Namanya Ayu Jelita, usia 25 tahun. Dia seorang janda yang menyandang status itu sejak berusia 20 tahun.
Menjadi janda bukanlah menjadi hal sepele, janda harus berjuang seorang diri agar citra dirinya baik di mata masyarakat. Terlebih, seorang janda sepertiku, janda muda yang ditinggal meninggal oleh suami tercinta, harus menanggung beban hidup seorang diri, harus bisa adaptasi dengan kondisi yang dirasakan saat ini.
Namun, perjuangan dan persepsi yang ada di masyarakat sangat tidak seimbang. Ayu yang setiap harinya harus bekerja demi segelas beras untuk makan bersama Ibu ku yang sudah tua dan seorang adiknya yang masih duduk di bangku sekolah, malah di cap sebagai 'Sampah' oleh lingkungan sekitar.
Gosip bertebaran, jika Ayu itu adalah wanita 'gampangan', itulah persepsi masyarakat.
Belum lagi, ketika berusaha berperan ganda dan berdandan sedikit hanya untuk mengobati rasa kangen pakai make up, warga nyinyir langsung ambil stempel jika Ayu adalah wanita penghibur.
Belajar mawas diri, rasa sabar, menghadapi semua ujian hidup, belum termasuk cacian yang ada di lingkungan. Ayu berusaha menahan emosi agar tidak terjadinya letusan lahar gunung merapi.
Kadang mereka bicara tanpa di pikir, namun tidak pantas jika bicara mengenai status sosial. Karena status sosial dijamin penuh oleh negara, Hak Asasi Manusia, Hak hidup sejahtera. Walaupun terlihat sejahtera secara ekonomi, namun tidak terlihat sejahtera di batin dan perasaan Ayu.
'Janda ditinggal mati bukan pilihan, ini sudah menjadi kuasa Allah, siapa yang mau jika suaminya diambil nyawanya untuk istirahat di alam sana.'
*************
Hidup sebagai janda di perkampungan memang banyak makan hati. Sebenarnya rumah Ayu terletak di sebuah Kota M yang masih satu pulau dengan Ibu Kota Negara. Tetapi penduduk asli di wilayah tempat tinggal Ayu masih berpikiran tradisional. Segala sesuatu yang di luar mainstream tidak bisa diterima. Ayu menjanda sudah begitu lama, ini pun menjadi masalah buat mereka.
Seorang kakek usia enam puluhan selalu saja usil bertanya pada Ayu.
"Kenapa nggak nikah lagi? Cari sana teman-teman kerja yang duda!"
"Nggak ada Pak," jawab Ayu enteng.
"Kamu kurang usaha. Apa nggak pengen ada teman berbagi suka duka? Udah nggak ingat lagi rasanya tidur sama laki-laki ? Nggak pengen lagi?"
'Duh, Si Kakek ini makin menjadi-jadi memprovokasi aku untuk menikah lagi. Apa dipikirnya menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?'
Menikah bukan lomba lari yang beradu cepat mencapai garis finis. Banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan menikah lagi. Banyak cerita yang di dengar Ayu tentang kemalangan janda yang menikah lagi. Bersedia menikah dengan lelaki mapan dengan harapan akan bahagia dengan kondisi perekonomian yang lebih baik. Tidak disangka suami barunya cuma modal badan. Harta yang dimiliki ternyata sudah menjadi hak anak-anaknya.
Tidak hanya Si Kakek yang gencar menginterogasi Ayu, sudah sampai mana usahanya mendapatkan calon suami baru. Masih ada Si Nenek usia tujuh puluhan yang juga sering membujuk Ayu untuk menikah laki.
"Kamu kan orang berpendidikan, pasti mudah cari suami baru. Hidup itu tidak bisa sendiri terus. Butuh teman hidup."
Ayu membalas dengan wajah pura-pura memelas, "Iya Mbah doakan saja!"
Masih dengan jelas dalam ingatan Ayu, reaksi seorang ibu yang kebetulan duduk di samping nya waktu acara pengajian menjelang pernikahan yang digelar salah satu tetangganya.
Malam itu Ayu datang memenuhi undangannya lalu duduk di kursi-kursi yang telah disiapkan sambil menunggu ustadz yang akan memberikan tausyiahnya. Seorang ibu yang duduk di sebelah Ayu tidak dikenal. Kelihatannya dia tamu jauh yang tidak berasal dari wilayah tempat tinggal Ayu.
Dia menanyakan nama Ayu, tapi ketika Ayu menyebutkan namanya, wajah ibu itu langsung berubah.
"Nama suaminya siapa?"
Rupanya jawaban Ayu salah menurutnya. Nama Ayu tidak berarti. Ibu itu membutuhkan nama laki-laki sehingga yang ingin didengar adalah "Bu Andi " atau "Bu Arman" bukan "Bu Yuni" atau "Bu Dewi."
"Saya janda Bu," sahut Ayu datar.
Reaksi ibu itu sungguh luar biasa. Wajahnya langsung berubah seolah tersulut amarah. Dengan spontan dia melengos ke arah Ayu lalu tak lagi berkata-kata sampai pengajian selesai.
'Salahku apa?' pikir Ayu.
Ayu sudah jujur mengakui statusnya sebagai seorang janda. Dia memandang seakan Ayu makhluk hina yang tak pantas duduk di sampingnya. Padahal mereka sama-sama manusia tapi status berbeda. Barangkali dia menganggap statusnya lebih tinggi karena punya suami. Seorang janda lantas tak pantas dihargai.
