NovelToon NovelToon

Love Tragedy (Kenzo & Kannaya)

Chapter 1

Surya menyapa dengan sinarnya, semilir angin berhembus membelai dedaunan, alunan musik alam menggema di sepanjang malam membawa ketenangan.

"Bangun ... bangun ... bangun ... "

Suara itu masuk ke dalam mimpinya yang indah, menelisik telinga dengan paduan gemericik air yang berasal dari speaker musik yang berada di sudut ruangan.

Sreett!

Sudah dipastikan, walaupun matanya masih tertutup, ia dapat membayangkan bahwa gorden kamarnya telah dibuka. Sang mentari memaksakan sinarnya untuk menyelip masuk ke dalam netra yang masih terkatup.

Kini, ia merasakan tubuhnya terguncang, kemudian rasa dingin mulai menjalar, menandakan benda hangat yang semalam memeluknya kini telah terurai.

"Kanaya! Bangun!" Suara keras yang sangat dekat dengan telinga itu memaksa ia keluar dari zona nyamannya.

Gadis bernama Kanaya itu perlahan mengerjapkan kelopak matanya yang hampir mengembang akibat lamanya ia tertidur. Perlahan ia meregangkan punggungnya yang kaku setelah melewati malam yang panjang.

"Kenyang tidurnya?"

Kanaya menangkap samar sesosok pria dengan mata yang masih setengah terbuka. Kemudian, ia mengocek matanya dengan punggung telunjuknya.

"Eh, Kak Kenzo. Sudah rapi saja. Mau ke mana?" Kanaya menyeringai menampakkan seluruh giginya menyambut sang kakak.

"Mau ke mana, mau ke mana. Lihat! Sudah jam berapa ini?" Pria berahang tegas itu menunjuk jam dinding bergambar hello kitty di samping ruangan.

Seketika Kanaya melebarkan matanya ketika jam itu menunjukkan pukul 06:45 pagi.

"Hampir jam 7!! Astaga, aku belum bersiap!" Kanaya melompat dari atas pembaringannya dan bergegas untuk membersihkan diri.

"5 menit ya! Kutunggu di bawah!" teriak Kenzo kepada sang adik yang tengah berkutat di dalam kamar mandi.

"Tambahin 5 menit lagi, Kak!" tawarnya yang tidak mendapat sahutan lagi karena Kenzo sudah tidak ada di kamarnya.

Senin pagi yang sering membuat sensi. Sisa-sisa kemalasan masih senantiasa melekat dalam diri. Namun, sebagai pelajar yang tak mau merugi, jalan tengahnya menimba ilmu setiap hari.

Karena waktunya tidak banyak, Kanaya harus dapat mengemas ritual mandinya dengan cepat dan tepat, walau rasanya itu akan sangat mustahil mengingat ia akan menghabiskan waktu 20 menit hanya untuk mandi saja, belum lagi luluran dan sebagainya. Jadi ia memutuskan untuk tidak mandi.

Selesai mencuci wajah dan menggosok gigi, lekas Kanaya meraih tas, sepatu dan seragam putih abunya, lalu bergegas keluar menghampiri sang kakak.

"Ayo, Kak!" ajaknya ketika melalui Kenzo yang tengah menyesap rokoknya di halaman depan.

"Kau belum berganti pakaian?" tanyanya heran ketika melihat adiknya masih mengenakan baju tidurnya.

"Aku berganti di mobil saja, Kak. Ayo, cepat!" Kanaya memasukkan barang-barangnya ke kursi penumpang, kemudian dirinya ikut masuk ke sana.

"Kenapa kau duduk di belakang?" tanya Kenzo yang kini sudah berada di kursi kemudi.

"Mana mungkin aku berganti pakaian di sampingmu, Kak? Kau fokus saja menyetir, aku akan mulai berganti pakaian!"

