NovelToon NovelToon

Pengkhianatan Di Malam Pertama

Bab 1 : EMBUN DAN ABIMAYU

Embun berdebar membuka kebaya putih yang membalut tubuhnya. Ini adalah malam pertama pernikahannya dengan seorang pria bernama Abimanyu Fahreza Ardhana. 

Ia semakin berdebar melihat lingerie tipis pemberian sahabatnya. Pipinya mendadak memerah. Ini akan menjadi pertama kali Embun memperlihatkan bentuk tubuhnya kepada seorang laki-laki. Ia masih ingat pesan ibunya semalam, bahwa seorang istri harus menjalankan kewajiban kepada suami. 

Setelah mengatur napas yang memburu, wanita itu pun memberanikan diri keluar dari kamar mandi setelah mendekam hampir satu jam. Lingerie tipis berwarna hitam yang membalut tubuhnya ia sembunyikan di balik bathrobe tebal. 

Akan sangat memalukan jika dirinya keluar dalam keadaan hanya memakai gaun malam itu. Setidaknya, Aby lah yang harus memulai lebih dulu mengajaknya mengarungi malam indah mereka. 

   

Ia menunduk malu saat melihat suaminya yang hanya menggunakan celana panjang. Dadanya dibiarkan terbuka memamerkan bentuk tubuhnya yang menggoda. Abimanyu Fahreza Ardhana, seorang pria berusia 26 tahun itulah yang pagi tadi telah menghalalkan dirinya.  

Aby dulu adalah seniornya di kampus. Sedangkan Embun kini masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas ternama di kotanya. 

Wanita cantik berusia 21 tahun itu semakin berdebar-debar ketika imajinasinya terbang memikirkan apa yang akan terjadi malam ini. Apakah Aby akan meminta haknya sebagai suami? Hanya dengan memikirkan hal itu saja sudah mampu membuat kedua sisi pipinya merah. 

Sebenarnya, pernikahan mereka terjadi karena sebuah kesalahan fatal yang dilakukan Galang, putra sulung di keluarga Ardhana. Galang yang berkendara dalam keadaan mengantuk tanpa sengaja menabrak ayah Embun hingga terluka cukup parah dan akhirnya menghembuskan napas terakhir di rumah sakit. Tak ingin putranya diproses secara hukum, keluarga Ardhana berniat mencari jalan damai. Yaitu dengan membayar santunan dalam jumlah besar dan menjalin hubungan baru, yaitu dengan menikahkan Embun dengan Galang. 

Nahas, Galang menghilang dua hari sebelum resepsi pernikahan. Sehingga mau tak mau Aby harus menggantikan posisi kakaknya untuk menutupi aib keluarga. 

Embun meremas bathrobe dengan gugup ketika Aby menatapnya. Sorot matanya yang tajam, alis tebal, dan bibirnya yang sensual. Belum lagi tubuhnya yang tinggi menjulang benar-benar menjadi perpaduan sempurna. 

"Kenapa lama di kamar mandi?" Pertanyaan Aby menjadi dialog pertama sepasang suami istri itu sejak memasuki kamar. 

"Aku habis mandi, Mas." 

"Oh, ya sudah. Kamu siap-siap." 

Embun merasa dadanya semakin bergemuruh ketika suaminya itu berjalan ke arah lemari dan membuka celana dengan santai hingga hanya menyisakan bokser yang menutupi area pribadinya. Ia menelan saliva, tubuh Aby memang terbilang atletis. 

Dalam kewarasan yang terbang entah ke mana, Embun membalikkan tubuh. Tangannya mulai berkeringat. Jangan ditanya semerah apa pipinya sekarang. Ia bahkan terpaku di tempatnya berdiri selama beberapa menit. 

"Ini sudah kewajiban kamu sebagai istri, Embun." Ia memantapkan hati untuk menyerahkan tubuhnya kepada sang suami malam ini. 

"Loh, kenapa belum siap-siap?" Suara dari belakang membuat Embun merinding. 

"I-iya, Mas ... sebentar," ucapnya gugup. Baru saja tangannya bergerak untuk menarik tali bathrobe, Aby sudah kembali membuka suara. 

