NovelToon NovelToon

BUNGA TANPA MAHKOTA

PULANG, PERGI LAGI, MENJALANKAN MISI

Suasana rumah besar keluarga Hardhana yang terpandang bagi masyarakat desa setempat itu nampak ramai dan ceria, seluruh keluarga mereka berkumpul masih dengan sisa nuansa hari raya besar umat muslim seluruh dunia, idul Fitri.

Putra sulung kebanggaan mereka, Bara Ady Pratama yang menjadi anggota TNI AD berpangkat kapten dalam perwira pertama dan juga sebagai ketua tim Alpha sebuah unit pasukan khusus dengan julukan Garuda itu telah pulang, mendapat masa libur setelah menyelesaikan tugas menjaga keamanan perbatasan wilayah negara dengan baik.

Tak hentinya tawa dan celotehan ringan yang mengundang kekonyolan membuat suasana rumah besar yang seringkali nampak khidmat itu hari ini benar-benar pecah bahagia penuh tawa.

Namun keramaian itu seketika hening kala Bara mendapat sebuah panggilan melalui sambungan telepon dari atasannya, Mayor Kolonel, yang memanggilnya secara mendadak dan harus segera berangkat tanpa bisa ditunda untuk segera menuju Markas.

"Kapten Bara Ady Pratama, siap, laksanakan!"

",,,,,,"

"Hormat."

"....."

Bara menurunkan tangan yang tadi menggenggam ponsel setelah sambungan telepon itu dimatikan, suasana lengang seketika.

Nayaka, anak perempuan berusia 12 tahun yang masih duduk di bangku kelas 6 SD, adik bungsu Bara itu berdiri lesu meninggalkan ruang tengah sambil menahan tangis kembali masuk ke dalam kamarnya.

Sedangkan Ayumi, ibu Bara. Matanya sudah nampak berkaca-kaca, dan dia lekas menghapus setetes air mata yang luruh membasahi pipi tanpa seizinnya.

Ayumi tahu, tugas yang diemban putra sulungnya memanglah sangat berat, sama halnya dengan suaminya dulu yang berpangkat sebagai Mayor Perwira tinggi sebelum akhirnya pensiun di usia 58 tahun.

Hardhana, Ayah Bara. Pria yang mengenakan sarung dan kaos oblong putih yang sudah nampak lelah di usianya yang senja itu menghela napas halus, menyandarkan punggung dengan tenang pada sandaran sofa, melepas kaca mata tua yang dikenakannya, lalu menatap bangga putra sulungnya.

"Kak Bara akan pergi lagi?" itu suara Arshaka, adik laki-laki Bara, pemuda berusia 18 tahun yang tengah duduk di bangku kelas 12 SMA. Pemuda yang sangat tampan dan selalu menjadi bintang sekolah.

"Iya, kakak harus pergi." jawab Bara tegas melihat Arshaka yang juga nampak tidak rela.

"Kemana lagi sekarang?" tanya Arshaka penasaran, sebenarnya Arshaka sudah tahu jawaban apa yang akan ia dapatkan.

"Itu adalah tugas rahasia." jawab Bara seperti biasa.

"Pergilah, negara dan kedamaian dunia lebih membutuhkanmu, kembalilah dengan selamat, atau, pulanglah meski hanya sebuah nama yang mengharumkan nama bangsa." ucap Hardhana yakin.

Bara berdiri tegap di hadapan ayahnya, mengangkat tangan menggerakkannya tegap memberikan hormat, dan Hardhana mengangguk penuh wibawa beberapa kali menanggapi.

Ayumi lekas berdiri berhambur memeluk Bara setelah putranya itu menurunkan tangan.