Kenzo mendadak membeku. Mereka sudah bukan anak kecil lagi yang belum mempunyai rasa malu sekalipun mereka mandi bersama.

Tidak sengaja Kenzo melirik ke arah center mirror mobilnya yang menampilkan kegiatan Kanaya tengah membuka kancing piyamanya satu per satu. Segera ia melempar pandangannya, kemudian menutup spionnya.

Mengingat waktu yang terus berjalan, pria berambut ikal itu mulai melajukan mobilnya membelah jalan raya.

"Nay, awas saja jika kau berani berganti pakaian seperti ini di mobil orang lain!" ujar Kenzo posesif.

"Tidak akan, Kak. Ini keadaan darurat saja. Jika tidak seperti ini, bisa-bisa kita kena hukuman karena terlambat mengikuti upacara." jelasnya.

Kenzo hanya menggelengkan kepalanya menyaksikan kelakuan sang adik yang terkadang terlalu berani dan tak jarang pula bersikap manja kepadanya.

"Nah, beres deh," ucap Kanaya sembari melompat ke kursi depan.

Kanaya menyemprotkan sebuah parfum ke seluruh tubuhnya yang mungkin memiliki bau sedikit tidak sedap karena belum mandi.

"Tidak sekalian saja kau guyurkan parfum itu ke seluruh tubuhmu?" sindir Kenzo.

"Inginnya sih seperti itu, tapi sayang. Parfum ini pemberian Mama, jadi aku tidak ingin menghambur-hamburkannya," tutur Kanaya.

Ada setitik amarah sekaligus rindu yang menancap dalam hati Kenzo sekarang. Marah karena sang ibu yang seharusnya lebih memerhatikan anak-anaknya, namun lebih mementingkan pekerjaannya sebagai wanita karir. Padahal jelas-jelas ia memiliki suami yang mapan dan memiliki bisnis besar.

"Kak, Mama dan Papa kapan pulang?" tanya Kanaya yang begitu merindukan kedua orang tuanya.

"Kenapa kau tidak menghubungi mereka dan menanyakannya langsung?" usul Kenzo.

Kanaya menghirup nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. Seakan memiliki beban yang teramat berat.

"Kenapa, hm?" tanya Kenzo lembut sembari mengelus kepala adiknya itu.

"Aku sudah mencoba beberapa kali menghubunginya, namun tidak ada jawaban juga sampai sekarang. Apa mereka sesibuk itu, Kak?"

Kenzo sejenak meremas gagang stirnya, berusaha menahan amarah yang semakin membuncah.

Empat bulan sudah orang tuanya berada di luar negeri untuk urusan bisnisnya. Apa pekerjaan di sana lebih penting dari pada anak-anaknya?

Sedari kecil, bisa dikatakan mereka telah kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. Sebagai kakak, Kenzo dipaksa untuk melakukan segala sesuatu dengan mandiri, tanpa arahan dan bimbingan. Padahal ia masih membutuhkan itu semua, hingga saat ini.

Pria pemilik netra pekat itu tidak akan membiarkan hal serupa terjadi kepada adiknya. Sebisa mungkin, ia akan memberikan kasih sayang penuh kepada sang adik, walaupun dirinya sendiri belum pernah merasakannya.

Pasangan netra itu menangkap sebuah gedung yang menjulang, bertuliskan SMA Raya Agung. Sekolah para sultan. Ia memutar mobilnya memasuki area parkirannya yang membentang luas dipenuhi berbagai macam kendaraan mewah yang mengkilap di bawah sinar mentari.

"Untung saja masih keburu, Kak." ucap Kanaya ketika melihat para siswa di sana masih mojok di luar lapangan.

"Ya, untunglah." timpal Kenzo.

Seperti biasa, para siswi di sana pasti saja salah tingkah ketika melihat Kenzo. Bagaimana tidak? Kenzo memiliki paras yang tampan, kulit putih, tubuh tinggi dan berotot, mirip seperti artis Korea. Idaman para wanita.

