"Aduh, Mas Dika, geli tau."
Suara manja penuh hasrat yang samar terdengar sejak Rayana memasuki rumah, semakin jelas terdengar dan itu dari arah kamarnya.
Degup jantung wanita cantik itu, mulai bekerja tidak seperti biasanya, berpacu lebih cepat. Pikiran buruk mulai muncul dalam benaknya, gelengan lemah Rayana mencoba menepis perasaan itu.
Rasa was-was mulai menyapa dirinya. Ini tidak mungkin seperti apa yang dia pikirkan saat ini, kan?
Rasa penasaran menarik langkahnya mendekat ke arah pintu, yang entah karena lupa dikunci hingga memberi celah bagi siapa saja untuk bisa melihat atraksi yang berhasil membuat Rayana mual.
Dunianya runtuh. Dia hancur. Kakinya bahkan seolah tidak lagi menginjak lantai. Lebur hingga dia lupa caranya untuk menarik napas. Rayana masih berdiri di sana, menyaksikan semua yang mulai detik itu juga dia kutuk.
"Geli, tapi Mas yakin kamu suka." Sahut Dika tersenyum. Dia menyukai apa yang saat ini mereka lakukan. Hal yang pastinya tidak akan dia temui dari Raya.
"Suka banget, Mas. Aku su- ka..," jawab Lani menahan napas. Rasa nikmat itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Berhubungan dengan Dika memberinya banyak keuntungan bukan hanya di ranjang tapi juga di rekeningnya.
Raya benar-benar tidak percaya atas apa yang dia dengar dan juga disaksikan oleh matanya saat ini. Dia ingin menjerit menyadarkan keduanya, tapi suaranya seolah hilang, terbang bersama rencana indah yang ingin dia rajut bersama sang suami.
Dia tidak pernah membayangkan kalau Lani, sahabat baiknya selama ini tega bercumbu mesra dengan suaminya di ranjang yang tiap malam menjadi tempatnya dan suami tidur dan juga melakukan hubungan suami-istri.
Tanpa malu dan canggung, seolah perbuatan mereka ini, sudah lama dan biasa mereka lakukan, Dika mencium sekaligus menikmati simbol keindahan wanita milik Lani yang tampak ranum dan menantang. Dika melakukan hal itu dengan penuh gelora.
Suara meracau yang keluar dari mulut Lani terdengar jelas di telinga Raya yang masih mematung menyaksikan perbuatan haram mereka.
Dika puas melihat ekspresi Lani yang tampak tak berdaya dibawah kendalinya. Tangannya mulai menjelajah kembali ke tempat basah dan nikmat milik Lani yang tampaknya sudah siap untuk menerimanya.
Lani melengkungkan tubuhnya melihat ke bawah sana, tempat Dika sudah mulai menggantikan tangannya dengan lidah. Dunianya berputar, dia bahkan tidak yakin kalau dirinya saat ini ada di bumi, melainkan terbang ke langit ke tujuh.
Dika masih belum berniat memberikan puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu Lani. Masih ingin bermain, karena ini lah momen yang sangat disukai Dika. Dia merasa bangga bisa membuat Lani terus menyebut namanya.
Raya meremas sisi gaunnya, air matanya berderai membasahi pipinya. Teringat hari di mana suaminya mengucapkan janji suci atas dirinya sangat mereka menikah dua tahun lalu. Sebenarnya besok tepat dua tahun mereka menikah.
Rayana yang sudah menabung selama ini, meminta izin pada Dika untuk pergi ke luar. Dengan alasan ingin berbelanja kebutuhan rumah tangga, Rayana pergi, membelikan Dika kemeja baru lengkap dengan celana dan sepatu.
Saat itu, Dika dengan lantang berikrar akan mencintai Rayana dengan sepenuh hati, membahagiakan dan juga setia padanya. Tapi kini, janji itu sudah Dika hempaskan ke dasar kaki Lani agar bisa diinjak wanita itu.
Dia sudah membayangkan reaksi Dika saat besok menerima hadiah darinya. Sepatu yang sudah lama diidamkan suaminya itu, berhasil dia beli dengan uang tabungan dan hasil kerja sebagai penulis novel online.
"Mas, Kita lakukan sekarang ya, aku mohon," desah Lani memohon sambil membelai rambut Dika. Dia sudah seperti orang gila, yang masuk ke putaran angin yang menggoncang tubuhnya, membuat darahnya berdesir.
