"Pokoknya ibu tidak ridho kalau kamu harus menikah mendahului kakakmu, apapun alasannya adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya menikah" tangis ibu pun pecah setelah dia mengungkapkan semua yang mengganjal di hatinya beberapa hari ini.
Kedatangan Rafa beberapa hari yang lalu dan menyampaikan maksudnya untuk menikahi Maya membuat ibu murung. Bapak sudah berkali-kali mengingatkan ibu untuk tidak menunjukkan kegelisahannya di hadapan Maya, kasihan dia jika harus mengetahui kalau ibu tidak merestui maksud kekasihnya untuk segera menghalalkannya.
Bukan tanpa alasan ibu seperti itu, dia hanya tidak ingin jika anak keduanya Rahma harus menjadi omongan orang karena didahului menikah oleh adiknya.
"Bu, Rahma ikhlas jika memang Maya sudah ada jodohnya" Rahma mencoba memberi pengertian kepada sang ibu, namun sang ibu bersikukuh dengan pendiriannya. Kepercayaannya masih terlalu kental, jika anak perempuan didahului nikah oleh adik perempuannya akan susah mendapat jodoh. Ibu tidak mau itu terjadi pada Rahma, anak keduanya.
Naura Rahmania atau dipanggil Rahma adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakak sulungnya Budiman Ahmad seorang laki-laki sudah menikah dan tinggal jauh karena pekerjaannya memang di sana. Saat ini dia bertugas sebagai hakim di salah satu pengadilan negeri di Sulawesi.
Adik Rahma, Rismaya Aulia yang biasa dipanggil Maya saat ini tengah menyelesaikan kuliahnya jurusan manajemen bisnis dan sedang menyusun skripsi. Menunggu jadwal sidang dengan target dua bulan lagi akan mengikuti wisuda. Berbeda dengan sang kakak, Maya lebih mudah bergaul. Pergaulannya lebih luas, tidak heran jika dia sudah memiliki kekasih seorang pengusaha muda yang beberapa hari yang lalu datang ke rumahnya dan mengatakan akan menikahi Maya setelah lulus kuliah.
Yusup El-Malik adik bungsu Rahma saat ini masih kelas tiga SMA dan akan melanjutkan pendidikan ke jurusan yang sama dengan sang kakak sulung, hukum. Rahma sendiri saat ini sudah bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah SMA Swasta. Dia adalah satu-satunya penerus sang ayah yang merupakan pensiunan guru.
Di antara empat bersaudara itu hanya Rahma yang sekolah mengambil keguruan, pembawaannya yang lembut dan bijaksana sangat cocok untuk menjadi seorang guru dan sangat didukung penuh oleh sang ayah karena menurutnya pekerjaan yang pas untuk seorang wanita jika ingin berkarir adalah menjadi seorang guru. Selain sebagai profesi, kompetensi yang dimiliki seorang guru dapat diterapkan di rumah dalam mendidik anak-anaknya kelak.
Rahma menghela napasnya panjang. Sang Ibu bersikukuh tidak akan mengizinkan Maya menikah sebelum dirinya menikah. Rahma yang berangkat paling akhir dibanding adik-adiknya pamit. Hari ini dia ada rapat guru pukul sembilan, pembelajaran sengaja diliburkan. Rahma pun berangkat menuju sekolah tempatnya mengajar dengan mengendarai motor matic kesayangannya.
Kurang dari tiga puluh menit Rahma sudah sampai di halaman sekolah. Dia memarkirkan motornya di parkiran khusus pendidik. Melepas helm dan sedikit bercermin di spion motornya merapikan jilbab yang sedikit kusut karena memakai helm.
Rahma melenggang menuju aula sebagai tempat rapatnya hari ini. Langkahnya terhenti saat lengannya ditahan oleh seseorang yang tak lain adalah Lisna, sesama guru yang cukup dekat dengannya.
"Assalamu'alaikum" Rahma sedikit meninggikan nada ucapan salamnya, dia kaget karena lengannya yang tiba-tiba dicekal oleh sahabatnya itu. Lisna hanya nyengir, dia tahu sahabatnya itu kaget karena ulahnya. Tawa pun akhirnya lepas dari bibirnya.
"Kamu tuh kebiasaanya, suka ngagetin orang" pekik Rahma masih dengan nada kesal akibat ulah guru kesenian itu.
" Hehe...maaf Bu Guru syantik, aku sengaja" ucapnya semakin membuat Rahma kesal.
"Hisshh, dasar" Rahma hanya bisa menoyor bahu Lisna yang tak lepas menertawainya.
