NovelToon NovelToon

The Devil Husband

Gadis Panti

Seruni Dendam Istri Pertama Bagian 1

Oleh Sept

🌷🌷🌷

Namaku Seruni, aku tumbuh dan besar di salah satu panti asuhan di pinggir kota. Ketika mulai dewasa, aku mencoba mengadu nasib. Kala itu usiaku baru 17 tahun, beberapa minggu sebelumnya aku baru saja diwisuda di sekolah menegah atas yang terletak tidak jauh dari panti asuhan selama ini aku tinggal.

Tekadku sangatlah kuat, ingin merubah nasib. Maka berangkatlah aku dari salah satu tempat di Jawa timur dengan uang saku seadanya yang aku dapat dari pengurus panti. Aku pergi ke Jakarta dengan harapan semoga hidupku lebih baik. Setidaknya jika aku bisa menghasilkan sedikit rupiah, ingin aku berikan pada bu Fat. Aku memanggilnya Bu Fat, beliau adalah Bu Fatimah, orang yang sangat berjasa selama ini padaku.

Wanita paruh baya itu juga yang telah memberikan nama padaku. Dan selama ini, ia seperti ibu bagiku. Menurut cerita orang yang aku dengar, aku masih bayi ketika pengurus panti menemukanku di depan pagar. Hemm ... Aku diletakan begitu saja di dalam sebuah kardus bekas mie instan. Ya, kata salah satu pengasuh panti asuhan saat aku korek cerita lamaku, dia akhirnya mau cerita. Bahwa aku hanya ditutupi beberapa lembar koran dan diletakan di dalam kardus begitu saja. Ari-ariku saja katanya masih menempel. Mungkin aku baru lahir beberapa saat sampai akhirnya aku dibuang. Miris, tapi itu yang aku dengar.

Jika ingat itu, sungguh aku ingin sekali menangis sampai sekarang. Apa salahku? Mengapa orang tua kandungku tega sekali? Padahal aku sama sekali tidak meminta dilahirkan ke dunia ini. Dan kata orang, aku mungkin anak hasil hubungan gelap. Aku hanya tersenyum, sebab mungkin itu benar adanya. Hemm, sudahlah. Itu sudah berlalu. Kini usiaku sudah 21 tahun. Bahkan aku sekarang sudah berkeluarga. Ya, aku sudah menikah.

Ceritanya sangat panjang, hingga sampai aku menjadi seorang istri dari pria yang cukup baik karena tidak pernah kasar padaku, ya meskipun agak dingin, mas Erwin Prasetya namanya. Dan kami menikah tiga bulan yang lalu. Mas Erwin adalah putra satu-satunya dari salah satu donatur tetap di panti asuhan kami. Orangnya cukup baik meskipun sekilas tampak dingin, aku mengenal ibunya sudah lama. Kami dijodohkan, saat itu aku pulang dari Jakarta, kebetulan aku pulang beberapa bulan sekali, bu Fat berniat menikahkan aku dengan salah satu anak donatur. Aku sendiri heran, mengapa aku? Aku yatim piatu, dan selama di Jakarta pekerjaanku hanya sebagai seorang kasir di salah satu mini market. Jadi menurutku aku bukanlah kembang desa yang didambakan banyak pria. Lalu mengapa aku?

Orang tua mas Erwin tidak banyak bicara, langsung meminta pada bu Fatimah agar aku pulang. Sampai akhirnya sekarang aku sudah menikah. Meskipun suamiku sejak awal sudah dingin, aku tidak pernah berpikir macam-macam, karena kami menikah hasil perjodohan. Yang penting dia tidak pernah lalai dalam hak dan kewajibannya selama ini. Kami seperti pasangan kebanyakan, meski jarang komunikasi. Tapi semua kebutuhanku sangat tercukupi, aku tidak pernah kekurangan.