 "Dandan yang cantik, ya. Aku sudah pilih restoran." 

Sepasang manik cokelat Embun melebar. Tangannya bergerak cepat mengikat kembali tali bathrobe. Lalu, membalikkan tubuhnya. Aby tampak sudah rapi dengan pakaian kasual dan berdiri di depan meja rias sembari merapikan rambutnya. 

"Restoran?" 

"Iya, kita akan makan malam di luar." 

"Oh ...." Embun menunduk sambil berjalan ke dekat lemari. Di sana ada koper miliknya yang belum sempat ia benahi. 

Setelah mengambil pakaian miliknya, wanita itu segera masuk kembali ke kamar mandi untuk berpakaian. Sangat memalukan, ia pikir Aby akan meminta haknya sebagai suami. Nyatanya ingin mengajaknya makan di luar. 

Hanya dalam beberapa menit, Embun sudah keluar dari kamar mandi. Setelah siap, sepasang suami istri itu meminta izin kepada kedua orang tua Aby untuk keluar bersama. 

"Memangnya kalian nggak capek seharian ini?" tanya sang bunda. 

"Nggak, Bunda. Lagian aku sama Embun butuh bicara banyak berdua," jawab Aby. 

"Tempat paling tepat untuk bicara bagi pengantin baru ya di kamar, Aby," sambar Ayahnya, yang kini tengah menikmati secangkir teh dan camilan. 

"Kan masih banyak waktu, Yah. Aku sama Embun juga belum saling kenal dengan baik." 

Tak ingin mengulur waktu, Aby segera berpamitan kepada kedua orang tuanya. Selayaknya seorang suami yang baik dan perhatian, ia merangkul istrinya keluar dari rumah, membukakan pintu mobil dan mengajak mengobrol sepanjang jalan. 

Setibanya di restoran, Aby menarik kursi untuk Embun. Kemudian duduk tepat di hadapannya sambil membaca buku menu. 

"Kamu suka makan apa?" tanyanya. 

"Apa saja, Mas." 

Sesekali Embun melirik Aby yang sedang terfokus memilih menu. Hatinya terasa berbunga-bunga. Ini adalah pertama kali ada lelaki yang memperlakukannya dengan sangat baik. Aby memang terkesan dingin dan datar. Tetapi, cukup perhatian di mata Embun. 

Tanpa perlu menunggu lama, semua menu pesanan Aby sudah tersedia di meja. Embun yakin Aby kerap mengunjungi restoran itu, karena terlihat cukup akrab dengan beberapa waiters. Selain itu, ia tahu menu apa saja yang menjadi andalan di restoran itu. 

"Embun ... sebenarnya ada hal penting yang mau aku bicarakan dengan kamu. Soal pernikahan kita."

"Hal penting apa, Mas?" 

Pria itu menarik napas dalam. Tangannya mengulur menggenggam tangan istrinya. "Sebenarnya aku tidak enak sama kamu. Tapi ... aku tidak mau kamu tahu belakangan." 

Kerutan tipis terukir di dahi Embun mendengar jawaban suaminya. "Maksudnya?" 

"Sebenarnya ... aku belum mau menikah, tapi ayah dan bunda memaksa karena Kak Galang kabur."

Embun merasakan tubuhnya meremang mendengar setiap kata yang terucap dari bibir suaminya. 

"Jadi kamu ajak aku ke mari hanya untuk mengatakan itu?"

"Bukan hanya itu. Aku ... mau kamu tahu bahwa aku sebelumnya sudah punya kekasih. Kamu pasti kenal Vania, kan?" 

Embun terdiam memikirkan pemilik nama yang baru saja disebut suaminya. "Vania?" 

"Benar. Kamu pasti kenal karena dia seangkatan dengan kamu. Hubungan kami sudah berjalan satu tahun. Malam ini, dia juga ada di sini." 

Tiba-tiba Embun merasakan lemas di seluruh tubuhnya. Sendok di tangannya terjatuh begitu saja. Kejutan yang ia pikir akan berakhir indah justru membuat dadanya sesak. 

"Aku mohon pengertian kamu. Hari ini Vania sangat terpukul dengan pernikahan kita. Aku tahu ini tidak adil untuk kamu, tapi ini juga tidak adil untuk Vania." 

