab calon Ibu mertuaku.

"Nah kalau sudah setuju semua ya sudah kita akan resmikan pernikahan ini secepatnya."

Mendengar hal itu rasanya hatiku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku ingin berlari dari kenyataan ini. Aku tidak ingin semua ini terjadi kepadaku. Kenapa semua ini menimpa hidupku Ya Allah. Rasanya tidak ada keadilan yang ada di dunia ini. Aku memberanikan diri untuk menatap Mas Randi yang dari tadi tidak mengeluarkan suara apapun. Aku melihat wajahnya yang biasa saja, tidak ada ekspresi sama sekali di wajahnya. Mungkin bukan hanya aku yang tidak menerima perjodohan ini tapi mungkin Mas Randi juga tidak menginginkannya. Aku kembali menundukkan kepalaku dan membiarkan mereka memperbincangkan tanggal pernikahan kita. Minggu depan itu bukan waktu yang lama, ini terlalu singkat bagiku. Namun jika aku tidak mengiyakannya aku takut dengan ancaman Ibu semalam. Kali ini aku telah berpasrah dengan takdir yang telah ditentukan untukku.

Pertemuan telah selesai aku melepas bajuku yang aku kenakan barusan. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Rasanya percuma jika aku menentang semua ini. Tanggal dan harinya saja sudah ditentukan oleh semuanya. Persiapan yang akan dilakukan oleh Ibu juga sudah matang. Walaupun pernikahanku nantinya hanyalah sekedar ijab kabul saja. Tidak ada acara yang akan diselenggarakan disini. Resepsi yang akan dilaksanakan berada di rumah calon suamiku. Aku menghapus bedak yang baru saja aku pakai di wajahku. Adikku Lara menghampiriku dan memelukku.

"Kak yang sabar ya aku tau kamu pasti tidak suka dengan pernikahan kamu, tapi kamu takut dengan Ibu kan mangkanya kamu menerimanya?"

"Lara ini semua sudah menjadi garis takdir Kakak."

"Lara sedih mendengarnya Kak begitu juga Adik yang lain."

"Sudahlah kalian masih terlalu kecil kalian tidak mengerti sayang."

"Vino dan Dio semalam mendengar Kakak dimarahi Ibu. Mereka ikut sedih Kak kenapa sih hidup kita semiskin ini sampai Kakak harus dijodohkan dengan lelaki tua itu?"

"Sssttt sudahlah Lara ini memang salah Kakak membuat Ibu marah sama Kakak."

"Tapi Kak Lara kasihan sama Kakak."

"Sudahlah Lara kamu kembali ke kamar kamu gih, lanjutin belajar kamu anggap saja kalau Kakak baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan hidup Kakak begitu juga dengan Ibu. Ibu pasti melakukan ini semua demi kebaikan Kakak. Kamu jangan khawatir ya." aku memberikan senyuman palsu kepada adikku yang masih kecil yang masih belum mengerti arti kehidupan yang sebenarnya.

Lara kembali menuju ke kamarnya sedangkan aku masih saja menatap wajahku di depan cermin yang tak pernah menjawab jika aku bertanya kepadanya. Cermin kau adalah saksi pertama yang melihat tetesan air mataku terjatuh di pipiku. Air mata yang sudah kesekian kalinya menyapu wajahku dengan sendirinya. Aku tidak menyangka bahwa minggu depan adalah hari pernikahanku dengan Mas Randi yang sama sekali tidak aku kenal. Bahkan untuk bertemu saja hanya barusan dia juga tidak mengajakku untuk mengobrol sepatah katapun. Bagaimana jika nanti aku menjadi seorang istri di sampingnya. Jujur saja melihat wajahnya saja aku sudah ketakutan. Apalagi harus tinggal seatap dengannya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadaku nantinya.

"Kriekkkk" Ibu membuka pintu kamarku yang belum terkunci.

"Nora kenapa kamu belum tidur?"

"Tidak apa-apa Bu."

"Ingat minggu depan adalah hari pernikahan kamu, kamu tidak boleh mengecewakan Ibu. Awas kalau kamu berniat kabur seperti semalam."

"Iya Bu."

"Kamu sudah makan?"

"Sudah." jawabku lirih.

"Ya sudah kamu tidur sudah malam."