Rapat pun dimulai. Agenda rapat kali ini cukup banyak, selain persiapan untuk kegiatan akhir tahun pelajaran yang menjadi agenda rutin sekolah itu sebagai agenda akbar. Agenda lain dari rapat kali ini adalah perkenalan ketua yayasan baru yang menaungi sekolah tersebut. Sesuai isu yang sudah beredar jika pemilik yayasan saat ini sudah menyerahkan kepemimpinannya kepada putra bungsunya. Seorang pria yang tidak dikenal banyak orang. Pasalnya anak bungsunya itu baru saja menyelesaikan pendidikan doktoralnya di luar negeri.
Semua terkesiap memandang seseorang yang datang memasuki ruangan itu terutama guru-guru perempuan. Bagaimana tidak, seseorang yang masuk itu adalah orang yang sedang mereka gunjingkan. Ternyata benar, fakta membuktikannya bahwa sang penerus kepemimpinan yayasan adalah sosok anak muda dengan sejuta pesona.
"Nawnaw, lihatlah....." Lisna menunjuk dengan dagunya ke arah pemuda yang baru saja menjatuhkan bokongnya di kursi istimewa yang khusus disediakan untuknya. Selain rekan kerjanya Lisna juga adalah temannya sejak SMA, mereka kuliah di universitas yang sama dan program studi yang sama yaitu pendidikan dan sekarang pun mereka mengajar di sekolah yang sama. Lisna bahkan mempunyai panggilan khusus untuk sahabatnya itu, nawnaw yang merupakan kependekan dari Naura nama depan Rahma.
Rahma sejak tadi anteng dengan smartphonenya dia bahkan tidak menyadari saat ketua yayasan barunya memasuki ruangan yang membuat beberapa orang terutama guru perempuan terpesona. Begitulah Rahma, tidak mudah mengalihkan fokusnya jika sudah tertuju pada satu titik.
"Heumm" hanya kata itu yang keluar dari mulut Rahma, dia hanya melirik sekilas kemudian kembali menyelesaikan proyeknya di smartphonenya, membaca surat Ar-Rahman.
"Ishhhh" Lisna berdesis, dia tahu sahabatnya itu tidak mudah tertarik pada hal-hal seperti itu, apalagi ini menyangkut lawan jenis.
Rahma adalah tipikal perempuan yang tidak mudah tertarik pada lawan jenis, bahkan sangat sulit untuknya bisa jatuh cinta apalagi pada pandangan pertama, sungguh bukan kebiasaannya. Berbeda dengan dirinya yang selalu bersemangat untuk menjalin pertemanan dengan siapapun, sama-sama single tapi Lisna lebih agresif dalam menentukan calon pasangan hidupnya. Prinsifnya satu perlu seleksi dengan kandidat yang beraneka ragam untuk mendapat pasangan yang tepat. Kendatipun demikian dia lebih suka menjalin pertemanan untuk meluaskan jejaring pertemanannya.
Berbeda dengan Rahma yang justru tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada lawan jenis, bukan tidak mau dia hanya enggan harus melabuhkan hati pada pria yang belum halal untuknya. Prinsifnya kuat, ingin jatuh cinta pada pasangan halalnya. Mungkin itu yang membuat Rahma sampai saat ini belum juga mendapatkan pendamping.
Tepat dengan terdengarnya kumandangnya adzan dzuhur acara penyambutan ketua yayasan baru sekaligus rapat persiapan akhir tahun pelajaran pun usai dengan kesepakatan bahwa kegiatan rutin akhir tahun itu akan dilaksanakan dua minggu lagi, sengaja dipercepat karena menjelang libur para pendidik dan tenaga kependidikan akan mengikuti kegiatan studi banding ke sekolah lain di luar kota yang masih berada di bawah naungan yayasan yang sama.
Rahma yang bertugas di bagian acara mencatat poin-poin penting yang disampaikan ketua yayasan barunya sebagai harapan kesuksesan acara akbar tersebut.
Selepas shalat dzuhur Rahma dan Lisna juga beberapa guru perempuan bersiap untuk menuju ruang makan untuk santap saji sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya. Di teras masjid yang begitu megah ini tak menyangka mereka berpapasan dengan ketua yayasan barunya. Mereka pun menghentikan langkahnya dan menunduk penuh hormat kepada pria muda itu yang hanya dibalas anggukan kecil sambil terus berlalu.
Mereka pun melanjutkan langkahnya, namun langkah mereka kembali terhenti tatkala mendengar nama salah satu dari mereka dipanggil.
"Naura Rahmania?" merasa namanya dipanggil Rahma menghentikan langkahnya diikuti Lisna dan teman-teman yang lainnya. Mereka pun serempak membalikkan badan kembali berhadapan dengan ketua yayasan baru itu.
"Saya, Pak. Bapak memanggil saya?" Rahma. bertanya setelah sebelumnya mendapat sikutan dari Lisna karena hanya menatap datar ke arah ketua yayasan baru itu.
