NovelToon NovelToon

Ternyata Suamiku Gigolo

1. Bungkus benda mencurigakan

"A-apa ini? Se-se-trong rasa pome granat."

Tanganku bergetar, menemukan sebuah bungkusan plastik, bewarna hitam bermerek 'Setrong.'

Meski aku hanya gadis bodoh yang baru merasakan hidup beberapa bulan di kota, tetapi aku tahu bahwa benda ini disebut dengan kon *dom. Aku pun tahu benda ini merupakan sebuah alat pencegah kehamilan yang orang bilang kontra *sepsi.

Namun, kenapa dia memiliki benda ini? Benda ini pun sudah kosong. Ini menandakan bahwa isinya sudah dipakai oleh yang empunya. Air mata, jatuh tanpa sempat terbendung. Tubuhku bergetar mencoba menduga-duga mengapa bungkus kon *dom tersebut bisa berada di dalam kantong celananya.

"Ayo ikut Ibuk!"

Aku angkat gadis kecil yang tadinya tengah asik bermain air di dalam baskom. Gadis kecil berusia satu setengah tahun ini kami beri nama Elena.

"Hek ... hek ... hek ...." Dia langsung menangis saat aku angkat dari dalam wadah air tempat dia bermain tadi.

Kakiku terasa berat, getaran tubuhku terasa hebat. Salah satu tanganku menggenggam bekas wadah alat kontra *sepsi yang aku temukan di dalam kantong celana Bang Alan, suamiku. Secara perlahan, kulangkahkan kaki menuju kamar.

Makin dekat dengan kamar, suara dengkuran Bang Alan terdengar semakin jelas. Suara dengkuran itu sama persis seperti dengkuran bapakku yang berada di dusun. Sangat aneh bukan? Pria muda berusia 21 tahun tidur mendengkur?

Langkah kaki ini, semakin mendekati suami yang katanya lelah pulang bekerja saat subuh tadi. Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan apa pun pekerjaan yang dilakukan saat malam hari. Bagiku, yang penting dia bisa membawakan aku uang, berapa pun itu.

Dia hanya mengatakan bekerja di sebuah *klub malam. Dia baru mendapatkan pekerjaan tersebut semenjak tiga bulan lalu. Sementara kami sekeluarga telah memutuskan hijrah dari dusun untuk tinggal di kota semenjak enam bulan lalu.

Saat memasuki kamar, netraku malah teralih pada sebuah pantulan bayangan diriku yang menggendong Elena. Perkenalkan, namaku Nesya. Usiaku terbilang masih sangat muda, di bawah dua puluh tahun. Aku sudah memiliki seorang anak perempuan berusia satu setengah tahun.

Jika tetanggaku bilang, aku adalah pelaku pernikahan dini. Banyak anggapan buruk yang kudengar tentang keadaan diriku yang menikah dalam usia sekolah.

Namun, tak sedikit juga yang merasa prihatin akan keadaanku yang belia ini, bekerja tunggang langgang memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami.

Mereka mengira aku hamil di luar nikah, sehingga, aku terpaksa putus sekolah dan menikah di usia belia. Padahal itu tidak benar sama sekali. Aku menikah resmi dan sah, tanpa embel-embel bocor duluan.

Kembali kupandangi cermin yang memperlihatkan betapa buruknya penampilanku saat ini. Tubuhku terlihat sangat kurus, kulitku kering bersisik, dan wajahku terlihat sangat kusam. Padahal, saat aku masih sekolah di jenjang SMP dulu, aku dikenal sebagai gadis cantik, layaknya kembang desa.

Kepalaku berputar sembilan puluh derjat. Kali ini aku melihat Bang Alan, suamiku tengah tidur pulas dengan dengkuran yang keras. Keadaannya sungguh berbanding terbalik dengan diriku.

Dia tampak gagah, dan semakin terlihat perkasa. Namun, semenjak bekerja di klub malam, yang memaksaku melepas dia bekerja di malam hari, membuat dia tidak pernah lagi menyentuhku. Dia bekerja malam, tentunya siang hari dia habiskan waktu untuk tidur. Bahkan untuk membantuku mengasuh Elena pun dia tidak mau.

