NovelToon NovelToon

Pemuas Ranjang CEO

Lelaki Kesepian

Bara Atmaja, lelaki berusia 31 tahun yang memiliki hobi kerja. Pada usianya yang masih tergolong muda, ia sudah dipercaya memegang posisi CEO di PT Atmajaya Sentosa, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Namanya cukup dikenal di kalangan para pengusaha.

Memiliki karir yang gemilang ditunjang dengan wajah rupawan serta kekayaan yang berlimpah, tak menjamin hidupnya bahagia. Tiga tahun yang lalu, ia ditinggalkan oleh istri kesayangannya, Silvia Farasya, seorang model internasional yang cukup terkenal. Silvia pergi ke luar negeri demi mengejar karirnya. Ia tidan tahan dengan kemauan Bara yang memintanya meninggalkan pekerjaan sebagai model setelah melahirkan putra mereka, Kenzo Atmaja.

Sebelum pergi, Silvia mengatakan penyesalannya sudah memutuskan untuk cepat menikah dan memiliki anak dengan Bara. Karir yang telah susah payah dibangunnya seketika hancur saat ia hamil. Ditambah dengan kesibukan Bara yang sangat padat, sampai jarang memberikan perhatian kepada dirinya dan anaknya. Meskipun ia menyayangi Kenzo, namun setiap hari air mata terus mengalir di pipinya. Ia ingin kembali meraih karirnya.

Saat Kenzo berusia dua tahun, ia memutuskan pergi dari rumah, meninggalkan anak dan suaminya. Silvia pergi ke luar negeri demi meraih apa yang dicita-citakan sebagai seorang model profesional terkenal. Sekalipun itu akan menghancurkan rumah tangganya, ia tetap nekad mengikuti keegoisaanya.

Bara menyalakan rokonya sembari memandangi suasana kota di siang hari lewat jendela kaca di ruang kantornya. Mengingat masa lalu sering kali mrmbuat dadanya sesak. Ia masih belum bisa melupakan kemarahannya kepada Silvia yang tega meninggalkan dia dan anaknya.

"Woy! Siang-siang melamun!" seru Zack yang masuk begitu saja tanpa permisi ke ruangan Bara. Lelaki itu merupakan sahabat baiknya sejak SMA. Dia yang tahu persis bagaimana kehidupannya serta hubungannya dengan Silvia.

"Kenapa? Silvia lagi?" Zack mengambil sebatang rokok dari atas meja. Dengan santainya ia duduk di sofa sembari merokok. Zack menghampirinya.

"Sudah tiga tahun, Bro! Masa belum move on juga. Jangan seperti orang yang tidak laku, kamu itu masih cukup muda dan tampan untuk bisa mendapatkan wanita manapun yang kamu mau." Pembahasan Zack tak pernah jauh dari saran agar lelaki itu menikah lagi.

"Hah! Berani memberiku nasihat padahal kamu sendiri belum pernah menikah." Bara terkekeh.

"Nikah belum, tapi kawin sering, Bar ...."

Bara hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kejujuran yang lelaki itu katakan. Zack memang pernah mengatakan tidak berkeinginan untuk menikah. Menurutnya, menikah adalah sesuatu yang sangat merepotkan. Dua orang dengan pemikiran berbeda akan sulit jika dipaksa tinggal bersama. Sampai saat ini, Zack belum menemukan pendamping hidup sejatinya.

Nama Zack bukanlah nama yang asing di setiap klab-klab malam di kota itu. Hampir semua klab malam pernah didatanginya. Tentu saja setiap klab yang didatangi pasti ada satu atau beberapa wanita yang pernah diajaknya tidur bersama.

Bara tak pernah menyalahkan pilihan Zack. Ia hanya sebatas bisa menasihati agar berhenti main-main.

"Ngomong-ngomong, apa punyamu masih bisa hidup?" ucapan Zack begitu tak tahu malu. Bara yang hanya mendengarnya saja malu membahas tentang hal itu. Bagi Zack, hal itu seperti sesuatu yang sudah biasa.

"Menurutmu bagaimana? Dasar sialan!" Bara menggerutu sembari menghisap rokoknya.

"Tiga tahun nggak terpakai aku khawatir nggak bisa berdiri lagi, Bar. Sesekali diasah kemampuannya lagi, persiapan sewaktu-waktu Silvia pulang kamu sudah siap tempur lagi."

"Ucapanmu ngelantur!" Bara memukul kepala Zack. Sahabatnya yang satu itu memang gila.