"Iya, bisa ke ruangan saya sebentar? saya tunggu sekarang" tanpa menunggu jawaban dari orang yang ditanya pria itu berlalu begitu saja meninggalkan guru-guru yang hanya melongo mendengar titah sang ketua yayasan baru itu. Termasuk Rahma yang masih mematung di tempat menatap datar punggung orang yang baru saja berbicara padanya.
"Naw, kamu dipanggil tuh. Sana cepetan siapa tahu mau dilamar" kelakar Lisna menggoda diikuti suara riuh guru-guru lain yang turut menggodanya. Rahma hanya mencebikkan bibirnya menanggapi keisengan mereka.
"Assalamu'alaikum" Rahma mengucap salam saat sudah sampai di kantor yayasan. Ada beberapa orang pengurus yang sedang mengobrol dengan ketua yayasan baru itu. Mengetahui tamu yang diundangnya sudah datang sang ketua yayasan pun mempersilahkan Rahma untuk duduk, di kursi depan mejanya. Dia pun pamit pada pengurus yang lain untuk menempati kursinya. Tanpa dikomando para pengurus yang terdiri dari dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan itu pun berpamitan untuk meninggalkan ruangan sang ketua yayasan. Mereka sempat melirik ke arah Rahma yang telah duduk nyaman, Rahma hanya melemparkan senyum sambil sedikit menganggukan kepalanya saat beradu pandang dengan mereka.
"Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?" Rahma memulai pembicaraan, dia mulai tidak nyaman harus berada berdua di ruangan itu.
"Tama, panggil saya Tama Naura. Kamu benar-benar lupa padaku?" laki-laki yang mengaku namanya tama itu pun mengingatkan jika mereka sebelumnya pernah saling mengenal. Rahma mengernyitkan dahinya dia bahkan lupa siapa nama ketua yayasan baru itu. Pada saat perkenalan Rahma memang sedang tidak fokus. Dia kembali teringat perkataan ibunya yang tidak akan merestui pernikahan adiknya jika dirinya belum juga menikah.
"Bapak mengenal saya?" Rahma balik bertanya, sekali lagi dia mengingat tak ada petunjuk.
"Ckk.." Tama memalingkan wajahnya dia benar-benar dibuat gemas oleh wanita yang ada di hadapannya saat ini. Sejak sekolah Tama adalah laki-laki paling populer karena ketampanan dan kecerdasannya ditunjang juga dengan penampilan yang selalu berkelas karena dirinya memang berasal dari keluarga berada.
"Maaf" Rahma kembali menundukkan pandangannya, "saya benar-benar lupa, Pak" lanjutnya,
Tok...tok...tok... terdengar suaran ketukan pintu dan langsung terbuka begitu saja membuat dua orang yang saling diam mengalihkan pandangannya. Seorang gadis cantik yang merupakan pengurus yayasan tengah berdiri di ambang pintu,
"Maaf Pak, para pengurus dan tamu undangan menunggu Bapak untung santap saji bersama" intruksi gadis tersebut membawa angin segar untuk Rahma, tanpa ingin tahu kelanjutan cerita tentang dirinya yang saling mengenal dengan Tama, dia pun berdiri untuk pamit dan keluar dari ruangan itu.
"Silahkan Pak, tamu Bapak sudah menunggu. Saya permisi" ucapnya langsung membalikkan badan dan menuju pintu keluar, sejenak dia berhenti saat berhadapan dengan gadis pengurus yayasan itu. Rahma menganggukkan kepala tanda hormat dan melemparkan senyum ramahnya.
"Huuhh...." Tama hanya bisa menghela napas dan membuangnya dengan sedikit kasar. Merasa belum puas mengobrol dengan Rahma yang dipanggilnya Naura. Namun diapun tidak bisa mencegah kepergian gadis itu.
Rahma berjalan menuju ruang makan, dia mengedarkan pandangannya mencari Lisna dan teman-teman yang lainnya. Setelah mendapat lambaian tangan dari Lisna dia pun segera menuju meja parasmanan khusus guru yang terpisah dengan meja parasmanan para pengurus dan tamu kehormatan yayasan.
Saat Rahma akan menuju tempat Lisna dan teman-temannya berada, sekilas dia berpapasan dengan Tama yang akan menuju meja parasmanan khusus VIP. Rahma pun hanya menganggukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat.
"Hari ini kita jadi hang out kan?" Lisna memulai pembicaraan saat melihat Rahma mulai menyuapkan makannya. Dia pun hanya membalas dengan anggukan kepala.
Hari ini dia diajak oleh Lisna untuk bertemu dengan teman-teman sekolahnya waktu SMP. Ada reuni kecil-kecilan yang sudah dia atur dengan teman-temannya, mumpung sekolah libur karena ada rapat penyambutan ketua yayasan baru dan selesai saat dzuhur. Mereka masih mempunyai waktu yang leluasa untuk berada di luar rumah.