Mas Erwin punya rumah yang lumayan besar, rumah yang aku tinggali saat ini. Bahkan dia juga punya mobil. Sekali dua kali dia mengajak keluar, sekedar belanja bulanan. Selebihnya dia akan berangkat pagi dan kadang pulang malam. Katanya sih pekerjaannya sangat banyak. Tapi aku tidak pernah bertanya lebih jauh, karena tidak mau dia menganggap aku cerewet. Seperti malam ini, sudah jam sembilan malam mas Erwin baru pulang.

Ku buka pintu saat mendengar deru mobil Pajero milik suamiku. Ku sapa dia dengan senyum yang lembut seperti biasa. Dan kulihat wajahnya sangat lelah. Ekspresi suamiku sama, dingin seperti biasanya.

"Kok baru pulang, Mas?" tanyaku hati-hati.

Pria itu hanya memberikan tasnya padaku, kemudian masuk ke dalam rumah. Aku pun menghela napas dengan dalam.

'Pasti mas Erwin capek,' isi dalam kepalaku.

Aku susul suamiku masuk ke dalam, aku letakkan tas di atas meja. Kemudian ku bantu mas Erwin melepaskan sepatunya yang terbuat dari kulit sapi itu. Sepatu yang dibeli bersamaku waktu kami menuju telaga Saragan. Ya, sepatu dari kulit sapi yang ada di Magetan. Di sana merupakan sentra pengrajin kulit. Dan itu adalah waktu pertama kali mas Erwin mengajakku jalan-jalan cukup jauh. Bukan sepenuhnya Jalan-jalan sih, karena waktu itu libur lebaran.

Kebetulan kakek dan nenek mas Erwin asli Surakarta, karena hanya 2 jam dari telaga Saragan, kami pun memutuskan mampir. Hanya semalam, karena setelah itu kami balik ke ibu kota. Gara-gara menatap sepatu kulit ini, pikiranku malah lari ke masa lalu. Sadar sudah melamun, aku pun berdiri dan bertanya pada pria yang terlihat lesu tersebut.

"Aku siapkan air anget buat mandi ya, Mas?" tanyaku sambil meletakkan sepatu mas Erwin di rak sepatu yang ada di samping pintu.

"Hemm!" jawab suamiku malas. Sepertinya dia benar-benar lelah. Wajahnya sangat kusut sekali. Apakah pekerjaan di kantor sangat berat? Lagi-lagi aku kasihan pada suamiku yang selalu pulang malam akhir-akhir ini.

Sesaat kemudian, aku memanggil suamiku. Aku katakan bahwa air mandinya sudah siap. "Airnya sudah siap, Mas. Mas mandi dulu biar capeknya hilang," ucapku.

Mas Erwin kemudian bangkit dari duduknya, tanpa menatapku ia langsung meraih handuk di atas ranjang yang sudah aku siapkan sebelumnya. Dan ketika menunggu mas Erwin mandi, aku membereskan barang-barangnya. Aku ambil jas mas Erwin yang tergeletak di atas sofa, hendak ku masukkan ke dalam keranjang cucian yang kotor. Namun, saat aku memasukkan jas itu, sesuatu malah terjatuh.

Aku pikir hanya kertas biasa. Tapi jangan-jangan itu penting, pikirku. Aku pun meraihnya, membuka dan mencoba membacanya. Entah mengapa, aku yang biasanya acuh dan tidak terlalu tertarik dengan apa-apa, saat itu tiba-tiba menjadi penasaran.

"Hotel?" gumamku lirih. Kulihat tanggal yang tertera, itu adalah hari ini.

"Apa mas Erwin bertemu klien di sebuah hotel?" Aku kembali bertanya-tanya. Apalagi di bill book tertera harga yang cukup lumayan. Sepertinya sih hotel besar. Coba nanti aku tanyakan pada mas Erwin, tapi aku takut. Nanti dia akan tersinggung. Sudahlah, mungkin klien penting. Lagi-lagi aku menepis pikiran buruk. Sambil menghela napas panjang, aku mencoba berpikir yang baik-baik. Demi keutuhan rumah tangga ini.

***

Tengah malam.