"Kenapa? Kita sudah sama-sama dewasa, ini bukan hal yang memalukan untuk dibahas. Sebagai lelaki, kita memang harus rutin mengeluarkannya supaya tetap sehat." Zack memamerkan otot lengannya yang kekar. "Yakin, tidak mau mencoba yang lain? Hidup hanya sekali, Bar ... nikmati ... seperti aku." Zack kembali menghisap rokok di tangannya.

"Aku tidak bisa menjalani hidup sepertimu, Zack. Baru membayangkan saja sudah merinding."

"Hahaha ... coba satu kali saja, siapa tahu cocok. Atau mau aku carikan wanita cantik untuk berkenalan denganmu? Dia bisa menemanimu bersenang-senang di apartemenmu." Zack selalu antusias dalam urusan mencarikan jodoh Bara, meskipun dirinya sendiri anti dengan pernikahan.

Bara memilih mengabaikan ucapan Zack yang ngawur. "Aku ada anak, Zack. Mana bisa aku melakukan hal seperti itu di rumah yang sama dengan tempat anakku tinggal."

Setelah istrinya pergi, Bara hanya tinggal berdua dengan Kenzo di apartemen. Dia hanya mempekerjakan pengasuh setengah hari di apartemennya yang bernama Bi Inten. Pengasuh Kenzo akan pulang setelah sore. Selain menjaga Kenzo, Bi Inten juga bertugas mengurus apartemen.

Bara tidak terlalu suka rumahnya ada orang asing, ia tidak suka mempekerjakan pelayan. Mungkin itu juga salah satu penyebab Silvia pergi meninggalkannya, ia tak kuat harus ikut mengurus rumah dan Kenzo.

"Sesekali kamu kan bisa menitipkan Kenzo di rumah orang tuamu. Mereka juga pasti akan senang jika Kenzo berada di sana. Ada anak kakakmu juga yang bisa bermain bersama Kenzo, anakmu tidak akan kesepian." Ada saja akal-akalan yang Zack utarakan. Dia sepertinya sudah lihai menggunakan seribu satu cara untuk menggaet wanita.

Bara terdiam sejenak sembari menghisap rokoknya. Kenzo memang senang jika diajak bermain ke rumah orang tuanya. Di sana, ada dua anak kakak perempuannya yang usianya tidak terpaut jauh dari Kenzo. Putranya betah berada di sana.

Akan tetapi, terkadang Bara masih terlalu berat untuk melepaskan sang anak. Ia takut setelah sang istri pergi, putranya juga akan ikut pergi meninggalkannya. Untuk menghilangkan rasa kesepiannya, ia selalu tidur berdua dengan Kenzo. Melihat ada anak di sampingnya membuat perasaan Bara tenang.

"Juniormu itu kasihan, butuh dimanjakan juga oleh kenikmatan."

Bara menyunggingkan senyum. "Aku tidak bisa membayangkan berbuat seperti itu dengan wanita lain, Zack."

"Kalau begitu, coba deh layanan pijat panggilan. Aku punya rekomendasi tempat yang cocok dan pelayanannya memuaskan. Mau aku kenalkan?"

"Hah! Apa lagi itu?" Bara terkekeh. Zack sepertinya sangat tahu sisi-sisi erotisme yang ada di setiap sudut kota.

"Enak, Bar. Tubuhmu bisa rileks jika sudah dipijat. Apalagi kamu tipe yang pekerja keras. Silvia pasti belum pernah memijitmu, kan? Mumpung dia sudah kabur, nikmati kebebasanmu, Bar ... buat Silvia menyesal telah mencampakanmu." Zack sudah seperti seorang affiliator sekaligus motivator yang tak henti-hentinya menawarkan produk dagangannya.

Bara bahkan tidak akan mengenal yang namanya klab malam kalau bukan Zack yang mengajaknya. Meskipun di sana ia hanya minum-minum dan tak berminat dengan satupun wanita, Zack tidak pernah absen untuk mengajaknya. Mengingat Bara yang sudah memiliki seorang putra, ia tak bisa terlalu leluasa pergi hingga larut malam.

Curhatan Anak Kecil

"Terima kasih,Miss Retha," ucap seorang ibu yang baru saja menjemput putrinya.

"Iya, Ibu, sama-sama." Retha membalasnya dengan nada santun.

"Sampai jumpa besok, Miss. Ike pulang dulu," pamit anak didiknya.