Lisna berencana akan mempertemukan Rahma dengan seorang laki-laki yang merupakan temannya. Berharap kali ini Rahma bersedia menjalin pertemanan dengan lawan jenis lebih intens lagi, dia tahu jika saat ini sahabatnya itu tengah galau kalau tuntunan orang tuanya terutama Ibunya.
"Perkenalkan saya Anggara" seorang laki-laki dengan perawakan tinggi besar tengah duduk di hadapannya. Lisna sudah mengatur kencan butanya dengan seorang laki-laki yang katanya berprofesi sebagai seorang polisi.
Dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Rahma, namun seperti biasa Rahma hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Hal itu membuat Anggara menyunggingkan senyumnya, menarik kembali tangannya mengerti dengan kebiasaan wanita di hadapannya.
"Saya Rahma, saya temannya Lisna" hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya, selanjutnya Rahma kembali memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Menurut informasi dari Lisna, kamu sedang mencari calon suami, benarkah?" pertanyaan yang menohok bagi Rahma, dia menarik napas panjang sedikit kesal dengan sahabatnya yang terlalu terbuka itu.
"Benar" kepalang, akhirnya Rahma pun mengakuinya.
"Kebetulan, saya juga sedang mencari calon istri. Keluarga saya sudah menuntut saya untuk segera menikah. Beberapa kali saya membawa perempuan pilihan saya tapi selalu ditolak terutama oleh nenek saya. Entah perempuan seperti apa yang mereka inginkan" Anggara bercerita tentang dirinya diakhiri dengan kekehan.
"Saya berharap kita bisa melanjutkan komunikasi ini lebih intens lagi" lanjutnya penuh harap.
"Insya Allah, tapi maaf saya tidak bisa menjalin hubungan yang tidak halal terlalu lama. Jika ....." Rahma menghentikan ucapannya, bingung harus memanggil apa.
"Sepertinya usiaku lebih senior dari pada kamu, alangkah eloknya jika kamu memanggilku Mas atau apapun yang setidaknya menunjukkan perbedaan usia kita" jelas Anggara, mengerti mengapa Rahma menghentikan perkataannya.
"Jika Mas Anggara berkenan, mari kita saling berta'aruf, saya tunggu di rumah" Rahma akhirnya menuntaskan pembicaraannya.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Naura Rahmania binti Lukman Hakim dengan maskawin yang tersebut, tunai.”
"Sah?" penghulu pun mengedarkan pandangannya pada kedua saksi pernikahan Rahma dan Anggara.
"Sah" jawab kedua saksi itu serempak, disusul oleh beberapa orang yang turut mengucapkan kata sah saat prosesi akad sudah berakhir.
Akad....lima menit yang merubah segalanya, hanya dengan waktu lima menit, dialah akad yang merubah bakti seorang wanita dari ibu yang melahirkannya kepada laki-laki asing yang datang dan memintanya tiba-tiba.
Rahma menarik nafasnya dalam, saat ini statusnya sudah berubah menjadi seorang istri dari Anggara Prayoga, seorang polisi dengan jabatan yang cukup tinggi di Kepolisian.
Senyum merekah di bibir keduanya saat satu persatu tamu undangan mulai berdatangan dan memberikan ucapan selamat. Pernikahan yang tak biasa karena sang mempelai pria tetap harus memakai baju kebesarannya.
Tepat pukul empat sore acara resepsi dan pertemuan kedua keluarga besar telah usai. Orang tua Anggara yang datang dari Bandung memutuskan untuk kembali saat itu juga karena ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan keesokan harinya. Begitupun Pak Lukman dan keluarganya, mereka pun memutuskan pulang setelah acara selesai.
Tinggallah Rahma dan Anggara yang kini berada di kamar hotel yang telah disiapkan sebelumnya. Selesai membersihkan wajahnya Rahma pun bergegas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Mas, mau shalat berjamaah?" Rahma yang telah berganti baju dengan gamis rumahan melongokkan wajahnya ke arah balkon kamar. Dilihatnya Anggara tengah menyesap sebatang rokok dan menghembuskan asap melalui hidungnya ke langit yang sedang ditatapnya.
Anggara menoleh, dilihatnya Rahma sekilas kemudian dia pun mengalihkan kembali pandangannya ke semula dan melanjutkan aktivitasnya.
"Kamu saja duluan" jawabnya setelah sempat kembali menyesap rokok itu.
Rahma hanya menghela nafas, dia pun kembali ke dalam kamar dan menunaikan kewajiban asharnya seorang diri. Harapan untuk diimami shalat oleh sang suami ternyata hanya sebatas angan.
Rahma membuka mukena dan melipatnya dengan posisi masih bersimpuh di atas sejadah.