Di lingkungan tempat kerja Ayu ternyata juga terbentuk stereotipe tentang betapa berbahayanya berteman dengan janda. Perempuan harus menjaga jarak dengan janda, ibarat virus yang mudah menular. Karena itulah teman-teman perempuan yang sudah menikah terkesan enggan berteman dengan Ayu. Barangkali karena ada tiga teman kerja yang menjadi pengikut Ayu. Mereka juga menyandang status sebagai janda, tapi berbeda dengan Ayu yang janda ditinggal mati, mereka menjadi janda karena bercerai.
Meskipun setelah beberapa tahun menjanda, dua di antara mereka sudah menikah kembali. Satu pasang merasa bahagia dengan kehidupan barunya tetapi yang satu merasa kecewa dengan pernikahan ke duanya yang tidak sesuai harapannya.
Bukan hanya kalangan masyarakat biasa yang menganggap janda berbeda dari perempuan lainnya. Di lingkungan yang lebih religius sama saja. Ayu pernah ikut pengajian di sebuah masjid. Ketika Pak Kyai menyebut kata janda segera diikuti dengan ucapan "nauzubillahi min dzalik" yang artinya "Kami berlindung kepada Allah dari perkara ini."
Ucapan ini digunakan ketika melihat atau mendengar sesuatu yang buruk atau tidak diinginkan. Seketika Ayu merasa bukan bagian dari jamaah yang diharapkan kehadirannya oleh Pak Kyai.
Seorang janda adalah sesuatu yang buruk dan tidak diinginkan berada di masjid itu. Ayu tidak tahu bagaimana reaksi Pak Kyai jika anak perempuan atau saudara perempuannya suatu saat nanti menjadi janda. Apakah tetap akan menganggapnya buruk atau sama berharganya dengan perempuan yang bersuami?
Semua orang bebas berkomentar apa saja tentang janda. Ada yang menginginkan untuk segera mengakhiri agar tidak hidup sendiri. Menurut mereka, tak seharusnya perempuan hidup sendiri terlalu lama. Harus ada seorang lelaki yang menjaga dan melindunginya. Lelaki itu adalah suami sang pendamping hidupnya. Nama suami menjadi nama publik sementara nama sendiri hanya terbatas untuk kalangan teman dan lingkungan kerja. Jadi seorang perempuan bersuami akan kehilangan namanya di depan publik.
Meskipun demikian, mereka lebih dihargai dibandingkan seorang janda yang memiliki kebebasan menggunakan namanya sendiri. Bagaimana mungkin perempuan yang kehilangan namanya bisa menjadi begitu berharga di hadapan manusia lainnya?
Ayu tak peduli jika janda dianggap sebagai virus yang menular.
Pak Kyai yang memandang janda sebagai sesuatu yang buruk mestinya sadar kalau Rasulullah pun menikahi janda. Meskipun ditinggal mati suami dan punya banyak kekayaan, Khadijah tetaplah seorang janda. Rasulullah sebagai makhluk Allah yang paling mulia pun memuliakan seorang janda dan tidak mengucapkan "nauzubillahi min dzalik" ketika berhadapan dengan janda.
Selain harus menghadapi mulut para janda haters, Ayu juga harus bertemu dengan orang-orang dengan mental pedagang dalam beribadah. Pertama kali mendengarnya membuatku kaget. Ketika aku bertemu dengan saudara dari mantan suami temanku, dia mulai menasihati Ayu.
"Biasakanlah shalat Tahajud."
Itu tentu nasihat yang baik, tetapi kenapa aku menganggapnya bermental pedagang dalam urusan ibadah?
Dulu kehidupannya biasa. Tinggal di perumahan sempit tanpa memiliki kendaraan. Dua puluh tahun kemudian dia berhasil mengubah kehidupannya. Rumahnya besar berlantai dua. Kendaraannya berupa 2 buah mobil keluaran terbaru.
Mereka sudah naik haji melalui program Haji Plus yang biayanya mencapai ratusan juta per orang. Jalan-jalan ke luar negeri bukan hal baru untuk keluarga mereka.
Anak-anak menyelesaikan pendidikan dokter dan farmasi yang biaya kuliahnya tidak murah. Sedangkan kehidupanku tetap stagnan. Tinggal di rumah peninggalan Bapak, ditemani Ibu dan adik laki,-laki ku dengan hanya memiliki kendaraan berupa sepeda motor. Aku yakin mereka menganggap aku tidak pernah shalat Tahajud yang mengakibatkan kehidupanku tidak pernah mengalami peningkatan.
Ternyata tidak hanya mereka yang berpandangan bahwa ibadah yang dilakukan seseorang akan meningkatkan kehidupannya baik dari segi karier maupun ekonomi. Paman Ayu pun berkata dengan nada heran.
"Kamu banyak shalat, banyak berdoa, sering ngaji dan banyak puasa, tapi kenapa hidupmu begitu-begitu saja? Karier nggak jelas, ekonomi juga pas-pasan saja, adik mu sudah hampir lulus sekolah tapi belum dapat bekerja sampai sekarang dan lebih sering menyusahkan hidupmu."
'Lalu aku harus bilang apa kepada pamanku itu?'
Ayu bukan tipe pedagang yang rajin menjalankan ibadah jika memberikan keuntungan. Barangkali Ayu termasuk dalam golongan kekasih Allah yang beribadah karena cinta kepadaNya. Ibadah dijalankan semata-mata agar memperoleh ridhoNya dan berharap perjumpaan denganNya.
