Disclaimer Dulu Kakak jadi karena banyak yang bilang udh cacat logika karena menikahi adik beradik dalam agama tidak Boleh.
Saya Ubah jadi Dea adalah adik angkat kepada Zara yah kak.
sudah saya revisi.
Terima Kasih.
°°°°°
"SIAPA YANG SUDAH MENGHAMILI KAMU!"
Teriakan Gilang memenuhi ruangan keluarga tersebut, sosok ayah dari dua orang putri yang harus menghadapi kenyataan bahwa putri bungsunya telah hamil diluar nikah.
Dea, sosok gadis polos yang bingung harus bagaimana hanya terdiam kaku dengan air mata dipipinya, sebuah Testpack ditanganinya sudah membuktikan bahwa kini ia tengah mengandung.
Zara sang kakak dan Ifa sang ibu hanya menatap iba perempuan itu, mereka sama terpukulnya dengan Gilang menghadapi kenyataan buruk ini.
"KATAKAN! SIAPA AYAH DARI ANAK ITU!" teriak Gilang menunjuk Dea. "SAYA MENYESAL MEMUNGUT KAMU DI JALANAN JIKA KELAKUAN KAMU SEPERTI INI"
Zara yang sudah tidak tega segera menghampiri adiknya dan membawanya kedekatannya, bagaimanapun dia sangat menyayangi adiknya itu karena adiknya yang paling mengerti tentang dirinya.
Walaupun Dea adalah Adik angkat yang diadopsi orang tuanya ketika Dea berusia lima tahun, tapi Zara tetap menyayanginya dan Dea juga selalu menyayangi kakaknya.
"Sudah Pa, jangan bentak Dea terus, biarkan dia tenang, Zara mohon kita harus bicarakan ini dengan kepala dingin," pinta Zara yang air matanya juga sudah turun mendekap Dea.
Ifa juga ikut menenangkan suaminya sehingga kini Gilang duduk dengan tangan memijit pangkal hidungnya karena pusing dengan apa yang terjadi sekarang.
"Ayo dek," Zara mengajak Dea untuk duduk di sofa dan menenangkan adiknya itu. "Bilang sama kakak siapa yang sudah menghamili kamu,"
Dea terdiam, bibirnya kaku dan lidahnya seketika kelu mengingat kejadian yang membuatnya bisa hamil seperti ini, ditambah dia bingung ingin mengatakan siapa yang membuatnya seperti ini.
"Kak, jangan marah," pinta Dea menatap kakaknya dengan air mata yang mengalir dipipinya.
"Janji, sekarang kamu bilang ke kakak siapa yang sudah ngehamilin kamu," jawab Zara mengelus puncak kepala adiknya.
"B ... Bang Tirta,"
Duarr! Seketika gelap menguasai Zara, ia mencoba menolak bahwa nama yang disebutkan oleh Dea adalah suaminya, ia memegang pundak Dea dan menguncangnya.
"Siapa yang sudah ngehamilin kamu?" tanya Zara memastikan dengan nada bicara yang lemah.
"Maafin Dea kak," Dea menghambur ke pelukan kakaknya sedangkan Zara hanya diam tak bergeming berusaha menerima kenyataan tersebut.
"JANGAN BERCANDA DEA!" bentak Gilang yang sama kagetnya dengan Zara.
"Aku gak bohong, ayah anak ini itu Bang Tirta," jawab Dea kembali menangis yang membuat Gilang melempar vas bunga yang ada didepannya.
"Sudah Pa, kalau memang benar Bang Tirta yang menghamili Dea, maka aku sendiri yang akan menikahkan mereka, karena aku gak akan terima kehormatan adik aku diambil tanpa tanggung jawab sekalipun dia adalah suamiku," Zara berdiri dari duduknya.
Zara hendak berjalan kembali ke kamarnya namun segera ditahan oleh Dea yang tampak sedih karena secara tidak langsung dia sudah mengkhianati kakaknya.