Hahah, lucu bukan? Sudah tiga bulan Bang Alan tidak melepaskan has *ratnya kepadaku. Aku lihat kembali bungkusan kon *dom yang ada di tanganku. Apakah karena ini, dia tidak pernah lagi menyentuhku?

Jadi, dia sudah bermain di belakangku? Air mataku kembali terbendung di pelupuknya. Bibirku kelu, tak mampu memanggil dan membangunkannya.

"Hek ... hek ... hek ..."

Elena kembali menangis, teringat kesenangan bermain airnya tadi telah aku rampas. Volume tangisannya semakin waktu menjadi semakin tinggi. Hatiku dilanda pilu dengan segala dugaan menatap Bang Alan dengan uraian air mata di pipi.

Bang Alan terlihat mulai bergerak. Secara perlahan, matanya terbuka dan duduk menatapku. Wajahnya terlihat heran, sembari mengucek sebelah mata. Dia menepuk tangan mencoba membujuk Elena. Anakku pun berhenti menangis melihat sang ayah yang menghiburnya.

"Dek, kenapa berdiri di situ?"

Hatiku sedang diselimuti oleh amarah. Aku hanya bisa menduga-duga dengan benda yang ada dalam genggamanku saat ini. Tanpa merasa bersalah dia merentangkan tangannya menyuruhku masuk ke dalam pelukannya.

Aaah, kenapa kakiku berjalan dengan refleks mendekat padanya? Padahal saat ini aku merasa sangat kesal. Namun, tubuh ini dengan tidak bisa dikendalikan telah menyandarkan diri di dalam pelukannya.

Bang Alan, adalah salah satu pria tampan di dusun tempat kami berasal. Dulunya, aku merasa sangat bahagia mendapatkannya menjadi suamiku. Meskipun aku menikah dalam usia yang tergolong belia, aku merasa sangat bangga mendapatkan suami super tampan yang baru saja menamatkan SMA di ibu kota provinsi.

Bang Alan menyugar rambutku yang sudah kuyu. Dia menciumku dengan lembut. Entah kenapa, amarah yang tadi meluap seperti menguap hilang tak tersisa. Aku sangat merindukan belaian ini. Kami sudah lama tidak berpelukan seperti ini.

"Baaang ..."

Aku panggil sambil membelai-belai punggungnya yang tanpa alas itu. Sebagai kode terhadapnya bahwa aku sedang ingin meleburkan jiwa bersamanya saat ini juga.

"Nanti saja ya, Dek. Abang masih merasa lelah," ucapnya.

Walau sedikit kecewa, tetapi tidak terlalu aku pikirkan. "Bang, apakah aku boleh menanyakan tentang pekerjaan Abang?"

Dia berpikir beberapa detik lalu mengangguk membelai rambutku yang masih dalan dekapannya. "Tentu saja, Dek. Tentang apa? Tanyakan lah!"

"Abang bekerja di mana setiap malam?"

Bang Alan melirikku. Alisnya terlihat naik sebelah. "Bukan kah Abang selalu mengatakan bahwa Abang bekerja di sebuah klub malam?"

"Abang bekerja jadi apa di sana?"

Dia melepaskanku dari pelukannya dan kembali merebahkan diri di kasur kapuk tipis ini. "Kamu jangan terlalu cerewet ikut campur segala urusanku. Yang penting kali ini aku sudah membawakan uang padamu setiap hari bukan?"

"Bang, lihat aku dulu!" bentakku.

Bang Alan kembali menatapku. "Apa?"

Aku buka genggamam tangan yang berisi bekas bungkus kon *dom. "Ini punya siapa?"

Bang Alan melihat benda yang aku pegang. Sejenak wajahnya terlihat sedikit panik. Beberapa detik kemudian, ekspresinya sudah kembali normal. "Entah, emangnya kamu dapat dari mana?"

"Ini aku dapat di kantong celanamu!"