Embun tak tahu harus berkata apa. Pikirannya terbang entah ke mana. "Lalu apa yang sebenarnya kamu inginkan?" 

Dengan penuh keraguan, Aby berkata, "Aku tidak bisa menjadi suami yang sebenarnya untuk kamu. Maaf." 

"Tapi kenapa sebelumnya kamu tidak menolak?" tanya Embun, berusaha menguatkan hatinya. 

"Aku tidak punya pilihan lain. Ayah sedang sakit dan keadaan benar-benar memaksa." 

"Kamu hanya memikirkan keluarga kamu. Apa kamu tidak memikirkan akibatnya untuk aku?" 

"Maaf, Embun." Hanya itu yang dapat terucap dari mulut Aby mewakili rasa bersalah. "Aku juga serba salah." 

Embun menatap suaminya, yang sesekali melirik meja sebelah, yang hanya terhalang sekat rotan. Melalui celah pada sekat, ia dapat melihat seorang wanita tengah duduk seorang diri. Sesak kembali menjalar ketika Aby tanpa perasaan meminta izin kepadanya untuk duduk di meja sebelah bersama kekasihnya. 

Sementara Embun hanya dapat memendam kekecewaan yang teramat dalam hati. 

"Sayang ... dia tidak apa-apa kamu tinggal?" 

Sepasang mata Embun terpejam mendengar panggilan mesra yang disematkan perempuan itu kepada suaminya. 

"Aku sudah jelaskan semua." 

"Bagus kalau dia tahu." 

Aby menatap kekasihnya itu.

"Van ... aku minta pengertian kamu. Aku juga tidak mau kejadiannya seperti ini. Tapi kamu tahu seperti apa posisiku." 

"Aku tidak mau tahu, Aby! Pokonya aku mau kamu pisah secepatnya sama dia. Kalau tidak, kamu tahu akibatnya." 

Keheningan tercipta beberapa saat. Embun menajamkan pendengarannya demi menangkap jawaban Aby. 

"Baik. Kami akan berpisah setelah enam bulan." 

Jatuh sudah cairan bening di pipi Embun. Tanpa sadar botol air mineral telah remuk di tangannya hingga jatuh ke lantai. 

............

Halo Teman - Teman ...

Selamat datang di Karya ke 15 ku di Noveltoon.

Jangan Lupa tekan tanda ♥️ (love) di ujung bab.

jangan lupa like dan komen.

Eh, seperti janji ku sebelumnya, 5 pemberi komentar pertama masing-masing akan mendapatkan voucher pulsa senilai 25K

Siapa nih yang beruntung?

Yang belum beruntung jangan khawatir, karena kita akan buat give away dadakan. Jadi, tetaplah membaca di Noveltoon. 🤭 (mode ngerayu)

terima kasih. Salam sayang selalu.

Bab 2 : Kamu Akan Luluh Dengan Dia

Pembicaraan antara Aby dan Vania benar-benar mengoyak hati Embun. Aby yang seharusnya menjadi tempat bersandar bagi Embun malah memilih menjadi tumpuan bagi wanita lain. Terlebih, ia berjanji kepada kekasihnya akan menceraikan dirinya hanya dalam enam bulan. 

Embun merasa dadanya sesak bagai dihimpit bongkahan batu besar. Udara dalam ruangan luas itu seolah tak cukup baginya untuk bernapas. Tak tahan rasanya, Embun memilih keluar. Meninggalkan hidangan spesial yang telah dipesan khusus oleh Aby untuknya, tanpa menikmati sesuap pun. 

Wanita itu memilih berjalan-jalan di taman sekitar restoran. Kemudian duduk di sebuah kursi kayu dengan pandangan mengarah pada keramaian jalan. Sesekali, Embun menyeka air mata yang sialnya terus mengalir tanpa dapat dihentikan.

Belum kering luka hatinya atas kepergian sang ayah dan Galang yang menghilang secara tiba-tiba, kini Aby dengan mudahnya menggoreskan luka yang baru.

Sakit tak berdarah dirasakan Embun.  