Tidak salah menghubungkan kesuksesan dunia dengan ketekunan beribadah seseorang. Artinya orang yang banyak beribadah dijamin hidupnya bahagia dunia akhirat. Tetapi Allah punya rahasia yang kita tak pernah tahu.
Kenapa ibadahnya bagus jalan hidupnya tidak mulus?
Allah punya janji dan rencana lain yang pasti lebih baik untuk semua manusia. Jadi jangan nge-judge orang yang hidupnya pas-pasan pasti karena ibadahnya kurang bagus. Tidak pernah berdoa atau shalat Tahajud. Sebaliknya orang yang bagus ibadahnya tidak selalu harus mendapat balasan di dunia.
Bebas berkata memang hak setiap manusia, tetapi mereka tidak berhak mengatur hidupku. Sama sekali aku tak terpengaruh oleh kata-kata manusia. Hidupku tidak berada dalam pengaturan dan kekuasaan manusia.
'Ku tempuh jalan hidupku sendiri dengan segala resikonya. Ku tundukkan wajah dan ku tengadah kan tangan untuk memohon kebaikan dunia dan akhirat kepada Sang Pencipta. Dia menetapkan takdir yang berbeda untuk setiap manusia dan aku harus ikhlas menjalaninya.'
>>> >>> >>> >>> >>> >>>
Hari ini Ayu seperti biasa tengah pergi ke pasar untuk membeli keperluan untuk bahan-bahan warung makan yang dirintisnya bersama Ibu nya beberapa bulan ini. Setelah resign dari kantor perpajakan tempatnya bekerja, Ayu memutuskan untuk membuka warung makan di depan rumahnya bersama sang Ibu. Lokasi rumah Ayu yang berada di depan jalan raya, merupakan lokasi yang sangat strategis untuk berdagang.
Sejak pagi-pagi buta, Ayu sudah berangkat ke pasar.
Pagi ini pukul 07.00, Ayu sudah berada di salah satu pasar yang berada di daerah Kota M tempat dia tinggal. Pasar itu sangat terkenal oleh warga setempat karena memang menjadi salah satu pasar yang besar di kota nya ini. Hiruk pikuk yang ada di dalam pasar memang menjadi ciri khas tempat itu. Banyak orang yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti sayur, buah, ayam, ikan, jajanan, dan lain sebagainya. Ayu datang cukup pagi, maka sebagian besar yang datang itu, orang tua yang akan melakukan transaksi jual beli di pasar. Hanya sedikit, Ayu melihat anak remaja yang pergi ke pasar pagi hari ini. Tak heran dengan hal itu, karena memang pasar tradisional tak cukup menarik untuk anak muda jaman sekarang.
Suasana didalam pasar tidak pernah berubah, hanya saja keadaan disana yang semakin terlihat kotor bahkan terlihat kumuh karena banyak sampah dimana-mana dan aroma bau yang dihasilkan sungguh busuk di campur bau amis yang ada pada ikan atau ayam. Di tambah dengan, keadaan jalanan nya cukup becek di karenakan sisa air hujan semalam yang cukup deras sehingga menimbulkan genangan air yang membuat orang-orang di pasar merasa tidak nyaman saat berjalan. Tak hanya itu, di sana pun masih banyak jalanan yang berlubang yang membuat pejalan kaki harus selalu berhati-hati. Jalanan berlubang nan becek ini membuat kendaraan harus antre saat melewati pasar, menjadikan jalanan sedikit macet, terutama kendaraan motor yang sudah hampir memadati wilayah pasar disitu.
Selama menjelajahi pasar, Ayu di temani dengan berbagai aliran musik yang di putar oleh pedagang dvd yang saling bersautan, yang semakin meramaikan atmosfer pasar. Ketika kembali pulang dan sembari menikmati alunan musik, Ayu dilihatkan dengan adanya beberapa pengemis dan pengamen yang mendatangi warung, bahkan mendatangi orang yang lewat disitu secara satu-persatu. Ada pun pengemis yang hanya duduk diam di dekat pintu arah pasar, yang hanya menunggu belas kasian dari orang yang melewatinya.
Waktu begitu cepat, tak terasa Ayu berada di pasar sekitar 2 jam lebih dan perlahan mulai meninggalkan pasar sembari mambawa berbagai macam belanjaan untuk keperluan warungnya dan juga beberapa jajanan. Hal ini memang sudah hal biasa ketika pergi ke pasar. Terlebih bagi Ayu, pasar adalah suatu tempat yang memiliki berbagai warna di dalamnya, seperti warna-warni barang dagangan, warna-warni cerita, serta warna-warni kehidupan, karena walaupun hanya sebuah tempat tradisional, tetapi makna dan cerita di dalamnya sungguh menarik.
Dan sekarang sudah jam 9 pagi. Biasanya Ayu sudah kembali ke rumah. Tapi karena pagi ini hujan kembali turun dengan begitu deras dan secara tiba-tiba, membuat Ayu terjebak di pasar dan tak bisa pulang.
Akhirnya setelah satu jam menunggu, hujan pun mulai reda. Ayu dengan cepat bergegas menuju tempat parkiran membawa barang belanjaannya ke motor matic kesayangannya itu.
"Makasih ya Bang." Ucap Ayu seraya menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada tukang parkir.
Perjalan Ayu pulang ke rumah sedikit tersendat karena banyaknya genangan air di jalanan. Motor juga sudah mulai lalu lalang.
Ayu hendak berbelok setelah menyalakan lampu sen motornya ke arah kanan, namun tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan cukup kencang dan hampir saja menabrak Ayu. Tapi untungnya Ayu dengan cepat bisa menghindari tabrakan itu, tapi dia sendiri harus merasakan sakit karena terjatuh disebabkan motornya yang oleng.
