NovelToon NovelToon

HURT SECOND WIFE

HSW BAB 1.Tagihan Hutang Dalam Novel Online

"Bayar hutang-hutangmu! Giliran ngehalu aja lancar kayak jalan tol bebas hambatan giliran disuruh bayar hutang, seret kayak perawan."

Mentari terperanjat saat melihat di kolom komentar novel online-nya ada seorang reader yang malah mengkritik kehidupan keluarganya bukan cerita yang ada di dalam novel. Sayangnya saat sudah membuka kolom komentar, sudah banyak balasan komentar dari para reader yang lain yang ikut mengomentari komentar reader tersebut, yang pastinya sangat pedas dan nyelekit sampai ke ulu hati.

Ada sebagian pembaca yang terpengaruh dengan komentar orang itu dan ikut merundung. Namun, banyak juga yang bersimpati dan bahkan membela. Ada sebagian pula yang hanya menganggap itu hanyalah kerjaan orang iseng semata. Namun, bagaimana pun pandangan orang lain, tetap saja itu membuat Mentari tidak nyaman.

"Wah parah siapa sih yang tega mengumbar hutang-hutang keluargaku di app seperti ini. Apa mungkin orang iseng? Atau memang sengaja mau menjatuhkan harga diriku? Ah, masa iya mereka, kan tidak kenal denganku apalagi tahu tentang keluargaku," batin Mentari.

"Benar, kan apa yang aku katakan?" tanya Alya sambil mengambil ponselnya kembali dari tangan Mentari.

Mentari hanya mengangguk. Saat itu mereka sedang ada di parkiran sekolah untuk mengambil motor Alya. Namun sebelum menuntun motornya keluar dari area sekolah untuk pulang, terlebih dahulu Alya mengecek ponselnya siapa tahu ada panggilan telepon atau chat penting yang masuk.

Tangannya tak sengaja memencet aplikasi tulis baca online dan akhirnya ia berselancar mencari novel buatan Mentari.

"Siapa yang tega melakukan ini?" tanya Mentari dengan suara lemah.

"Ya, pastilah orang-orang yang benci padamu dan juga orang tuamu."

Mentari terdiam wajahnya terlihat pias. Dia benar-benar malu meski tak pernah bertemu langsung dengan para readernya.

"Maafkan aku Mentari, bukan maksudku membuatmu sedih seperti ini." Alya merasa bersalah telah memberitahukan hal tersebut.

"Tidak apa-apa Al, ini bukan salahmu. Cepat atau lambat aku pun akan membaca tulisan tak bermoral itu."

Alya mengelus punggung Mentari. "Sudah yuk pulang, nanti aku cari tahu siapa pelakunya. Pasti orang-orang yang ada di sekitar kita."

Mentari mengangguk.

Alya menuntun motornya keluar area sekolah.

"Ayo Naik," ucapnya setelah dirinya sudah duduk dan siap untuk menyetir.

"Oke." Mentari pun menurut.

"Sudah siap?"

"Iya Al."

Alya pun melajukan motornya dengan kencang agar segera sampai karena jarak rumah mereka dengan sekolah yang begitu jauh.

Mentari dan Alya tinggal di sebuah perkampungan di dekat hutan.

"Sudah sampai, besok jangan lupa aku ditelepon ya?"

"Oke siap, tapi yakin mau ikut?"

Mereka berencana untuk mencari sayuran dan jamur di dalam hutan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan Mentari setiap hari untuk sedikit meringankan beban ibunya. Sedangkan Alya kali ini ingin ikut karena penasaran dengan rutinitas sahabatnya di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.

"Yakin dong, lagipula besok kan hari Minggu jadi kita bisa puas-puasin berada di dalam hutan."

"Ish, kamu pikir kita mau bertualang apa?"

"Hehe ... Mencari sesuap nasi sekaligus bertualang."

"Dahlah kamu nggak perlu cari sesuap nasi sampai ke dalam hutan, di dapurmu semua sudah tersedia."