"Maafin Dea," ujar Dea menatap Zara dengan wajah sendu.
Zara melepas tangan adiknya kemudian bersimpuh didepan adiknya dan memegang kedua pipinya.
"Setiap perempuan berhak mendapatkan keadilan dan kakak janji kamu akan dapat keadilan itu," ujar Zara mencium kening adiknya. "Sekarang kamu ke kamar biar kakak yang urus semuanya,"
Setelah mengucapkan kalimatnya Zara berjalan kembali ke kamarnya sedangkan Dea memilih untuk ke kamarnya juga sesuai permintaan kakaknya meninggalkan Gilang dan Ifa yang masih tidak habis pikir dengan kerumitan hubungan adik dan kakak ini.
Didalam kamar Zara yang tadi berusaha tegar langsung menangis sejadi-jadinya dia menghamburkan semua barang-barang di kamar tersebut karena frustrasi menerima kenyataan pahit ini.
Ia duduk bersandar di dinding dengan air mata yang turun dipipinya, hatinya kini terbagi dua, dia tidak menyangka suaminya melakukan ini dan disatu sisi lainnya dia juga tidak bisa membiarkan adik kesayangannya begitu saja.
Sedangkan Dea hanya duduk meringkuk diranjang, semua ajaran kakaknya tentang cara menjadi wanita tegar sudah hilang begitu saja, sekarang dia seperti bukan Dea yang dulu, dia depresi dan menganggap kehidupannya akan hancur setelah ini.
Dea berjalan ke kamar mandi mengambil air wudhu begitupun dengan Zara dikamarnya, dua wanita taat agama ini memilih menyerahkan akhirnya kepada Allah.
"Apa yang harus kulakukan? Melepaskan suamiku untuk adikku atau mempertahankan rumah tanggaku?" ujar Zara ditengah doanya.
"Ya allah, Dea harus bagaimana? Dea hanya memilih menyerahkan takdir Dea kepadamu karena sesungguhnya skenario darimu adalah sebaik-baiknya skenario kehidupan," ujar Dea disela doa-doanya.
¤¤¤¤¤
Tirta Danuarta, seorang dosen di universitas swasta, telah menikah dengan Zara selama enam tahun lamanya tapi belum di karunia anak karena Zara yang mandul, dalam keadaan putus asa dia pulang dalam keadaan mabuk dan tanpa sadar melakukan hal yang tidak seharusnya dia buat terhadap adik iparnya Dea.
Kejadian satu malam itu ternyata menjadi awal dari kehidupan Tirta yang baru dan polemik rumah tangganya baru dimulai sekarang.
Hari ini dia hanya mengajar satu kelas, dia sudah merindukan wajah istrinya Zara, dia sangat menyayanginya walaupun Zara tidak bisa mempunyai anak, sedangkan Dea, tidak menampik Tirta juga menyimpan sebuah perasaan yang enggan di ungkapkan.
Mobil Tirta terparkir di kediaman keluarga Gilang, ia tinggal bersama istri, mertua dan adik iparnya di rumah besar itu, ia melepas dua kancing kemeja atasnya sambil membawa tas ransel dia berjalan dengan gontai kedalam rumah.
Tirta Tidak memiliki wajah yang sangat tampan, hanya seorang pria dengan hidung mancung, kulit kuning langsat, dan brewok yang tumbuh di sekitar bibirnya menambah kesan maskulinnya dan tegasnya sebagai dosen.
Tirta kini sudah tiba di teras rumah yang memiliki dua lantai itu, namun ia tidak tahu apa yang sudah menunggunya didalam sana dan apa yang akan mengubah kehidupannya.
Kriettt!
Suara decitan pintu dibuka membuat Zara yang sedang duduk sendirian di sofa berdiri dari duduknya, ia berdiri dengan ekspresi datar menghadap ke suaminya yang baru saja menutup pintu setelah masuk.
"Sayang?" Tirta berjalan mendatangi Zara dan mencium kening istrinya itu.