"Aku sudah menyiapkan rumah untukmu tidak jauh dari tempatmu mengajar" Anggara yang sudah duduk santai di sofa yang terdapat di kamar itu pun memulai pembicaraan.
"Maksud Mas?" Rahma yang kurang faham dengan perkataan suaminya pun balik bertanya. Kenapa Anggara repot-repot membelikan rumah untuknya di Garut, bukannya setelah menikah seharusnya dia ikut serta kemana pun suaminya pergi yang saat ini sang suami tengah bertugas di Bandung.
"Rahma, ada hal yang perlu kamu tahu" Anggara menjeda ucapannya, terlihat dia menarik nafas dalam sebelum mengungkapkan apa yang selama ini ada dalam benaknya.
"Apa Mas?" tanya Rahma penasaran.
"Aku menikahimu hanya karena kamu adalah satu-satunya perempuan yang diterima oleh keluargaku"
Degg....tiba-tiba sesuatu yang besar terasa menghantam dada Rahma.
"Maksud Mas?" Rahma berusaha menetralkan keadaan hatinya yang kacau ketika mendengar apa yang suaminya katakan.
"Selama ini aku sangat dipusingkan dengan permintaan keluarga besarku untuk segera menikah. Tapi setiap perempuan yang aku bawa selalu di luar standar mereka. Barulah ketika aku membawamu mereka begitu tertarik karena berpikir kamu adalah perempuan yang tepat untuk mendampingiku. Tapi maafkan aku Rahma aku mempunyai seorang kekasih yang saat ini hatinya tengah terluka karena aku memutuskan menikah denganmu" Anggara kembali terdiam sejenak.
Rahma menundukkan kepalanya menyembunyikan matanya yang tiba-tiba berembun. Dia berusaha menahan sekuat tenaga agar embun itu tidak berubah jadi buliran air.
"Bukankah itu bagian dari masa lalumu, Mas?" Rahma berusaha menguasai dirinya, berbicara dengan tegar seolah dirinya baik-baik saja.
"Tidak Rahma, dia adalah masa depanku" ucap Anggara tanpa rasa bersalah.
Degg......dada Rahma kembali dihantam sesuatu yang keras dan kali ini dia benar-benar tidak bisa membendung embun yang berubah menjadi air dan tiba-tiba lolos begitu saja membasahi pipinya. Dia kembali menunduk menyembunyikan air matanya, tidak ingin terlihat menyedihkan.
"Jadi mau kamu sekarang apa Mas?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Rahma, dia tampak mengusap air mata di pipinya. Kembali berusaha tegar dan mencoba mengikuti permainan suaminya
"Pertanyaan itu yang aku tunggu" Anggara beranjak dari sofa yang didudukinya, dia membuka laci meja kecil yang terletak di samping tempat tidurnya.
"Ini adalah kunci rumah yang sudah aku siapkan untukmu, aku membelinya atas namamu sebagai kompensasi karena telah membawamu pada kerumitan hidupku"
"Dalam buku nikah secara resmi di mata agama dan hukum kamu adalah istriku. Tapi maafkan aku Rahma, sebelum aku menikahimu aku sudah berjanji pada kekasihku bahwa aku akan menikahinya setelah aku menikahimu. Dan aku pun berjanji untuk tidak pernah menyentuhmu, karena aku, hatiku dan seluruh jiwa dan ragaku hanya miliknya"
Rahma hanya menatap suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan, apa ini? pernikahan macam apa yang sedang dia bangun saat ini? pikir Rahma.
"Kau tinggallah di sini, tetaplah lakukan aktivitasmu seperti biasa. Aku pun demikian, seminggu sekali atau lebih aku akan datang menengokmu. Aku akan beralasan kepada keluargaku jika kamu tidak bisa meninggalkan tugas mengajarmu di sini" pungkas Anggara
Diapun mengambil kunci mobilnya bersiap untuk pergi.
"Kamu mau kemana Mas?" pertanyaan Rahma berhasil menghentikan langkah Anggara.
"Benar kamu mau tahu?" tanyanya dengan menyunggingkan satu sudut bibirnya dan dijawab anggukan oleh Rahma.
"Aku mau menemui kekasihku, dia sudah terlalu lama menunggu" jawab Anggara sambil melenggang menuju pintu kamar itu.
"Mas" panggilan Rahma kembali menghentikan gerakan Anggara yang sudah memegang pegangan pintu.
