Hamil
"Hamil? Ak-aku hamil?" Mata Rachel membola sempurna, mulutnya terbuka lebar, sekujur tubuhnya mulai bergetar saat melihat benda pipih warna biru yang ia pegang terdapat tulisan yang menyatakan bahwa ia kini sedang mengandung. Rachel tidak menyangka ketakutannya beberapa hari ini menjadi kenyataan. Ada calon manusia baru di dalam rahimnya.
Benda pipih itu jatuh di lantai kamar mandi, air mata sudah mulai mengalir deras membasahi wajahnya, sepasang kaki yang semula kuat berdiri, kini lemas dan tidak mampu menopang tubuhnya. Hingga akhirnya Rachel terduduk lemas tidak berdaya di lantai.
"Kenzi...," cicitnya menahan sesak kala mengingat kekasihnya. Kenzi Barata Abimana, seorang siswa tampan nan keras kepala yang paling ditakuti di sekolah itu merupakan cinta pertama Rachel, tiga minggu yang lalu mereka merayakan kelulusan sekolah bersamaan dengan hari jadi mereka yang ke dua tahun, karena terlalu larut dalam kebahagiaan keduanya berakhir di atas ranjang.
"Kamu jangan khawatir, aku pasti bertanggung jawab."
Rachel memejamkan mata, berusaha membuang bayangan wajah Ken saat mengatakan akan bertanggung jawab, ternyata semua hanya omong kosong belaka. Buktinya, setelah kejadian malam itu Kenzo mengilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan atau jejak sedikitpun untuknya.
"Akhhhhhh!!! Rachel bodoh! Bodoh! Bodoh!" Tangisannya semakin kencang, hatinya hancur tidak menyangka Kenzo bisa setega ini kepadanya. Pria yang amat sangat ia cintai itu benar-benar berhasil menorehkan luka begitu lebar di hatinya.
"Aku bahagia karena ini anakmu, tapi kenapa kamu biarkan aku menghadapi semua ini sendirian? Aku harus gimana sekarang, Ken ... kamu bahkan gak tau kalau aku hamil."
Dada Rachel sesak seperti tak berongga, tubuh yang semula kuat sudah seperti tak bertulang, pikirannya kacau tidak bisa mencari jalan keluar dari kepelikkan yang saat ini ia hadapi.
Harusnya, Rachel menghubungi Ken dan mengatakan kalau kini ia tengah mengandung anaknya 'kan? Tapi, sudah tiga minggu Ken tidak bisa dihubungi.
Harusnya, Rachel mendatangi rumah pria itu 'kan? Tapi, sayangnya selama mereka berhubungan Ken menetap di kosan salah satu temannya yang bahkan tidak tahu sekarang Ken ada di mana.
Harusnya, Rachel menemui orang tua Ken 'kan? Tapi kenyataannya Rachel tidak tau siapa orang tua Ken. Selama ini Ken tidak pernah membahas tentang keluarganya, bahkan pihak sekolah pun menutupi informasi tentang Kenzi Barata Abimana.
Ini Jakarta, di bagian mana lagi Rachel harus mencarinya? Ia sudah pernah mencoba mencari Kenzi, tapi tidak membuahkan hasil. Pertanyaan kian menumpuk di benak. Kenapa Kenzi tega meninggalkannya begitu saja? Padahal, hubungan mereka baik-baik saja, lalu mengapa Kenzi menghilang bak ditelan samudera?
Rachel membenamkan wajahnya di atas lengan yang tertumpu pada kaki yang baru ia tekuk. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis.
"Rachel, kamu kenapa?" Audy terkejut mendapati adiknya terlihat kacau di dalam kamar mandi. Tangisan Rachel terdengar memilukan, Audy tahu semua ini pasti karena cowok itu.
"Kenzi lagi?" Audy berjongkok di samping Rachel. "Kakak tau gak mudah buat kamu lupain dia, tapi mau kamu nangis kejer setiap hari kayak gini, itu gak akan ngembaliin keadaan, kenyataannya dia udah pergi ninggalin, kamu!"
Rachel semakin terisak.
Audy menghembuskan nafas panjang, lalu kembali bicara, "Kamu gak harus kayak gini juga, sudahi air mata yang terbuang percuma karena Kenzi, dia aja bisa lupain dan ninggalin kamu gitu aja, masak kamu gak bisa lupain dia?"