Zara tidak menjawab ia hanya diam dan mengeluarkan sebuah Testpack milik Dea yang membuat Tirta menatap heran.
"Punya kamu? Kamu hamil?" tanya Tirta memegang bahu Zara.
"Dea, itu punya Dea," jawab Zara yang membuat Tirta berhenti mengguncang tubuh Zara.
"Hah? Mana mungkin?" tanya Tirta Tidak percaya.
Plak!!!
Sebuah tamparan dari Zara melayang ke pipi suaminya, enam tahun pernikahan mereka Zara tidak pernah sekalipun marah ataupun berbuat kasar pada suaminya dan hari ini menjadi kali pertama dia melakukan itu.
Tirta memegang pipinya yang ditampar dan menatap Zara dengan tatapan penuh pertanyaan, sedangkan Zara yang seolah tahu apa yang ingin diketahui suaminya hanya tersenyum kecut.
"Dengarkan aku bajingan, Dea sekarang hamil dan dia hamil anak kamu Bang! Dan sekarang kamu masih menanyakan itu lagi?" teriak Zara emosi.
Seketika Tirta kembali memutar ingatan dimana malam tragis terjadinya pergumulan antara dia dan Dea Karena kekhilafan Tirta sendiri yang telah merenggut kehormatan adik iparnya.
"Maafin Abang, dek, Abang khilaf," Tirta bersimpuh sembari memegang tangan Zara seolah ia telah mengakui semua kesalahannya.
Zara hanya diam menahan air mata diantara rasa sakit hatinya dia enggan menatap wajah suaminya yang telah mengkhianatinya, dia lebih memilih menepis tangan suaminya dan membuang muka dan berusaha tegar.
"Abang akan lakuin apapun dek, Maafin Abang," Tirta perlahan menangis menyesali semua perbuatannya.
Sedangkan didalam kamar Gilang dan Ifa hanya terdiam membiarkan Zara mengurus semuanya.
"Nikahi Dea, jadi seorang pria yang bertanggung jawab," ujar Zara datar.
Seperti disambar petir di siang bolong, Tirta membulatkan mata sempurna atas pernyataan istrinya, dia berdiri dari posisinya dan menatap lekat mata istrinya.
"Bagaimana denganmu?" tanya Tirta memegang pundak Zara.
"Abang masih mempertanyakan itu? Mana ada istri yang ingin berbagi suami? Tapi jika ini menyangkut kehormatan adikku, nyawaku saja rela aku berikan, jika Abang masih ingin maaf dariku, Nikahi Dea," jawab Zara perlahan menangis.
Tirta yang melihat itu segera menarik Zara ke pelukannya dan mencoba menenangkannya, didalam kamar sana Dea juga ikut sedih dan menyesali semua yang sudah terjadi.
"Abang tidak mencintai Dea," bisik Tirta yang membuat Zara melepas pelukannya.
"Semua akan berubah seiring berjalannya waktu, Abang bersiap-siap saja, malam ini abang harus menikahi Dea," jawab Zara meninggalkan Tirta yang linglung sendirian.
¤¤¤¤¤
Jam menunjukkan pukul delapan malam, beberapa orang saksi dari pihak keluarga Tirta dan keluarga Dea kini telah berkumpul diruang tamu, malam ini mau tidak mau Tirta harus melangsungkan pernikahannya dengan Dea.
Tirta duduk berdampingan dengan Dea, pernikahan dadakan tanpa persiapan membuat Tirta gelisah tanpa sebab, sedangkan didepan mereka Penghulu sudah siap dan juga disamping kiri dan kanan para wali nikah mereka juga sudah siap.
Zara dan Ifa duduk berdampingan, Zara berusaha tegar ditengah fakta bahwa kini suaminya akan menikahi perempuan lain, tapi dia juga harus menelan pil pahit kalau perempuan itu adalah adiknya sendiri.