"Berarti aku mau berpetualang saja. Udah ya aku pergi." Alya tersenyum sambil bersiap-siap melajukan motornya kembali untuk pulang ke rumahnya sendiri.

"Alya pikir di dalam hutan tidak bahaya apa. Dia belum tahu saja bahkan aku pernah gemetar ketika bertemu harimau."

"Dada Me!"

"Dada Al ... hati-hati ya!"

"Jangan lupa besok!" teriak Alya.

Bersambung....

HSW BAB 2. Bersembunyi

Setelah Alya sudah hilang dalam pandangan mata barulah Mentari menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

"Hei buka pintunya!"

Dari jarak satu meter Mentari melihat seseorang mengetuk pintu dengan kasar.

"Warni, Buka tidak? Atau aku dobrak!" ancam wanita setengah baya yang sedari tadi berdiri di depan pintu dengan wajah murka.

Mentari bersembunyi di balik semak-semak. Dia tidak mau menjadi sasaran wanita itu lagi kalau sampai ketahuan ada di tempat ini. Dia hanya mengintip dari balik rerumputan.

Rumah nampak sepi tidak terlihat sosok ibu dan adiknya di sana. Mungkin ibunya sedang menjadi kuli di sawah dengan memboyong putranya, atau bahkan bersembunyi karena sudah tidak kuat setiap hari menghadapi tagihan hutang disertai dengan hinaan yang sangat menyakitkan.

Brak!

Wanita itu menendang pintu rumah karena kesal tidak ada seorangpun yang membuka pintu ataupun sekedar menjawab panggilannya.

"Dasar keluarga tidak tahu diuntung!" Wanita itu berlalu pergi masih dengan ekspresi marah.

Setelah wanita itu pergi barulah Mentari keluar dari persembunyiannya dan pulang ke rumah.

Sampai di depan pintu ia berpapasan dengan Ibu Warni yang sedang menggendong adiknya.

"Ibu darimana saja?"

Ibu Warni diam tidak menjawab.

"Kami sembunyi Kakak. Ibu sudah capek mendengar orang-orang marah padanya." Pandu, sang adik yang menjawab.

"Sampai kapan kita seperti ini Bu?" Mentari meneteskan air mata kala mengingat nasib keluarganya.

"Aku juga tidak tahu Nak, maafkan ibu yang tidak bisa membahagiakan kalian berdua." Mata Warni nampak berkaca-kaca.

"Bukan salah Ibu, kita tidak pernah meminta untuk terlahir menjadi keluarga miskin, tetapi kalau ini sudah takdir dari yang Maha Kuasa kita bisa apa Bu? Kita hanya bisa pasrah sambil berusaha. Walaupun usaha kita masih belum mampu membayar hutang-hutang yang ditinggalkan ayah."

"Terima kasih ya Nak, kamu bisa mengerti perasaan ibu."

"Iya Bu aku bisa mengerti perjuangan Ibu, tapi aku hanya kasihan saja melihat Pandu. Dia harus rela digigit nyamuk setiap kali ibu bawa bersembunyi dari kejaran para rentenir itu."

Ibu Mentari yang bernama Warni itupun sudah tidak dapat membendung air matanya.

"Andai saja ibu tahu ayahmu tidak akan sembuh, lebih baik kita tidak membawa ayahmu berobat dan memilih menerima tawaran hutang dari para tetangga."

"Ibu jangan begitu Bu. Ayah sudah pergi, kita ikhlaskan saja semua demi ayah."

"Tapi kalian berdua Nak yang akan menanggung beban moril. Kasihan adikmu ini masih kecil seperti ini harus menerima kenyataan yang tidak mengenakkan ini."

"Sabar ya Pandu tahun ini kakak lulus SMA. Kakak akan merantau ke kota dan akan mengirimkan uang untuk kebutuhan kalian termasuk membayar hutang keluarga kita."