Aku terbangun ketika larut malam, kulihat di sebelahku, kosong tidak berpenghuni. Sambil mengosok kedua mata ini, untuk menjernihkan pandangan, aku pun menatap sekeliling.

"Mas Erwin ke mana? Apa ke kamar mandi?" gumamku.

Beberapa saat kemudian, kulihat jam. Sudah sepuluh menit berlalu, kok suamiku belum kembali. Aku malah mendengar suara orang yang berbicara dengan lirih. Lagi-lagi aku jadi suka penasaran. Dengan langkah pelan aku keluar kamar. Dan benar saja, mas Erwin sedang duduk di ruang tamu. Sepertinya dia sedang bicara di telpon. Ku tatap jam dinding besar yang ada di ruang tamu. Sudah pukul satu malam, dia bicara sama siapa? Ini sudah sangat larut. Rasanya tidak mungkin rekan kerjanya.

Rasa ingin tahuku semakin membuncah, tatkala melihat suamiku tersenyum saat bicara di telpon. Suamiku ini sangat pelit senyum, dan tidak ku sangka dia tersenyum terus sambil berbicara. Apalagi suaranya sangat lembut, tidak dingin ketika berbicara denganku. Astaga, kenapa aku jadi merasa sangat terusik. Karena penasaran, aku pun malah menguping. Aku sengaja bersembunyi di balik gorden pembatas ruang tamu. Ku dengar sayup-sayup dia mengatakan sayang.

"Sayang?" Dahiku langsung mengkerut. Aku malah semakin ingin tahu. Tapi jujur, jantungku mendadak berdegup kencang saat itu. Ditambah rasa takut, takut ketahuan dan juga takut kalau apa yang aku dengar akan membuat hatiku hancur. Bagaimana bisa pria dingin itu mengumbar sayang pada wanita selain aku? Bagaimana jika suami yang dingin padaku ternyata sangat hangat pada wanita di luar sana?

Bersambung

IG Sept_September2020

FB Sept September

Agar author rajin up, jangan lupa tekan SUKA/Like dan komentar. Terima kasih bestiiii.

Gelagat Tidak Biasa Suamiku

Seruni Dendam Istri Pertama Bagian 2

Oleh Sept

Masih mencoba untuk sembunyi tanpa bersuara, lama-lama aku pun mulai mendengar dengan jelas. Meskipun takut yang kudengar akan membawa luka, aku tetap penasaran. Siapa yang sedang ditelpon suamiku malam-malam begini?

Kembali aku menyiapkan hati, mencoba tenang lagi. Agar bisa mendengar dan menangkap obrolan apa yang sedang mereka bicarakan di telpon saat ini. Ku dengar mas Erwin mengatakan sesuatu lagi. Sesuatu yang membuatku cukup tertegun.

"Iya, besok aku jemput. Kita ketemu di tempat biasanya saja. Sabar ya! Kamu harus sabar. Sudah malam juga, kamu cepatlah tidur. Jangan bergadang ... iya, Sayang!"

Suara mas Erwin di telpon bagai petir yang langsung menyambar tepat ke ulu hati. Saat ia kembali mengucap kata sayang. Kata yang sangat biasa, tapi ketika mas Erwin mengatakan itu untuk wanita lain, cukup membuat jantungmu berdegup kencang. Kaki ini pun seketika lemas, panggilan mesra itu telah berhasil merenggut semua kekuatanku. Aku membekap mulut rapat-rapat, agar tangisku tidak didengar olehnya.

"Mas Erwin, siapa yang engkau telpon?" batinku menjerit. Aku tidak mampu bertanya langsung, hanya menangis dalam diam tanpa suara.

Tidak mau ketahuan kalau aku baru saja menguping, aku lantas berbalik. Dengan langkah hati-hati aku masuk kembali ke kamar. Ku tarik selimut dan hanya mampu menangis menatap tembok di depanku. Dan sepertinya ini adalah awal dari petaka itu. Di mana hari-hariku mungkin akan terisi nestapa karane ulah suamiku yang dingin padaku, akan tetapi sangat hangat untuk wanita lain di luar sana.

