Sofia's POV
Jantungku berdegup kencang saat aku berjalan menyusuri lorong, menuju ruang kerja Ayahku.
Aku meletakkan tanganku di kenop pintu dan memutarnya perlahan, ragu-ragu untuk masuk. Tapi aku tetap melakukannya.
Aku berdiri dengan percaya diri agar ayah ku tidak melihat rasa ketakutan yang aku rasakan..
“Ya ayah?” Tanyaku tegas.
Berdiri di depan meja yang hampir memenuhi separuh ruangan itu, dengan kertas yang berserakan dimana-mana. Ruangan itu tampak gelap dengan gorden yang tertutup, tidak membiarkan sedikitpun cahaya masuk.
Aura intimidasi sangat jelas terasa dari dirinya, walau punggungnya membelakangi ku saat dia berbicara.
"Kamu adalah anak bungsuku, dan satu-satunya putriku." Ayahku berkata dengan nada acuh tapi menuntut.
"Kamu akan menikah dengan Ace Hernandez." Ucap nya tegas.
Ayahku mematikan rokoknya sambil memutar tubuhnya untuk melihat reaksiku. Detak jantungku membeku hanya karena mendengar nama itu.
'Ace Hernandez'
"Dia adalah salah satu Mafia terbesar ayah." Jawabku dengan nada takut.
“Aku tidak ingin menikahi seseorang karena kekuatannya, aku hanya ingin menikahi seseorang yang aku cintai dan percayai. Seseorang yang akan menghormati dan merawat aku. Dan itu bukan seorang Ace Hernandez.” Lanjut ku dengan sendu.
"Kamu akan bertemu dengannya Minggu ini, dan kamu harus memberi kesan yang baik, atau akan ada konsekuensinya. Mengerti?" Ayahku berbicara menuntut, menggertakkan giginya karena marah.
Bau alkohol mulai memenuhi ruangan ini. Dia mabuk seperti biasa, aku tidak heran karena dia selalu seperti ini.
"Ya ayah." Kataku, berusaha menyembunyikan rasa marah dan frustasiku.
"Keluar dari ruangan ku." Gerutunya sambil membalikkan kursinya dariku.
Air mata mengalir di pipiku saat aku menutup pintu dengan pelan. Aku berjalan menyusuri lorong, merasa tercengang tentang apa yang baru saja dia umumkan kepadaku.
Aku langsung menuju kamarku, menutup pintu di belakangku. Aku berbaring di tempat tidur, merasa diliputi oleh keputusasaan dan keterkejutan. Aku tidak mengenal pria ini, yang aku tau Ace seseorang yang kasar, agresif, dan kejam. Atau bahkan lebih buruk dari itu. Belum lagi dia pemabuk seperti ayahku sendiri. Aku tidak ingin terjebak dengan pria seperti itu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku mendengar ketukan ringan di pintuku.
“Sofia?” Ucap Mama pelan sebelum masuk ke kamarku.
"Mama." Jawabku sedih sambil mengernyitkan dahi, membiarkan kesedihan menguasaiku.
Mama memelukku, mencoba menghiburku sebaik mungkin. Aku kesal tetapi aku tidak bisa mengubah situasi, jadi aku harus menerimanya.
Mama mengusap punggungku dengan lembut, mencoba menghiburku.
"Ayahmu memberitahu Mama tentang apa yang dia rencanakan, dan Mama tidak akan membiarkannya." Ia mencoba menahan emosi dalam suaranya.
Aku memeluk Mama ku lebih erat dari sebelumnya.
"Kakak-kakakmu tidak akan senang dengan ini, terutama Raul.” Ia menggelengkan kepalanya dengan kecewa, tidak bisa melakukan kontak mata denganku.
Raul adalah kakak laki-laki tertua ku dan aku paling akrab dengannya.
Aku memiliki 4 saudara laki-laki. Raul, Stefano, Marco, Javi dan Diego. Kita semua hanya terpaut satu tahun.
Kami semua berkebangsaan Spanyol, tetapi Ayahku melarang kami mempelajari satu kata pun dari bahasa itu, karena Ayuhku tidak ingin kami mengetahui apa yang dibicarakan Ayahku dengan Aliansi Mafia nya, kecuali kalau ia memang menginginkan kami untuk tahu akan hal itu.