"Lalu kamu mencurigai itu milikku?" Suaranya pun mulai meninggi.

"Lalu punya siapa lagi? Ini aku dapat dari kantong celanamu.

"Entah, mungkin ada yang iseng memasukannya ke dalam kantongku saat aku bekerja."

"Bohong!"

Bang Alan kembali duduk. "Kamu pikir itu punyaku?"

"Iya, punya siapa lagi. Ayo katakan! Kamu melakukannya dengan siapa?"

Bang Alan menatap panjang. "Jadi kamu berpikir bahwa Abang selingkuh?" Namun, mulutku kelu mengatakannya.

"Dengarkan Abang, Dek. Kamu sudah menyakiti perasaanku jika kamu menyangka aku selingkuh. Aku sudah bersungguh-sungguh bekerja untuk kalian berdua. Coba kamu pikirkan, kapan waktuku untuk berselingkuh? Jika malam aku bekerja tunggang langgang, siangnya di rumah saja tidur sampai sore. Coba kamu pikirkan!"

Otakku menyetujui apa yang diucapkan oleh Bang Alan. Tidak mungkin Bang Alan sempat berselingkuh, sementara dia sibuk bekerja sepanjang malam. Saat Azan Subuh bergema, dia sudah sampai di kontrakan kami yang kecil ini.

Aku buang bungkusan aneh ini, lalu aku angkat kembali Elena yang tadi kabur saat kami berpelukan. Aku harus segera menyelesaikan cucian para pelanggan yang sudah memercayakan pakaian mereka kepadaku. Semenjak tinggal di sini, aku terpaksa menjadi buruh cuci untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup kami.

Kala itu Bang Alan belum juga mendapat pekerjaan setelah melamar di sana sini. Begitu sulit mendapat pekerjaan dengan bermodalkan ijazah SMA. Apalagi statusnya telah menikah.

Hal ini memaksaku menawarkan jasa upah cuci pakaian dengan harga yang lebih murah dibanding harga laundry. Sehingga, banyak tetangga yang menggunakan jasaku untuk mencuci dan menyetrika pakaian mereka. Selama tiga bulan pertama, Bang Alan hanya tidur, makan, bermain dengan Elena, dan meminta uang untuk membeli rokok kepadaku.

Pada awalnya, aku tak keberatan. Namun, semakin lama tingkahnya itu membuatku menjadi semakin kesal dan pertengkaran pun terjadi.

2. Salah memilih

Pada awalnya, aku tak keberatan. Namun, semakin lama tingkahnya itu membuatku menjadi semakin kesal dan pertengkaran pun terjadi.

"Sampai kapan mau malas-malasan gini, Bang? Upah cuci yang aku terima itu tidak banyak. Ini belum buat biaya sewa, biaya makan sehari-hari, dan beli perlengkapan cuci. Semua itu berasal dari sini! Namun, kamu dengan enaknya membakar jerih payah yang kucari. Jika kamu malas-malasan begini, lebih baik kita kembali ke dusun saja!"

Mata Bang Alan nyalang menolak ajakan kembali ke dusun. Kepalanya digelengkan meninju pintu rumah yang kami sewa ini. Aku sudah tidak terkejut lagi akan tingkahnya yang begitu. Bagaimana pun juga, kami sudah hampir tiga tahun berumah tangga.

"Aku tidak mau kembali ke dusun! Titik!" ucapnya lebih tegas dari pada aku yang tengah merasa kesal padanya.

"Kalau begitu cari kerja dong! Aku tak kuat lagi hidup seperti ini! Kita ini butuh uang, Bang! Biaya hidup di sini sangat besar! Jika kita di dusun, paling tidak kita bisa makan dengan hasil kebun dan sawah sendiri. Bagaimana kalau kita coba menanam padi dan kembali saja?"

Bang Alan terlihat mendengkus. Dia seperti tidak rela untuk melakukan pekerjaan itu. Sebelumnya kami sudah mencoba beberapa kali menanam padi di sawah. Bahkan kami sengaja tinggal di pondok yang dibuat untuk menunggu padi tumbuh dengan baik hingga panen.

