NovelToon NovelToon

V.S

Prolog

POV Safa

Safa Najmi, begitulah namaku. Dalam bahasa Arab berarti bintang ketenangan yang diharapkan orang tuaku menjadi perempuan tenang, murni dan bersinar. Terkabul? Tentu saja! Aku menjadi perempuan yang sangat tenang dalam kondisi apapun.

“Mbak-mbak, itu sandalnya beda warna,” ucap wanita paruh baya kepadanya.

Safa menatap ke bawah dan benar saja kanannya berwarna pink kirinya kuning. Lantas dirinya menoleh pada wanita yang memberitahunya tadi. “Oh, ini lagi tren, Buk. Fashion zaman sekarang 'kan memang warna-warni kayak pelangi.”

Benarkan? Aku bahkan tak peduli pada orang-orang yang berteriak gila kepadaku. Melangkah santai menuju keramaian yang sedang berburu barang diskon.

Bahkan pernikahan yang terbilang runyam karena aku menikahi hasil dijodohkan pun aku tetap tenang.

“Aku menikahi kamu demi kakek. Jadi, jangan berharap lebih pada pernikahan ini,” ucap suamiku di malam pertama kami.

Safa mengangguk-angguk asal. Tangannya digunakan menutup mulut yang sempat menguap akibat kantuk yang mendera.

“Aku punya kekasih yang sangat kucintai dan tidak akan memutuskan hubungan meski aku terikat pernikahan denganmu.”

“Oke.” Tanpa melepas gaun pengantin, Safa merebahkan diri di kasur dengan posisi menyamping memeluk guling.

“Oh iya, lupa baca doa.” Dalam keadaan tak berubah, Safa mengangkat kedua tangan. “بسم الله الرحمن الرحيم. بسمك اللهم احيا واموت. امين.” Meraup wajah sebelum kesadarannya hilang.

.

.

.

Awal Mula

Beberapa kali helaan napas keluar dari mulut, sedangkan mata menatap malas kendaraan yang berlalu lalang. Safa menggerutu, “Ini kapan sih lampunya berubah merah! Nggak tau orang mau lintas apa!”

Kemudian tangannya terulur mengelus dada. “استغفرالله العظيم. Istiqfar Safa, nggak boleh protes. Jalanin aja.”

Seruan nyaring terdengar- “Copet! Copet!”

Segera Safa menarik jaket orang yang melintasinya hingga memperlihat rupanya yang ternyata laki-laki.

“Beraninya kau menghentikanku!” Laki-laki itu berbalik melayangkan kepalan.

Safa memegang lengan dan menarik kakinya ke belakang yang dalam seperkian detik melayangkannya tubuh itu dan membantingnya ke tanah. Laki-laki itu memekik kesakitan dan terbaring tak berdaya dibuatnya.

Safa mengambil tas yang jatuh tak jauh dari posisinya. Menghampiri wanita yang sedang terengah-engah sehabis berlari mengejar pencopet. Safa menyodorkan tas padanya.

Wanita itu mengambilnya. “Terima kasih, kalau bukan karena kamu nggak bakal tas ini balik pada saya.”

Safa mengangguk. Tepat setelah itu Lambu berubah merah dan Safa segera melintasi jalan, menghiraukan wanita yang berteriak ingin berkenalan dengannya.

“اسلام عليكم.” Mendengar sahutan dari dalam, barulah Safa menarik k-nop dan masuk dalam rumah sederhananya.

“Safa, ke mari, Nak,” pinta Firman, ayahnya Safa.

Safa mendekat. Maniknya menatap orang-orang yang memandanginya dari atas sampai bahwa seakan menilai penampilannya.

“Duduklah, Safa,” suruh ibunya yang dituruti Safa dengan duduk di samping beliau. Bertepatan itu seseorang menyerukan salam dan masuk ke rumah di ruangan tamu.

“Akhirnya kamu datang, Nisa” seru pria berumur yang memegang tongkat.

“Tante, bukannya-"

“Ah, senang banget ketemu kamu lagi. Apa kamu yang bakalan dijodohkan sama anak saya?"