Mobil yang hampir menabraknya tadi ternyata berhenti. Dari kejauhan sosok seorang pria berlarian turun dari dalam mobil. Pria itu bergegas mendekati Ayu yang tengah dibantu warga sekitar yang melihatnya terjatuh dari sepeda motor miliknya.
"Mas cepat tanggung jawab, bawa si mbak nya pergi ke rumah sakit." Ucap seorang warga.
"Iya-iya, mohon tenang. Saya akan membawanya ke rumah sakit." Ucap pria itu.
Ayu lalu menatap pria itu, pandangan keduanya bertemu. Seketika keduanya mematung, seperti waktu tengah berhenti dihadapan mereka.
"Mbak tidak apa-apa kan?" Tanya seorang ibu-ibu yang memegangi tangan Ayu.
"Tidak apa-apa Bu, saya baik-baik saja." Balas Ayu yang tiba-tiba tersadar dalam lamunannya.
Bersambung.....
Pria itu mendekat ke arah Ayu dan menatap Ayu dengan tajam.
"Maafkan saya Mbak, saya terburu-buru tadi. Saya benar-benar minta maaf. Ayo kita ke rumah sakit untuk mengobati luka Mbak." Ucap pria itu.
"Sudah Mas, saya nggak apa-apa kok." Balas Ayu.
"Bener Mbak nggak kenapa-kenapa?" Tanya bapak-bapak yang membantu Ayu tadi.
"Iya Pak, saya baik-baik saja." Balas Ayu.
Sementara pria yang menabrak Ayu, sejak tadi dia terus saja memandang Ayu tanpa berkedip.
Orang-orang lalu pergi setelah Ayu mengatakan kepada mereka bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja dan hanya mengalami luka lecet di lengannya.
Kini hanya tinggal Ayu dan pria yang menabraknya itu berdiri di pinggiran jalan.
"Sekali lagi saya minta maaf Mbak. Hmmmmm apa benar Mbak tidak mau saya bawa ke rumah sakit?"
"Iya Mas, ini cuma luka lecet aja kok." Balas Ayu dengan tersenyum.
Pria itu semakin tertegun menatap Ayu yang tersenyum. Senyuman Ayu seolah menyihir pria itu. Ayu yang merasa terus dipandangi merasa sedikit risih.
"Mas.!!!!" Seru Ayu seraya melambaikan tangannya didepan wajah pria itu.
"Eeehh, iya Mbak." Pria itu terlihat gelagapan.
Ayu kembali tersenyum.
"Kalau gitu saya duluan ya Mas." Ucap Ayu seraya menaiki motornya.
"Eh, bentar Mbak." Pria itu memegang stang motor Ayu. "Saya boleh tahu nama dan alamat Mbak nggak? Emmmm. Biar saya bisa lebih dekat, eehhh maksud saya...,"
"Nama saya Ayu Mas." Ucap Ayu memotong ucapan pria itu dan tersenyum. "Rumah saya ada di ujung jalan sini. Tepatnya rumah cat biru muda dan ada warung di depannya." Lanjut Ayu.
"Saya Adi. Apa boleh kapan-kapan saya main ke rumah Mbak?"
"Main?" Ayu mengerutkan dahinya.
Pria bernama Adi itu menganggukkan kepalanya.
“Kalau Mas Adi mau datang berkunjung ke warung saya, silahkan saja Mas. Tapi saya akan jujur sama Mas, kalau Mas berniat untuk berteman dengan saya, silahkan pikir-pikir dulu. Saya ini seorang janda, takutnya Mas nanti mengetahuinya dari orang lain. Apalagi nantinya Mas bisa diejek karena dekat dengan seorang janda." Ujar Ayu.
Ayu selama ini memang tidak ingin menutupi statusnya dari setiap pria yang berusaha untuk mendekati dirinya. Sejak awal berkenalan, Ayu akan langsung mengatakan statusnya.
Pria bernama Adi itu tersenyum dan membuat jantung Ayu berdegup kencang. Selama ini Ayu tidak pernah merasakan hal yang seperti itu. Ada begitu banyak pria yang mendekatinya selama ini, dan hanya Adi lah yang entah kenapa membuatnya tertarik sejak pandangan pertama.
"Saya tidak pernah mempermasalahkan status apapun dalam berteman." Ucap Adi. "Kalau begitu, saya harap kamu mau berteman dengan saya." Lanjut Adi seraya menjulurkan tangannya.
Ayu tersenyum lalu menjabat tangan Adi.
Keduanya lalu berpisah. Ayu kembali pulang ke rumahnya, sementara Adi melanjutkan perjalanannya pergi ke lokasi proyek.
>>> >>> >>> >>>
Benar saja, dua hari berikutnya Adi datang berkunjung ke rumah Ayu. Ayu yang tengah sibuk di warung makannya tampak salah tingkah karena kedatangan Adi yang kali ini tampil kasual. Pertama kali bertemu Adi tampil dengan menggunakan jas lengkap. Kali ini ia mengenakan kemeja lengan pendek dan juga celana pendek sampai lututnya.
Ayu benar-benar tidak bisa menutupi rasa senangnya. Memang sejak pertama kali bertemu, entah kenapa Ayu sudah merasa tertarik. Tapi dia tetap saja memilih untuk berhati-hati dalam menentukan sikap dan perasaannya.