"Mungkin buatmu pernikahan kita hanya sebuah permainan, strategi untuk memuluskan langkahmu menuju kebahagiaanmu yang sebenarnya, menurutmu. Tapi maaf, aku tidak bisa menganggapnya demikian. Bagiku pernikahan itu sakral. Perjanjian suci seorang hamba di hadapan Tuhannya. Jika saat ini kamu berpikiran seperti itu aku tidak peduli karena itu adalah urusanmu dengan Tuhanmu, tugasku hanya taat atas apa yang diperintahkan suamiku selama itu tidak bertentangan dengan syariat agama. Jika kamu memintaku untuk tetap tinggal di sini dan mengajar seperti biasa, baiklah akan aku lakukan. Selama ridhomu ada didalamnya aku tenang. Karena kunci kesuksesanku, kunci keberhasilanku saat ini ada pada ridhomu"
Sejenak Anggara terdiam setelah Rahma mengakhiri perkataannya.
"Pergilah Mas, kamu harus tepati janjimu" Rahma kembali bersuara karena melihat Anggara masih bergeming ditempatnya berdiri saat ini.
Sejenak Anggara menoleh pada perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya itu. Terlihat Rahma sedang merapihkan mukenanya untuk kembali dimasukkan ke dalam koper. Sebenarnya ingin Anggara bertanya mengapa Rahma memasukkan kembali mukenanya ke dalam koper. Tapi dering telepon di saku celananya membuat dia membatalkan niatnya itu.
Anggara merogoh saku celananya mengambil ponsel yang sudah berdering beberapa kali. Dilihatnya nama yang tak asing terpampang jelas di layar ponselnya. My Love.
"Hallo, sayang" segera Anggara mengangkat teleponnya dan bergegas keluar dari kamar itu tanpa kembali melihat Rahma yang sudah tak mampu menahan air matanya lagi.
Rahma menangis sejadi-jadinya, tangisan yang tak mengeluarkan suara namun terlihat sangat menyayat hati. Rahma menangis bukan karena menyesali pernikahannya, dia menangis karena ternyata inilah takdirnya menikah hanya sebagai pelengkap status suaminya di mata keluarganya. Ternyata dia tak mampu menjadi satu-satunya wanita yang bertahta di hati suaminya.
Salahkah keputusannya untuk menikah dengan laki-laki itu? Atau ada sesuatu yang harus diperbaiki dari dirinya? Niat?
Entah pukul berapa ini, Rahma yang sedang tertidur lelap setelah menangis sejadi-jadinya tiba-tiba terusik keberadaannya di atas kasur empuk itu. Rahma menyipitkan matanya, menyesuaikan dengan keadaan cahaya yang cukup terang memasuki netranya.
"Mas Anggara?" sapa Rahma yang terlihat cukup kaget. Anggara sepertinya sudah benar-benar ngantuk dia tak peduli lagi harus membersihkan diri dan berganti baju. Kebutuhannya saat ini adalah berada di atas ranjang empuk itu dan menjemput impian di tidurnya yang lelap.
Rahma akhirnya terbangun karena Anggara yang tak kunjung bangun setelah beberapa kali dibangunkan dengan cara hanya menyebut namanya, Mas Anggara. Rahma pun berinisiatif untuk berpindah tempat, setelah puas menangisi dan memikirkan kemungkinan keadaan rumah tangganya yang hanya akan menjadi status di atas kertas, Rahma sudah mengambil keputusan untuk mengikuti permainan yang diinginkan Anggara.
Dia akan berusaha bertahan dengan keadaan itu sekuat hati karena baginya pernikahan adalah ikatan suci yang terjalin atas kehendak Illahi, tak ada yang bisa memungkiri ketika Allah sudah berkehendak untuk menjadikan dua orang bersatu maka hanya cukup kata "Kun" untuk Allah mewujudkannya.
Rahma yakin di balik semua yang terjadi Allah pasti menyertakan hikmah tersembunyi untuk dia temukan melalui suatu proses ikhtiyar dengan sabar dan syukur. Allah tidak mungkin menghadirkan seseorang dalam hidupnya dengan kesia-siaan, dengan siapapun kita dipertemukan pasti akan ada yang kita dapat dari pertemuan itu. Apapun itu, apakah sesuatu yang akan menjadi kenangan indah atau sesuatu yang akan menjadi pelajaran berharga.
Jam menunjukkan pukul tiga pagi, Rahma memutuskan untuk bangun dan mengisi sepertiga malam terakhirnya dengan bersujud. Dia tumpahkan segala keluh kesahnya, segala kekhawatirannya dalam sujudnya. Jika dengan bercerita semua masalah yang dihadapinya dapat memberi ketenangan hati, maka pastikan Allah adalah tempat pertama untuknya bercerita. Dan Rahma mendapatkan itu setelahnya, yaitu ketenangan hati. Selama Allah yang menjadi sandaran tak akan ada do'a dan perjuangan yang sia-sia, Rahma yakin itu.
Rahma menatap laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu dengan tatapan mendalam. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kuyu, kemeja yang dipakainya pun sudah tak berbentuk, kendatipun demikian kegagahannya masih tampak begitu nyata.