"Embun?" Sapaan yang terdengar familiar itu membuat Embun terlonjak. Buru-buru ia menyeka air mata agar seseorang yang baru saja menyapa dirinya tak melihat cairan bening yang meleleh.

"Kak Dewa?" Ia menatap lelaki yang sedang berdiri tak jauh darinya. Kemudian menundukkan kepala demi menyamarkan kesedihan di wajahnya.

Dewa Irawan, seorang pria berusia 28 tahun yang merupakan tetangga sebelah rumahnya. Keduanya sudah dekat sejak kecil layaknya adik dan kakak. 

"Kamu ngapain di sini sendirian, Embun?" tanyanya heran dengan tatapan berkeliling ke sekitar taman. Mencari seseorang yang mungkin datang bersama wanita itu. "Bukannya tadi siang resepsi pernikahan kamu?" 

"Aku ... cuma mau duduk di sini sambil cari udara segar, Kak." Embun tersenyum, tetapi tak dapat menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Tentu saja jawaban aneh yang ia berikan membuat kening Dewa berkerut. 

"Terus kamu ke sini sama siapa? Suami kamu di mana?" 

"Dia ...." Ucapan Embun menggantung di udara. Pipinya yang semula sudah mengering kembali basah oleh air mata. Rasa sakit itu menjalar semakin dalam, dan hanya dalam hitungan detik sudah terdengar isak tangis. 

Melihat itu, Dewa segera duduk di sisinya. Walaupun sedikit menjaga jarak, mengingat wanita di sebelahnya sudah menjadi istri orang. 

"Kamu kenapa, Dek? Kok nangis?" tanyanya, seketika terlihat bingung.

Embun tak kuasa menjawab. Hingga beberapa menit tangisan itu mulai mereda, namun menyisakan suara sesegukan. Dewa yang duduk di sisinya tak dapat berbuat apa-apa selain menemani duduk. Mengusap kepala seperti yang kerap ia lakukan untuk menghibur pun, tak dapat ia lakukan sekarang.

"Kamu kenapa sih? Kok sedih begini?" Dewa mengulang pertanyaan.

Embun menyeka sisa air mata. Menarik napas dalam-dalam demi menetralkan perasaan.

"Nggak apa-apa, Kak. Cuma lagi sedih ingat ayah." 

"Oh ... ya sudah, tapi jangan berlarut-larut. Kamu juga harus ingat orang-orang di sekitar kamu. Apa lagi kamu baru menikah tadi pagi." 

Tak ingin Dewa mengetahui aib dalam rumah tangganya, Embun hanya menganggukkan kepala. Jika Dewa tahu, ia bisa saja memberitahu ibunya. Sementara Embun tak ingin sang ibu terbebani dengan masalah ini, apa lagi kepergian ayahnya yang sangat mendadak masih menyisakan luka. 

"Sudah ya, jangan nangis lagi." Ia menyodorkan sapu tangan miliknya, yang kemudian digunakan Embun untuk menyeka air mata.

"Makasih, Kak."

.

.

.

Sementara itu di dalam restoran ....

"Jadi kamu akan sekamar sama dia?" Pertanyaan bernada menuntut itu membuat Aby menghela napas panjang. Ia menatap kekasihnya dalam.

"Terpaksa begitu, Van. Aku dan Embun tidak mungkin tidur di kamar terpisah, apa kata ayah sama bunda nanti." 

Bibir wanita itu berkerucut. Raut tak suka tergambar jelas di wajahnya. "Kalau kamu sama dia sekamar, lama-lama kamu juga akan luluh sama dia. Kamu itu laki-laki normal, Aby. Laki-laki mana yang bisa tahan dengan godaan perempuan."

"Van ... aku janji nggak akan seranjang dengan Embun. Aku akan tidur di sofa."

"Buls*hit!" Vania membuang muka dengan marah. 

Aby menarik napas dalam. Sedikit frustrasi menghadapi kekasihnya itu. Ia yang sudah satu tahun berpacaran dengan Vania sudah hafal betul dengan sifat kekasihnya itu. Terkadang dirinya pun menjadi sasaran kemarahan Vania. 

"Aku janji sama kamu, Van." Aby masih berusaha meyakinkan keraguan Vania.