Siswi di sana tidak pernah mengira bahwa Kanaya adalah adiknya. Karena perlakuan Kenzo kepada Kanaya terbilang sangat romantis jika hanya dikatakan sebagai kakak beradik.

Karena itu, tak jarang Kanaya mendapat rundungan dari kakak-kakak kelasnya yang menyukai Kenzo. Mereka menganggap Kanaya sebagai benalu yang selalu menempel kepada idolanya. Mereka ingin menggeser posisi Kanaya di hati Kenzo. Sangat mustahil.

Gadis pemilik rambut panjang bergelombang itu tidak pernah menceritakan kejadian tidak mengenakan yang dilakukan oleh kakak kelasnya kepada Kenzo, karena ia takut dirinya akan menjadi beban bagi sang kakak. Ia tidak ingin bersembunyi di balik nama kakaknya yang menjadi idola di sekolah ini.

Kanaya bisa saja terlihat berani di hadapan Kenzo, ceritanya akan berbeda jika di belakangnya.

Setengah jam telah berlalu, bendera merah putih tampak berkibar di langit biru. Upacara bendera telah diselesaikan dengan baik.

"Kanaya!"

"Eh, Maura!" sapa Kananya kepada sahabat baiknya.

"Eh, kenapa wajahmu pucat seperti itu? Apa kau sakit?" Maura kaget ketika melihat wajah yang sebelumnya selalu berseri, kini memucat.

"Tidak apa-apa, Maura. Aku hanya kehausan saja." jawabnya dengan suara yang mulai lemah.

Kanaya merasakan tenggorokannya seperti tercekat, dan kepalanya pusing.

"Oh, kau haus? Kau mau minum? Sebentar, sebentar, aku akan membelikanmu air dari kantin! Kau duduk dahulu di sini ya!" Maura menuntun Kanaya untuk duduk di bangku yang berada di pinggir lapangan, lalu ia bergegas pergi ke kantin untuk membeli air mineral.

Dari kejauhan, Kenzo melihat Kanaya yang tengah terduduk lemas di sana. Segera ia berlari mendekatinya.

"Nay, kau kenapa?" tanya Kenzo, khawatir.

"Kau pucat sekali. Apa kau sakit?" Kenzo menyentuh kening Kanaya dengan punggung tangannya.

"Tidak panas. Tapi, kenapa kau sepucat ini?"

"Aku ... aku ... "

Pandangan gadis itu mendadak gelap dan ia mulai kehilangan keseimbangan tubuhnya. Dengan sigap, Kenzo menahan tubuhnya.

"Nay, Kanaya! Bangun!"

Kenzo berusaha menyadarkan sang adik, namun ternyata ia tidak kunjung membuka matanya.

Chapter 2

Beberapa pasang mata mendelik sinis dan beberapa pasang mata lainnya memandang kagum ketika Kenzo menggendong Kanaya yang tengah tak sadarkan diri pergi ke UKS.

Seusai upacara, sekolah memang memberi waktu bebas selama 10 menit sebelum jam pelajaran berlangsung.

"Ken, Kanaya kenapa?" tanya Gabriel, sahabat Kenzo.

"Tidak tahu." jawabnya singkat.

Pria bertubuh besar itu pun memutuskan untuk mengikuti Kenzo ke ruang UKS tanpa bertanya lagi. Karena percuma saja, jawaban Kenzo akan sama seperti hubungannya dengan Ciara, mantan kekasihnya, singkat.

"Astaga, kenapa dia?! Ayo, baringkan dia di sini!" ujar Bu Intan, perawat khusus di ruang UKS menyiapkan pembaringan untuk Kanaya.

"Dia tiba-tiba pingsan setelah upacara tadi." tutur Kenzo dengan nafasnya yang terengah-engah setelah membaringkan tubuh mungil adiknya di sana.