Tap tap tap

KLEK

Kudengar derap langkah kaki mas Erwin yang mendekat. Ia juga sangat pelan menutup pintunya. Mungkin mas Erwin pikir aku sudah tidur. Dan tidak ingin membuat aku bangun. Padahal aku hanya pura-pura. Ya, mungkin aku bodohhh. Tapi ini adalah pilihanku, aku tidak mau rumah tangga ini hancur. Jika aku tanyakan siapa wanita yang ia panggil sayang di telpon.

Biarlah, aku akan mengalah. Belum tentu juga mas Erwin main hati. Mungkin tadi hanya bercanda, hanya gurau belaka. Tapi itu sangat tidak mungkin. Ya Tuhan, hatiku benar-benar gamang. Dirundung dilema yang berat. Jika aku bertanya, aku takut jawabannya akan menyakitkan.

Perang batin pun di mulai. Aku menepis semua pikiran miring. Mencoba mengatakan pada diriku sendiri. Semua baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja.

'Aku istri sah mas Erwin. Suamiku pria yang memiliki pekerjaan mapan, dia juga lumayan tampan. Pasti banyak wanita yang melirik suamiku ... jangan khawatir Seruni ... kamu tetap pemilik sah. Tidak peduli banyak wanita penggoda, mungkin mas Erwin hanya butuh selingan!' ucapku dalam hati.

Aku mencoba kuat, tapi separuh hatiku ternyata tidak bisa aku dustai. Mataku kembali perih, malam ini aku benar-benar menangis dalam kebisuan. Betapa lemahnya aku, apa karena cinta ini sudah mulai tumbuh?

Bagaimana rasa itu tidak tumbuh? Selama ini mas Erwin bahkan menyentuhku dengan lembut. Bahkan dia adalah pria pertama yang sudah merobek selaput darah perawanku. Ya, meski dia terlihat acuh dan dingin ... setidaknya ada sedikit kehangatan saat kami berhubungan.

'Jangan-jangan mas Erwin begini karena aku kurang berani saat di ranjang? Apa dia tidak puas dengan apa yang aku berikan? Apa benar seperti yang aku dengar menurut kata orang-orang? Jadilah pe la cur ketika malam bersama suamimu. Apa aku kurang membuat suamiku puas?' Aku terus berpikir yang aneh-aneh, hingga tanpa sadar mata ini mulai terpejam.

***

Esok harinya. Suara burung di pohon dekat jendela bersahutan. Aku lihat sepasang burung kecil sedang bertengger di ranting. Tidak jauh dari sana, ada lagi burung yang terlihat hanya seorang diri.

Mendadak aku tersenyum simpul, kemudian kembali merapikan gorden kamar. Mas Erwin sedang mandi, aku pun sudah bangun pagi-pagi sekali. Dan sedikit-sedikit aku memakai bedak, untuk menutupi mataku yang sembab.

"Seruni ... Runi!"

Aku menoleh, kulihat suamiku baru keluar kamar mandi.

"Iya, Ma."

"Kemejaku yang biru mana? Aku ingin pakai itu."

Aku langsung beranjak, dan mengambil pakaian yang suamiku mau. Tapi ia langsung menatap dingin.

"Bukan! Bukan ini!"

Aku heran, lalu yang mana? batinku.

"Yang mana, Mas?"

"Sudahlah! Aku ambil sendiri!"

Meski hatiku merasa tidak nyaman, aku memaksa untuk tetap bersikap biasa. Bahkan mencoba untuk tersenyum.

"Kok belum disetrika?" Wajah suamiku masam seketika.

"Baik, Mas. Aku gosok sekarang!" Kulihat suamiku menghela napas panjang. Sepertinya dia kesal karena kemeja ini terlewatkan tidak aku gosok.

'Kenapa aku teledor begini!' batinku kemudian menyiapkan tempat gosokan baju.

"Kalau kamu gak sempat, laundry saja!" ucapnya sambil mengambil kemeja lain yang sudah siap pakai.