"Janji aja nggak cukup. Aku perlu bukti. Aku nggak mau sampai dengar kabar kalau Embun hamil nantinya." 

Semakin frustrasi saja Aby mendengar tudingan kekasihnya itu. Padahal belum satu malam Aby dan Embun menikah.

"Okey. Aku akan buktikan antara aku dan Embun tidak akan terjadi apa-apa." 

Keduanya terdiam beberapa saat. Aby melirik arah jarum jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjuk di angka 21:30. Laki-laki itu sedikit terkejut. 

"Kita pulang sekarang ya, sudah malam." 

Vania mengangguk pasrah. Menyematkan tali tas di bahu dan berdiri dari duduknya. Aby pun beranjak ke meja sebelah, namun sudah tak terlihat Embun di sana. Hidangan di meja juga masih utuh. 

 "Embun ke mana?" Pandangan Aby menyapu sekeliling restoran, namun tak juga terlihat sosok istrinya. 

"Mungkin ke toilet." 

"Ya sudah, kita tunggu dulu." 

Keduanya pun duduk kembali menunggu. Namun, hingga beberapa menit Embun tak kunjung kembali. Aby meminta Vania untuk melihat ke toilet.

Meskipun tampak enggan, Vania tetap menuruti kekasihnya itu. Tetapi, saat tiba di toilet, Embun juga tak terlihat. 

"Istri kamu nggak ada di toilet. Mungkin sudah pulang duluan?" sangka Vania.

"Nggak mungkin, Van. Kan tadi aku minta dia tunggu." 

"Coba kamu telepon."

Aby menepuk jidat. "Aku belum sempat tukaran nomor sama Embun."

Vania mendengkus kesal. "Istri kamu itu ngerepotin juga, ya."

"Van, tolong jangan bilang begitu. Embun juga nggak salah dalam hal ini." Ia menjeda ucapannya dengan Hela napas. "Aku mau cari Embun di taman depan. Kamu mau ikut?"

Vania mengangguk setuju. Keduanya pun meninggalkan restoran setelah Aby melakukan pembayaran di kasir. Kemudian mencari keberadaan Embun di sekitar taman restoran. 

"Bukannya itu Embun, ya? Dia sama siapa di sana?" Vania menunjuk ke arah kursi taman di mana terlihat seorang wanita duduk dengan posisi membelakang.

Melihat dari rambut dan warna pakaian, Aby pun meyakini jika wanita itu memang istrinya. "Iya, itu Embun."

Terlihat kerutan tipis di dahi Aby. Pertanyaan hinggap di benaknya tentang siapa yang sedang duduk bersama istrinya dalam posisi yang terbilang cukup dekat.

Dengan segera keduanya menghampiri Embun. Seolah ingin menunjukkan bahwa Aby adalah miliknya, Vania melingkarkan tangan di lengan kekasihnya itu. 

"Embun!" panggil Aby, membuat Embun dan Dewa menoleh ke sumber suara.

Namun, apa yang ditemukan Aby membuatnya lebih terkejut. Ternyata Embun sedang duduk bersama seorang pria yang cukup di kenalnya. Dewa adalah rekan sekantor Aby. Bahkan mereka satu divisi. 

Dewa pun terlihat cukup terkejut melihat Aby datang bersama seorang wanita yang menggandeng lengannya mesra. Menyadari tatapan curiga Dewa, Aby langsung melepas genggaman Vania di lengannya. 

Membuat Vania menatap kesal. 

**** 

Hai teman-teman mohon dukungan dengan like dan komen yaaa.

Btw Ini dia teman kita yang ada di 5 pemberi komentar pertama dan masing-masing akan mendapatkan pulsa 25k.

Mia Pratiwi

Neng Lusi

Umi Hanik

Shakayla Lashira Rahman

Nang Amira ♥️

Kepada pemilik nama di atas, boleh gabung ke Grup Chat kolom langit yang ada di aplikasi. Atau DM di IG kolom langit juga boleh.

Yang belum beruntung, Insyaa Allah akan beruntung di give Away selanjutnya.

Terima kasih 🥰🥰

  

Bab 3 : Salah Atau Benar?

"Kamu apa-apaan sih, Aby?" tanya Vania kesal sebab Aby tiba-tiba melepas genggamannya. 