"Hati-hati di jalan, Ike." Retha melambaiman tangan mengantar kepulangan murid terakhir dari kelasnya.

Retha mengembangkan senyum. Setiap hari rasanya begitu bahagia bertemu dengan anak-anak kecil yang kian hari semakin pintar. Pekerjaan paling menyenangkan bagi dirinya menjadi seorang guru TK. Keceriaan anak didiknya mampu memunculkan perasaan bahagia dalam hatinya.

"Retha! Bisa aku minta tolong?" Dian, teman kerjanya tampak berjalan dengan langkah cepat sembari menggandeng salah satu muridnya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Ibuku masuk rumah sakit. Bisa tidak kamu menjagakan Kenzo sampai ada yang datang menjemputnya? Aku sangat terburu-buru sekali." Dari raut wajah Dian jelas sekali kalau dia sedang panik setelah mendapat telepon yang mengabarkan bahwa ibunya masuk rumah sakit.

Retha terdiam sejenak memandangi wajah polos anak lelaki yang tampak pendiam itu. Sebenarnya dia juga ingin segera pulang ke rumah. Ia harus menyiapkan makan siang sebelum adik dan ayahnya pulang.

"Iya, Dian. Kamu pulang saja. Biar aku yang menjaga Kenzo."

"Terima kasih, Retha. Aku langsung pulang sekarang!" pamit Dian seraya berlari menuju tempat parkiran untuk mengambil motornya.

Rasa tidak tega Retha membuatnya terpaksa harus mengabaikan urusan pribadinya. Ia lihat Kenzo tampak malu-malu berhadapan dengannya. Setahu Retha, Kenzo memang anak yang pendiam. Ia lebih suka menyendiri daripada bermain dengan teman yang lain.

Retha berjongkok agar tingginya sama dengan Kenzo. Ia memberikan senyuman tulus agar Kenzo merasa nyaman dengannya. Guru yang lain sudah pulang, hanya dirinya yang tersisa di sana menjaga Kenzo.

"Kenzo, kita tunggu di dalam kelas ya, sampai ada yang menjemput," bujuknya.

Kenzo hanya mengangguk. Retha menuntun kembali Kenzo masuk ke dalam kelas. Ia bawa anak itu ke dalam area kerajinan, siapa tahu Kenzo akan tertarik dengan salah satu permainan yang ada di sana.

Beberapa saat mengamati tingkah Kenzo, anak itu hanya duduk berdiam diri di tempatnya semula. Ia sedikit bingung karena tidak terlalu memahami karakter anak itu karena bukan salah satu murid di kelasnya.

"Kenzo, apa kamu lapar?" tanyanya.

Kenzo menggeleng.

"Kenapa wajahmu kelihatan murung, Sayang? Apa kamu sedang sedih?"

Kenzo mulai mengangkat kepalanya. Ia memandangi wajah Retha dengan tatapan heran. Baru kali ini ada seseorang yang bertanya apakah dia sedang sedih atau tidak. Biasanya orang lain akan membiarkannya saja sendirian karena mengira ia memang ingin sendiri. Padahal, ia hanya ingin dimengerti.

"Coba ceritakan sama Miss Retha, apa sih yang membuat anak berani seperti Kenzo ini jadi sedih, murung? Apa ada teman yang nakal?" Retha mencoba menggali perasaan yang ada dalam diri anak kecil itu.

Kenzo menggeleng. "Kenzo kangen Mommy," ucapnya polos.

Retha terdiam. Setahu dirinya, orang tua Kenzo sudah berpisah. Ibu Kenzo seorang model terkenal yang kini telah menetap di luar negeri. Ia tidak bisa membayangkan rasanya anak sekecil itu hidup jauh dari ibunya. Ia sendiri yang sudah sedewasa sekarang masih terasa menyesakkan ketika mengingat ibunya yang telah lama meninggal.

Umumnya setiap pasangan yang memutuskan berpisah dan telah memiliki anak, si anak akan ikut bersama ibunya. Lain ceritanya dengan Kenzo yang katanya sekarang tinggal bersama ayahnya. Ia bahkan tidak tahu seperti apa ayah Kenzo. Orang yang setiap hari datang menjemput Kenzo ke sekolah adalah Pak Diman.

Retha mengusap lembut kepala Kenzo. "Oh, jadi Kenzo sedang kangen dengan mommy, ya?"

Anak itu mengangguk.