“Makan malam sudah siap, turun dan makan lah bersama kami.” Mama berbicara dengan tenang sambil membelai sehelai rambutku yang terurai di belakang telingaku.
Tak lama akupun turun untuk makan malam bersama keluarga ku.
"Hay Sof." Raul menyapa ku. Ia memelukku sebelum menyadari bahwa aku tampak kesal.
"What's wrong girl?” Tanya Raul khawatir, dan membuat semua saudaraku yang lain menatapku.
“Nothing, just a long day.” Aku tersenyum meyakinkan dan duduk di tempat ku.
Aku melihat ayah masuk dengan tidak peduli.
“Jadi Sofia, bagaimana harimu?” Diego menanyaiku.
Ayahku menatapku dengan tajam saat dia memotong steaknya, tatapannya yang tajam memperingatkanku untuk tidak memberi tahu mereka.
"Membosankan." Jawabku sambil tersenyum kecil sebelum memotong steakku sendiri dengan canggung.
Mereka semua mengedipkan mata padaku beberapa kali, tapi aku mengabaikannya.
“Aku punya pengumuman.” Suara berat ayah menarik perhatian kami. Semua saudara ku segera berhenti berbicara karena itu adalah salah satu dari banyak peraturan ayah kami.
Jika saya berbicara, segera hentikan apa yang Anda lakukan dan dengarkan.
“Adik kalian akan segera menikah.” Ayah menyatakan nya dengan wajah datar.
Aku melihat wajah Raul yang tiba-tiba terlihat marah.
"Tentunya kamu tidak bisa melakukan ini, Ayah!" Raul berdiri dengan marah.
"Duduklah nak, aku belum selesai berbicara." Ayahku menyela Raul dan membuatnya perlahan duduk kembali.
Peraturan lain nya.
Jangan melanggar aturan saya atau mempertanyakannya.
"Itu sudah menjadi keputusan saya." Suara Ayah menggema di seluruh ruangan.
"Sofia baru 18 tahun!" Ujar Marco sambil meninju meja dengan marah.
"Bagaimana Mama bisa membiarkan ini?" Teriak Diego kepada Mama.
"Sofia yang termuda dari kita semua, dan kamu tidak bisa melakukan ini!" Raul menunjuk Ayah dengan marah sementara Mama mencoba menenangkannya.
Meja makan menjadi kacau dengan suara Kakak-Kakakku, dan aku hanya terdiam, tidak ingin menambah keributan.
"BERHENTI." Teriak Ayahku, dan membuat kami semua terdiam.
"Aku sakit kepala dan aku tidak punya waktu untuk perdebatan ini, pernikahan itu akan tetap terjadi dengan atau tanpa persetujuan kalian." Ayahku menatap kami semua dengan tajam sebelum berjalan keluar dari ruangan itu.
Raul meninggalkan meja makan dan bergegas keluar ruangan. Dia terlihat lebih kesal tentang hal ini daripada aku.
"You be careful." Stefano memperingatkanku.
“Yes, I will be.” Aku mengangguk meyakinkan, mencoba untuk mengakhiri perdebatan ini. Aku tahu tidak ada yang bisa mengubah pikiran ayahku.
"Kami harus pergi Sof, dan kami akan segera kembali." Javi bangkit dari duduk nya dan menepuk kepalaku pelan.
Diego, Marco dan Stefano mengikuti Javi di belakang.
Rambutku berantakan pada saat mereka semua selesai menepuk kepalaku. Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku sambil merapikan rambutku.
Mereka masih memperlakukan ku seperti anak kecil.
"Saudara-saudaramu begitu menyayangi mu." Mama angkat bicara, menatap makanan di piringnya dengan penyesalan.
“Raul bahkan tidak ingin menatapku.” Gumam Mama saat air mata mengalir di pipinya .
"Mama, it's okay. It's not your fault.” Aku meyakinkannya sambil mencuci piringku di wastafel.
"He told me just before he told you, I was so angry but it was out my power. I just hope you understand." Ia berjalan kearah ku. Mama menyingkirkan helai rambut dari wajahku.
"I love you, my baby.” Mama meraih wajahku dengan lembut, dan memberikan kecupan di pipiku.
"I love you too Mama." Jawabku dengan nada lembut.