"Van!" Aby memperingatkan, karena di antara mereka ada Dewa yang sedang menatap penuh curiga. 

Aby tidak ingin orang lain mengetahui permasalahan mereka. Terutama karena Dewa merupakan rekan sekaligus saingannya di kantor.

Ia mendekati Embun yang masih duduk, lalu melayangkan tatapan tak suka ke arah Dewa. Tangannya terulur meraih pergelangan tangan sang istri dan menariknya berdiri. "Kamu ngapain di sini? Kan tadi aku bilang tunggu di dalam." 

"Untuk apa?" balas Embun. "Untuk mendengar kamu bilang ke pacar kamu bahwa kamu akan menceraikan aku setelah enam bulan?" 

Bukan hanya Aby yang terkejut mendengar sindiran Embun. Dewa pun sama terkejutnya. Embun yang semula ingin menyembunyikan masalah rumah tangganya, kehilangan kendali melihat betapa mesranya Vania merangkul mesra suaminya. 

"Lebih baik kita pulang sekarang."

Tanpa memerdulikan tatapan Dewa, Aby menarik Embun meninggalkan taman. Membuat Vania harus menahan rasa kesal dan cemburu karena merasa Aby mengabaikan dirinya. Wanita itu berjalan di belakang dengan bibir mengerucut. 

Tak tahan dengan sikap Aby, Vania mempercepat langkahnya dan menghempas tangan Aby hingga genggamannya terlepas dari Embun.

"Kamu apa-apaan sih?" 

Aby melirik Vania. "Van, kamu nggak lihat tadi ada Dewa di taman? Seharusnya kamu bisa menahan diri!"

"Aku nggak peduli sama dia," pekik Vania dengan kemarahan berapi-api. 

Melihat pertengkaran pasangan kekasih itu, Embun memilih sedikit menjauh dari dan menunggu di dekat mobil. Aby sedang berusaha membujuk Vania yang merajuk. 

"Jangan seperti anak kecil, Van! Kamu itu sudah dewasa," ujar Aby yang mulai tampak lelah. 

"Bagaimana aku nggak kesal kalau kamu cuekin aku dan malah menggandeng Embun! Aku merasa kamu nggak menghargai aku." 

Aby menghembuskan napas panjang, mulai terlihat kehilangan kesabaran. "Vania, please! Ini sudah malam, aku antar kamu pulang dulu! Kita bisa bicara lagi besok, aku capek hari ini." 

Vania mendengkus kesal, namun tetap menuruti ucapan Aby. Ia masih memiliki rasa takut jika saja Aby marah terhadapnya.

Setibanya di mobil, Aby membukakan pintu mobil bagian depan untuk Embun, namun dengan cepat Vania melayangkan protes. 

"Aku mau duduk di depan!" ujarnya cepat.  

Sekilas Aby melirik Embun, namun istrinya itu diam tanpa ekspresi.

"Embun, kamu duduk di depan," pinta Aby.

Vania yang tak terima mendorong dada Aby dengan kasar. "Kamu apa-apaan sih? Kalau dia duduk di depan lebih baik aku pulang naik taksi!"

"Terserah kamu, Van!" jawab Aby.

Tak tahan dengan pertengkaran pasangan kekasih itu, Embun memilih mengalah. Aby pun mempersilahkan Vania untuk duduk di depan. Membuat wanita itu menarik senyum penuh kemenangan.

Mobil perlahan melaju menerobos padatnya jalanan malam itu. Sepanjang jalan menuju pulang, Embun diam seribu bahasa. Ia harus menjadi saksi kemesraan suaminya dengan wanita lain.

Vania tak henti-hentinya bergelayut manja di lengan Aby, merayu dengan manja seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang berkuasa atas laki-laki itu. 

Sementara Aby terus berusaha menghindar. Namun, Vania yang agresif membuatnya tak berkutik.

"Sayang, besok pagi kamu jemput aku, ya," pintanya sambil bersandar di lengan Aby. 

"Hem ...."

"Makasih, Aby."