"Saudara Tirta Danuarta, saya kawinkan dan nikahkan engkau dengan saudari Dea Aninda binti Gilang Widaryanto, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai,"
Suara penghulu yang kini menjabat tangan Tirta menggema diruangan itu, Tirta terdiam beberapa saat sebelum menjawab ijab kabul tersebut dan Zara hanya terdiam dalam senyumannya seolah ia tidak merasakan sakit apapun.
Dea yang ayahnya ia tidak tahu dimana pun hanya bingung, dan memilih seorang dari pihak keluarga Orang Tua angkatnya sebagai wali gantinya.
"Sa ... Saya, terima nikah dan kawinnya; saudari Dea Aninda Binti Gilang Widaryanto dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" jawab Tirta.
Hening.
"Bagaimana para saksi?" tanya penghulu tersebut.
"Sah!" teriak mereka serentak.
Sontak air mata seketika jatuh dipelupuk mata Zara, ia benar-benar harus menerima fakta buruk ini dan mengikhlaskan dirinya membagi suami dengan adiknya sendiri.
Setelah acara ijab kabul tersebut selesai, Dea segera mendatangi kakaknya yang berdiri tidak jauh darinya, setelah sampai didepan kakaknya dia segera bersujud meminta maaf atas apa yang telah terjadi.
Zara yang melihat itu menjadi tidak tega dan menarik bahu Dea untuk berdiri, Zara mengelus pipi Dea dan memeluk adiknya itu.
"Jangan cengeng lagi, kakak udah gak bisa ngehapus air mata kamu kalau nangis, sekarang kamu udah gede udah punya suami, awas kalau cengeng, kakak gak tanggung jawab," ujar Zara tersenyum manis.
"Zara ..." Suara berat Tirta yang hendak meraih tangan Zara membuat Zara dan Dea menoleh ke hadapannya.
Zara yang merasa tangannya dipegang segera menarik tangannya dan berjalan menjauhi Tirta.
"Aku capek, Mas mulai malam ini tidur sama Dea aja yah, jangan khawatir aku gak akan nuntut macam-macam, Dea sedang hamil dan aku mohon mas jaga dia dengan baik," ujar Zara meninggalkan Dea dan Tirta disusul oleh Ifa dan Gilang.
Dea masih menunduk dihadapan Tirta yang kini menjadi suaminya, ia tidak berani menatap wajah itu sedikitpun.
"Ba .. Bang?" ujar Dea gugup.
Tirta tidak menjawab, dia lebih memilih mengejar Zara ke kamarnya meninggalkan Dea yang lebih memilih kembali ke kamarnya sendiri.
- TBC
[JANGAN LUPA BERIKAN LIKE DAN KOMENTARNYA YAH KAK]
Sudah hampir dua minggu semenjak pernikahan diantara Dea dan Tirta, tidak banyak yang terjadi kecuali perubahan sikap dingin Zara ke Tirta yang membuat Zara seolah bukan istrinya.
Begitupun dengan sikap Zara ke Dea yang semakin menyayangi Dea dan posesif terhadap kandungan adiknya sebaliknya Tirta seolah tidak perduli dan masih berusaha meluluhkan hati Zara kembali.
Walaupun begitu Dea tetap kuat dan tegar karena ada Zara yang selalu menguatkannya, Zara selalu mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa, dan suatu saat nanti pasti Tirta akan mencintainya, tinggal menunggu waktu yang tepat.
"Mulai hari ini kalian harus tinggal Berdua di apartemen Bang Tirta yang ada di dekat kampus, daripada kosong kan mending kalian tempati," ujar Zara di sela sarapan mereka.
Tirta dan Dea yang mendengar itu langsung mendongak dan menatap Zara yang sedang memakan sarapannya.
"Gak bisa, Abang gak bisa ninggalin kamu," tolak Tirta.
"Jangan egois Bang! Dea juga butuh perhatian dia sedang hamil dan Abang harus adil," jawab Zara menatap wajah suaminya itu.