"Baiklah, kalau begitu akan saya periksa dahulu. Sebaiknya kalian menunggunya di luar!" pinta Bu Intan.

"Siap, Bu." sahut Gabriel seraya membalikkan tubuhnya hendak keluar.

"Tapi saya kakaknya," tukas Kenzo.

"Kau ... "

"Kenzo tampan, sebaiknya kita tunggu di luar, yuk!" Gabriel memundurkan langkahnya, lalu menarik tubuh Kenzo keluar dari sana.

"Riel, tapi Kanaya pasti akan mencariku," protes Kenzo.

"Jika aku tidak menarikmu keluar, sudah pasti Bu Intan itu akan berpidato mengenai etika pemeriksaan yang panjang kali lebar, sampai berbusa pun tidak akan selesai. Apa kau mau adikmu tidak segera mendapat penanganan?"

Mendengar penjelasan dari sahabatnya itu, ada benarnya juga. Mengingat Bu Intan adalah tipikal orang yang sudah berbicara A, ia akan menjabarkannya sampai Z.

"Hah, percuma saja berbicara panjang lebar kepadamu. Kau tidak pernah membalasnya!" decak Gabriel sembari berkacak pinggang.

"Ya," sahut Kenzo malas, ia juga kelelahan mempunyai sahabat yang satu model dengan Bu Intan.

"Ya?" Gabriel mengacak rambutnya frustasi, "apa dalam kamus bahasamu tidak ada kata-kata lain selain ya atau tidak, Ken? Satu kalimat, bukan satu kata. Misalnya; Gabriel, kau sangat keren hari ini!" ujarnya, ia geregetan jadinya kepada sahabatnya itu yang sangat irit berbicara.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," Kenzo mengucapkan satu kalimat yangg sering ia katakan kepada sang adik, Kanaya.

Seketika Gabriel melebarkan matanya, kemudian pandangannya berkeliling dengan waspada.

"Kau mengatakan itu kepadaku, Ken? Apa ada yang salah denganmu?" bisik Gabriel sembari menatap wajah datar Kenzo dengan lekat.

Kenzo hanya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Ini adalah salah satu alasan dirinya tidak bisa berbicara lebih banyak kepada Gabriel. Otaknya sangat kotor.

Padahal ia mengatakan hal itu karena kalimat itulah yang selalu tersedia dalam kamusnya. Terkhususnya untuk adik kesayangannya.

"Kak Kenzo!" Maura baru tiba di sana dengan nafas terengah.

"Eh, Maura. Kau sudah melakukan apa sampai-sampai berkeringat dan ngos-ngosan seperti itu? Oh, habis mencuri air minum dari kantin ya?" sungut Gabriel yang tak pernah disaring, ketika melihat Maura membawa sebotol air mineral.

"Hah, sembarangan! Tadi Maura dari kantin membeli air ini untuk Kanaya, karena tadi wajahnya pucat dan bilangnya dia haus. Tapi, sewaktu Maura kembali ke lapangan, dia sudah tidak ada. Siswi lain bilang, sudah dibawa sama Kak Kenzo. Jadi Maura langsung berlari lagi ke sini," jelas Maura berterus terang.

"Oh, begitu. Maura pasti capek, ya?" tanya Gabriel, mode buaya darat on.

"Ya, lumayan sih, Kak. Tapi syukurlah kalau Kanaya sudah dibawa ke sini, biarkan dia istirahat dahulu. Maura balik ke kelas saja. Dah Kak Kenzo!" pamitnya seraya berlalu dari sana tanpa menghiraukan Gabriel.

"Dah Kak Gabriel!" sindir Gabriel dengan sedikit keras, "imut-imut begitu, ternyata menyebalkan juga. Bocil ... bocil ... " gerutunya seraya duduk di samping Kenzo.

"Kenapa lama sekali?" gumam Kenzo gelisah.