Percayalah ... melupakan orang tercinta, tidak semudah mengatakannya. Lagi, Rachel masih perlu waktu untuk mencerna apa yang terjadi.
Membayangkan Kenzi benar-benar melupakannya membuat hati Rachel semakin nyeri, terlalu banyak kenangan manis yang mereka lewati, tapi kenapa Kenzi semudah itu menghapusnya?
Punggung yang masih bergetar karena pemiliknya masih menangis mendapat sentuhan lembut. Audy masih berusaha membujuk adiknya.
"Udah, dong Rachel jangan nangis lagi, kamu...." Benda pipih yang tertangkap mata membuat mulutnya berhenti bicara. Tangannya ikut bergetar saat mengambil taspack tersebut. Seketika, matanya semakin terbuka lebar.
"Hamil?" Audy meraih kedua bahu Rachel dan mendapati wajah sembab adikknya. "Rachel, kamu HAMIL?"
Tespack yang dipegang Audy terpampang di depan wajah Rachel. Mata Audy menyelidik penuh tanya pada adiknya tersebut.
"Apa tespack ini punya kamu?" Bibirnya bergetar, tidak ... adik kecilnya ini baru tiga minggu yang lalu lulus SMA dan belum menikah, tespack ini pasti bukan punya Rachel. Audy berharap begitu.
Rachel sekilas memejamkan mata, tidak tahu harus menjawab apa, tidak mungkin ia berbohong karena lambat laun perutnya semakin membesar.
"Kenapa kamu diam aja?" Ia guncangkan bahu adiknya hingga Rachel menatapnya dan ia pun kembali bertanya. "Bilang sama kakak kalau ini bukan punya kamu, kamu nggak hamil 'kan?"
Mendapati pertanyaan seperti itu membuat Rachel semakin terisak, rasanya ia tidak sanggup membuat kakaknya kecewa.
"Rachel! Apa artinya ini?" Audy melemparkan tespack itu ke sembarangan arah. "JAWAB!!!"
"A-aku hamil...."
Plak!!!
Setelah menyentuh pipi sang adik, tangannya menjadi tremor, bagaimana tidak? Barusan saja, bukan sentuhan lembut seperti selama ini ia berikan kepada Rachel. Tapi, sebuah tamparan keras hingga kelima jarinya membekas di pipi Rachel. Adik satu-satunya yang ia rawat dan besarkan penuh cinta setelah kedua orang tua mereka meninggal dunia. Audy merasa telah gagal menjaga seorang gadis bernama Rachel Florencia.
"Sejak kapan lo jadi liar gini, hah?" Ia menolak bahu sang adik sampai punggungnya terbentur dinding. "Sejak kapan lo gak tau aturan bergaul? SEJAK KAPAN??!" Suara Audy menggema di kamar mandi, ia berdiri memejamkan mata berharap semua ini tidak nyata.
Siapapun ... tolong katakan ini tidak benar. Jika ia bermimpi, tolong bangunkan ia dari mimpi terburuk yang pernah ada. Jika ini nyata, tolong pastikan bukan Rachel yang ada di depan mata. Tidak ... adik manisnya tidak mungkin sebodoh itu sampai hamil di luar nikah. Bahkan ... baru lulus SMA. Namun, sayangnya ia hapal betul suara tangisan ini.
Rachel masih menunduk dalam, air matanya seperti anak sungai mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Pipinya tidak sesakit hatinya saat kak Audy memakai kata 'lo' kepadanya, Rachel tahu sang kakak sangat marah dan kecewa. Oleh sebab itu, ia hanya diam mendengarkan amarah sang kakak.
"Kenzi ...." Suara Audy nyaris tidak terdengar, namun nama itu semakin membuat Rachel menangis. "Jadi, semua ini udah direncanakan? Si brengs*k itu pergi setelah berhasil ngerusak lo? Hamilin lo kayak gini?"
Rachel menggelengkan kepala dan berucap lirih, "Kenzi gak kayak gitu...."
"Lo masih mau belain dia?" sentak Audy dengan dada yang masih berdebar, amarah masih mengumpul di sana.
"Apa yang gue bilang selama ini bener 'kan? Itu cowok badung gak mungkin serius sama lo. Selama ini lo cuma dijadikan bahan sama dia!"