Ingin sekali dia membuka sepatu yang dikenakan suaminya, ingin sekali dia mengganti baju yang dipakai suaminya, membenarkan posisi tidurnya agar lebih nyaman, tapi itu hanya sebatas keinginan dalam hati walau bagaimana pun Rahma tidak berani menyentuhnya sama sekali karena apa yang sudah dikatakan Anggara di awal pernikahan mereka dia pun akan melakukan hal yang sama terhadapnya sesuai janjinya dengan sang kekasih.
Waktu pun bergulir, mentari pagi sudah menampakkan sinarnya. Cahayanya memasuki setiap celah dari jendela yang tirainya sudah terbuka itu. Rahma berkali-kali membangunkan Anggara untuk shalat subuh, tapi sang empunya tubuh rupanya masih nyaman bergelut di bawah selimut.
"Mas, Mas Anggara!" Rahma kembali mencoba membangunkan laki-laki itu dan terlihat mulai ada pergerakan.
"Eumhhh....apa sayang, aku masih ngantuk" ...deg, Rahma merasa tersentak dengan panggilan sayang yang diucapkan Anggara. Namun sesaat kemudian hatinya kembali mencelos.
"Friska sayang bukankah semalam aku sudah memuaskanmu berkali-kali, heumm?" gumaman lanjutannya...
Deg, kali ini hati Rahma terasa begitu sakit, diapun jadi bergidik sendiri mendengar apa yang dikatakan suaminya dalam gumaman tidurnya. Pikirannya mulai melanglang buana. Miris, menikah dengannya tapi menghabiskan malam pertama dengan wanita lain, begitu pikirnya.
"Kamu sudah bangun Mas?" Rahma yang sudah tampak rapi dengan pakaian santainya menyapa suaminya dengan ramah.
"Hah? kamu?" Anggara terhenyak mendengar sapaan itu, diapun semakin kaget saat matanya sudah terbuka sempurna dan kesadarannya sudah kembali utuh dia melihat sosok wanita berhijab yang baru dikenalnya beberapa minggu itu berada dalam satu kamar dengannya.
"Shiittt.." Anggara baru ingat jika dirinya kini sudah menikah, diapun teringat semua perkataannya yang dilontarkan pada Rahma kemarin dan apa yang dia lakukan semalam dengan Friska kekasihnya.
"Bangunlah, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi. Setelah itu mari kita sarapan, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu" Rahma berbicara santai tapi serius, kepiawaiannya dalam mengolah ekspresi dan kata tidak diragukan lagi.
Sebagai seorang pendidik, kemampuan komunikasi adalah kompetensi yang penting yang harus dimiliki. Dan Rahma memiliki itu, tak heran jika di sekolah tempatnya bekerja dia adalah teman yang paling nyaman untuk berbagi cerita tidak hanya bagi rekan-rekan kerjanya tapi juga para siswa yang cukup dekat dengannya.
Anggara pun beringsut turun dari ranjangnya, dia melakukan apa yang diintruksikan Rahma.
Sejenak suasana hening, sarapan sudah dilalui keduanya dalam keheningan. Rahma begitu menikmati sarapannya tanpa beban apapun, sesekali Anggara pun melirik gadis yang duduk di hadapannya itu tanpa sepengetahuan Rahma.
Sebagai pengantin baru Rahma dan Anggara benar-benar mendapatkan layanan VVIP, semuanya katanya sudah disiapkan oleh keluarga Anggara spesial untuk pernikahan putra bungsu mereka.
"Aku akan mengikuti permainanmu, Mas" Rahma akhirnya buka suara yang direspon masih dengan diam oleh Anggara, saat ini mereka tengah duduk menikmati dessert di balkon kamar yang berada di lantai tiga hotel mewah itu. Sekilas menjadi view yang begitu romantis untuk ukuran pengantin baru.
"Aku akan mendukung keinginanmu, aku bersedia hanya menjadi istri di atas kertas untukmu. Tak masalah jika aku tidak mendapatkan hak seutuhnya sebagai seorang istri darimu karena itu artinya aku pun tidak akan bisa melaksanakan kewajibanku padamu" Rahma menjeda ucapannya, sejenak dia menatap dalam wajah suaminya yang memalingkan pandang saat beradu tatap dengannya.
Menelisik seperti apa ekspresi wajahnya saat Rahma sudah mengatakan itu. Masih diam, tanpa kata. Dia pun berinisiatif untuk melanjutkan perkataannya.
"Yang aku yakini itu adalah sebuah kekeliruan karena dalam sebuah pernikahan kewajiban seorang suami salah satunya adalah memenuhi nafkah lahir dan batin istri, begitupun sebaliknya aku pun harus menunaikan kewajibanku memenuhi hakmu baik lahir maupun batin. Tapi mari kita tegaskan kembali sesuai keinginanmu kewajiban kita hanya sebatas lahir" Rahma menghela nafasnya untuk menjeda ucapannya, seakan ada sesuatu yang mencekat di tenggorokannya saat membicarakan hal itu. Tapi sebagai wanita dewasa yang sudah faham Rahma merasa harus membicarakan itu.