Air mata Raya tidak mau berhenti. Hatinya terluka begitu dalam. Kepalanya kembali sakit, dan rasa mual menyerang. Raya menutup mulutnya, agar keinginannya untuk muntah bisa dia tahan. Tidak hanya kepala yang sakit, tubuhnya pun lemas. Apalagi saat ini dia tengah mengandung buah hatinya dengan Dika yang kini sudah menginjak bulan ketiga.
Buah hati yang telah lama mereka tunggu dan sangat mereka harapkan kini tengah tumbuh di rahimnya. Harusnya ini menjadi pelengkap kebahagiaan rumah tangga mereka.
Dika yang terus menuntut ingin punya anak, selalu menekan Rayana yang memang susah untuk hamil karena rahimnya yang lemah.
Setelah penantian lama, dan setelah Rayana berobat ke sana kemari, hingga pada akhirnya wanita itu hamil, tapi mengapa kini suaminya yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga mereka yang tampak sempurna?
Selama ini Raya pikir Dika adalah suami dan imam yang baik, jadi panutan, dan suami setia yang amat sangat mencintainya. Sikap baik dan bijaksana suaminya yang selalu diperlihatkan padanya, membuat Raya masih tidak mempercayai apa yang dia saksikan saat ini. Bahkan Dika melakukan hubungan itu sangat liar dan berbeda ketika berhubungan dengan Rayana.
Dika kembali ke sisi Lani, mengecup bibir gadis itu sekilas lalu berbisik di telinganya. Mengatakan kalau dia akan melakukannya sekarang.
Lani tidak menjawab, hanya anggukan dan wajah penuh kenikmatan yang terlihat kala Dika masuk ke dalam dirinya.
Remuk hati Rayana kala melihat kedua orang yang dia sayangi dan sangat dia percaya, tega mengkhianati dirinya dan berbuat maksiat di ranjangnya.
Apa yang dipikirkan kedua manusi bejat itu hingga tega mengkhianati dirinya? tidak adakah rasa bersalah di hati mereka. Raya tebak, ini bukan kali pertama mereka melakukan zinah seperti ini.
Seujung kuku pun mereka tidak lagi menghargai Raya. Terlebih Dika, selama ini selalu bersikap seolah jadi suami yang baik, nyatanya?
"Enak, Mas?" Suara Lani membuyarkan lamunan Raya yang mengingat bagaimana Dika mendekatinya dulu dengan seribu janji manis. Berkali-kali menolak, tetap mendekatinya hingga hari Raya luluh.
"Enak banget, Sayang."
"Enakan mana sama Raya?"
"Tentu saja kamu, dek. Sudah jangan bahas dia lagi. Kau tahu betul, saat menikahinya, aku bukan pria pertama untuknya."
Kalimat Dika menampar wajah Raya, meremas kuat hatinya hingga sesak bernapas. Hati Raya terbakar. Matanya nanar oleh derai air mata. Dika tega bicara seperti itu tentangnya.
Membuka aibnya pada Lani, sahabatnya sendiri. Begitupun dengan Lani, tega membuka pahanya untuk suaminya. Masih pantaskah dia disebut sahabat?
Ingin sekali Raya bergerak, menendang pintu itu agar terbuka lebih lebar lagi. Ingin menjambak rambut panjang Lani. Bara amarahnya sudah siap membakar siapa saja dan apa saja yang ada di dekatnya.
Namun, refleks Raya menyentuh perutnya. Mencoba merasakan makhluk yang kini bertumbuh di dalam kandungannya. Menyadarkannya kalau dia sampai masuk dan mengamuk di dalam sana, maka Dika yang saat ini begitu menggilai Lani akan membuangnya. Memilih bersama gadis itu dan membuang dirinya dan juga calon anak mereka. Dia sudah menonton banyak drama seperti itu yang diadaptasi dari kisah nyata.
Bahkan saat menonton serial drama layangan putus saja, emosi Raya bisa tersulut dan memaki Lydia. Raya sama sekali tidak menyangka kalau kini dia justru mengalaminya saat ini.
Tidak! Dia tidak boleh menyerah, setidaknya demi mendapatkan hak calon anak mereka. Sejak merintis usaha, Raya selalu bersama Dika. Kala membangun usaha, Raya bahkan bersedia menjual semua perhiasan peninggalan ibunya untuk menjadi modal usaha, sekarang saat kehidupan Dika sudah mulai mapan, enak sekali Lani datang dan ingin menyingkirkannya.