"Mungkin Mommy Kenzo masih sibuk, jadi belum bisa datang menemui Kenzo."

Kenzo terdiam sejenak. "Mommy tidak mau datang karena benci Kenzo."

"Kenapa Kenzo bilang seperti itu? Tidak ada seorang ibu yang membenci anaknya, Sayang. Semua ibu pasti menyayangi anaknya."

Kenzo menggeleng. "Tadi Kenzo dengar Miss Dian dan Miss Ester sedang membicarakan Mommy. Kata Miss Ester, Mommy mengaku belum punya anak. Kata Miss Dian, Kenzo kasihan tidak diakui anak sama Mommy. Mommy tidak mau pulang karena tidak suka Kenzo."

Retha menghela napas. Sebagai guru memang harus lebih berhati-hati dalam berbicara. Anak-anak sekarang cepat tangap dengan perkataan orang dewasa. Ia sendiri tidak mau terlalu mengurusi masalah rumah tangga orang lain. Melihat kehidupannya saja masih miris, tidak ada waktu untuk menilai kejelekan orang lain.

"Sayang, mungkin kamu salah dengar. Kalau kamu tidak mendengar langsung dari Mommy, jangan percaya dengan orang lain. Mommy kamu pasti sangat menyayangimu."

"Tapi, Mommy sudah lama tidak pulang."

Sulit menjelaskan perpisahan kedua orang tua kepada anak sekecil itu. Setiap anak pasti menginginkan kehidupan yang lengkap bisa tinggal bersama ayah dan ibunya.

"Suatu saat, setelah tidak sibuk, Mommy kamu pasti pulang. Makanya kamu harus jadi anak yang pintar supaya kalau Mommy pulang, dia akan senang melihat Kenzo yang sudah besar dan pintar."

Kenzo mengembangkan senyum. "Daddy juga selalu bilang begitu, Miss. Katanya Kenzo harus pintar agar Mommy nanti pulang."

"Iya, memang seharusnya harus seperti itu." Retha menepuk lembut kepala Kenzo. "Sekarang, Kenzo mau main apa?" Retha menawarkan bantuan.

"Kenzo mau menggambar," pinta Kenzo dengan semangat.

Retha mengambilkan buku gambar dan crayon untuk Kenzo. Ia membiarkan anak itu mencoret-coret kertas putih dengan pulasan crayon sebagai bentuk ekspresi dirinya. Ternyata tidak sulit mengajak Kenzo bicara. Ia hanya butuh merasa percaya kepada orang yang mengajaknya bicara.

"Kenzo!" seru seseorang dari arah pintu.

Retha langsung menoleh ke arah datangnya suara. Betapa ia terkesima melihat sosok lelaki yang kini tengah berdiri di depan pintu. Saking tampannya, membuat mata Irene tak ingin berkedip memandangnya.

"Daddy .... " Seru Kenzo seraya berlari menghampiri lelaki itu dan memeluknya.

Retha baru tahu jika lelaki tampan itu adalah ayah Kenzo. Tidak mengherankan jika Kenzo memiliki wajah yang manis jika ayahnya juga setampan itu.

"Apa Anda gurunya Kenzo?" tanya lelaki itu.

"Benar, Pak," Retha menjawab dengan perasaan canggung.

"Daddy, Miss Retha tadi menemani Kenzo menggambar," celoteh Kenzo.

"Oh, Miss Retha, ya ... terima kasih sudah menjaga putra saya. Maaf, saya sangat telat menjemput Kenzo," ucapnya.

"Tidak apa-apa, Pak Bara. Memangnya Pak Diman kenapa tidak bisa menjemput?"

"Dia kecelakaan."

"Apa!" Retha kaget mendengar Pak Diman kecelakaan.

"Pak Diman baik-baik saja, hanya katanya mobil yang dikendarai menabrak mobil di pinggir jalan. Makanya saya jemput sendiri Kenzo dari kantor."

"Syukurlah, saya kira terjadi apa-apa dengan Pak Diman." Retha merasa lega.

"Kalau begitu, kami pamit pulang, Miss Retha. Terima kasih sekali lagi."

"Iya, Pak, silakan."

"Dadah Miss Retha ...," ucap Kenzo.

Retha memperhatikan kepergian Kenzo dan ayahnya. Akhirnya tugas di sekolah telah selesai. Ia sudah bisa pulang dengan tenang.

"Sungguh mengherankan seorang istri bisa meninggalkan suami setampan itu dan anak yang lucu seperti Kenzo," gumam Retha.