Vania hendak membenamkan bibirnya di pipi kiri Aby, namun laki-laki itu dengan cepat menghindar. Lalu, melirik ke belakang melalui spion. Embun tampak membuang pandangan ke sisi kanan jalan. 

"Van, jangan begitu," ucap Aby seraya mendorong Vania agar menjauh. 

"Iya iya!" Vania menolehkan kepala ke belakang dengan memamerkan senyum. "Kamu jangan kaget ya, Embun. Aku memang biasa manja seperti ini kalau sama Aby."

Embun yang enggan menatap wanita di hadapannya hanya menghela napas panjang dengan pandangan masih mengarah ke sisi jalan.

 "Nggak kok. Aku lebih kaget dengan kejutan manis dari suami aku di restoran tadi."

Ucapan santai bermuatan sindiran itu membuat Aby tersentil. Ia kembali melirik spion. Dinginnya sikap Embun membuatnya merinding.

Namun, Vania seolah ingin kalah dari Embun. "Aku juga harus minta maaf, karena Aby mau menceraikan kamu demi aku."

"Kenapa harus minta maaf? Apa kamu merasa berdosa karena sudah membuat seorang suami berjanji untuk menceraikan istri sah-nya?" 

Vania mulai gusar. Ia melirik Aby seolah meminta bantuan. Namun, Aby memilih diam. Ucapan Embun barusan berhasil membungkamnya.

"Bukan begitu," jawab Vania cepat. "Aku cuma nggak enak sama kamu. Aku juga masih punya harga diri, tapi kesannya aku yang jadi orang ketiga di antara kalian. Padahal kan kamu yang jadi orang ke tiga di antara kami."

Sudut bibir Embun terangkat tipis. "Jadi menurut kamu, wanita yang menjadi orang ketiga di antara pasangan suami istri itu masih punya harga diri?" 

Napas Vania menjadi lebih cepat. Ia bersandar dengan raut muka kesal setelah mendengar kalimat sindiran Embun yang membungkamnya dengan telak. Lebih kesal lagi karena laki-laki di sebelahnya diam saja dan sama sekali tak membela. Membuat Vania semakin kehilangan harga diri di depan Embun. 

Awas aja kamu, aku benar-benar akan membuat Aby menceraikan kamu sebelum enam bulan.

.

.

.

Kurang dari tiga puluh menit, mereka telah tiba di depan rumah Vania. Rumah yang dari depan tampak mewah itu terlihat sangat sunyi. Hanya beberapa lampu yang menyala. Selama ini, Vania hanya tinggal dengan dua asisten rumah tangganya. Kedua orang tuanya menetap di luar kota karena urusan bisnis. 

"Makasih, Sayang." Gerakan Vania yang super cepat dan tak terduga membuat Aby tak sempat menghindar, sehingga ciuman mendarat di pipi. 

"Apaan sih kamu, Van!"

Pria itu hanya dapat mengusap pipi sambil melirik ke belakang melalui spion. Embun masih duduk dengan santai sambil memainkan ponsel. Sama sekali tak terpengaruh dengan tontonan di hadapannya. 

"Kamu yang apaan, aku kan udah biasa kayak gini. Oh ya, nanti kalau kamu sampai rumah telepon aku," pintanya manja.

Aby hanya menjawab dengan berdehem. Apa yang dilakukan Vania barusan membuatnya tidak enak dengan Embun. Menegur Vania pun rasanya percuma, karena wanita itu pasti akan semakin menjadi.

"Aku masuk, ya. Kamu hati-hati di jalan," ucapnya kepada Aby, lalu melirik Embun. "Sampai jumpa, Embun. Makasih ya, atas pengertian kamu."

Embun tak menjawab, sehingga Vania segera turun dari mobil. Setelah memastikan Vania telah memasuki rumah, Aby melirik istrinya.

"Embun, pindah ke depan, ya," pintanya.

Sejenak Embun melirik Aby, sebelum akhirnya kembali terfokus pada ponselnya dengan sikap acuh tak acuh.

"Kenapa harus pindah ke depan? Aku sudah nyaman duduk hanya dengan liatin punggung kamu seperti di restoran tadi." 

Sindiran halus nan menusuk dari Embun membuat Abi mengelus dada. 

Galak amat ini cewek. 

...........

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!