Hari demi hari berlalu, Ayu dan Adi mulai melewati masa pendekatan atau usaha untuk mendekati satu sama lain agar bisa berkenalan lebih jauh lagi. Lamanya proses pendekatan atau pendekatan untuk setiap orang tidak sama, tergantung bagaimana pasangan yang menjalankannya. Ada yang sebulan, dua bulan, atau bahkan ada yang sampai setahun lebih. Dan dalam proses pendekatan antara Ayu dan Adi, mereka hanya membutuhkan waktu satu bulan dan memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran.
Tak bisa dimungkiri, masa-masa pendekatan merupakan fase paling indah yang pernah dirasakan oleh Ayu dan Adi sebelum mereka resmi ke tahap pacaran. Saat-saat di mana mereka bertemu untuk pertama kalinya, mencuri-curi pandang, memikirkan satu sama lain sepanjang hari, berbalas pesan dengan mesranya, dan yang indah-indah lainnya.
Keduanya sama-sama seperti baru pertama kali merasakan jatuh cinta kepada seseorang.
Meski saat minggu-minggu pertama, Ayu terus memikirkan semuanya dengan baik-baik dan tidak ingin gegabah mengambil keputusan. Ayu masih terus terbayang mendiang suaminya.
'Apakah ini memang sudah waktunya bagiku untuk mencoba membuka hati lagi?' pikir Ayu.
Ayu yang tengah duduk di teras rumah saat malam hari dikagetkan oleh adiknya yang menepuk pundaknya.
"Ya Tuhan... Kamu kenapa sih selalu saja usil sama kakak." Protes Ayu.
"Abis kakak ngelamun terus sih. Awas loh kesambet hantu penunggu pohon mangga tetangga." Gelak Arya.
Ayu kemudian memutar mata malas.
"Jangan bilang, kalau kakak sedang memikirkan Kak Adi."
Mendengar nama Adi disebutkan, wajah Ayu langsung merona.
"Menurut kamu, Mas Adi itu bagaimana orangnya?" Tanya Ayu kepada adiknya itu.
"Ganteng sih, ya walaupun lebih gantengan aku kemana-mana."
Ayu langsung menjitak kepala adiknya itu.
"Aduh sakit...." Adik Ayu meringis kesakitan.
"Kalau ditanya tuh, jawabnya yang serius."
"Sepertinya baik Kak Adi orangnya baik, dan juga sopan. Tapi satu hal yang masih aku ragukan darinya Kak."
"Apa itu?" Tanya Ayu.
"Statusnya. Apa benar dia itu pria lajang yang belum menikah? Atau jangan-jangan dia punya istri?"
Ayu terdiam.
"Aku emang belum pernah pacaran sih Kak. Tapi sebagai laki-laki aku bisa melihat dari kacamata kelakian ku, bahwa Kak Adi menyimpan gelagat yang mencurigakan."
"Husss.... Ngomong apa sih kamu Nak. Tidak boleh sembarangan menilai orang seperti itu." Ucap Bu Ida, Ibu Ayu yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
Bu Ida lalu duduk di samping Ayu.
"Menurut Ibu, Adi itu orangnya baik, ramah, dan penuh sopan santun. Jadi, Ibu hanya bisa mendoakan mu yang terbaik Nak. Kau sudah terlalu lama sendirian jadi sekarang kejarlah kebahagiaanmu dengan mencoba berhubungan dengan Nak Adi." Lanjut Bu Ida.
Ayu hanya tersenyum kemudian memegang tangan Ibu nya.
"Makasih ya Bu." Balas Ayu.
Bu Ida lalu mengelus kepala puteri tertuanya itu.
>>>>>>>>
Keesokan harinya....
Adi sudah begitu pagi datang ke warung milik Ayu. Hal itu membuat Ayu terkejut.
"Mas, kenapa tiba,-tiba datang sepagi ini?" Tanya Ayu.
"Aku lagi gak ada kerjaan di proyek. Lagian juga aku datang untuk sarapan." Jawab Adi.
Ayu tersenyum kemudian dengan cepat menyediakan makanan untuk Adi.
"Ini Mas makanannya. Mau aku buatin kopi, teh, atau susu?"
"Susu putih aja. Oh ya, Mas mau ke kamar kecil sebentar. Tolong tetap disini ya." Ucap Adi.
Ayu mengangguk dengan menatap punggung Adi yang berjalan menjauh.
Tak begitu lama, ponsel Adi berdering. Adi ternyata meninggalkan ponselnya diatas meja.
Awalnya Ayu ragu untuk menjawabnya, terlebih nama yang tertera sebagai penelepon adalah Sarah.
'Siapa Sarah?' pikir Ayu.
Ponsel itu terus saja berdering dan Adi belum juga kembali. Ayu pun dengan terpaksa menjawab panggilan itu karena dia takut bahwa itu adalah panggilan yang sangat penting.
"Halo Mas, jadi pulang hari ini gak?"
Ayu terdiam, tiba-tiba dari arah belakang, Adi muncul dan langsung merebut ponsel itu dari tangannya kemudian berjalan keluar dari warung.
'Siapa Sarah? Apakah dia itu adik, atau kerabat Mas Adi? Atau jangan-jangan istrinya?'
Bersambung....
Ayu mengintip dari jendela warung ke arah depan jalanan dimana Adi tengah menerima telepon dari wanita bernama Sarah itu.
"Oke, aku akan pulang malam ini juga." Ucap Adi.
Ayu tampak begitu penasaran, siapa sebenarnya Sarah itu. Kenapa Adi sampai harus menghindar darinya hanya untuk menerima panggilan itu.