Audy sudah pernah memperingatkan sang adik agar tidak terlalu dekat dengan Kenzi yang recordnya sering bikin onar dan keributan hampir di semua tempat. Bahkan, ntah sudah berapa kali para siswa dari sekolah lain menyerang sekolah PERMANA karena ingin balas dendam kepada Kenzi.
Ya ... Kenzi Barata Abimana memang sebadung itu, terkenal sebagai preman sekolah. Tidak terhitung berapa kali cowok itu melawan para guru dan kepala sekolah, tapi anehnya pihak sekolah tidak juga mengeluarkan Kenzi dari sana. Kenzi benar-benar kebal hukum. Selama ini tidak ada aturan yang bisa menyentuhnya.
Rachel menutup kedua telinganya, ia tidak mau ucapan sang kakak memengaruhi perasaannya. Rachel yang lebih tahu seperti apa watak Kenzi, karena selama ini Kenzi sudah sangat melindunginya. Kenzi bahkan pernah hampir mematahkan tangan siswa lain saat kedapatan menyentuh bo*ongnya di jam istirahat. Kenzi Barata Abimana selalu berusaha melindungi dan menjaga kehormatan Rachel. Tapi malam itu ....
"Gug urkan!"
Satu kata itu berhasil membuat wajah Rachel terangkat, posisinya yang masih duduk di lantai kamar mandi membuat ia harus mengangkat dagu tinggi-tinggi untuk menatap kakaknya yang masih berdiri di depannya.
Rachel menatap kakaknya penuh tanya, ia tidak menyangka sang kakak pemilik hati selembut busa dan penuh kasih sayang bisa mengatakan hal sekejam itu kepadanya. Mau seperti apapun kondisinya, menggugurkan kandungan adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan 'kan?
"Lo dengar'kan? Gug urkan!" titahnya sambil menajamkan tatapannya penuh amarah dan kecewa.
"Kak ...." Rachel meraba perutnya yang masih datar, ntah mengapa ia merasa mendapat kekuatan dari janin yang masih membentuk gumpalan darah di dalam rahimnya kini. Sontak, Rachel berdiri tegak di hadapan kakaknya.
"Ini anakku... sampai kapanpun, aku gak akan pernah ngelakuin itu. Aku akan pastikan anak ini lahir ke dunia dengan selamat meskipun tanpa ada seorang ayah yang mendampinginya, nanti." Rachel menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Cukup sudah, ia tidak akan menangisi keadaannya dan Kenzi lagi.
Audy tersentak mendengarnya, ia tidak menyangka kalau Rachel menolaknya. Namun, ia tetap tenang memainkan perasaan sang adik.
"Lo tau apa artinya'kan?" Ia bertanya setelah menghela nafas panjang, melirik perut adik yang dilapisi kaus warna hitam. "Itu artinya lo harus siap nerima resikonya termasuk sanksi sosial yang akan lo terima dari masyarakat."
"Kita nggak hidup di negara penganut bebas pergaulan di mana hamil di luar nikah sudah biasa terjadi dan diterima masyarakat, kita hidup di negara yang menjunjung tinggi norma hukum dan agama, di mana seharusnya dipatuhi dengan baik supaya bisa hidup tenang. Dan sekarang--
"Aku siap!" pungkas Rachel tanpa ragu. "Aku udah ngelakuin dosa besar ... aku nggak mau ngulangi kesalahan dan dosa yang lebih besar lagi. Demi anak ini ... aku siap nerima semua resikonya termasuk dikucilkan dan dicemooh orang banyak. Apapun ... apapun aku lakuin untuk melindungi keselamatan janin yang ada di rahimku, terutama ... menolak perintah kakak untuk menggugurkannya!"
Kalea Elga ... peri kecil yang memiliki masa depan cerah. Itu arti nama dari Kalea Elga. Anak yang dilahirkan Rachel 5 tahun lalu telah tumbuh menjadi gadis kecil cantik dan cerdas. Cantik? Tentu menurun dari ibunya. Cerdas? Jelas Elga dapatkan dari ibunya. Harusnya, sih begitu. Tapi sayangnya, wajah Kalea Elga sangat mirip dengan sang ayah biologis yaitu Kenzi Barata Abimana.
Lihatlah ... sepasang mata itu milik Ken. Hidung mancung itu milik Ken, bentuk wajah itu punya Ken, hanya rambut bergelombang dan warna kulit putih Elga saja ia dapatkan dari Rachel. Siapapun yang mengenal Ken pasti akan mengira kalau Kalea Elga adalah keturunan Kenzi Barata Abimana.