"Kurang adil apa Abang, dek? Dua minggu Abang tidur sama dia? Abang bahkan gak pernah tidur bareng kamu, dan kamu bilang Abang masih kurang adil?" tanya Tirta berdiri dari duduknya.
Ifa dan Gilang hanya diam melihat anak-anak mereka, mereka sudah dewasa dan figur orang tua disini jelas sudah tidak dibutuhkan lagi.
"Abang masih nanya? Apa pernah abang memperlakukan Adek aku sebagai seorang istri? Abang pernah mencintai dia?"
"Itu karena abang cuma mencintai kamu!"
"Lantas kenapa abang merusak Adek aku kalau abang cuma mencintai aku?"
Tirta bungkam, Zara menatap Tirta dengan mata memerah seolah ia mewakili perasaan adiknya sendiri, entah jenis istri macam apa Zara yang lebih membela madunya, tapi didalam situasi seperti ini hati nurani Zara sebagai wanita jelas harus bertindak.
"Disini sepenuhnya kesalahan ada pada Abang, jadi abang gak punya alasan lagi untuk menolak semuanya," Zara menunjuk suaminya dengan tatapan kekesalan.
Bruk!
Dea menggebrak meja makan dan menatap Zara dan Tirta bergantian.
"Selama ini aku berusaha menjadi gadis polos, pendiam dan menuruti semua alur yang diberikan, aku bahkan kehilangan jati diriku sebagai Dea yang kuat dan selalu mengemukakan apa yang dia ingin ucapkan, dan hari ini aku pengen negasin lagi di sini, tidak ada yang salah diantara kita bertiga, apa yang harus disesali lagi?" ujar Dea.
"Aku tidak masalah tidak dicintai, karena aku sadar aku ini hanya sosok protagonis yang seolah antagonis menjadi orang ketiga di pernikahan kakakku sendiri, aku harus apa? Apa aku pernah meminta keadilan pada Abang? Tidak kan? Jadi kalau abang memang tidak mau tinggal Berdua sama aku, yasudah aku tidak memaksa setidaknya aku sadar diri aku cuma benalu di kisah pernikahan Kak Zara dan Bang Tirta," tambah Dea.
Setelah mengucapkan kalimatnya Dea beranjak meninggalkan meja makan dan berjalan menuju kamarnya.
Sesampainya didalam kamar Dea memilih meringkuk diatas tempat tidurnya dan mengelus perutnya pelan sembari menangis dalam kesendiriannya.
"Apa kamu siap kalau kamu lahir tanpa ayah?" tanya Dea pada bayi dalam kandungannya.
Sedangkan diluar sana Tirta sudah pergi mengajar untuk kelas pagi di universitas dia bekerja, sedangkan Zara hanya memilih duduk di meja makan bertiga dengan Gilang dan Ifa.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Gilang yang membuat Zara beralih menatap ayahnya.
"Yakin Pa, biar aku yang menyerah didalam hubungan ini tapi sebelum itu aku harus memastikan kalau Bang Tirta sepenuhnya cinta sama Dea supaya ketika aku keluar aku gak perlu khawatir lagi tentang Dea, lagipula apa yang Bang Tirta bisa banggakan dari aku, menghamili Dea saja sudah membuktikan bahwa Bang Tirta memiliki tekanan batin tersendiri, dan lagipula aku bukan wanita yang sempurna, aku bahkan tidak bisa memberikan keturunan untuk Bang Tirta," jawab Zara yang tanpa sadar air mata jatuh dipelupuk pipinya.
"Semoga keputusan yang kamu buat itu benar," ujar Gilang.
Zara menyeka air matanya kemudian tersenyum kini dia punya satu misi dihatinya yaitu mengikhlaskan Tirta untuk Dea, karena dia yakin bahwa sebenarnya dia hanya menjaga jodoh adiknya selama enam tahun ini, dan ini tekad Zara, mengikhlaskan suaminya bukan berarti dia menyerah, dia yakin tuhan telah menyiapkan pria yang lebih baik lagi ketika dia benar-Benar lepas dari hubungan rumit ini.