“Dijodohkan?” Kening Safa menyatu, bingung.

“Iya, Nis. Ini putri satu-satunya yang sering aku ceritain. Gimana, cantik 'kan?” papar Diana, ibunya Safa.

“Iya. Cantik, baik, sholehah lagi. Cocok banget sama Vyan,” sambut Nisa antusias sampai berjinjit senang dalam keadaan masih berdiri.

“Tunggu dulu. Apa ada ini? Maksudnya apa dijodohkan?” Safa sampai angkat tangan agar diperhatikan.

“Iya, kamu bakalan dijodohkan sama anak, Tante.”

“Apa? Nggak mau!"

“Saya terima nikah dan kawinnya Safa Najmi binti Muhammad Firman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!” Vyan sedikit menyentak tangannya setelah mengucapkan kalimat panjang dalam satu tarikan napas.

“Gimana para saksi, sah?” tanya penghulu.

“Sah!”

Doa pun di bacakan.

Vyan mendekat dan mencium kening Safa, sesudahnya giliran Safa menyalami Vyan.

Dalam hati Safa terus mendumel. Kalau bukan karena umminya meneteskan air mata yang entah asli atau palsu, Safa tidak akan menerima lamaran dua Minggu lalu. Apalagi pria yang dinikahinya adalah ‘Dia’.

1. Permintaan

Setelah acara resepsi pernikahan yang memang tidak banyak kegiatan karena itu merupakan permintaan sang pengantin sendiri.

Safa menarik kopernya ke dalam rumah besar nan mewah pemberian dari kakek pengantin laki-laki. Meski kesusahan akibat gaun pengantin yang belum dilepaskan, Safa tak berniat meminta bantuan orang yang diikuti di depannya ini.

Vyan membuka pintu dan masuk lebih dulu, menunggu gadis itu dengan berdiri di samping ranjang. "Ini kamarmu dan di sebelahnya kamarku. Kita tidur terpisah," ucapnya seiring langkah Safa menyeret koper ke lemari.

"Iya." Safa membiarkan kopernya di sana dan mendekati ranjang king size miliknya. Matanya menatap sekeliling kamar bernuansa biru langit yang merupakan warna favoritnya.

"Suka," celetuknya.

Vyan tak menanggapi perkataan itu melainkan berkata, "Aku menikahimu demi kakek. Jadi, jangan berharap lebih pada pernikahan ini."

Safa mengangguk-angguk asal. Tangannya menutup mulut yang sempat menguap akibat kantuk yang mendera.

"Aku punya kekasih yang sangat kucintai dan tetap akan menjalin hubungan meski aku terikat pernikahan denganmu."

“Oke.” Tanpa melepas gaun pengantin, Safa merebahkan diri di kasur dengan posisi menyamping memeluk guling.

Vyan menganga melihat kelakuan Safa yang sangat enteng menanggapi perkataannya, terlalu! Terlebih...

“Oh iya, lupa baca doa.” Dalam keadaan tak berubah, Safa mengangkat kedua tangan. "بسم الله الرحمن الرحيم. بسم ك اللهم اهي و اموت. امين.” Meraup wajah sebelum kesadarannya hilang.

Baiklah, ia tak bisa berkata-kata. Vyan memilih keluar dan menuju kamarnya.

Keesokan Harinya.

Safa terbangun mendengar suara azan. Sedikit melakukan perenggangan sebelum turun dari kasur dan berjalan sempoyongan ke kopernya, membuka dan mengobrak-abrik untuk mencari handuk. Barulah setelahnya masuk ke kamar mandi dan menyangkut handuk di tempatnya.

Menyalakan shower lalu memutar raganya sedikit. Safa mengeryit merasa ada yang janggal dengan dirinya tak bisa basah, seketika matanya membulat menyadari sesuatu. "Gaun pengantinnya!"

Skip.

"Vyan! Vyan!" teriak Safa mengetuk pintu beruntun nan cepat.

Pintu akhirnya buka. "Apa sih?" Vyan mengucek matanya.