"Iya Kak, Pandu akan selalu mendoakan supaya kakak sukses."

"Kakak juga akan mengumpulkan uang untuk biaya operasi kamu biar bisa berjalan dengan normal lagi. Maafkan kakak ya, kamu seperti itu gara-gara kakak."

"Nggak apa-apa Kak, pandu ikhlas kok."

Mendengar perkataan sang adik, Mentari merasa terharu sekaligus sedih. Pandu adalah adik yang penurut dan sabar meski masih kecil. Sepertinya dia mewarisi sifat ayahnya.

"Sudah Bu kita masuk saja. Nanti ibu yang tadi datang kembali."

"Kalau dia kembali bagaimana Kak?"

Mentari terdiam sebentar. Sudah terlalu sering dia kedatangan tamu yang menagih hutang kepada ibunya. Meski berulang kali meminta maaf mereka tidak terima malah kadang melempar sandal ke arah mereka hingga kadang mengenai Pandu dan bocah kecil itu hanya meringis mendapatkan perlakuan kasar seperti itu.

"Mentari maaf ya Nak, bagaimana kalau handphone kamu kita jual dulu Nak nanti kalau ibu punya uang akan ibu ganti."

Mendengar perkataan ibunya Mentari tampak terdiam. Dia bingung harus bagaimana. Jika dia menuruti keinginan ibunya dia tidak akan bisa menulis novel online lagi, tetapi kalau tidak dijual, uang apa yang akan dibayarkan jika penagih hutang datang kembali.

Saat dalam kondisi seperti itu Mentari kemudian mengingat sesuatu.

"Alya. Ya Alya aku harus menghubungi dia."

Bersambung...

HSW BAB 3. Kehidupan Mentari dan Kebaikan Alya

"Alya. Ya Alya aku harus menghubungi dia."

"Mau ngapain sama Alya? Ibu nggak enak kalau harus pinjam uang lagi sama ibunya. Ibu takut ini semua akan berpengaruh pada persahabatan kalian. Ibu juga tidak mau kedua orang tuanya menganggapmu berteman dengan Alya hanya karena ingin menempel saja."

"Tidak Bu Mentari tidak ingin meminjam uang sama Alya lagi. Mentari cukup tahu diri kok. Keluarga mereka sudah terlalu banyak membantu kita dan hutang kita masih banyak sama mereka. Mentari tidak ingin memanfaatkan kebaikan dan merepotkan mereka lagi."

Warni terlihat mengangguk. Meski butuh uang dia tidak mungkin mengizinkan putrinya untuk meminjam kepada orang tua sahabatnya lagi.

"Sebentar ya, Bu." Mentari berjalan ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Ia langsung memencet nomor telepon Alya.

"Halo Al."

"Iya Me ada apa?"

"Transferan-ku sudah masuk belum ya?"

"Oh, yang dari aplikasi menulis online itu ya?"

"Iya Al aku butuh banget uangnya. Semalam dapat notifikasi penarikan sudah berhasil cuma aku lupa tadi memberitahumu."

"Pasti buat bayar utang ibumu kan? Sabar Ya Me."

"Iya Al."

"Oke, tak cek dulu ya Me."

"Iya Al."

Setelah mengecek Alya langsung menghubungi Mentari kembali.

"Udah Me satu juta setengah, kan?"

"Iya Al benar."

"Oke habis mandi aku langsung jemput kamu. Kita ke mesin ATM bareng."

"Maaf ya Al ngerepotin kamu lagi, abisnya aku nggak punya rekening. Mau buka juga percuma kalau tidak ada saldonya, sedang penghasilanku dari menulis tidak tentu."

"Nggak apa-apa Me aku senang kok bisa bantu kamu, paling tidak hidupku ada gunanya kalau bisa membantu sesama."

"Kamu memang baik sama kayak kedua orang tuamu yang suka membantu. Aku sampai malu pada orang tuamu karena selalu merepotkan kalian."