Ibu memang mempunyai watak yang keras tapi dia adalah sosok Ibu yang perhatian kepada anaknya. Sebenarnya dia adalah Ibu yang baik hanya saja karena keadaan yang menekan dia untuk menjodohkanku. Dia tidak ingin anaknya hidup susah, namun caranya saja yang salah. Dia hanya ingin melihatku makan selayaknya dan hidup layak. Namun bagiku kebahagiaan itu tidak diukur dari harta. Entahlah apakah aku akan bahagia atau tidak dengan pernikahanku nanti. Aku hanya berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang bisa membuatku tersenyum dengan lepas. Senyuman yang sudah kurindukan sejak dulu.

Wedding

Hari itu telah tiba hari dimana aku harus dinikahi dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak aku kenal. Aku dirias sederhana dan duduk di samping lelaki itu. Dia sama sekali tidak melihat wajahku yang sudah ada disampingnya. Dia seolah tidak menyukaiku yang berada disampingnya. Aku terasa sangat sesak sekali saat menyaksikan ini semua. Tidak lama kemudian Pak penghulu sudah datang dan telah menjabat tangan Mas Randi. Sepatah demi sepatah katapun telah terucap dari mulutnya. Hingga semua saksi telah mengatakan bahwa pernikahan kami telah sah. Air mataku terjatuh ketika semuanya berteriak dan bilang bahwa kami telah sah. Kulirik Ibuku yang juga mengusap air matanya. Aku meraih tangan Mas Randi dan menciumnya. Dia tidak mencium keningku seperti layaknya pasangan suami istri. Setelah acara telah usai Mas Randi pulang kerumahnya tanpa mengajakku kesana. Aku yang diam di rumah merenungi nasibku sendiri. Aku telah dinikahi olehnya namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara kepada Ibuku saja lalu pergi meninggalkan rumahku. Aku bertanya kepada Ibu dengan perasaan campur aduk.

"Ibu apa benar pernikahanku ini? kenapa Mas Randi tidak mengajakku untuk berbicara?"

"Nora Randi hanya pergi sebentar untuk keperluan dia, sebentar lagi kamu akan dijemput untuk tinggal di rumahnya. Cepatlah kemasi barang-barangmu untuk tinggal bersamanya." jawaban Ibu malah membuatku sangat gundah. Hatiku bertanya-tanya apa benar aku akan tinggal dengannya yang tidak lain adalah suamiku sendiri.

"Ibu apa kita akan tinggal berdua saja?"

"Tidak Nora kalian akan tinggal dengan mertua kamu. Jagalah sikap dan perkataan kamu disana tolong jaga harga diri kamu baik-baik."

"Ibu aku pasti akan merindukan kamu."

"Sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk melayani suami, jadilah istri yang berbakti jagalah ikrar suci pernikahan kalian. Berjanjilah kepada Ibu apapun yang terjadi pernikahan kamu tetaplah suci. Jangan pernah mengingkari kesucian itu."

"Ibu aku berjanji akan selalu menjaga pernikahan Nora. Apapun yang terjadi InsyaAllah Nora akan sanggup menjalaninya."

"Baik-baik disana sayang, Ibu pasti akan sangat merindukan kamu."

Tidak lama kemudian Mas Randi datang kembali dengan membawa mobil. Aku dijemput dan meninggalkan keluargaku. Memang rumahnya tidak jauh dari rumahku hanya 7km saja dari rumahku. Namun rasanya sangat berat sekali untuk meninggalkan rumahku. Aku mengikuti langkahnya dan duduk di dalam mobil di sampingnya. Beberapa km sudah kita tempuh namun masih saja dia tidak berbicara kepadaku. Mungkin kita masih sangat canggung dalam menjalani pernikahan kami. Aku memulai pembicaraan karena aku sudah tidak sanggup untuk memendam pertanyaan ini.

"Mas apa kamu senang dengan pernikahan ini." tanyaku lirih.

"Senang." jawabnya singkat walaupun dia mengatakan senang tapi aku yakin dia pasti tidak menginginkan pernikahan ini.

"Mas boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?"

"Boleh."

"Apa kamu suka denganku."

Dia melirik ke arahku dan seperti tak acuh dengan pertanyaanku. Aku menundukkan kepalaku dan setelah sampai aku diajak untuk masuk dan menuju ke kamar.

"Ini kamar kita." ucapnya tanpa senyuman.

Aku hanya menganggukkan kepalaku dan membereskan pakaianku di lemari yang sudah disiapkan untukku. Ibu mertuaku menghampiriku dan duduk disampingku.