"Kamu akan baik-baik saja, mengerti?" Aku mengangguk kecil sebelum Mama menarikku ke dalam pelukannya.
"Aku tidak mau pergi." Akhirnya aku mengakuinya sambil memeluk Mama dengan erat.
"Kamu tidak bisa tinggal di rumah ini selamanya." Mama bergumam padaku.
"Bagaimana dengan sekolah ku?" Aku panik dan menatapnya dengan cemas.
"Kamu masih akan pergi ke sekolah, yah, jika Ace mengizinkanmu." Ucap Mama menenangkan ku.
Ace memiliki reputasi yang kejam dan tanpa ampun hingga saat ini. Meskipun Aku belum pernah mendengar sesuatu yang khusus tentang dia. Sepertinya semua orang di kalangan Mafia tahu siapa Ace, tapi Ace masih sangat misterius dalam arti tertentu.
Tepat seminggu telah berlalu.
Ini adalah harinya, aku akan diperkenalkan dengan Ace.
Aku akan bertemu dengan Ace di sebuah pesta, dimana semua orang berdandan untuk menjadi yang paling menarik di ruangan itu.
Aku sudah memakai gaunku.
Aku telah selesai merias wajahku dan Mama membantu untuk menata rambutku.
"You look beautiful my princess." Ucap Mama sambil memegang lengan ku.
"Thank you Mama." Jawabku dengan seringai kecil sebelum Raul mengetuk pintu kamarku .
Raul mengantarku ke pintu depan untuk menunggu jemputan kami tiba.
Aku melihat Ayah pulang dari kantornya, beberapa menit sebelum kami harus pergi.
"Limousine sedang dalam perjalanan." Dia berucap dengan pelan
Aku pun merasa tidak perlu melihat ayah, karena aku tidak ingin.
"Saya tidak senang dengan ini!" Raul berkata dengan nada dingin kepada Ayah.
"Raul, hentikan." Mama mendesis padanya
"Kamu tidak berhak untuk ikut campur dalam hal ini!" Ayahku berkata dengan nada yang tak kalah dingin.
"Lepaskan jaket itu setelah kita masuk, mengerti!" Ayahku menggeram padaku.
Aku mengangguk berulang kali.
Limousine akhirnya tiba, Aku dan saudara-saudara ku masuk ke dalam mobil. Mama membantu memasukkan gaunku ke dalam mobil.
"Lebih cepat!" Ucap Ayah dengan tidak sabar sambil menggeram pada Mamaku
"Kaulah yang menginginkan gaun ini." Jawab ku, menatapnya dengan marah.
Tatapan Ayahku menajam ke arahku.
Aku tidak peduli dengan tatapan dinginnya.
"Jangan bicara seperti itu padaku." Desisnya padaku, menunjukkan sifat dominan nya.
Dia meraih daguku dengan kasar dan memaksaku untuk menatapnya.
"Mengerti?!" Dia menggeram. Wajah Ayah hanya beberapa inci dari wajahku .
"Ya." Ucapku cepat dan pelan karena rasa sakit di daguku.
Dia melepaskan cengkeramannya di wajahku sebelum menetap lurus ke depan.
Mama menatap Ayahku dengan terkejut, sementara Raul meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat.
Aku duduk diam sambil berusaha tidak terlihat gugup.
"Kamu akan menikahkan nya dengan pria yang tidak dikenali nya. Paling tidak yang bisa kamu lakukan adalah memberinya kenangan yang baik tentangmu, atau setidaknya bersikap baiklah." Mama melipat tangannya dengan tegas saat dia menatap Ayahku.
Semua Saudara laki-lakiku menatapku, tetapi aku tidak bisa mengumpulkan keberanian untuk melihat mereka.
***
Lenganku bertautan dengan Raul saat kami berjalan. Sesampainya di Aula yang sangat besar Aku merasa menggigil karena suhu udara yang dingin. Salju baru saja mulai turun di luar untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun.
"Lepaskan jaket sialan itu segera!" Ayahku mencengkeram pinggiran jaket ku dan menarik nya dari tubuhku yang membeku.
“Tapi ayah….” Suaraku pelan.
"Jangan berbicara kecuali aku menyuruhmu. Hampir saja aku memukulmu." Dia mendesis ke telingaku sehingga tidak ada orang lain yang bisa mendengarnya.