Beberapa detik kemudian, bel masuk berbunyi nyaring. Membuat semua siswa menyeruak memasuki kelasnya masing-masing.

"Ken, bel sudah berbunyi," ucap Gabriel seraya beranjak dari tempatnya.

"Aku mendengarnya."

Gabriel mendadak menelan salivanya. Dia lupa bahwa berbicara dengan Kenzo juga tidak berlaku dengan kode-kodean. Anak itu selalu bertindak sesuai logikanya.

"Maksudku, ayo pergi ke kelas!" ajaknya.

"Kau saja, aku akan menemui Kanaya." Kenzo beranjak dari tempatnya untuk memasuki UKS kembali.

Gabriel mendengus kasar, merasa dirinya tidak berarti di mata Kenzo.

"Hey, kenapa kau kemari lagi? Kau tidak dengar bel sudah berbunyi?" tegur Bu Intan yang tengah menata riasannya kembali di dekat jendela setelah selesai menangani Kanaya.

"Adik saya kenapa, Bu?" Kenzo balik bertanya tanpa menghiraukan teguran Bu Intan barusan.

"Haish, apakah anak-anak sekarang tidak diajarkan sopan santun oleh orang tuanya?!" cibir Bu Intan, tidak terima karena merasa dirinya tidak dihargai oleh Kenzo.

Kenzo menghentikan langkahnya sewaktu ingin mendekati Kanaya yang masih terbaring lemah di sana. Kemudian, ia memandang lekat Bu Intan dengan iris pekatnya.

"Memang tidak pernah, Bu. Kami memang tidak pernah mendapat ajaran seperti itu dari orang tua kami. Mereka lebih mementingkan pekerjaan dari pada anak-anaknya. Jadi, jika bukan saya, siapa lagi yang akan memerhatikannya? Apa Anda? Saya rasa tidak. Sekarang saja, Anda lebih mementingkan riasan Anda dari pada memantau perkembangan medis adik saya yang sampai sekarang belum juga sadarkan diri." papar Kenzo dengan sinis.

Saat itu juga, Bu Intan kicep. Ia menjatuhkan pensil alisnya yang berwarna coklat itu.

"Tu-tu-tunggu! Kau mau bawa dia ke mana?" cegah Bu Intan ketika Kenzo menggendong Kanaya.

"Ke rumah sakit!"

"Tunggu, tunggu! Jangan bawa dia ke rumah sakit. Saya akan terus memantau perkembangannya." Bu Intan nyaris memohon kepada Kenzo, karena ia takut mendapat surat peringatan dari sekolah jika pihak sekolah tahu mengenai kinerjanya yang kurang baik.

Kenzo tidak menggubrisnya sedikit pun, ia terus saja melangkahkan kakinya keluar sembari menggendong Kanaya.

"Bisa-bisanya sekolah elit ini mempekerjakan staff lalai seperti dia!" batin Kenzo geram, sembari melangkahkan kakinya melangkah jauh ke luar.

Lorong sekolah nampak sepi, hanya ada satu dua siswa yang masih berada di luar, karena yang lainnya telah melangsungkan kelasnya masing-masing.

"K-kak ... " parau Kanaya yang baru tersadar.

"Eh, Nay. Kau sudah sadar. Apa? Apa yang kau rasakan? Sakit? Bagian mana yang sakit?" cecar Kenzo, karena khawatir.

Kanaya terkekeh dengan suara lemahnya, "turunkan aku dahulu, Kak! Malu, banyak yang lihat." lirihnya.

Memang benar, sebagian siswa memandangi mereka melalui jendela kelasnya.

Kenzo pun mengurai pangkuannya dengan perlahan, kemudian ia menuntun adiknya itu ke sebuah kursi yang berada di sisi lorong kelas.

"Kak, aku lapar. Aku belum sempat sarapan tadi," cicit Kanaya.

Kenzo melebarkan matanya, "jadi, kau pingsan karena belum mengisi perutmu, Nay?"