Lantas Safa membeku. Rambut acak-acakan dan piyama tidur yang kancingnya sedikit terbuka dan wajah kantuknya tampak hangat. "Kamu tampan!" paparnya.

Vyan terkejut, rohnya langsung berkumpul. "Eum, Makasih. Ada apa?"

"Sholat."

"Oke." Ingin menutup pintu tapi ditahan.

"Imamin," pinta Safa.

"Hah?"

"Iya, imamin. Kita sholat bareng, kamu yang jadi imam dan aku jadi makmumnya," ulang Safa memperjelas permintaannya.

"Kalau mau sholat berjamaah pergi ke mesjid aja, dekat kok dari sini," saran Vyan berusaha menutup pintu yang masih di dorong Safa. Memang ia bisa menggunakan tenaganya untuk membanting pintu tapi takutnya gadis itu terluka.

"Kata pak Ustadz, perempuan lebih baik sholat di rumah. Makanya kamu jadi imamnya? Supaya aku bisa dapat pahala sholat berjamaah," tuturnya dengan wajah berbinar yang tidak dapat ditolak Vyan.

Vyan menghela napas. "Ya udah, kamu ambil wudhu dulu sana. Aku siap-siap terus nanti ke kamar kamu."

"Janji ya?"

"Iya."

"اسلام عليكم ورحمت الله." Mengucapkan masing-masing satu ketika berpaling dari kanan ke kiri. Mereka mengangkat kedua tangan dan Vyan mulai membaca doa.

Vyan memenuhi janjinya datang ke kamar Safa dan menjadi imam sholat untuknya. Hal tersebut membuat Safa sangat senang.

"Aamiiin." Keduanya sama-sama meraup wajah.

"Makasih ya udah mau penuhin permintaan aku." Safa berucap.

Vyan membalikkan badannya menghadap Safa. "Eum, aku ingin ini yang terakhir kali melakukannya."

"Aku cuma pengen dapat pahala sholat berjamaah," sergah Safa menghendikkan bahu.

"Apa kamu nggak dengar yang aku omongin semalam atau udah lupa?" hardik Vyan memandang tajam.

"Dengar dan nggak lupa." Sambil memejam mata Safa berucap, "Aku menikahimu demi kakek. Jadi, jangan berharap lebih pada pernikahan ini. Aku punya kekasih yang sangat kucintai dan tetap akan menjalin hubungan meski aku terikat pernikahan denganmu. Gimana?" Membuka matanya kembali.

"Sempurna." Vyan bertepuk tangan. Aku kira otaknya buntut karena ngantuk, tapi dia mengcopy ucapanku dengan sempurna.

"Lalu, apa kamu tidak paham maksud dari perkataanku?"

"Aku paham, bagaimanapun kita menikah terpaksa. Tapi tetap saja pernikahan ini sah secara agama dan hukum yang artinya aku tetap berkewajiban menjalankan tugasku sebagai istri. Aku tidak mengusik kamu untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang suami, hanya saja aku ingin mencari pahala seorang istri selama pernikahan ini."

"Baiklah."

...🌻🌻🌻...

Sekurang-kurang salam; اسلام عليكم.

Sebaik baik; اسلام عليكم ورحدت الله.

Lebih baik; اسلام عليكم ورحمت الله وبركا ته.

2. Kekasih

Safa yang akan menuruni tangga terpaksa berhenti mendengar teriakan begitu nyaring.

"SAYANG!"

Seorang wanita berjalan masuk ke rumah. Dresnya yang tanpa lengan sampai atas lutut ditambah kelakuan minus membuat wajah cringe Safa muncul.

Vyan ikut turun dari tangga sambil melipat lengan kemeja sampai siku.

"V, kamu ngundang biduan dangdut?" tanya Safa menepuk bahu Vyan untuk menghentikan langkah laki-laki itu.

"Dia kekasihku."

"Astagfirullah." Pernyataan mengejutkan Vyan yang membuat Safa menutup mulut tak percaya, melirik Vyan dan kekasihnya itu. Tanpa banyak berkata, Safa menarik lengan Vyan menuruni tangga.