Tubuhku seketika menegang mendengar bisikan yang di ucapkan Ayahku.
"Everyone always watches us." Gumamku pelan kepada Raul saat kami menatap kerumunan orang-orang .
"They stare at me because they're afraid, they stare you simply because you are beautiful yet powerful, like a rose." Raul tersenyum lembut padaku .
"Aku sangat ingin kamu menemukan cintamu sendiri. Maaf karena aku tidak bisa menghentikan perjanjian ini." Gerutu Raul kecewa sambil menggelengkan kepalanya menatap lantai.
"Mungkin tidak terlalu buruk." Aku mengangkat bahu, mencoba melihat sisi baiknya
Seketika ruangan menjadi sunyi, semua orang menatap ke arah pintu masuk.
"Itu Ace. Ace...Hernandez. Kudengar dia pria yang kejam dan tanpa mengenal ampun. Sikap nya tidak pernah menunjukkan penyesalan atas apapun yang dia telah dia lakukan.” Ujar Raul
Begitu banyak bisikan beterbangan di sekitar ruangan. Aku melihat beberapa penjaga masuk.
Dan itu dia, Ace Hernandez.
Pria yang akan dinikahkan oleh ku.
Langkah kakinya bergema di seluruh ruangan, aura nya sangat dominan membuat orang yang bertatapan dengannya merasakan ketakutan yang luar biasa.
Aku punya firasat buruk tentang dia, namun aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan setiap gerakannya.
Aku akhirnya bisa melihat wajahnya dan dia sangat menarik. Tidak ada satu cacat pun di wajahnya tetapi itu semua tertutupi karena dia menjadi seorang pembunuh.
Aku melihat tato tengkorak di sisi lehernya. Itu adalah simbol kartel mafia yang dipimpin oleh Ace.
Daya tariknya sangat mengintimidasi jadi aku tidak bisa membayangkan betapa tidak amannya perasaan semua orang ketika dia masuk.
Ace perlahan mengamati ruangan, membuat gadis-gadis yang ada disana meneteskan air liur nya ketika Ace melirik ke arah mereka.
Tatapan nya terhenti padaku. Ace berdiri beberapa langkah di depanku, dia menatapku dengan sangat intense dari atas sampai bawah sebelum memperhatikan ayahku.
Ayahku mendekati Ace dengan sangat cepat, nyaris tidak memberi pria itu kesempatan untuk bernapas sebentar saja.
"Mr.Hernandez, senang bertemu denganmu lagi." Ucap Ayahku mengingatkan bahwa mereka pernah bertemu sebelumya.
Aku belum pernah melihat Ayah ku tidak seprofesional ini, tapi dia mencoba untuk mengubur ketakutannya.
"Ya. Dan putrimu, siapa namanya?" Ucap Ace mendesak, tidak memperhatikan Ayahku sedikit pun .
"Putriku." Teriak Ayah padaku.
Raul menarik pelan tangan ku sebelum aku berjalan dengan enggan menuju ayah dan Ace. Diego hanya bisa menghadap ke jendela. Saudara-saudaraku yang lain bahkan tidak bisa melihat ku “diberikan” kepada pria yang tidak aku kenal.
Aku melihat seringai muncul di wajah Ace saat aku mendekati mereka.
"Ya Ayah." Aku mengangguk patuh.
"Ini Ace, Ace Hernandez." Ayah memperkenalkannya dengan bangga.
Dia tampak lebih bangga pada Ace daripada dengan putra-putranya sendiri.
"Ace, ini putriku." Ayah memperkenalkan aku kepada Ace.
Ace mengalihkan perhatiannya kepadaku.
"Siapa namamu?" Ace mengangkat alisnya ke arahku.
"Saya Sofia Diaz." Ucapku penuh percaya diri dengan nada sopan.
Ace mengulurkan tangannya dan aku sedikit tersentak. Dia mengerutkan alisnya dengan bingung sebelum aku menjabat tangannya.
"Saya berasumsi bahwa dia yang saya nikahi?" Ace bertanya kepada Ayahku.
"Ya, kamu akan menikah dengan Sofia." Ayahku mengangguk, membenarkan perkataan Ace.