"Nggak ... Kalea hanya anakku." Rachel bergumam lirih sembari menarik selimut sampai sebatas dada putrinya. Bahkan, saat tidur pun Kalea Elga terlihat sangat cantik.
Enam tahun telah berlalu. Bukan waktu sebentar bagi Rachel berjuang dan bertahan sampai posisi yang sekarang. Hamil di luar nikah menjadi aib yang harus ia tanggung seumur hidupnya. Namun, Rachel tidak pernah menyalahkan keadaan. Kalau diingat lagi, semenjak gumpalan darah itu membesar di dalam tubuhnya, Rachel selalu mendapat kekuatan.
"Tidak apa, Sayang ... kita bisa hidup tanpa ayahmu. Tidak apa, Sayang ... kamu nggak salah. Di dunia ini tidak ada yang namanya anak haram, perbuatan ibu dan ayahmu yang salah dan tidak bisa dibenarkan. Semoga Sang Pencipta mengampuni kami."
Enam tahun, Rachel harus menguatkan dirinya sendiri. Berusaha melupakan Kenzi yang masih saja menghantui. Rachel tidak pernah tahu ada di mana mantan terkutuknya itu, bodohnya ia terkadang berharap Ken mengetuk pintu rumahnya, minta maaf dan menjelaskan semuanya. Tapi ....
"Aku harap kita nggak pernah ketemu lagi. Semua tak lagi sama ... aku harus bilang apa kalau nanti Kalea melihatmu? Iya, kalau kau mau mengakui Kalea sebagai anakmu, jika tidak?"
Rachel menghapus air mata yang lolos dari wadahnya. Dirinya memang selalu teringat Kenzi bila melihat anaknya ini.
"Sudah tidur?" Audy menutup pintu kamar sangat pelan agar keponakan tercintanya tidak terganggu. Audy tidak pernah benar-benar serius meminta adiknya menggu gurkan kandungannya dulu. Audy hanya ingin memastikan adiknya siap menerima kenyataan. Dan kejutan ... Rachel memang luar biasa tegarnya.
Audy mendekati Rachel.
"Udah, Kak, tapi ibunya harus mendongeng dulu." Rachel mengembalikan buku itu di lemari buku. Kemudian ia menggenggam tangan kakaknya.
"Apa, sih?" Audy tertawa geli saat Rachel memeluknya.
"Makasih, sudah ada saat aku berada di titik terendah dalam hidupku. Makasih, udah tulus sayang sama Kalea. Aku nggak tahu apa jadinya kami tanpa kakak."
Audy mengelus punggung adiknya dengan sayang. "Ikatan darah di dalam tubuh kita sangat kuat, El... kakak nggak membenarkan apa yang pernah kamu lakuin sama si brengsek itu, tapi kakak juga nggak akan bisa pergi jauh dari kamu dan Kalea. Lagipula, kakak udah anggap Kalea seperti anak kakak sendiri."
Rachel menguar pelukannya.
"Dan kami baik-baik aja, Kak." Rachel sengaja menjeda ucapannya, ia ingin bicara tapi takut kakaknya marah.
"Kak--
"Kakak nggak mau bahas itu," pungkas Audy cepat. "Kakak nggak akan nerima lamaran dari siapapun sebelum kamu dan Kalea benar-benar sudah bahagia."
"Tapi, sampai kapan, Kak? Kita udah 6 tahun ninggalin Jakarta dan tinggal di Surabaya. Dan selama itu juga Kakak menghindari bang Hangga."
"Rachel, cukup ... sebaiknya kamu tidur. Besok kerja 'kan?" Audy menghela nafas lelah berdebat dengan adiknya kemudian keluar dari kamar Rachel.
Seperginya Audy dari kamarnya, Rachel menyingkap tirai yang menutup jendela kaca. Berdiri menghadap langit malam membuat cahaya rembulan menerpa wajahnya.
"Semua ini karenamu...bukan cuma hidupku. Kau juga berhasil membuat kakakku trauma, Ken...." Bulir air mata kembali membasahi pipinya, dadanya teramat sesak. "Sakit, Ken ... sakit," cicitnya sambil memukul dada.
"Selamat untukmu yang sudah berhasil menghancurkan mimpi-mimpi indahku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!