Di kampus sendiri Tirta tidak fokus mengajar karena pikirannya terpecah oleh perkataan Dea dan Zara, benarkah dia kurang adil dalam hubungan ini, ataukah karena hanya belum menerima kenyataan bahwa dia memiliki dua istri dan dia sudah terbiasa mencintai Zara daripada Dea.
Apakah istilah cinta karena terbiasa itu ada? Ataukah hanya dia saja yang tidak pernah belajar mencintai Dea yang akan memberikannya keturunan setelah enam tahun menyandang status suami.
Setelah memikirkan keputusan ini matang-matang, Tirta memutuskan untuk menerima usulan dari Zara untuk tinggal Berdua dengan Dea, setidaknya ini bentuk keadilannya dengan belajar mencintai Dea, setidaknya sampai Dea melahirkan anaknya.
Toh Zara sendiri sudah tidak peduli dengan status pernikahan mereka yang kian hari Zara kian dingin padanya.
Setelah pulang dari mengajar, Tirta menyempatkan diri membersihkan Apartemen yang akan dia tempati bersama Dea sebelum pulang ke rumah.
Sesampainya Di rumah, terlihat Zara, Gilang dan Ifa sedang duduk diruang tamu, Tirta masuk dan mencium kening Zara sebelum lanjut menuju kamar Dea untuk membereskan barangnya.
"Dea, mulai hari ini kamu sama abang tinggal Berdua di apartemen, tapi jangan senang dulu, Abang akan belajar mencintai kamu, tapi abang gak mungkin mudah untuk bisa berbagi cinta dengan cepat kepada dua orang yang berbeda," ujar Tirta mengambil koper dan memasukkan bajunya dan baju Dea kedalam koper.
"Hanya untuk membuktikan keadilan Abang sebagai suami kan? Sudah kutekankan kalau aku tidak perlu dicintai juga toh ini semua formalitas sampai anak ini lahir dan endingnya yang abang pilih tentunya tetap kak Zara, setidaknya biarkan hanya aku yang belajar mencintai abang setidaknya sebagai anak dari bayi ini," Dea berdiri dan kini berada di belakang Tirta.
Tirta yang mendengar itu terdiam dan membalikkan badannya melihat Dea yang menatapnya dengan tatapan sayu.
"Setidaknya biarkan Abang belajar mencintai kamu, dan untuk berbagi cinta biarkan Abang berusaha untuk itu dan akhirnya biarkan waktu yang menjawab," Tirta memegang tangan Dea dan membawanya ke ruang tamu.
Gilang, Ifa dan Zara yang melihat itu langsung berdiri dari duduknya dan mendatangi Tirta dan Dea yang membawa koper.
Tirta melepaskan tangan Dea dan menghampiri Zara yang sedang berekspresi dingin seperti biasanya, ia mencium kening Zara dan memegang tangannya.
"Sesuai permintaan kamu, Abang akan berusaha adil dan mencoba mencintai Dea," ujar Tirta melirik Dea yang berdiri sembari menunduk.
"Dan aku akan kembali kerja di perusahaan Danu, setidaknya ini usaha aku untuk bersiap diri hidup tanpa seorang suami," jawab Zara yang membuat Tirta mengerutkan keningnya karena hanya Tirta yang mendengarnya.
Zara kemudian berjalan mendekati Dea dan memeluk adiknya hangat, berbeda dengan tadi ekspresi Zara kini sangat hangat kepada adiknya.
"Kakak mau dengar kabar tentang kamu yang akan menjadi istri satu-satunya Bang Tirta, secepatnya, berjuanglah setidaknya untuk mendapatkan cinta Bang Tirta," bisik Zara yang hanya didengar oleh Dea.
Dea yang bingung hanya tersenyum dan memeluk erat kakaknya sebelum Tirta memegang tangannya dan menariknya keluar untuk naik ke aston martinnya.