Namun, Bang Alan yang tidak tahu apa-apa tentang bercocok tanam, memilih menyibukan diri bermain game meski tak ada jaringan sama sekali.

"Katanya dulu kamu mencintaiku? Jadi, harusnya kamu harus bisa bahagiain aku, dong?" Ucapan itu keluar dengan lancar dari mulutnya. Lalu, dia kembali melanjutkan permainan game pada ponselnya.

Namun, jujur aku mengakuinya. Bahwa, aku lah yang tergila-gila padanya. Aku lah yang duluan mengejarnya. Setelah tamat SMP, aku tidak bisa melanjutkan ke tingkat SMA. Lantaran, masuk SMA membutuhkan biaya yang sangat tinggi karena kami yang orang dusun terisolir ini, harus menyewa rumah untuk tinggal di sekitar lokasi sekolah. Orang tuaku tidak memiliki dana untuk semua itu.

Kebetulan sekali dia baru kembali ke dusun kami lantaran baru saja menamatkan SMA. Awalnya, dia mendekati temanku yang sedang melanjutkan pendidikan di kota. Akan tetapi, dengan gencar aku berusaha mencuri perhatian Bang Alan.

Sedikit bercerita tentang dusun tempatku berasal. Di sana hanya memiliki sekolah tingkat SD dan SMP. Bahkan, PAUD dan TK pun tidak ada. Jadi, kami semua benar-benar mulai belajar dari tingkat SD yang masih satu atap dengan SMP tempat terakhirku menimba ilmu.

Aku tertarik padanya karena dia memiliki wajah yang sangat tampan. Dia bagai fatamorgana yang tidak ditemui di antara lelaki dusun lainnya. Akhirnya, aku berhasil merebut hatinya. Dia pun mengatakan cinta padaku, hingga kami berdua langsung memutuskan untuk menikah.

Setelah menikah, aku baru mengetahui bagaimana watak dia yang sebenarnya. Seperti kata orang, nasi sudah menjadi bubur. Aku baru menyadari bahwa aku ini telah salah memilih. Dia itu sangat pemalas dan hanya sibuk dengan game yang ada di ponselnya.

"Abang itu kan suamiku, kepala rumah tangga. Seharusnya Abang yang bekerja. Aku ini sedang mengandung anak kamu."

Bang Alan menatapku sejenak, lalu beralih kembali pada ponsel android di tangannya. "Kalau kamu sudah tidak mau menuruti permintaanku, yaa ... aku bisa---"

"Baik lah. Kamu main saja! Biar aku yang bekerja!" Ucapannya langsung ku potong. Entah kenapa, hatiku merasa gentar jika dia melanjutkan ucapannya. Aku takut kehilangan dia.

Pertengkaran pun berakhir setelah aku mengalah. Dalam keadaan hamil ini harus mengerjakan semuanya sendirian. Melihatku yang bekerja sendirian, membuat orang tuaku ikut turun tangan membantu menyiangi sawah keluarga suamiku. Itu adalah kali pertamaku menangis setelah menikah dengannya. Aku merasa malu karena masih saja menyusahkan orang tua.

Saat musim panen datang dan uang sudah berada di tanganku, dengan wajah tanpa dosa dia merebut uang tersebut dari tanganku. "Ini adalah hasil dari sawah orang tuaku!"

Dia tampak mengambil beberapa lembar, lalu menyerahkan kepadaku. "Ini buat kebutuhan sehari-hari!"

Dia meninggalkanku dengan jumlah uang yang sangat sedikit. Air mataku kembali mengalir dengan deras membasahi pipi. Namun, aku tegarkan hati teringat bahwa aku sedang mengandung.

Tak lama lagi aku akan melahirkan. Aku duduk di samping Bang Alan yang sibuk dengan ponselnya. "Bang, mana uang hasil panen sawah kita kemarin?"

"Buat apa?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Buat tabungan lahiranku nanti," ucapku dengan sedikit rengekan.