Adi lalu masuk kembali ke dalam rumah Ayu setelah selesai berbicara lewat telepon. Ayu yang berdiri di ruang tamu membuat Adi kaget.
"Astaga... Kamu tuh buat Mas jantungan..." Ucap Adi.
"Mas, siapa Sarah?" Tanya Ayu to the point.
Adi terdiam, raut wajahnya berubah cemas. Hal itu semakin membuat Ayu tambah curiga.
"Mas kenapa diam? Jawab aku Mas, siapa Sarah?" Tanya Ayu lagi.
"Di.... Di... Dia... Adikku."
"Adik?" Ayu tampak tidak percaya.
"Iya... Dia adik ku sayang." Balas Adi.
"Kalau memang adik, kenapa Mas sampai menghindari aku untuk menjawab telepon darinya?"
"Yaaa... Wajar saja kan kalau Mas terima telepon gak harus dihadapan kamu."
"Iya memang wajar, dan itu hak Mas juga. Toh aku bukan siapa-siapanya Mas. Tapi yang aku cuma penasaran saja. Sejak awal kita berkenalan, Mas tidak pernah menyebutkan tentang Mas punya adik perempuan..."
"Mas minta maaf sayang. Kamu jangan ngambek gitu dong." Adi berusaha memegang dagu Ayu.
Namun Ayu dengan cepat menepisnya. Dalam hati Ayu, dia masih ragu jika wanita bernama Sarah itu adalah adik dari Adi.
"Aku gak ngambek, aku cuma mau Mas itu jujur sama aku tentang semua keluarga Mas. Karena kita itu sudah sama-sama dewasa Mas. Hubungan ini harus ada kejelasannya. Jika Mas memang gak berniat serius, lebih baik kita hentikan sebelum terlalu jauh Mas. Lagi pula aku ini seorang janda kelas bawah, sedangkan Mas itu adalah bujangan yang berasal dari kelas atas. Namun jika Mas memang berniat untuk serius dalam hubungan ini, maka Mas gak akan merahasiakan apapun dari aku. Terutama tentang keluarga Mas."
"Kamu jangan ngomong gitu dong. Mas ini serius sama kamu. Hubungan kita memang masih baru banget, tapi Mas sudah yakin banget menjatuhkan pilihan Mas sama kamu. Mas gak pernah peduli dengan status kamu. Karena cinta yang Mas punya ini tidak memandang status sayang." Adi mengusap pipi Ayu lembut.
Ayu terdiam, ia hanya menatap Adi dengan mata yang berbinar.
"Oh ya sayang, Mas harus pulang ke kota hari ini. Anak Mas.... Eehh maksud Mas, keponakannya Mas, anaknya Sarah itu lagi sakit. Sekarang lagi berada di rumah sakit dan kebetulan suaminya Sarah lagi di luar negeri. Jadi Mas yang harus mengurus semuanya." Ujar Adi.
Ayu terus menatap Adi, kali ini dengan tatapan yang begitu tajam.
"Kamu gak percaya sama Mas?" Tanya Adi.
Ayu tetap terdiam.
"Sayang, percaya sama Mas. Mas itu sayang banget sama kamu. Mas janji deh, saat Mas kembali nanti, Mas akan ceritakan semuanya sama kamu tentang keluarga Mas. Atau lebih baiknya lagi nanti saat tiba di kota, Mas akan mengirimkan pesan padamu tentang semua keluarga Mas beserta dengan foto mereka masing-masing. Agar nanti saat kita menikah, kamu gak akan terlalu canggung karena sudah mengenali mereka." Kali ini Adi mencolek hidung Ayu yang membuat gadis itu akhirnya tersenyum.
"Nah, gitu dong. Kalau gini kan cantik!" Seru Adi.
Wajah Ayu semakin merona.
"Kalau gitu, Mas langsung pergi sekarang aja ya. Agar Mas bisa lebih cepat tiba di kota." Ucap Adi.
"Mas, gak habisin makanannya dulu?" Tanya Ayu.
"Gak usah sayang, Mas takut kemalaman nanti."
"Iya udah, kalau Mas maunya begitu."
"Titip salam aja ya buat Ibu dan Arya. Minggu depan Mas bawain oleh-oleh dari kota."
"Hmmm.... Mas hati-hati ya di jalan."
"Siap Bos." Balas Adi.
Adi lalu beranjak keluar rumah, sementara Ayu langsung ke arah ruang makan membereskan makanan yang ada karena takut jika kucing liar datang dan merusak semuanya.
Namun, Ayu mendapati kunci mobil milik Adi berada di atas meja makan. Ayu pun dengan cepat berlarian ke luar rumah, berusaha mengejar Adi.
"Maaaaassss....." Teriak Ayu seraya berlari dari ruang makan dan melihat Adi masih berdiri di halaman rumah terlihat tengah menerima telepon seseorang.
Ayu tidak habis pikir dengan Adi, kenapa saat di panggil dia malah pergi begitu saja?
Padahal Ayu hanya ingin mengembalikan kunci mobilnya yang berada dia atas meja tadi.
'Apa iya, dia tidak mau sama kunci mobilnya ini lagi?' tanya Ayu dalam hati.
Ayu menggerutu sendiri sambil terus mengejar Adi. Ayu memanggil Adi sekali lagi, tapi dia tak menoleh sedikit pun.
"Maaaaaass!" Panggil Ayu tapi dia tetap tidak menoleh sedikit pun.
"Mas Adi kenapa ya? Apa dia memang tidak mendengar suara teriakan ku?" Gumam Ayu sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
Ayu terus berlari mengejarnya Adi.