Aku hanya menunduk, kemudian melanjutkan apa yang sebelumnya aku lakukan. Sesaat kemudian, kuberikan kemeja yang suamiku minta. Tapi dengan datar suamiku menolak.

"Tidak usah, aku pakai ini saja," ucapnya lalu meraih tas di atas meja. Aku hanya diam. Ya, Hanya bisa diam saja. Apalagi saat suamiku kembali berbicara.

"Malam ini aku pulang telat, gak usah siapin makan malam untukku."

"Lembur lagi, Mas?" lidahku spontan bertanya dengan lancar. Biasanya bisa aku tahan. Entah kenapa saat itu aku seperti kelepasan.

"Hemm!" jawab suamiku singkat.

Aku pun mengangguk pura-pura mengerti, meskipun dalam hati ingin bertanya. Mengapa suamiku selalu pulang malam? Mengapa ada bill book hotel? Apa suamiku lembur di hotel? Pikiran-pikiran buruk kembali memenuhi kepalaku.

Tin tin tin

Aku kaget, suamiku sudah masuk mobil dan menyalakan klakson agar aku menutup pagar. Buru-buru aku melangkah, hanya karena melamun membuat aku tidak konsentrasi.

"Kunci pintunya!"

Aku mengangguk menatap suamiku yang terlihat dari kaca mobil yang dibuka sebagian itu. Dan selepas mas Erwin pergi, aku mencoba melakukan hal yang biasanya aku lakukan. Sayang, gara-gara kejadian semalam, aku benar-benar tidak bisa konsentrasi serta fokusku menjadi kacau.

Sudah satu cangkir yang aku pecahkan saat mencuci piring tadi. Pikiran ini sangat kacau, hingga aku putuskan untuk menelpon ibu panti yang sudah seperti ibuku sendiri. Pengasuh panti asuhan yang sudah sudi merawat serta memberikan nama padaku.

Ingin mencari ketenagan hati lewat kata-kata beliau, aku pun menekan nomor bu Fatimah di ponselku.

"Assalamu'alaikum, buk." Sapaku di telpon saat sudah tersambung.

"Waalaikumsalam, Seruni. Apa kabar? Lama gak telpon ibuk?"

Hanya mendengar beliau menjawab salam dariku, hati ini rasanya langsung adem. Ya, hanya bu Fatimah lah pelipur laraku selama ini. Sampai akhirnya aku mau dijodohkan itu pun karena desakan beliau.

"Alhamdulillah, baik. Ibuk sehat?"

"Alhamdulillah, ibu sehat. Bagaimana kabar nak Erwin? Apa kalian baik-baik saja? Akhir-akhir ini ibuk kok kepikiran kamu. Eh ... sepertinya kamu kerasa ya? Langsung telpon ibuk," ucap bu Fatimah. Aku dengat dari suaranya terdengar nada khawatir.

"Seruni sama mas Erwin baik-baik saja, Bu!" ucapku bohong.

"Syukurlah. Oh ya ... bagaimana? Sudah ada tanda-tanda kamu hamil?"

Aku langsung menelan ludah, dalam hati tersenyum miris.

"Belum, Bu."

"Sudah, tidak apa-apa. Ibu hanya tanya, jangan dipikirkan."

"Baik, Bu."

"Eh. Ibu ada tamu. Nanti sambung lagi ya?"

"Nggeh, Bu. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam!"

Tut Tut Tut ...

Niat hati ingin bicara lama dengan bu Fatimah, tapi sepertinya beliau sibuk. Alhasil aku seharian hanya menonton TV di rumah. Atau membersihkan rumah yang sudah rapi sejak awal. Ya, karena belum ada anak kecil, maka rumah kami jarang sekali berantakan. Selalu rapi dan barang tertata sesuai tempatnya.

Bosan, aku mencoba main ponsel. Ku lihat iklan di beranda media sosial. Banyak sekali yang menjual baju haram wanita yang cukup membuatku mengerutkan dahi.

"Siapa yang mau memakai baju seperti ini?" gumamku.