"Oh, Mas. Aku... aku mau keluar."
"Iya, Sayang, Mas juga, kita sama-sama, ya."
"Iya, Mas. Ouh, sekarang ya, Mas."
"Iya, Sayang. Mas buat di dalam, ya...."
Suara keduanya yang terengah-engah, membuat lamunan panjangnya. Walau jijik kembali dia menatap ke arah kedua manusia laknat itu. Keduanya tampak hampir mencapai puncak kenikmatan. Jijik dan muak, Raya memaksa langkahnya untuk pergi dari sana.
Dia tidak mau keduanya tahu kalau Raya sudah mengetahui pengkhianatan mereka, bisa saja nanti keadaan semakin kacau.
Dia perlu waktu berpikir. Dia harus memikirkan cara untuk membalas mereka. Siasat untuk menghukum mereka atas perbuatan biadab itu.
Raya menyeret langkahnya, meninggalkan suami dan sahabatnya yang kini sudah menjadi Pelakor di rumah tangganya. Pelan tanpa suara agar keduanya tidak mencurigai kehadirannya.
Dia memilih duduk di salah satu kursi di teras Indomaret. Memesan minuman Boba 10.000-an yang dingin, berharap bisa membantu mendinginkan hati dan kepalanya.
Dia perlu waktu dan juga jarak dari mereka untuk menenangkan hatinya. Nanti setelah dia siap, setelah hatinya mampu melihat wajah busuk keduanya, maka dia akan pulang dengan senyum palsu walau hatinya menjerit.
Saat ini, dia tidak boleh lemah. Kebahagiaan anaknya lebih penting dari pada apapun. Lagi pula, dia butuh waktu untuk bisa berdikari sendiri dulu sebelum menyeruakkan kebenaran yang dia lihat tadi.
Dada Raya sesak. ******* manja Lani kembali menggema dalam pendengarannya, seolah bisikan setan yang terus mengganggu jiwa Raya. Bahkan Senyum suami dan tatapannya yang penuh damba pada Lani masih jelas dalam ingatannya.
Dia sama sekali tidak menyangka Lani tega menikamnya dari belakang. Dia sudah begitu baik menampung Lani yang lari dari kampung halamannya. Persahabatan mereka sejak SMA membuat Raya sangat menyayangi Lani sepenuh hati.
Entah sejak kapan suami dan sahabatnya itu dekat. Setahu Raya, Dika sejak dulu tidak menyukai Lani. Mereka berasal dari kampung yang sama. Tamat SMA, Dika yang sudah lebih dulu merantau ke Jakarta, melamar Raya yang memang kembang desa.
Dika sudah lama menaruh hati pada Raya, dan setelah menunggu lama, dan juga berusaha keras membuktikan cintanya, akhirnya gadis itu menerima lamarannya dan segera membopong Raya ke ibukota.
Kehidupan mereka membaik, hingga suatu hari, Dika ditipu oleh sahabatnya, hingga usahanya bangkrut. Berkat perhiasan Raya, Dika kembali merangkak, merintis usahanya di bidang furniture. Bahkan, kini Dika juga merambah usaha laundry kiloan, dan di sanalah Lani bekerja.
Raya pikir, kebahagiaan mereka akan abadi, terlebih kini harapan mereka untuk memiliki anak akan terwujud. Tapi nyatanya? Apa ini cara Lani membalas kebaikannya?
"Tega kau, Lan. Aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri, memenuhi kebutuhanmu, bahkan saat suamiku tidak ingin menerimamu di sini, akulah yang memohon agar kau bisa tetap tinggal."
Lani lari dari desa. Malu pada warga desa karena ibunya yang sudah diarak keliling kampung karena kedapatan berbuat mesum dengan Pak Kades. Warga desa ingin ibu dan anak itu segera angkat kaki dari desa. Bermodal uang yang dikirim Raya, Lani berangkat ke Jakarta.
"Kau jahat, Lan! Tega benar kau berselingkuh dengan suamiku!" umpat Raya meremas sisi gaunnya. Tangisnya pecah. Beberapa orang menatap penuh tanya ke arahnya, tapi Raya tidak peduli.