"Nora selamat datang di keluarga baru kamu, anggaplah seperti rumah kamu sendiri. Jangan sungkan-sungkan untuk meminta apapun kalau kamu butuh sesuatu." Ibu mertuaku sangat baik dia perhatian denganku. Aku berharap selamanya akan seperti ini. Karena kebanyakan dari cerita orang-orang kalau mertua itu pasti akan baik di awal-awal pernikahan saja. Selanjutnya mereka akan menjadi musuh terbesar kita. Dia yang akan menghantui pikiran kita dan akan membuat hati kita kacau. Semoga saja istilah itu bukanlah untukku tapi hanya untuk mereka saja yang tidak mendapatkan mertua seberuntung aku.

"Nora Randi sebaiknya kamu beristirahat karena besok kalian akan bulan madu ke Bali."

"Apa bulan madu?" tanyaku terkejut.

"Iya memangnya Randi tidak mengatakannya kepadamu ya? ehm wajar kok karena dia itu anaknya pendiam." tambahnya lagi.

Ibu keluar meninggalkan kami berdua di dalam kamar. Akupun sangat deg-deg an sekali ketika harus sekamar dengan lelaki walaupun dia sudah menjadi suamiku sendiri. Aku sibuk dengan kesibukanku sendiri sedangkan aku melihat Mas Randi hanya diam disampingku.

"Mas kenapa kamu hanya diam saja?"

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Apa besok kita akan pergi ke Bali?"

"Iya semuanya sudah aku siapkan."

"Untuk apa?"

"Sudah tradisi di keluargaku kalau setelah menikah akan ada honeymoon." jawabnya membuatku tidak bisa bertanya lagi.

Aku menarik selimut dan merebahkan tubuhku yang sudah lelah. Aku berusaha untuk memejamkan mataku dan kulihat Mas Randi masih saja duduk di kursi. Mataku terpejam hingga aku terbangun di pagi hari. Aku terbangun dan melihat Mas Randi tidur di kursi dia tidak menemaniku tidur di ranjang. Dia lebih memilih untuk tidur di sofa, melihat hal itu aku mengerti jika memang pernikahan kami hanyalah sebatas kertas dan tidak ada cinta di antara kami. Akupun telah menyadari hal itu semua, aku bangun dan menuju ke kamar mandi. Aku lihat di dapur masih belum ada siapapun disana. Rupanya akulah orang pertama yang bangun. Aku melihat di dapur masih belum ada apapun. Akupun segera bergegas untuk memasak makanan dan membuat sarapan. Setelah semuanya siap Ibu mertuaku datang menghampiriku.

"Nora kamu sedang apa?"

"Aku sedang memasak Bu, Ibu baru bangun?"

"Nora kamu rajin sekali jam segini sudah selesai mengerjakan pekerjaan dapur."

"Nora sudah terbiasa di rumah Bu."

"Itulah alasan Ibu menyukai kamu nak,"

Mendengar pujian tersebut aku tersenyum malu.

"Jangan terlalu memujiku Bu aku tidak seperti yang kamu harapkan Bu. Aku masih banyak kekurangan yang harus dan perlu bimbingan Ibu."

"Nora Ibu memilih kamu untuk menjadi pendamping Randi karena Ibu tau Randi tidak sebaik orang yang lain. Dia membutuhkan istri yang bisa untuk menuntunnya ke jalan yang benar."

"Maksud Ibu?"

"Apa Ibu kamu tidak bercerita kepadamu tentang Randi?"

"Tidak Bu."

"Randi sebenarnya anak yang baik tapi sejak dia sakit hati ditinggal kekasihnya yang pernah dia cintai menikah dengan orang lain, dia sekarang lebih banyak diam tanpa bicara. Jangankan dengan orang lain dengan Ibunya saja dia tidak pernah berbicara. Bahkan akhir-akhir ini dia sering pulang malam. Entahlah apa yang dia lakukan di luar sana. Tidak ada teman yang bisa memberi tahuku apa yang sedang dia lakukan di luar sana. Setiap ditanya dia selalu mengacuhkannya."

Mendengar penjelasan Ibu aku menjadi sedikit khawatir dengannya. Apa yang sedang terjadi kepada suamiku sekarang. Ternyata dia memiliki trauma yang sangat dalam sehingga dia menjadi pribadi seperti sekarang. Pantas saja dia tidak berbicara kepadaku apapun.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!