"Lahiran murah dan gampang kok. Nanti ke bidan Sri aja. Biayanya murah. Kalau dia tidak ada, masih banyak dukun beranak yang akan bantu proses lahiran kamu!"

Bahkan, dia tidak memedulikan bagaimana keadaan anak kami. Air mataku kembali terjatuh menyadari betapa tidak pedulinya dia terhadapku. Padahal bidan mengindikasikan kehamilanku bermasalah. Keadaanku masuk ke dalam pantauan medis karena anakku dalam keadaan terlilit tali pusar.

3. Awal perjuangan tinggal di kota

Bahkan, dia tidak memedulikan bagaimana keadaan anak kami. Padahal bidan mengindikasikan bahwa kehamilanku bermasalah. Kehamilanku masuk ke dalam pantauan medis karena anakku dalam keadaan terlilit tali pusar.

Aku disarankan untuk mengambil tindakan operasi caesar oleh bidan. Namun, tentu biayanya tidak lah murah. Belum lagi biaya ongkos keluar dari dusun, memakan biaya yang sangat tinggi.

Dengan seenaknya, Bang Alan memutuskan agar aku melahirkan di dusun saja. Dia seperti tidak peduli pada keadaanku dan anak kami yang turut berjuang untuk keluar melihat dunia ini.

Hari yang dinanti pun datang. Proses melahirkan Elena begitu memilukan dengan perjuangan yang sungguh menyakitkan. Di sana, aku merasakan bagaimana perjuangan hidup dan mati sebenarnya. Mataku mencari sosok yang seharusnya ada.

"Bapak, Bang Alan di mana?" Yang berada di sisiku ternyata bapakku sendiri.

"Kamu tidak perlu khawatir. Bapak akan menemanimu."

Ternyata, di saat aku tengah berjuang melahirkan anaknya, dia masih tidak memedulikanku. Dia lebih menyayangi ponsel daripada darah dagingnya sendiri.

"Ayo Nesya ... kamu pasti bisa!" ucap bidan Sri memberi semangat. Dia tidak bekerja sendiri, dibantu dukun beranak yang dipercaya oleh warga dusun kami. Dusun tertinggal ini tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai.

Segala kesakitan kurasakan sendiri di saat melahirkan Elena. Masih teringat jelas olehku, kala Bang Alan sama sekali tidak mendampingiku. Hanya Bapak yang berada di sisi mendampingi menggenggam tanganku.

"ooeekk ... ooeeekkk ... oooeeekk ...."

"Alhamdulillah ..." ucap Bapak membelai rambutku yang telah basah oleh kucuran keringat dan air mata.

Hatiku terluka, lantaran suamiku tidak memedulikanku sama sekali. Bapak menggendong bayi merah berjenis kelamin perempuan dan menyerahkan padaku. Dia berhasil lahir dengan selamat, walaupun keadaan kehamilanku cukup mengkhawatirkan.

"Terima kasih, Allah ... Engkau masih mengizinkan kami hidup di dunia ini." tangisku memeluk bayi mungil itu.

Bang Alan muncul dengan wajah tanpa dosa. "Giliran Abang azankan dia kan, Dek?" tanyanya cuek.

Meski hati ini kesal, dipenuhi amarah, tetapi entah kenapa dengan mudahnya luluh saat dia membelai lembut rambutku. Tanpa mengangkat bayi mungil ini, dia mengazankan dan iqomah bayi yang sedang berada dalam pelukanku.

Namun, aku terlalu bahagia, tak sempat untuk memendam amarah yang tadi membuncah. Menyambut kehidupan baru yang tercipta dari percampuran kami berdua. Gadis kecil ini terlihat sangat cantik, persis mirip dengan Bang Alan.

Kehidupan berjalan begitu cepat. Aku pikir setelah memiliki anak, Bang Alan akan berubah. Namun, perkiraanku salah. Dia tidak berubah sama sekali. Sehingga memaksaku untuk mengerjakan semua meski masa nifasku belum berakhir.