❤❤❤❤❤

Hai ... jangan lupa dukungannya, ya 😘

Pembuat Masalah

"Tidak mau! Tidak mau! Lepas! Tolong ...."

Baru saja Retha sampai di depan rumah kontrakannya, sudah terdengar suara keributan di halaman rumah. Tampak adiknya sedang berusaha diseret oleh tiga orang lelaki tak dikenal. Sementara, ayahnya terkapar tak berdaya di tanah dengan wajah penuh luka pukulan.

Buru-buru Retha memarkirkan motornya lalu berlari menolong adiknya. "Lepaskan adikku!" teriaknya.

Ketiga lelaki berpenampilan preman itu menghentikan perbuatannya. Mereka membiarkan sang adik lepas dan berlari ke arah kakaknya.

"Kak ...," rengek Edis sembari memeluk kakaknya. Ia sangat takut ketika para lelaki itu mengatakan ingin membawanya pergi.

"Sudah, Edis. Jangan takut. Kakak sudah datang." Meskipun sebenarnya Retha juga takut, sebagai seorang kakak ia berusaha menampilkan rasa aman untuk adiknya.

Retha melirik ke arah ayahnya. Mata mereka bertemu. Retha memberikan tatapan kebencian kepada lelaki yang harus ia sebut sebagai seorang ayah namun tidak bisa melaksanakan perannya dengan baik.

Agus, ayah Retha, seorang pekerja serabutan yang hobinya berjudi. Hutang menumpuk yang dipikul dirinya tak lepas dari hasil kelakuan sang ayah. Orang-orang yang saat ini datang ke rumahnya pasti memiliki urusan dengan sang ayah.

"Aku kira kamu tidak akan pulang, Retha ... untunglah kamu cepat pulang. Kalau tidak, adikmu akan aku bawa," ucap salah seorang dari mereka.

"Aku bilang jangan ganggu adikku! Kalau kalian punya urusan dengan ayahku, bawa saja dia, jangan libatkan kami dengan urusan lelaki tua itu!" Retha berbicara dengan nada tegas. Kesabarannya sudah habis dengan kelakuan ayahnya. Ingin merasakan hidup tenang saja rasanya berat. Setiap hari ada saja orang yang datang dengan alasan menagih hutang. Entah berapa banyak sebenarnya hutang yang dimiliki sang ayah, Retha bekerja mati-matian mencicil juga masih ada yang datang menagih.

Ketiga lelaki itu saling bertukar pandang, mereka tertawa dengan perkataan Retha. "Untuk apa kami membawa tua bangkanyang tidak berguna itu? Disuruh kerja bangunan juga paling tidak akan kuat. Lebih baik aku bawa salah satu dari kalian, setidaknya bisa menghasilkan uang. Kalian bisa menjadi salah satu pelacvr di tempat Madam Gisel."

Mendengar hal itu, Retha menjadi geram. Bisa-bisanya mereka berpikir mau menjadikan dia dan adiknya seorang wanita penghibur hanya untuk melunasi hutang ayahnya. "Berapa lagi kurangnya hutang ayahku? Aku sudah tidak tahan lagi kalian terus mengganggu kehidupan kami." Nada bicara Retha terdengar bergetar saking menahan emosinya.

"Disa hutangnya masih sepuluh juta. Apa kamu bisa melunasinya sekarang? Kalau iya, kami berjanji tidak akan mengganggu lagi. Kecuali ... kalau ayahmu berhutang lagi. Hahaha ...." Lelaki bertato dan berbadan tambun itu begitu meremehkan dirinya.

Uang sebanyak itu tentu saja Retha tidak punya. Gaji yang ia terima dari yayasan TK tempatnya mengajar hanya sekitar empat juta dan hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, uang kontrakan, listrik, air, dan biaya sekolah sang adik. Ayahnya sama sekali tak pernah memberikan uang untuk mereka. Bahkan kerjaannya hanya menumpang makan dan tidur di kontrakan mereka.

Retha membuka tasnya, mengambil amplop uang dari dalam. "Ini ada uang sepuluh juta. Tolong jangan datang lagi dan mengganggu kami. Kalau kalian masih kembali lagi ke sini, aku akan melapor pada polisi." Ia menyerahkan amplop berisi uang itu kepada salah satu dari mereka.