"Oke, kita berangkat sekarang." Tuntut Ace sambil melingkarkan lengannya di pinggangku, memaksaku untuk berjalan bersamanya.
"Bolehkah aku mengucapkan selamat tinggal kepada saudara-saudaraku?" Pintaku pada Ace sambil melirik ke belakang.
"Tidak bisa!" Balas Ace, dan memaksaku berjalan bersamanya.
Ace membuka pintu limousin dan aku memasuki mobil itu. Ya, murni karena aku tidak punya pilihan.
Ace sangat tampan, tapi dia memancarkan aura yang sangat dingin. Dia terlihat sangat muda, tidak setua yang aku bayangkan sebelumnya.
Ace duduk di sebelahku. Keheningan menyelimuti kami. Aku tidak ingin berbicara, atau melihat Ace.
Aku tahu bahwa jika aku membuat masalah besar, dia mungkin akan menghukumku seperti Ayah.
"Wayne akan menyiapkan kamarmu saat kita kembali ke rumah." Suara serak Ace memecah keheningan di dalam mobil.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Aku lebih suka ucapan terima kasih daripada hanya sebuah anggukan." Desis Ace padaku.
"Terima kasih." Gumamku, merasa terpaksa.
Ini tidak masuk akal!
Pertemuan itu biasanya untuk membangun aliansi jadi mengapa Ace tidak mencoba menyelaraskan diri dengan orang-orang yang ada disana?
Pertanyaan bodoh Sofia, tentu saja Ace tidak membutuhkan itu. Dia yang mengendalikan Mafia terbesar di dunia, jadi mengapa dia membutuhkan sekutu. Yang ada Kartel lain yang membutuhkannya.
Limousin yang kami tumpangi tiba di rumah yang sangat besar, yang aku tebak bahwa itu rumah Ace.
"Ace kau kembali." Seorang wanita bertubuh kecil dan lemah menyambutnya di pintu dengan nada ceria.
"Mama, aku menyuruhmu untuk beristirahat."
Aku mendengar Ace berkata terhadap ibunya.
"Ahhh aku baik-baik saja. Hanya sedikit sakit, jadi biarkan aku melihat dia?” Ucap ibunya bersemangat .
Ace membukakan pintu mobil untukku dan aku melangkah keluar.
"Hai." Aku tersenyum sopan sambil mengulurkan tanganku padanya.
"Ahhh kamu sangat cantik." Ibunya menarik ku kedalam pelukannya.
"Tentu saja." Gerutu Ace sambil memutar bola matanya.
"Di mana ayah?" Ace bertanya pada ibunya.
Aku tegang mendengar kata ayah.
"Dia ada di kantornya." Jawab Ibu Ace dengan nada malas.
Ace hanya memutar kedua bola matanya.
"Biarkan aku menunjukkan kamarmu." Kata ibu Ace berseri-seri.
Jika dilihat dari dekat ternyata Ace sangat tampan. Dia memiliki rambut coklat muda yang sedikit panjang, bola matanya berwarna biru cerah, kulit sedikit kecokelatan dengan tato yang membentang di lengan kiri berotot nya. Dia memiliki kepribadian yang sangat dingin, dan sangat kaku seperti robot.
Ace melangkah masuk ke mansion dan berjalan menaiki tangga. Ibunya membawaku ke kamarku.
"Ace memilih sendiri pakaian dan perabotan yang ada di kamar ini. Dan harus kuakui, itu sangat langka." Ibunya menjelaskan saat kami memasuki kamar.
Kamar ini sangat indah. Gelap namun nyaman pada saat yang sama bersamaan.
"Pakaianmu ada di lemari ini, dan jika kamu membutuhkan sesuatu jangan ragu untuk bertanya padaku atau pada Ace." Ibunya tersenyum ramah setelah mengarahkan jarinya ke lemari.
"Terima kasih." Aku mengangguk saat aku duduk di tempat tidur.
"Oh, aku hampir lupa, namaku Denice." Dia terkekeh setelah menggelengkan kepalanya karena lupa.
"Makan malam akan segera siap sayang." Ucap Denice sebelum meninggalkan ruangan.
Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku karena merasa tidak nyaman dan sangat mencolok.
Aku berjalan menuju ruang makan setelah aku selesai mengganti pakaian ku. Aku tidak mengenal orang-orang yang berada dirumah ini, tapi aku akan makan malam bersama mereka.