Sejenak aku tersadar, aku punya satu kado entah dari siapa. Penasaran, aku mencoba mencarinya. Seingatku, aku menyimpannya di bawah gantungan lemari. Dan benar saja, aku punya satu baju yang membuatku geli itu. Masih ada bandrol, mereknya masih menempel. Memang belum pernah aku pakai. Karena melihatnya saja aku sudah merinding.

Tapi mendadak dalam kepalaku seperti ada yang berbisik. 'Apa sebaiknya aku pakai ini nanti malam?' Tanpa sadar aku tersenyum malu, pipiku mungkin merona karena geli membayangkan jika aku memakai ini.

***

Pukul 9 malam.

Aku mondar-mandir di depan pintu, menanti mas Erwin yang sedang ke kamar mandi. Dia baru pulang sesaat yang lalu.

KLEK

Terdengar suara pintu terbuka, aku langsung naik ke ranjang dan menarik selimut. Aku sebenarnya memakai piyama lengkap, hanya saja di balik piyama itu, aku sembunyikan pakaian yang mungkin akan membuatku malu selamanya.

Demi menarik hati suamiku, sepertinya aku harus melakukan cara ini. Anggap saja mungkin aku sudah gila, haus perhatian dari suamiku sendiri. Tidak masalah, dari pada aku mendengar dia memanggil sayang pada wanita lain. Itu hanya menyisahkan rasa sakit yang tidak bisa aku ungkapkan.

Kulirik sekarang mas Erwin sedang ganti pakaian tidur. Tapi tidak langsung menyusuku ke ranjang, dia malah menyalakan laptop dan duduk di sofa kamar.

"Tidak tidur, Mas?" tanyaku basa-basi.

"Tidurlah duluan. Masih ada yang harus aku kerjakan."

Bibirku mengerucut, aku lihat suamiku bekerja dengan serius. Sepertinya ia memang sibuk bekerja, hingga aku ketiduran karena lelah menunggu suamiku.

***

Pukul 12 malam

Aku terbangun karena suara nyamuk yang mendenggung di telinga. Ku tatap sofa di mana hanya ada laptop yang terbuka, sedangkan suamiku kembali hilang.

'Apa dia telpon wanita lain lagi?' batinku.

Aku sudah pesimis, tapi tiba-tiba ku dengar gemricik suara air di kamar mandi. Aku langsung lega.

"Kenapa aku selalu berpikir buruk?" gumamku lirih.

Baru saja aku merasa lega, menepis segala gunda dan pikiran buruk tentang suamiku. Tapi ketika telingaku menangkap deesahan aneh dari kamar mandi, otakku kembali beku. BERSAMBUNG

IG Sept_September2020

Hotel

Seruni Dendam Istri Pertama Bagian 3

Oleh Sept

Cukup lama aku menunggu, menanti suamiku keluar dari dalam kamar mandi. Cemas sudah pasti, tanganku pun sudah terasa dingin. Aku gelisah, sungguh tiga bulan ini, baru pertama kali aku merasakan sesuatu yang semakin janggal pada diri mas Erwin.

KLEK

Ketika terdengar suara pintu yang terbuka, bergegas ku tarik kain selimut dan pura-pura tidur. Aku pun menutup mata. Ya, malam ini baju haram yang aku pakai sangat percuma. Karena aku memilih bersembunyi. Aku lari dari kenyataan, takut bila kebenaran itu sangat menyakitkan. Dan ku pikir mas Erwin akan langsung tidur, ternyata pria itu malah keluar kamar. Derap langkahnya sangat pelan, dan aku bisa merasakannya. Sepertinya jelas, bahwa suamiku sudah main belakang.

Baiklah, sepertinya besok aku harus melakukan sesuatu. Sebab aku tidak bisa terus begini. Aku tidak bisa hidup dalam kecemasan seperti ini. Aku harus tahu apa yang mas Erwin sembunyikan dariku. Besok aku akan mengikuti mas Erwin diam-diam. Sepertinya hanya itu cara yang bisa aku lakukan saat ini.