Ayu akhirnya berhasil menghentikan Adi, saat ia hampir masuk ke dalam mobil.
"Ayu!"
"Kaget ya Mas?" Tanya Ayu dengan senyum manisnya.
Adi menggeleng-geleng melihat Ayu.
"Nggak usah kaget gitu Mas, aku tidak mempunyai kekuatan kok!" Ucap Ayu terkekeh.
Suara ponsel Adi kembali berdering membuatnya terperanjat kaget. Apalagi panggilan itu menampilkan nama Sarah.
"Kenapa?" Tanya Adi dengan nada sedikit kasar.
Suara ponselnya terus saja berdering.
"Ini Mas...."
"Apa? Cepat katakan?"
Suara ponsel Adi terus saja berdering tanpa henti.
"Haloooo...." Adi berteriak. "Iya tunggu saja, aku sudah di jalan." Teriaknya lagi.
"Mas...." Panggil Ayu.
"Diaam...." Teriak Adi tampak putus asa.
Ayu menjadi begitu terkejut. Seketika raut wajah Adi berubah pias. Ia langsung memutuskan sambungan telepon dan beralih menatap Ayu dan memegang tangannya. Sementara Ayu sendiri, matanya sudah berair.
"Sayang, maafkan Mas. Mas benar-benar....'
"Gak apa-apa Mas. Aku paham. Aku cuma mau nganterin kunci mobil Mas yang kelupaan di ruang makan." Ucap Ayu seraya menyerahkan kunci ke tangan Adi.
"Sayang...."
"Aku ngerti Mas, sekarang pergilah." Balas Ayu mengusap pipi Adi meski sebenarnya dalam hati Ayu, ia begitu terluka karena dibentak tadi.
"Baiklah sayang, Mas pergi dulu ya. Sampai ketemu minggu depan." Balas Adi.
Setelah kepergian Adi, Ayu langsung kembali ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Ia seharusnya membantu sang Ibu di warung. Tapi, saat ini perasaannya tengah kacau. Dia memikirkan semua yang baru saja terjadi, di mulai dengan wanita yang bernama Sarah, hingga dirinya yang dibentak Adi.
Semua itu entah kenapa tiba-tiba mengingatkan Ayu kepada mendiang suaminya.
"Mas Bayu, apa keputusanku untuk membuka hati pada Mas Adi salah?" Tanya Ayu dengan menatap langit-langit kamarnya.
Ayu teringat bagaimana sabarnya Bayu, mendiang suaminya selama menjalin hubungan dengannya. Mulai dari semenjak menjalin hubungan kekasih sejak kelas 1 SMA, sampai menikah selama dua tahun hingga akhirnya Dani pergi lebih dulu menghadap Ilahi.
"Ah, apa aku salah membandingkan Mas Bayu dengan Mas Adi?" Ucap Ayu lagi.
Ayu pun tanpa sadar tertidur.
Dalam mimpi, ia bertemu dengan mendiang sang suami yang memakai jas warna hitam.
"Mas Bayu...." Ucap Ayu.
Mendiang suaminya itu terus saja menatap Ayu dengan tatapan yang datar.
"Mas...." Panggil Ayu lagi.
Bayu tersenyum, lalu berkata, "berbahagialah..."
Setelah itu sosok Bayu langsung menghilang. Ayu sontak berteriak histeris dari dalam kamarnya. Hal itu membuat Ibunya panik dan langsung berlari ke kamar Ayu.
"Kenapa Nak?" Tanya Bu Ida.
Ayu yang langsung terbangun, hanya bisa diam.
"Mimpi buruk?" Tanya Bu Ida.
Ayu menggeleng.
"Justru mimpi indah Bu. Sepertinya Mas Bayu sudah merelakan aku Bu." Ucap Ayu.
>>> >>> >>> >>> >>>
Satu minggu berselang, sesuai yang dikatakan Adi, ia kembali mengunjungi Ayu. Hubungan mereka berdua semakin begitu dekat. Ayu bahkan sudah sangat mencintai Adi. Kali ini keduanya menghabiskan waktu dengan pergi ke sebuah mall.
Ngemal atau pergi ke mal merupakan salah satu aktivitas warga di perkotaan menghabiskan akhir pekan atau liburan dan hal itu juga yang dilakukan Ayu dan Adi. Keduanya pergi ke sebuah mall yang berada di sekitaran kota tempat tinggal Ayu.
Keduanya tiba tepat saat siang hari. Meski masih siang, mall tampak ramai dikunjungi warga, walau tidak padat membludak. Sebagian besar warga datang bersama dengan keluarga. Ada juga yang datang bersama dengan teman yang sudah lama tidak bertemu, ataupun dengan pacar, dan ada juga yang datang sendiri. Ayu merasa begitu senang, karena untuk pertama kalinya setelah lima tahun lamanya ia kembali keluar berjalan-jalan dengan seorang pria yang ia cintai.
Mereka berdua mulai menyusuri setiap sudut mall. Dan pada saat memasuki jam makan siang, tempat yang paling ramai dikunjungi pengunjung sudah pasti food court atau satu lantai di mall yang dikhususkan untuk aneka jenis restoran yang menjual makanan. Beberapa pengunjung rela mengantre untuk mencoba makan di restoran yang baru saja buka atau restoran tersebut memang favorit.
"Mau makan dulu gak?" Tanya Adi.
"Gak deh Mas, tadi udah makan di rumah." Balas Ayu.
"Terus sekarang mau ngapain? Kamu beneran gak mau beli baju, tas, sepatu atau perhiasan?" Tawar Adi.