"Sudah ah, biasa aja. Jangan puji aku, entar aku terbang. Takut nggak bisa mendarat," Alya terdengar terkekeh.

"Sudah siap-siap sana aku mau mandi dulu," ucap Alya lagi.

"Oke Al."

Sambungan telepon terputus. Mentari masuk ke kamar mandi kemudian mempersiapkan diri agar Alya nanti tidak harus menunggunya lama. Sambil menunggu Alya dia mengecek komentar tadi. Tangannya diam di atas ponsel. Hatinya masih terlihat ragu antara ingin menghapus komentar tersebut apakah ingin melaporkan agar akun orang itu dihapus aplikasi.

"Hapus aja deh," gumamnya lalu dengan lincah tangannya menari di atas keyboard ponsel. Melanjutkan bab novelnya selagi menunggu kedatangan Alya.

Beberapa saat terdengar samar-samar bunyi klakson sepeda motor di luar. Mentari berjalan keluar kamar dan mengintip dari balik pintu.

Benar itu Alya.

"Bu aku pamit pergi sama Alya dulu ya."

"Nggak makan dulu Nak nanti kalau kelamaan dimakan takut nasinya basi."

"Ibu dapat darimana nasi itu? Bukankah ibu tidak punya beras ya?"

"Dikasih tetangga Nak katanya sisa nasi mereka yang semalam masih banyak jadi dikasih sama kita. Ibu sudah mengukusnya kembali kok, tetapi tetap khawatir tidak akan awet."

"Tidak apa-apa Bu. Ibu makan sama Pandu saja ya. Mentari sekarang harus pergi. Kalaupun nanti sudah basi biar mentari puasa saja."

"Baiklah kalau kalian memang ada acara yang penting."

"Mentari pergi dulu ya Bu," pamit Mentari sambil menyalami tangan Warni kemudian mengelus kepala adiknya.

"Nanti kalau benar kakak dapat rezeki aku belikan Pandu ayam goreng."

Pandu mendongak menatap wajah Mentari ragu.

"Beneran Kak?"

Mentari mengangguk sambil tersenyum.

"Asyik Pandu bisa makan ayam goreng lagi." Bocah itu terlihat senang sekali.

"Sudah ya, kakak pergi dulu."

Pandu mengangguk, Mentari pun keluar dan menemui Alya.

***

Dapat darimana kamu uang sebanyak ini Nak?" tanya Warni heran. Bukannya setiap hari hasil menjual sayur yang Mentari cari dari hutan selalu diberikan kepada dirinya. Bagaimana mungkin Mentari bisa punya tabungan.

"Hasil dari menulisku Bu."

"Menulis?" tanya Warni masih tidak bisa percaya.

"Iya menulis novel online."

"Benarkah?"

"Iya Bik, Meme nulis novel di aplikasi online pakai handphone ini. Jadi apapun yang terjadi kalau bisa jangan sampai menjual handphone milik Mentari," jelas Alya.

Warni langsung bangkit dari duduknya dan memeluk Mentari sambil menepuk-nepuk pundak gadisnya itu. "Terima kasih ya Nak, ibu bangga sama kamu."

"Sama-sama Bu." Mereka mengurai pelukannya.

"Ini buat kamu Dek." Mentari mengulurkan bungkusan ke tangan Pandu dan anak itu langsung menerima dengan sumringah.

"Asyik ini pasti ayam goreng."

"Pandu sudah makan apa belum?"

"Belum, katanya dia nunggu kamu datang."

"Owalah, kalau begitu kakak ambilkan nasi dulu."

"Kalau begitu aku permisi ya Me," pamit Alya.

"Iya Al terima kasih ya. Mau nawarin makan, makanan kami nggak layak buat kamu. Makanya tadi aku pengen beliin kamu, tetapi kamu malah menolak."

"Nggak masalah Me lagipula aku sudah kenyang."

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!