Sulit dipercaya
Aku melihat seorang pria sepantar Ayahku di ruang makan, yang aku perkirakan Ia adalah Ayah Ace. Punggungnya menghadap ke pintu masuk dapur saat dia duduk. Aura nya tidak berbeda dengan Ace, sangat mengintimidasi.
"Sofia, ini suamiku, Kai." Denice memperkenalkanku.
"Aku Sofia." Jawabku cepat dengan senyuman hangat sebelum duduk di sebelah Denice.
Aku mendengar langkah kaki yang berat dan cepat menuju ke sini dari arah luar ruangan.
"Fucking Vipers." Gerutu Ace pada Ayahnya sebelum duduk .
Dia mengatupkan rahangnya dengan marah, mencoba menenangkan dirinya.
"Mama bagaimana harimu?" Tanya Ace, nadanya berubah saat dia berbicara kepada Ibunya.
Ace mengepalkan kedua tangannya, meletakkan dagu di atasnya. Memperlihatkan tato yang ada di jari-jarinya.
Aku fokus pada makanan ku dan berusaha untuk tidak melakukan percakapan atau kontak mata dengan Ace.
"Jadi Ace....." Kai mengangkat suaranya dari ujung meja.
Aku hampir saja melompat karena tiba-tiba mendengar suara Ayah Ace.
Tatapan dingin Ace mengarah pada Ayahnya.
"Who's your friend?" Kai, Ayah Ace bertanya dengan rasa ingin tahu.
Aku menghindari kontak mata dengannya.
"What the **** do you mean who's your friend?" Ace berteriak pada Ayahnya.
"Kaulah yang membuat pengaturan sialan ini!" Geram Ace marah pada Ayahnya.
Aku rasa hanya aku yang di paksa untuk menyetujui nya, ternyata dia juga tidak terlalu senang dengan 'pengaturan' ini.
"Itu bukan cara untuk berbicara terutama dengan tamu di meja makan, Ace.” Kai menggoda Ace, mencoba menenangkannya.
Ace berdiri, telapak tangan nya terkepal menunjukkan bahwa dia sedang menahan emosi.
"She's not a guest. She's my fucking fiance." Gertak Ace pada Ayahnya sebelum melangkah keluar.
Ibu Ace menghela nafas dengan putus asa.
"Kau selalu membuatnya marah." Denice menggelengkan kepalanya kecewa pada suaminya.
"Dia terlalu mudah marah." Jawab Kai sambil memutar kedua bola matanya.
"Anak saya sedikit memiliki masalah dengan emosi nya, jika kamu tidak tahu." Kai tertawa padaku seolah - olah aku seharusnya ikut tertawa.
"Saya pikir dia benar-benar pemarah." Ucapku tiba-tiba
Kai mengalihkan perhatiannya padaku, merasa tidak menyukai dengan perkataan ku barusan.
"Kurasa aku harus menelepon Ayahmu." Sembur Kai dengan tatapan dingin nya padaku.
Deg
Seketika Aku membeku begitu mendengar nama Ayahku.
"Kai!" Denice membentak, tidak suka dengan ide suaminya.
"Mungkin aku harus bertanya padanya, bagaimana dia membuatmu tutup mulut." Tegur Kai, dengan seringai kecil.
Aku tidak menjawab, karena aku masih merasa shock. Aku tidak merasa bahwa aku telah mengatakan sesuatu yang kasar.
Kemudian kami mendengar suara dari arah ruang tengah.
"Naik ke atas." Aku mendengar suara berat Ace berkata dengan seorang wanita.
"Tentu saja Ace." Jawab wanita itu dengan patuh.
"Apakah itu salah satu pelacurnya?" Kai memutar matanya saat Denice menghela nafas .
Mataku melebar mendengar pertanyaan Kai.
"Mengapa anak dan suamiku sangat tidak menghormati seorang wanita." Denice menggelengkan kepalanya dengan kecewa, dia bahkan tidak menyentuh makanannya.
"Ahhh biarkan dia, dia terlihat sangat marah dan heyy aku sangat menghormati wanita." Ucap Kai membela putranya.
Aku tidak kecewa dengan sikap Ace, dan tidak berharap dia akan menghentikan apapun yang dia lakukan untukku.