Kanaya menganggukkan kepalanya sembari menggigit kecil bibirnya. Ia tidak berani menatap mata Kenzo. Kakaknya itu pasti marah karena ia bangun terlalu siang sampai tidak sempat untuk sarapan.

"Ayo, aku akan mengantarmu ke kantin!" ajak Kenzo.

Netra Kanaya berbinar, "eh, Kak Kenzo tidak marah kepadaku?" batinnya.

"Aku berbaik hati kepadamu hanya karena sekarang banyak pasang mata yang melihat kita, Nay. Lihat saja nanti!" batin Kenzo.

Kenzo pun memapah Kanaya menuju kantin dan membelikannya makanan yang banyak di sana.

"Makan yang banyak! Agar tubuhmu cepat bertumbuh!" celetuk Kenzo menyinggung ukuran tubuh Kanaya yang mungil.

Kanaya hanya mendelik sinis ke arah Kenzo dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Apa? Telan dulu makanannya!" Kenzo terkekeh melihat wajah menggemaskan itu, kemudian ia mengelap noda yang berada di sudut bibir Kanaya.

"Eh, eh, eh, orang lain belajar, kalian malah bermesraan di sini!" Tiba-tiba sesosok bertubuh gempal menghampiri mereka.

"Eh, Pak Roki. Makan, Pak!" sapa Kanaya kepada seorang kesiswaan di sekolah ini.

"Makan, makan, ya jelaslah saya ikut!" Pak Roki pun ikut bergabung bersama Kenzo dan Kanaya.

Pria paruh baya bertubuh gempal itu memang mudah takluk dengan makanan. Seakan lupa kewajibannya sebagai kesiswaan, mereka makan bersama dengan tenang.

"Staff sekolah ini memang tidak ada yang beres!" Kenzo berdecak dalam hatinya.

Chapter 3

"Indah?"

"Hadir!"

"Jefry?"

"Hadir, Bu!"

"Kenzo?"

Bu Ashanty, seorang guru fisika yang menyandang gelar sebagai guru killer tengah mengabsen siswanya.

"Kenzo?" panggilnya sekali lagi ketika tidak mendengar sahutan, dengan tetap memandangi buku agenda absennya.

"Kenzo?" panggilnya lebih keras sembari mengalihkan pandangannya, mencari keberadaan Kenzo.

"Kenzo tidak masuk?"

"Masuk, Bu!" seru Gabriel, sembari menunjuk ke arah meja Kenzo.

Bu Ashanty hanya melihat tasnya saja di sana, "Gabriel, apa kau mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata?" selidiknya.

Anak-anak di sana mendadak merinding dan melemparkan tatapan aneh kepada Gabriel.

"Tidak, Bu. Maksud saya, karena tasnya ada, berarti Kenzo masuk, begitu." tutur Gabriel.

"Lalu, di mana sekarang raganya?" desak Bu Ashanty.

"Tadi Kanaya pingsan, Bu. Jadi Kenzo menemaninya di UKS," jelasnya.

Bu Ashanty mengerutkan keningnya, "Kanaya? Siapa Kanaya?"

"Anak kelas 10 IPA, Bu. Yang kelasnya di lantai 2," tambahnya.

"Maksud saya, dia itu siapanya Kenzo? Apa dia sepenting itu sampai Kenzo harus menemaninya di UKS?"

Para siswi di kelas tersebut menatap Gabriel, menuntut jawaban yang sebenarnya mengenai hubungan Kenzo dan Kanaya yang belum mereka ketahui.

"Mereka itu ... "

"Maaf, saya terlambat, Bu." Kenzo datang, tepat di saat Gabriel akan mengungkap yang sebenarnya.

"Et, et, et, mau ke mana kau?" cegah Bu Ashanty dengan merentangkan penggaris raksasanya yang selalu ia bawa sewaktu Kenzo hendak menuju mejanya.