"Deal?" tanya rahma dengan dengan menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Anggara. Tangan yang pertama kalinya Anggara sentuh setelah lafaz akad selesai diucapkannya, bahkan selepas prosesi itu diapun sempat mencium kening Rahma.
Anggara tidak lantas menerima uluran tangan Rahma, dia menatap Rahma dengan tatapan mendalam. Dalam hatinya berpikir, benarkah perempuan di hadapannya ini setegar itu akan menjalani rumah tangga dengannya yang hanya di atas kertas? bukankah dia begitu menginginkan pernikahan ini? berbagai pertanyaan bercokol dalam hatinya.
"Mas" Rahma kembali memanggilnya.
"Aku sudah terlalu banyak bicara dari tadi, sekarang giliran kamu" ucap Rahma sambil terus mengulurkan tangannya.
Anggara terhenyak dengan ucapan terakhir yang dikatakan Rahma dengan ekspresi biasa saja, seolah apa yang dia katakan bukan hal yang akan menyakitinya.
"Oke, deal!" Anggara akhirnya buka suara, dia menyambut uluran tangan Rahma dengan mantap.
"Kami sungguh-sungguh akan menjalani rumah tangga ini?" Anggara kembali menelisik wajah Rahma dengan tangan yang masih bertaut.
"Ya, kenapa tidak? tidak lucukan kemarin kita menikah dan hari ini kita ke pengadilan agama?" jawab Rahma menjawab dengan pertanyaan yang disampaikannya dengan tampilan senyum yang merekah di bibirnya akan terlihat manis oleh orang yang benar-benar mengenalnya tapi mungkin tidak untuk Anggara.
"Walaupun aku memutuskan untuk menikah lagi?" susul Anggara.
"Ya" jawab Rahma mantap,
"Justru aku ingin kamu segera menikahi kekasihmu yang bernama Friska itu, aku tidak ingin terlalu banyak turut menanggung dosa atas hubungan tidak halalmu"
Deg....Anggara terhenyak, darimana Rahma tahu jika Friska adalah nama kekasihnya, dan darimana dia tahu jika hubungannya dengan Friska sudah sejauh itu. Walaupun selama ini Anggara masih membatasi dirinya.
Ekspresi keterkejutan terlihat jelas di wajah Anggara dan Rahma menahan senyum melihat itu, cukup lucu menurutnya.
"Kamu kaget aku tahu nama kekasihmu?" tanya Rahma dan dijawab anggukan oleh Anggara.
"Tadi kamu menyebut namanya saat aku bangunkan. Eumhhh....apa sayang, aku masih ngantuk. Friska sayang bukankah semalam aku sudah memuaskanmu berkali-kali, heumm?"
Sebagai guru bahasa yang juga pernah berkuliah di jurusan Ilmu komunikasi, Rahma cukup apik menirukan dialog yang beberapa saat lalu diucapkan oleh suaminya, dan anehnya dia menyampaikan semua itu kepada Anggara dengan sangat santai tanpa terbebani sama-sekali hingga Anggara sampai dibuat melongo oleh penjelasan Rahma.
"Aku tahu dari kemarin kamu sudah menyiapkan fasilitas kamar hotel yang sangat mewah untuk ditempati kekasihmu, dan aku tahu semalam apa yang kamu lakukan dengannya. Miris memang, menikah dengan siapa malam pertama dengan siapa. Hehe..." Rahma kembali membuat Anggara tertegun, tidak menyangka gadis dihadapannya itu sangat pandai mengolah emosinya.
"Sudahlah Mas, tidak perlu heran dengan apa yang sudah aku ketahui. Bukankan hal seperti itu biasa dilakukan dalam gaya pacaran kalian" ucap Rahma sambil bergidik sendiri.
"Rahma, aku...." tak ada lanjutan kata yang bisa diucapkan oleh Anggara, semua yang ingin dia sampaikan sudah lebih dulu diungkapkan dan disepakati oleh Rahma.
"Tak apa-apa, Mas. Sekarang persiapkanlah pernikahan kalian dengan segera, agar hubungan kalian berkah jika dalam ikatan yang halal. Aku bersedia membantumu jika kau butuhkan. Mulai sekarang mari kita berteman, dan kita akan memainkan peran kita sebagai pasangan suami istri di situasi tertentu. Begitu maumu?" telak Rahma, dan dijawab anggukan oleh Anggara dengan terpata-pata.
" Setuju!" ucapnya.
"Sepakat!" balas Rahma.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!