Zara hanya berdiri diteras melihat suaminya pergi bersama istri keduanya, setidaknya ini adalah rencana Zara sendiri karena dia yang akan menyerah pada akhirnya.
Ifa yang melihat putri sulungnya langsung mengusap pundak putrinya itu, sedangkan Zara memegang tangan Ifa kemudian tersenyum.
"Terkadang kita harus mengikhlaskan untuk hidup bahagia," monolog Zara sebelum masuk kedalam rumah.
Didalam mobil Dea hanya terdiam meremas bajunya menghadapi fakta akan tinggal Berdua dengan suami kakaknya yang sekarang merupakan suaminya.
Tirta yang melihat kegelisahan Dea dan sudah memikirkan tentang kesalahannya sekarang, langsung memegang tangan Dea dan mengusapnya perlahan.
"Maafin Abang, Tapi Abang janji akan jadi suami yang baik, dan Abang akan tetap berusaha mencintai Adek," ujar Tirta.
Selama dua minggu pernikahan mereka ini kali pertamanya Tirta begitu tulus dalam berbicara kepadanya, setidaknya yang Dea pikirkan sekarang, mengembalikan suami kakaknya walaupun dia harus merasakan sakitnya ditinggalkan nanti.
- TBC
[WADUH DUA-DUANYA SAMA-SAMA PENGEN NGIKHLASIN SUAMI MEREKA LAGI YAUDAH TIRTA BUAT AUTHOR AJA KALAU GITU WKWKWKWK]
[JANGAN LUPA LIKENYA KAKAK]
"Kenapa mau balik kerja lagi? Suami kamu ke mana?" tanya Danu saat Zara datang untuk meminta pekerjaan di kantor Danu kembali.
Zara tersenyum. "Masih ada kok, tapi sekarang udah nikah sama Adek aku, aku cuma pengen latihan hidup tanpa suami aja, soalnya ...,"
"Kenapa?"
"Aku harus mengikhlaskan suamiku untuk adikku," jawab Zara berusaha tersenyum tegar.
Danu yang mendengar itu ikut sedih namun sedikit senang karena peluang untuk memiliki Zara. kembali terbuka untuknya, pasalnya selama enam tahun ini Danu masih menyimpan perasaan yang sama kepada Zara, walaupun pada akhirnya Zara memilih untuk menerima Tirta dulu.
"Maafin aku yah Za, aku gatau," ujar Danu memegang tangan Zara.
"Gapapa," Zara menarik tangannya. "Jadi aku bisa dapat pekerjaan disini lagi kan?"
Danu berpikir sejenak. "Kalau kamu mau, dengan senang hati aku bakal kasih posisi yang bagus buat kamu,"
Zara tersenyum. "Terima kasih,"
Danu mengangguk kemudian berdiri dari duduknya disusul oleh Zara yang ikut berdiri.
"Besok kamu sudah boleh kerja," ujar Danu pada Zara.
"Aku janji gak akan mengecewakan kamu," Zara berjalan meninggalkan Danu yang masih memikirkan bahwa ia memiliki sebuah kesempatan kedepannya.
"Andaikan kamu nikah sama aku dulu, kamu gak akan jadi gini Za, dan aku bakal janji kalau aku akan berusaha merebut cinta kamu lagi," monolog Danu kemudian kembali ke meja kebesarannya melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai tadi
Zara keluar dari kantor Danu sahabatnya sendiri dan berjalan dengan penuh senyuman dan sekarang dia hanya memiliki satu misi, menyatukan suami dan istri keduanya, setidaknya itu usaha terakhirnya, sebelum benar-Benar keluar dari hubungan ini.
Zara mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan kepada Tirta, Setelahnya ia menaruh ponselnya kedalam tasnya.
¤¤¤¤¤
Tirta baru saja pulang dari mengajar, badan nya sangat lelah karena hari ini dia banyak kelas yang harus diajar.