***

Pukul enam pagi, matahari bersinar sangat cerah, tapi tidak dengan hatiku. Pagi-pagi aku sudah di rundung gelisah karena rencana yang sudah aku susun semalam. Aku cemas karena takut ketahuan. Jika sampai mas Erwin tahu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi sudahlah, aku sudah bertekat, hari ini harus aku ikuti ke mana suamiku pergi.

Seperti biasanya, kami sarapan bersama. Aku melayani suamiku layaknya istri pada umumnya. Ku ambilkan nasi dan lauk kesukaan mas Erwin. Ayam goreng tepung dan sayur sop bening.

Satu-satunya yang aku kagumi dari mas Erwin adalah, meskipun masakanku tidak selezat koki hotel bintang lima, tapi dia selalu memakan makanan buatanku tanpa protes. Seperti pagi ini, meskipun hatiku rasanya campur aduk. Aku memaksa untuk tetap bersikap biasa di depan mas Erwin.

"Lauknya lagi, Mas?" tanyaku menyodorkan sepiring ayam goreng tepung buatanku sendiri. Dia hanya menggeleng, sepertinya tidak mau nambah.

Kulihat piring mas Erwin sudah kosong, sambil tetap makan, aku tetap melirik. Ku curi pandang suamiku yang mulai mengeluarkan gelagat aneh akhir-akhir ini.

"Mana kopiku?" ucap pria yang sudah menghabiskan sarapan bersamaku saat ini.

"Sebentar, aku buatkan."

"Belum buat? Kan biasanya aku kalau ngator ngopi dulu!" ucap mas Erwin dengan nada yang meninggi.

Aku jelas terkejut, mas Erwin memang dingin. Tapi jarang berbicara dengan nada tinggi hanya karena aku lupa membuatkan secangkir kopi.

"Maaf, Mas. Tunggu sebentar, aku buatkan."

Aku mendesis dalam hati, kenapa sampai lupa tidak menyiapkan kopi? Aku tidak pernah pelupa seperti ini. Gara-gara semalam, pikiranku jadi sangat kacau.

Sesaat kemudian aku kembali, hanya sebentar karena aku hanya perlu memasak dari air panas Despenser yang kemudian aku panaskan di atas kompor. Aku lakukan untuk menghemat waktu, ya ... agar suamiku tidak marah. Namun, apa yang terjadi? Kulihat suamiku sudah menenteng tas kerjanya.

"Kopinya, Mas?" seruku sambil mengangkat cangkir kopi agar mas Erwin menatap ke arahku.

Pria itu benar menatapku dengan wajah datarnya.

"Kamu lama sekali, aku sudah terlambat!" serunya kemudian meraih kunci mobil yang semula ada di depan meja TV.

Aku hanya tertunduk, kemudian menahan napas dalam.

"Tutup pintunya!" titah mas Erwin.

Aku pun bergegas, mengikuti suamiku berangkat kerja. Seperti biasa, ku kecupp punggung tangannya. Setelah itu dia masuk mobil. Tanpa melempar senyum atau apapun padaku.

Tidak lama kemudian setelah mas Erwin pergi, aku masuk ke dalam rumah. Aku mengambil tas serta ponsel. Aku sudah janjian dengan taxi online pagi ini. Entah apa yang aku lakukan ini benar atau salah, aku hanya ingin tahu kebenaran. Apa suamiku bekerja atau malah bermain dengan wanita lain di luar sana.

Pukul tujuh lebih tiga puluh menit, taxi yang kusewa seharian ini dengan uang tabungan sisa belanja yang aku miliki, sudah tiba di depan kantor suamiku. Mungkin aku berlebihan hingga menyewa satu taksi sehari untuk membuntuti mas Erwin.

Bagaimana lagi, sepertinya hanya ini yang bisa aku lakukan. Dan sepertinya kecurigaanku benar. Setelah masuk kantor, mobil suamiku keluar lagi.