Itu sama saja seperti dia meminta aku untuk berhenti melakukan apa yang aku ingin lakukan.
"I have a question." Gumamku pada Kai dan Denice.
"What is it?" Kai meletakkan dagunya di tangannya.
“Bisakah aku melanjutkan sekolahku?” Pintaku sambil memainkan jari-jari ku dengan gugup.
Kai tertawa terbahak-bahak.
Aku dan Denice menatap Kai sampai dia berhenti tertawa.
"Oh wait, you're serious?" Dia berhenti tertawa sambil berkedip penasaran ke arahku .
"Ya, I enjoy school." Jawabku sambil mengangkat bahu sembarangan.
Aku akui bahwa aku suka pergi ke sekolah karena itu adalah satu-satunya tempat aku bisa jauh dari Ayahku.
Kai memikirkannya sebentar.
"Setidaknya kami tidak perlu sering melihat wajahmu." Gerutu Kai sambil memakan makanannya.
"Pergilah." Dia terkekeh pelan.
***
"Thank you for the food." Aku tersenyum sopan sambil berjalan ke atas.
"You're too kind, dear." Jawab Denice saat suaminya masih tertawa sendiri.
Yeea Aku bisa pergi ke sekolah besok.
***
Saat aku menaiki tangga, aku melihat seorang wanita yang hampir tidak mengenakan pakaian pergi dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Dia menatapku dengan tatapan tidak suka sebelum berlari keluar rumah.
Aku menatap nya bingung sambil menggelengkan kepalaku.
“Apa yang Ace lakukan padanya?” Pikirku dalam hati sambil membuka pintu kamarku.
Aku melihat sebuah dompet tepat di tempat tidur, yang aku tebak ini adalah milik Ace. Aku menggelengkan kepalaku, tergoda untuk membuangnya begitu saja dari kamarku tapi entah mengapa aku ingin melihat Ace.
Aku mendesah kalah saat aku berjalan menyusuri lorong dengan dompetnya di tanganku.
Aku mengetuk pintu dengan pelan, takut mengganggunya.
"What?" Aku mendengar geraman dari balik pintu.
Perlahan aku mendorong pintu. Aku melihat Ace sedang berdiri sambil menghadap jendelanya, dengan bertelanjang dada.
"Sofia." Gumamnya pelan, namaku meluncur begitu lancar di lidahnya.
"Aku tidak bermaksud mengganggumu, aku menemukan dompet mu di tempat tidurku, jadi aku datang untuk mengembalikan nya." Kataku padanya menjelaskan, mengangkat dompet itu sedikit ke udara.
Ace tampak sedikit terkejut. Perlahan Ace berjalan mendekati tempat saya berdiri, menjulang tinggi di atasku.
"You passed the test." Ucapnya pelan seolah sedang berpikir.
“What test?” Tanyaku bingung, menaikkan alisku.
"Setiap kali seseorang yang baru datang, saya meninggalkan dompet berisi uang di tempat tidur mereka dan melihat apakah mereka mengambilnya. Tetapi Anda tidak?" Dia menjelaskan dengan nada terkejut diakhir kalimatnya.
"Oh." Aku bergumam sambil mengangkat bahu.
Tatapannya sangat intense saat dia berdiri di depanku. Dia belum mengambil dompet dari tanganku.
"Ace, kamu harus lebih berhati-hati dengan uangmu, aku bisa saja mengambilnya jika aku mau." Kataku dengan tenang sambil memegang dompet tepat di atas tangannya.
Dia membuka telapak tangannya dan aku dengan sengaja menjatuhkan dompet itu.
Dia membungkuk, bibir berhenti tepat di sebelah telingaku.
"Well, that's the point." Bisiknya sebelum berbalik dan duduk di mejanya.
Deg
Tubuhku tersentak kaget.
"Good night Sofia." Ucap Ace dari mejanya sambil mencoret-coret secarik kertas dengan penanya.
Dia melirik ke arahku, menunggu jawaban.
"Good night." Jawabku cepat sambil berjalan keluar kamarnya.
Aku menghela napas lega saat menutup pintu kamarku. Segala sesuatu tentang Ace sangat intense. Entah itu dari tatapannya hingga sentuhannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!