"Pelan-pelan, mau mati jangan ngajak-ngajak," tegur Vyan.

Mendengarkan, tapi saat anak tangga terakhir Safa bergerak cepat menarik Vyan ke samping orang yang disebut sebagai kekasih. Setelahnya mundur dan memperhatikan keduanya seraya mulut seakan berkata 'Wow'. "Bagaikan matahari dan bulan."

"Bersinar ya?" sahut kekasih Vyan.

"Berjarak akan waktu yang takkan pernah bersatu." Safa tersenyum mengejek memancing percikan api diantara keduanya.

"Maksud kamu, kami nggak cocok gitu?"

"Abaikan saja, Shana." Vyan memegang kain di bagian bahu kekasihnya agar tak maju untuk mencakar Safa.

Safa mengibas seolah ada rambut di atas bahunya.Senyuman Safa menjadi sudut bibir yang ditarik sebelah seiring kakinya menuju ruang makan.

"Ada apa kamu pagi-pagi ke sini?" tanya Vyan menghadap ke Shana.

Memanyunkan bibirnya. "Mau lihat istri kamu yang rupanya ngeselin-"

"Tapi nggak burik!" sambut Safa yang ternyata memelankan jalannya agar bisa mencuri dengar. Suaminya itu langsung melayangkan tatapan tajam yang dibalas hendikkan bahu olehnya.

"Kita jalan-jalan yuk, kamu nggak ada rencana bulan madu sama dia 'kan?" tanya Shana menaruh kedua tangannya di bahu tegap Vyan. Ia tak diizinkan melakukan lebih.

"Nggak ada, tapi aku ada urusan lain. Kita jalan-jalan besok aja ya?" Sedangkan untuk Vyan sendiri, ia mengantongi kedua tangannya.

"Baiklah." Suara Shana melirih kecewa, namun tak memprotes apapun. "Kalau begitu, aku pulang dulu."

"Iya, hati-hati." Menyungging senyum sampai kekasihnya tertelan di balik pintu, barulah Vyan pergi ke dapur menghampiri Safa yang sedang duduk di meja makan.

Safa acuh tak acuh akan Vyan yang menarik kursi dan duduk berseberangan dengannya.

"Lain kali, jangan bicara begitu pada Shana," ucap Vyan memperlihatkan tatapan elangnya lagi.

"Asal dia tidak menghinaku," balas Safa menopang dagu.

"Kamu duluan yang menghinanya, jadi saat dia berbalik menghina kamu lain kali jangan dijawab agar tak berlanjut," saran Vyan menopang dagunya juga. Entahlah, ia merasa aneh pada dirinya yang selalu menuruti Safa.

"Kamu nggak benar-benar mengenal kekasihmu ya? Dia dari dulu suka menghina aku lho." Safa mengambil garpu dan menusuk apel yang sudah di potong. Mengucap 'Bissmillah' sebelum memasukkan ke dalam mulutnya.

"Kalian saling kenal?" Vyan menaikkan satu alisnya.

"Yeah, bisa dibilang begitu."

"Tapi kelihatannya Shana nggak kenal kamu."

"Mungkin karena aku sudah berbeda."

Vyan mengeryit atas kalimat Safa yang mengandung makna tersembunyi, ingin bertanya lebih tapi keburu gadis itu menyeru.

"Udah ah, jangan bahas lagi. Ayo makan."

Akhirnya mereka makanan dengan tenang.

.

.

.

Safa menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 10. 45. Ia tergolek lemas atas sofa dengan tangan yang terus mengotak-atik remote, menghela napas akibat tidak ada acara yang menarik minatnya. "Kalau jam segini di pesantren pasti masih ngaji. Bosan banget nggak ada kegiatan kayak gini."

"Apa aku cari kerja aja ya? 'Kan V bilang nggak melakukan kewajibannya sebagai suami aku berarti nggak bakal dinafkahi akunya." Monolognya.

"Baiklah, aku akan mencari kerja besok!" Meneriaki penuh semangat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!