"Mau duduk," sahut anak itu, singkat.

"Tidak bisa!" Bu Ashanty membenarkan kaca mata besarnya yang selalu kedodoran, "karena kau terlambat, tulis materi ini di papan tulis!" lanjutnya, memberi sedikit hukuman.

"Saya tidak bisa," Kenzo menolak buku tebal yang Bu Ashanty sodorkan.

"Jadi, kau lebih memilih membersihkan toilet?" ujarnya dengan berkacak pinggang.

Dengan segera, Kenzo meraih bukunya dari tangan Bu Ashanty.

"Saya akan menulisnya, Bu."

Bagaikan dapat melihat indahnya gerhana dengan matatelanjang, para siswi di kelas bersorak girang dalam hatinya.

Biasanya, mereka selalu mencuri pandang dengan susah payah ke arah meja Kenzo yang terletak di barisan paling belakang, kini mereka dapat melihatnya dengan mudah.

"Baiklah, Ken. Ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhirmu menulis di depan kelas seperti ini." gumam Kenzo dalam hatinya, menderita.

Eksklusif, hanya di kelas 12 IPA kejadian langka ini dapat terjadi.

"Semangat, Ken!" teriak Gabriel.

"Semangat, Kenzo!" Semua siswi mengikutinya.

Kenzo hanya bisa mencebik dalam hatinya. Rasanya, ia ingin menyumpal mulut besar Gabriel dengan tinta spidol yang sedang ia pegang.

"Ken, tulisannya yang jelas, dong. Agar teman-temanmu dapat melihatnya dengan mudah!" kritik Bu Ashanty.

Kenzo menghembuskan nafas kasarnya.

"Tidak apa-apa, Bu. Kita sudah melihatnya dengan jelas, ya 'kan?" Salah satu siswi melakukan pembelaan.

"Ya, benar!" sorak siswi lainnya.

Bagaimana tidak? Mulai dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, mereka melihat Kenzo dengan jelas. Mengenai tulisannya, memang benar, mereka sampai kesulitan untuk melihatnya.

Seperti pegunungan yang tak beraturan, tulisan Kenzo di papan tulis terkandang menurun, terkadang pula menanjak. Ukuran tulisannya pun sangat kecil menyerupai barisan semut yang merayap.

Masa bodoh dengan bentuk tulisannya yang tidak sedap dipandang, yang penting hari ini ia tidak dihukum untuk membersihkan toilet.

"Ken, apa kau sedang menggambar semut berjalan di sana?" protes Ryo, siswa yang terkenal badung di SMA Raya Agung.

"Ryo, jika tidak kelihatan, pindahlah ke depan! Jangan membuat kegaduhan!" tukas Ciara, yang merupakan wakil Ketua Murid di kelas itu.

Ryo menatap tajam Ciara, tanpa sadar bahwa dirinya tengah tertusuk oleh tatapan yang lebih tajam dari Gabriel di sana.

"Berani-beraninya kau menatap dia seperti itu!" batin Gabriel, marah.

"Kau tidak tidur, Ryo?" sindir Kenzo kepada si badung yang selalu tidur di sepanjang jam pelajarannya.

"Sudah, sudah, jangan ribut. Ken, duduklah di mejamu!" ujar Bu Ashanty mengambil alih tugas Kenzo.

Kenzo menduduki mejanya yang berada di samping Gabriel. Sementara Ryo, masih menatapnya dengan tidak suka.

Menyadari hal itu, Gabriel sedikit menyondongkan tubuh besarnya untuk menghalau tatapan Ryo kepada Kenzo, kebetulan mejanya berada di antara mereka berdua.

Kenzo dan Ryo adalah siswa yang sering kali bertentangan. Ryo tidak pernah membuat masalah dengan siswa lain kecuali Kenzo. Entah itu karena dirinya iri atau muak, mengingat kebanyakan siswi di sana selalu mengagung-agungkan Kenzo.