Lelaki bertubuh tambun tersenyum-senyum setelah membuka isi dari amplop coklat itu. Ada banyak uang di dalamnya. "Wah, ternyata putrimu bisa diandalkan, Agus. Uangnya banyak sekali. Selamat, kamu tidak akan kami bunuh," ucwp lelaki itu kepada ayah Retha. "Tumben bisa dapat uang banyak. Kamu habis jual diri, ya?" tanyanya kepada Retha.

"Apa itu urusanmu? Bukankah kamu hanya perlu uangnya?" Retha menjawab dengan nada ketus. Tatapan matanya begitu tajam seakan ingin menghajar habis-habisan orang yang ditatapnya.

"Hahaha ... jangan galak-galak, anak manis, nanti cantiknya bisa hilang."

"Pergi!" usir Retha.

"Iya, Sayang. Kami juga akan pergi. Jaga ayahmu baik-baik, jangan sampai berulah lagi."

Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, ketiga orang itu pergi meninggalkan rumah Retha. Mereka bisa bernapas lega setidaknya hari ini bisa lepas dari masalah. Hidup dengan berbagai persoalan yang cukup berat rasanya begitu sulit bahkan terkadang membuat Retha ingin menyerah.

"Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya sang syah sembari berusaha bangkit berdiri.

"Apa itu penting untuk ayah tahu?"

Retha sudah tidak sudi melihat wajah lelaki itu. Sosok ayah yang dulu ia kenal penuh kasih sayang dan bertanggung jawab, kini tak lebih dari seorang beban keluarga. Ayahnya berubah setelah mengalami PHK dan kesulitan mencari kerja.

Awalnya, ayah Rertha bekerja sebagai seorang satpam di salah satu perusahaan besar. Gajinya mencapai belasan juta per bulan, jumlah yang sangat cukup untuk kehidupan mereka. Dikarenakan suatu alasan yang tak pernah diceritakan, sang ayah dipecat dari pekerjaannya.

Kehidupan yang awalnya cukup, lambat laun menjadi semakin berat karena sudah tidak ada kepala keluarga yang bekerja. Ayahnya sudah berusaha mencari pekerjaan di tempat lain, namun tak ada yang mau menerima ayahnya. Kebutuhan yang terus berjalan membuat mereka terpaksa menjual satu per satu harta yang dimiliki.

Dalam kondisi sulit, ibu mereka jatuh sakit. Dokter mendiagnosis sang ibu terkena tumor usus ganas. Butuh pembiayaan yang sangat banyak untuk menangani perawatan sang ibu. Rumah sampai harus dijual demi kesembuhan ratu di rumah mereka. Akan tetapi, ibu mereka akhirnya meninggal. Mereka harus tetap melanjutkan hidup bertiga tanpa memiliki apa-apa. Kontrakan yang mereka tempati juga terbilang kecil dan kurang layak.

Untung saja Retha telah menyelesaikan kuliahnya di jurusan Bahasa Inggris. Saking sulitnya mendapatkan pekerjaan, ia mencoba melamar pekerjaan di sebuah yayasan sekolah untuk anak usia TK. Ia diterima bekerja di sana dengan gaji yang lumayan.

"Sebejat apapun ayahmu ini, aku tidak pernah memerintahkanmu untuk menjual diri, Retha!" giliran sang ayah berkata dengan nada tinggi seakan sedang memarahi.

"Hah! Ucapan ayah tidak sama dengan apa yang ayah lakukan. Bukankah ini semua juga karena hutang ayah pada rentenir itu? Mereka mau membawa Edis!" Retha makin emosi.

"Mereka tidak akan berani melakukannya. Itu ilegal," bantah sang ayah.

"Hah! Oh iya? Apa ayah bisa menjamin? Mereka saja bisa memukuli ayah apalagi hanya untuk menjual anak-anak ayah."

"Retha ...."

Retha mengangkat tangannya, memberi kode agar sang ayah diam. Ia ingin didengarkan, bukan mendengarkan.

"Kalau tidak bisa menghidupi kami, tolong ... setidaknya jangan merepotkan. Aku sangat lelah setiap hari harus berurusan dengan mereka."

"Ayah minta maaf, ayah memang tidak berguna," ucap sang ayah sembari menunduk.

"Ku tidak butuh kata-kata, tapi tunjukkan dengan perbuatan!"

Retha menarik tangan Edis agar masuk bersamanya ke dalam rumah. Ia membiarkan sang ayah tetap di luar dan mengunci rumah dari arah dalam. Ia berharap ayahnya akan pergi dari aana dan tidak akan kembali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!