"Mbak, itu plat nomornya yang sama kaya tadi, kan?" tanya sopir taxi yang usianya kutaksir masih awal 30an.

"Iya, Mas. Tolong ikutin. Tapi jangan dekat-dekat. Jangan sampai ketahuan."

Aku mewanti-wanti agar kami tidak ketahuan kalau sedang membuntuti mobil di depan. Dan hampir saja kami kehilangan jejak karena tersalip beberapa mobil truck di belakang. Membuat jarak kami terlalu jauh.

"Jangan sampai kehilangan jejak, Mas."

"Baik, Mbak."

Sopir itu tidak banyak bertanya, mungkin asal aku membayar banyak, dia tidak akan tanya macam-macam. Toh ini juga bukan urusan dia.

Aku lega, ketika mobil putih milih mas Erwin terlihat sedikit dekat. Meski juga was-was. Jarak kami terlalu dekat.

"Mas, pelan sedikit. Jangan sampai mobil di depan curiga."

"Baik, Mbak."

Aku bisa merasa, laju mobil yang aku tumpangi mulai pelan.

"Mbak, mobil di depan belok kanan. Apa kita ikuti atau tunggu di depan sini."

Aku menatap jendela, mataku langsung perih. Kulihat tulisan hotel begitu besar, seketika perutku langsung mulas. Ya, kalau banyak pikiran aku langsung mual.

"Mbak?" panggil sopir taksi online itu sambil menoleh ke belakang. Mungkin dia melihat betapa pucatnya wajahku saat itu.

"Masuk! Ikuti saja," ucapku dengan suara lirih. Sungguh aku ingin pergi dari sana. Ingin menghilang, ingin menutup saja mata dan telinga ini. Lebih baik aku tidak tahu apa-apa. Ya, sepertinya aku mulai dilema dengan apa yang sudah aku lakukan ini.

"Baik, Mbak."

Mobil yang aku sewa ini pun masuk ke parkiran hotel. Cukup lama aku terdiam, ingin masuk tapi takut.

'Apa sebaiknya aku kembali?' batinku takut melihat kenyataan yang mungkin membuatku sakit hati.

Aku menggeleng keras, jika ini terus berlangsung, aku pastikan aku akan mati menjadi hantu penasaran. Sudah sampai sini, aku harus masuk.

"Tunggu di sini, Mas."

"Baik, Mbak."

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah, agar sopir itu tidak pergi. Dengan jantung yang memburu, aku melangkah hati-hati masuk hotel.

Sampai di lobby hotel, ku lihat sekeliling. Aku lantas berbalik saat melihat punggung suamiku. Ku lihat dia akan naik lift. Tangannya menenteng paper bag, entah apa isinya. Aku semakin penasaran, sebab dari dalam tas itu menyembul beberapa bunga segar.

Setelah dia naik lift, aku buru-buru mempercepat langkah kaki ini. Kulihat ke lantai berapa suamiku pergi. Begitu tahu lantai berapa, aku langsung menyusul dengan lift yang ada di sebelahnya. Kutekan tombol lift agar cepat menutup karena aku sungguh buru-buru, tidak ingin kehilangan jejak.

"Ku mohon ... cepatlah!" gumamku saat lift mulai naik.

Beberapa menit kemudian. Pintu lift mulai terbuka, aku keluar dengan cemas. Jantungku kembali berpacu saat kulihat mas Erwin berjalan membelakangiku. Aku langsung berbalik, sembunyi di balik pot besar agar tidak ketahuan.

Kulihat dari jauh, mas Erwin masuk ke dalam sebuah kamar yang dibuka dari dalam. Dan ketika sosok suamiku menghilang di balik pintu, aku tidak bisa berpikir lagi. Aku ingin pulang, aku tidak berani melanjutkan semua ini, sepertinya aku pengecut.

Air sudah menggenang di mataku, rasa perih sudah menusuk hati ini. Dengan langkah gemetar aku maju. Langkah demi langkah ku lalui dengan berat. Hatiku ingin mundur, tapi kaki ini terus maju.

Tok tok tok ...

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!