Ayu hanya menggeleng dan semakin mengeratkan gandengannya pada tangan Adi.
"Kita cuci mata aja Mas. Entar kalau ada barang yang bisa narik perhatian aku, baru oke deh beli." Ucap Ayu sumringah seraya kembali berjalan dengan tangan yang saling bertautan dengan Adi.
Adi tersenyum, ia terus menatap Ayu yang terlihat begitu ceria berjalan di sisinya.
'Sangat jarang ada wanita seperti dia yang meski ditawari belanja, langsung nolak begitu aja.' pikir Adi.
Selain food court, tempat lainnya yang biasa dikunjungi toko baju, meski tidak seramai food court. Khusus untuk wanita, seperti Ayu, dia lebih memilih untuk masuk ke toko kosmetik. Meski demikian, masuk ke toko-toko belum berarti konsumen akan membeli barang di sana.
Malahan, Ayu lebih suka untuk melihat-lihat, bahkan sekedar mencoba pakaian atau kosmetik saja. Jika tidak cocok, Ayu tidak akan jadi membeli. Atau, Ayu hanya mencoba sebagai referensi atau hanya memastikan barang tersebut akan tersedia sampai jangka waktu tertentu.
Ayu dan Adi berlanjut berjalan ke arah sudut lain mall, tempat yang juga cukup ramai dikunjungi oleh pengunjung lainnya yaitu tempat ngopi alias kafe. Kebanyakan dari para pengunjung datang membeli minuman dan makanan, kemudian duduk untuk sekedar berbincang dengan kerabat, membuka laptop mereka dan bekerja, atau hanya sekedar mencari colokan untuk mengisi daya baterai gadget.
"Apa kita hanya akan jalan-jalan saja tanpa beli sesuatu?" Tanya Adi lagi.
"Ya kalau Mas mau beli sesuatu, beli aja. Emang dari tadi aku larang Mas apa?" Ayu balik bertanya.
"Bukan begitu, maksud Mas itu Mas pengen beliin sesuatu buat kamu."
"Hmmmm.... Kalau begitu Mas beliin aku...." Ayu tampak berpikir.
"Apa?" Tanya Adi penasaran.
"Beliin tiket nonton film di bioskop. Terus beliin popo corn sama minuman. Gimana, bisa gak?" Tanya Ayu.
Adi tersenyum dan langsung berjalan ke arah stand penjual pop corn setelah lebih dulu membeli tiket untuk menonton sebuah film.
Mereka benar-benat bersenang-senang layaknya pasangan anak muda yang baru merasakan berpacaran. Menghabiskan waktu dengan menonton bioskop, setelah itu bermain di wahana permainan indoor.
Hari sudah beranjak sore, Ayu akhirnya merasa lapar. Keduanya pun memutuskan untuk makan di sebuah restoran.
"Laper banget ya?" Tanya Adi pada Ayu yang tengah begitu lahap memakan spaghetti.
"Iya nih Mas, apalagi film tadi bahas nya makanan terus. Aku jadi ngiler." Balas Ayu.
Adi tersenyum menatap Ayu yang tampak lahap menyantap hidangan dihadapannya itu.
"Oh iya Mas, ngomong-ngomong, bagaimana keadaan keponakan Mas itu?" Tanya Ayu.
Seketika Adi mematung setelah mendengar pertanyaan dari kekasihnya itu.
"Mmmmmm.... Dia...."
Ayu menatap Adi dengan menaikkan alisnya.
"Kenapa Mas?" Tanya Ayu lagi.
"Dia sudah baikan sayang." Balas Adi.
"Syukurlah."
Adi terus menatap Ayu, ada rasa bersalah dihatinya setiap kali melihat Ayu.
Adi tanpa tidak sadar begitu terjatuh dalam pesona si janda Ayu. Hanya butuh waktu beberapa detik saja baginya untuk langsung jatuh cinta pada Ayu. Dan kini cinta itu semakin tumbuh semakin besar.
"Sayang...." Panggil Adi.
"Hmmm iya Mas!" Balas Ayu kemudian menyeruput jus mangga yang ada dihadapannya itu.
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu." Ucap Adi yang membuat pipi Ayu langsung merona merah.
"Kenapa Mas tiba-tiba bilang cinta begini?" Tanya Ayu.
"Karena Mas memang sangat mencintaimu."
"Aku juga Mas." Balas Ayu tersenyum.
Dari arah luar restoran, tanpa sengaja seorang teman Adi yang bernama Dani, melihat Adi yang tengah makan di dalam restoran bersama dengan Ayu.
"Itu Adi kan?" Ucap Dani pada dirinya sendiri.
Dani terus mengamati kedua pasangan yang terlihat tertawa di dalam restoran itu.
"Gak salah lagi, itu Adi." Dani memicingkan matanya.
Pandangannya beralih pada sosok wanita yang duduk dihadapan Adi. Adi tampak tengah menyuapi wanita itu dengan semangkuk es krim.
"Itu jelas bukan Sarah. Terus siapa wanita itu?" Ucap Dani lagi.
Kemudian Dani yang penasaran itu, lalu mendekati meja Adi untuk menghilangkan keraguannya.
"Adi..." Ucap Dani.
Adi tampak kelabakan dan langsung berdiri.
"Dia siapa, mana Sarah?" Tanya Dani.
Adi langsung menarik tangan Dani mengajaknya menjauh dari Ayu.
'Siapa lagi pria itu, kenapa lagi-lagi nama Sarah yang dibicarakan? Sebenarnya siapa Sarah itu?' tanya Ayu dalam hati.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!