Tubuh Raya bergetar menahan tangisnya. Dunianya benar-benar runtuh. Dia ingat kata Mbak Yun, tetangga samping rumahnya, untuk tidak cengeng, jangan suka menangis, agar bayi yang dikandungnya saat ini, tidak menjadi anak yang cengeng, tapi dia tidak bisa menahan air matanya kini. Kesedihannya benar-benar menguras emosinya.
Tubuh Raya berdiri kaku di depan gerbang rumahnya yang setinggi dada orang dewasa. Menatap penuh luka dan kebencian ke dalam sana.
Jauh di lubuk hatinya, dia tidak ingin, tidak sudi untuk kembali ke rumah ini, tapi Raya tidak punya pilihan lain. Dia harus tetap maju, bertahan hidup diantara dua manusia tidak berakhlak itu.
Sebelum kakinya menjejak lantai rumah, Raya menarik napas. Menguatkan hatinya dan melatih senyum palsu di wajahnya. Pengkhianatan dan kepalsuan mereka memang harus dilawan dengan kepalsuan juga. Raya menarik napas panjang, lalu mengeluarkan, mengatur detak jantungnya yang masih bergemuruh hebat.
Pasti tidak mudah untuk bersikap biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan mereka.
"Assalamualaikum, loh, Mas, udah di rumah? tumben jam segini udah di rumah?" tanya Raya yang mendapati suaminya tengah duduk di ruang tamu, berlaga mata dengannya ketika memasuki rumah.
"Iya, Mas pulang karena gak enak badan," sahut Dika lembut dengan senyumnya. Sumpah, Raya muak melihat wajah, terlebih senyum palsu itu. Terbayang bagaimana dia memuji, menyentuh tubuh Lani dengan bibirnya.
"Udah pulang belanja? Beli apa aja?" lanjutnya basa-basi menatap ke arah goodie bag yang ada di tangannya.
Raya ingat dengan kado yang dia siapkan untuk suaminya besok. Hatinya kembali hancur. Pernikahan mereka yang selama ini dianggap sakral, ternyata tidak begitu dalam anggapan Dika.
"Iya, Mas. Sudah."
"Baguslah," sahut Dika pendek.
"Mas sendirian di rumah? Aku buatkan air hangat, ya?" ucap Raya melirik ke arah pintu dapur. Aneh, ini rumahnya, sudah bertahun mereka tinggal di sini, tapi kenapa hari ini dia begitu takut untuk melangkah masuk ke dalam?
Raya, bukan kau yang berbuat zinah, lantas kenapa kau merasa gentar bertemu perempuan sundal itu?
"Oh, ada Lani! Mungkin dia ada di kamarnya," jawab Dika seadanya, mempertahankan nada suaranya walau tidak berani melihat ke arah Raya.
Mendengar namanya disebut, Lani yang tampaknya baru siap mandi, ke luar, dengan handuk di tangan yang dia buat untuk mengeringkan rambutnya. "Ada apa, Raya? Kau mencariku?"
Amarah dan emosi Raya tersulut saat melihat Lani. Sahabat laknat!
Gadis itu bahkan tersenyum polos dengan tanpa merasa bersalah padanya. Erangan Lani yang sok manja kembali menggema di telinganya, hingga tanpa sadar Raya berbicara dengan nada sedikit lebih keras.
"Kau baru mandi? Cepat amat pulang dari laundry?"
Darah Raya mendidih, terlebih melihat rambut Lani yang basah, seusai berbuat dosa. Ingin sekali dia menjambak rambut wanita itu, demi memuaskan sakit hati, tapi kepalan tangannya hanya sampai sebatas sisi tubuhnya.
Gerakan tangan Lani yang tengah mengusap rambutnya dengan handuk, menggantung di udara. Dia kaget, tidak menyangka nada suara Raya yang biasanya terdengar lembut dan ramah padanya, seolah tersirat kemarahan dan kebencian pada nada suara itu.
"Iy-iya. Aku pulang lebih cepat. Aku sudah rekap, dan meninggalkan Susi dan Susan di sana. Kau kenapa? Kok, kayak marah? Apa yang membuatmu kesal?" ucapnya mendekati Raya, mencoba menyentuh tangan gadis itu seolah peduli.
Belum sampai tangan Lani menyentuhnya, Raya sudah berjalan melewati Lani hingga sedikit membuat Lani terperangah. "Aku gak papa, hanya sedikit lelah setelah berbelanja. Biasalah, wanita hamil cepat lelah."