Setelah anak kami berusia satu tahun, dia memaksaku untuk tinggal di kota. Katanya, dia merasa sangat suntuk berada di dusun yang tidak ada signal ini. Berbeda dengan masa di saat dia sekolah dulu, di kota.

"Tapi, Bang? Biaya di sana pasti sangat besar? Nanti kita makan dengan apa?"

Bang Alan membelai lembut pipiku. Dia sangat mengenalku yang begitu gampang luluh oleh rayuannya. "Nanti, biar Abang yang bekerja untuk kalian berdua. Pasti banyak sekali perusahaan yang akan menerima Abang bekerja." ucapnya dengan percaya diri.

Akhirnya aku luluh. Kami pamit kepada kedua orang tuaku, dan orang tua Bang Alan. Meminta izin agar mereka merelakan kami hijrah dan menetap di kota.

"Bang, mana uang hasil panen sawah kemarin?"

Bang Alan mengeluarkan sisa dana yang dia punya. Ternyata uang yang kudapat sekian juta, hanya bersisa satu juta saja. Selainnya telah habis digunakannya untuk membeli rokok dan keperluannya sendiri.

Menjelang berangkat, Bapak menarikku sejenak memberi kode telunjuk di bibir. "Ambil lah, untuk bekalmu nanti." Bapak menyerahkan sejumlah uang ke tanganku.

"Jangan, Pak. Buat Mak dan Bapak saja kurang." Aku kembalikan uang tersebut ke tangan Bapak.

Bapak menyerahkan kembali masuk ke tanganku. "Buat kebutuhan tak terduga nantinya."

Air mataku menetes terharu akan kasih sayang tulus yang tak pernah usai ini. "Bapak, terima kasih ... walau aku sudah berkerluarga, aku masih saja menyusahkan Bapak." Tubuhku berguncang mencium tangan Bapak. Bapak membelai kepalaku dengan lembut.

Setelah sampai di kota, kami segera mencari rumah kontrak yang murah. Namun, yang paling murah pun sewa sebulannya cukup tinggi bagi kantong kami yang sangat tipis.

Namun, aku merasa sedikit optimis. Aku masih teringat pada kata Bang Alan bahwa dia akan segera mendapat pekerjaan. Aku pun membantu dia untuk membuat surat lamaran pekerjaan.

Meskipun ijazahku hanya tamatan SMP, dahulunya aku selalu mendapat peringkat pertama di kelas. Berarti aku ini tidak bodoh-bodoh amat bukan? Hanya nasib yang tidak bisa membuatku melanjutkan pendidikan yang harusnya aku terima.

Bang Alan menyerahkan ponsel kesayangannya itu. Menyuruhku membuatkan beberapa surat lamaran pekerjaan yang dia lihat di laman internet. Aku pun membuatkan untuk beberapa perusahaan yang ingin dia lamar.

Setelah itu, dia sendiri yang mengantarkan surat lamaran tersebut satu per satu pada perusahaan tersebut. Sementara aku, sangat tertarik melihat begitu banyaknya jasa laundry di kota ini.

Apa aku mencoba juga ya? Lumayan buat tambahan biaya hidup, membantu-bantu keuangan suami, nantinya.

Aku segera menawarkan jasa cuci setrika kepada tetangga, dari pintu ke pintu. Awalnya mereka tidak menanggapiku. Namun, di saat aku menawarkan jasa dengan harga lebih rendah dibanding laundry, akhirnya banyak yang menggunakan jasa cuci setrikaku yang masih sederhana.

"Bang, bagaimana? Sudah ada panggilan kerja belum?" tanyaku setelah satu bulan CV dilayangkan pada perusahaan-perusahaan dulu.

"Belum nih, heran juga kenapa masih belum dipanggil." Namun, dia masih sibuk bermain dengan game onlinenya.

Saat itu, aku sudah memulai aktifitas menjadi buruh cuci sederhana. Jadi, kami masih bisa makan, meskipun seadanya.

Beberapa waktu kemudian, Bang Alan menengadahkan tangannya. "Minta uang!"

"Buat apa?"

"Buat beli rokok."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!