Sesampainya di apartemen, sudah ada Dea yang menanti kepulangannya, melihat suaminya sudah pulang Dea segera mengambil tas kerja Tirta dan menuntun suaminya untuk duduk di sofa.
"Abang, mau makan apa?" tanya Dea melepas sepatu yang dikenakan Tirta.
"Apa aja yang ada," jawab Tirta merenggangkan badannya karena pegal.
Biasanya ketika badannya pegal dia akan dipijat oleh Zara tanpa meminta karena Zara paling paham kondisi Tirta.
Melihat suaminya merenggangkan badannya, Dea impulsif memijat pundak Tirta dan menekan tengkuk Tirta yang memberi kesan mengenakkan untuk tubuh Tirta.
Tirta sendiri bingung kenapa Dea tahu titik sensitif disaat dia ingin dipijat bahkan tangannya sehalus tangan Zara, hanya sikap dan pemikiran yang membedakan mereka.
"Nanti aku lanjut pijit Abang yah, aku ambil in makan dulu," ujar Dea berjalan ke arah dapur meninggalkan Tirta yang masih berkutat dengan pikirannya.
Tirta mengangguk dan menyandarkan punggungnya di kepala sofa berusaha menghilangkan semua resah hatinya.
Tak lama kemudian suara notifikasi dari ponsel Tirta membuat Tirta merogoh sakunya dan mengambil ponselnya, tampak sebuah pesan dari Zara yang mengajaknya untuk makan malam berdua nanti.
"Bang, ini makanannya, maaf Dea cuma bisa bikin nasi goreng," Dea menyodorkan piring berisi nasi goreng tersebut kepada Tirta.
Tirta menerima piring tersebut dan mulai menyuap makanannya, setelah suapan pertama Tirta terdiam sejenak merasakan rasa dari makanan tersebut, sebuah rasa yang selalu ia dapatkan dari makanan buatan Zara, sekilas Dea seperti copyan dari Zara.
"Gak enak yah Bang? Kalau gak enak aku buat yang lain aja," ujar Dea menunduk.
Tirta tersenyum dan menyuap kembali nasi gorengnya. "Enak kok, dek,"
Dea menghela napas lega kemudian kembali memijat pundak Tirta, mendapatkan perlakuan seperti ini Tirta seperti merasakan sebuah getaran yang berbeda didalam hatinya.
"Dek? Abang malam ini ada Dinner sama Zara kamu gapapa kan sendirian?" tanya Tirta pada Dea.
"Kenapa Abang nanya gitu? Apa pantas aku melarang? Kak Zara itu istri Abang juga," jawab Zara.
"Abang senang karena kamu memiliki pemikiran yang dewasa dalam hal ini, dan Abang rasa Abang akan benar-benar berusaha mencintai kamu," Tirta berdiri dan menghadap ke arah Dea.
"Ingat Bang, tanpa abang berusaha pun aku gak masalah, toh kita tahu bagaimana nantinya? Cukup sekali aku menjadi benalu dalam hubungan kalian berdua," Dea tertunduk meremas bajunya gugup.
"Maafin Abang, Abang yang salah, Abang yang sudah menyeret kamu dalam kondisi rumit ini, dan bagaimanapun akhirnya, itu akan menjadi takdir tuhan," jawab Tirta berjalan masuk kedalam kamar.
Dea terduduk di sofa sepeninggal Tirta, ia mengelus perutnya dan memejamkan matanya merasakan atmosfer sekitar yang telah berubah.
"Apakah salah jika aku menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka disaat aku terjebak dalam situasi ini sendiri, Kak Zara berhak mendapatkan kembali suaminya seutuhnya dan aku, aku hanya akan menjadi sebuah debu yang akan hilang seiring berjalannya waktu, Maafin Bunda sayang, sepertinya kamu benar-benar akan hidup tanpa ayahmu nanti," ujar Dea dalam hati.
¤¤¤¤¤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!