Raya sengaja menekankan kata hamil, agar sedikit bisa menampar Lani, menyadarkan wanita itu, kalau Dika akan memiliki anak, jangan mengganggunya lagi. Sekaligus, Raya ingin Lani tahu, Dika sudah punya istri, dan dia adalah istri sah dan nyonya di rumah ini!
"Oh, iya, sekalian kau susun belanjaan itu ke kulkas."
"Mas, si norak kenapa, sih? Kok, dia kayak marah gitu padaku? Aku disuruh-suruh udah kayak pembantu aja!" gumam Lani setengah berbisik, mendekat ke arah Dika setelah memastikan jarak mereka sudah jauh dari Raya.
"Sabar, Sayang. Gak usah diambil hati. Bawaan hamilnya mungkin. Wanita hamil pada umumnya, kan, begitu, sensitif," ucap Dika mengelus punggung tangan Lani mesra.
"Kok, kamu jadi belain dia, Mas?" mata Lani melotot. Dia siap kalau harus membongkar hubungan terlarang mereka. Toh, sebenarnya itu tujuan dia. Lani sudah bosan bermain sembunyi-sembunyi dengan Dika. Dia ingin segera menjadi istri Dika yang sah, sehingga bisa mengamankan posisinya.
"Aku bukan membelanya. Ah, begini saja...." Dika berbalik, memungut ponselnya yang terletak di atas meja, menekan tombol yang hanya bisa dia lihat sendiri, lalu selesai.
"Sudah," ucapnya mencubit pipi Lani gemas setelah celingak-celinguk melihat ke arah kamar mereka, memastikan keadaan aman terkendali.
"Berapa?" Suara manja Lani seperti ini yang membuat Dika kesemsem. Ya, pastinya yang utama, karena tubuh seksi dan kemahiran Lani bergoyang di atas tempat tidur.
Lani bisa memberi kepuasan pada Dika. Wanita itu tahu cara memuaskan senjata Dika yang selama ini bermain dengan Raya hanya dengan gaya standar. Lani bisa membuat Dika melayang membakar ga*irahnya.
"Cukup untuk membeli hape barumu."
Lani tersenyum manis. Amarahnya menguap. Sudah enam bulan dirinya menjadi sarang kedua pusaka Dika. Selama itu pula, Dika menyokongnya dengan uang dan selalu memanjakannya. Dia juga tidak perlu susah payah di laundry, karena Dika sudah mengambil satu karyawan lagi menggantikan Lani. Kini dia hanya bertugas menjadi kasir di sana. "Makasih, Mas."
"Tapi nanti malam, jangan lupa, Mas mau gaya enam sembilan lagi."
***
Makan malam sudah tersaji di meja makan. Raya sedang menata piring dan saat Dika muncul di ruang makan, wanita itu sudah menyendok nasi ke piring Dika yang menarik kursi dan duduk di kursi utama.
"Lani mana? Kenapa tidak makan?" tanya Dika dengan suara datar.
"Gak tahu, Mas. Biarin saja. Mungkin dia gak lapar."
"Ini semua salahmu. Kau mungkin sudah menyinggung perasaannya, dengan suara kerasmu saat berbicara tadi. Kau gimana, sih? Dia itu sahabatmu, bukan pembantu di rumah ini!" hardik Dika tanpa melihat ke arah Raya, sibuk melengkapi piringnya dengan berbagai menu makanan yang sudah tersaji di meja.
"Mas, kok, malah belain dia? Aku cuma minta dia bawa belanjaan, nyusun di kulkas. Kalau hanya itu saja dia menilai aku menganggap dirinya pembantu, lantas aku apa? Setiap hari memasak, membersihkan rumah, dan mengurus semuanya sendiri, aku apa, Mas?" Emosi Raya tersulut kembali. Bisa-bisanya Dika lebih membela Lani hingga seperti itu.
"Sudahlah, aku malas berdebat. Semakin hari, kau semakin tidak bisa diatur. Selera makan ku hilang!" Dika mendorong kursi dan menghempaskan sendok dengan keras, dan segera pergi dari sana.
Air mata Raya kembali jatuh, memandangi punggung suaminya yang menjauh menuju teras rumah. Masakan yang sudah dia persiapkan susah payah untuk suaminya, tidak disentuh sama sekali hanya karena Lani tidak ikut makan malam.
"Sudah sejauh itukah hatimu menjauh, Mas?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!