Setelah selesai menulis materi pelajarannya, Bu Ashanty pun menjelaskan dengan rinci. Semua siswa pun fokus untuk mendengarkannya. Sedangkan Ryo, anak itu lebih memilih untuk melipat kedua tangan di atas mejanya, kemudian kembali tertidur di sana.

Bu Ashanty sudah terbiasa dengan hal itu, ia membiarkan Ryo tertidur di sana dari pada anak itu membuat kegaduhan.

Selang satu jam kemudian, bel berbunyi dengan nyaring membuat suasana kelas mendadak gaduh.

"Huh, akhirnya!" Gabriel meregangkan punggungnya yang kaku setelah bertahan dengan pelajaran Bu Ashanty yang menegangkan. Bukan hanya gurunya yang galak, pelajarannya pun tak kalah galak.

Gabriel beranjak untuk menghampiri Ciara di mejanya, " hay, Ciara. Mau ke kantin?" Mode buaya darat, on.

"Tidak," jawabnya cuek sembari mengemas barang-barangnya ke dalam tas.

Gabriel duduk di meja depan Ciara, kemudian memandang gadis pemilik rambut sebahu itu dengan lekat.

"Ciara, apa kau masih marah denganku?" tanya Gabriel.

"Apa masalahmu? Kita sudah putus." jawab Ciara, pedas.

"Kau tidak bisa memutuskanku secara sepihak, Ciara ..." ucap Gabriel merengek kepada sang mantan.

Ciara menghentikan aktifitasnya, "pacarmu banyak, kenapa kau masih menginginkanku?"

"Ciara, kau salah paham mengenai hal itu. Pacarku hanya kau satu-satunya," elak Gabriel.

"Sudahlah, aku sedang malas berdebat denganmu!" Ciara berlalu dari hadapan Gabriel setelah selesai mengemas barangnya.

"Ciara! Ciara!" panggil Gabriel.

Namun punggung gadis itu telah lenyap di balik pintu kelasnya, meninggalkan Gabriel di sana.

Playboy kelas kakap itu menghampiri meja Kenzo dengan lemah, letih, lesu, dan tidak berdaya setelah ia gagal lagi mendapatkan hati Ciara kembali.

"Ken, Ciara menolakku lagi," keluhnya.

"Itu bukan urusanku." ucap Kenzo sembari memainkan ponselnya.

Gabriel hanya bisa meratapi nasibnya sendiri yang pelik untuk meraih cinta Ciara kembali.

"Kalau begitu, untuk menghibur hati yang lara ini, bagaimana kalau kita ke kantin dan memesan makanan yang enak-enak di sana?" ajak Gabriel, puitis.

"Ayo." jawabnya singkat.

"Hey, mau ke kantin ya?" Tidak ada hujan, tidak ada badai, Ryo tiba-tiba saja mengalungkan tangannya ke bahu Gabriel dengan sedikit berjinjit mengingat dirinya sedikit lebih pendek.

Dengan spontan, Gabriel melepaskan tangan Ryo darinya, "apa kau butuh teman, sekarang?" ejeknya.

Ryo memang terkesan selalu terlihat sendiri. Bukan karena cupu, namun tidak ada yang berani mendekatinya. Tidak ada yang bisa menyeimbangi kenakalannya. Anak itu selalu berbuat nekat dan tidak pernah berpikir dua kali.

"Hati-hati dengan ucapanmu, Gabriel!" bisik Ryo, membuat bulu kuduk Gabriel mendadak berdiri.

"Ayo, Riel." Kenzo berlalu dari sana tanpa menghiraukan Ryo.

Gabriel pun mengikutinya. Ryo menyunggingkan sebelah sudut bibirnya sembari menatap kepergian Kenzo dengan sinis.

"Kanaya ... Kenzo ... Kanaya ... Siapa dia?" gumam Ryo, dengan maksud terselubung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!