"Meski ayahmu selalu mengatakan, saat kau keluar rumah, maka anggaplah anakmu sudah mati, tapi ibu tetap berharap jika kau akan kembali dengan selamat tanpa kekurangan apapun, Nak. Ibu selalu melangitkan doa-doa di setiap saat untuk keselamatanmu," Isak tangis Ayumi pecah, meski mentalnya sudah dilatih sejak lama, tapi hati lemahnya sebagai seorang perempuan dan terlebih sebagai seorang ibu membuat Ayumi tidak bisa menahan air mata yang tetap memaksa untuk ditumpahkan.

Bara tersenyum simpul, membalas pelukan ibunya, mengelus punggung wanita paruh baya yang sudah merawat dan membesarkannya itu penuh kasih. Tak ada kata yang ia ucapkan, hingga keheningan malam benar-benar membawanya pergi dari rumah besar yang baru saja diramaikannya satu Minggu yang lalu.

"Naya,,,, kakak pergi. Jadilah gadis yang kuat dan pintar, kakak percaya Naya adalah yang terhebat." pamit Bara di depan pintu kamar Nayaka yang tak dibukakan oleh sang empunya.

Naya hanya bisa menangis sambil tengkurap di atas ranjang tidur dengan membenamkan wajahnya pada bantal agar suara tangisnya tak terdengar sampai ke luar.

"Kak Bara, pulanglah dengan selamat!" itu suara Arshaka.

Arshaka dan Ayumi mengantar Bara sampai di depan pintu utama rumah.

"Jaga Ayah, ibu, dan Naya." hanya itu yang Bara katakan pada Arshaka sebelum ia lekas melangkahkan kakinya keluar dari halaman depan rumah sambil memegangi tas ransel besar di pundak kanan yang berwarna hitam senada dengan seluruh pakaian yang dikenakannya, mulai dari sepatu, celana, jaket kulit, hingga topi dan masker yang menutup wajah maskulinnya.

Sebuah mobil berwarna putih sudah menunggu Bara di tepi jalan depan rumahnya, Ayumi dan Arshaka menatap sendu kepergian Bara yang memasuki mobil putih itu, lalu bergerak melaju meninggalkan rumah besar keluarga Hardhana membawa putra sulung kebanggaan mereka.

***

21 Juni 2016. Negara AFK tengah. Terjadi konflik berdarah, banyak warga sipil meregang nyawa sebagai korban, tak hanya pria dan orang dewasa, tapi juga wanita dan anak-anak.

PBB mengirim pasukan UNOFK-United Nations Operation AFK-sebagai misi perdamaian, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang menyumbangkan pasukan.

Di sebuah daerah rawan konflik akibat gerakan separatisme yang dilakukan oleh kelompok pemberontak Vry Te Stel (VTS) untuk pembebasan wilayah.

Tembakan demi tembakan dilayangkan oleh pasukan khusus Tim Alpha TNI AD yang dipimpin langsung oleh Bara, dari atas sebuah bukit mengarahkan tembakan pada target yang berada di dekat pengungsian warga sipil, dua Reporter dari MLY menjadi sandera mereka.

Suara ledakan yang menggelegar itu bersahutan di udara, menghiasi langit malam desa terpencil AFK tengah yang sedang perang saudara.

"Gatot kaca, 86? Roger!" Bara bicara menggunakan kode lewat handy talkie kepada Fiki yang berjulukan Gatot kaca, Letnan Satu yang menjadi bawahannya dalam tim Alpha. 86 adalah kode untuk menanyakan situasi dan posisi.

Fiki bersama Timnya pasukan Letnan dua merangsek masuk lewat jalur Utara karena kelompok VTS semua maju ke arah selatan di mana Bara dan pasukan utama Tim Alpha menyerang mereka dari depan.

'Sreekk krekk!' Handy Talkie yang digenggam Bara dalam kondisi jaringan kurang baik.

"Gatot kaca, 86? Roger!" ulang Bara, ia sesekali melayangkan tembakan ke arah target dari persembunyiannya, satu dua target berhasil ia lumpuhkan dari tembak jarak jauh tanpa membuang peluru sia-sia.

"Hormat, Garuda. L-W." balas Fiki yang berarti musuh telah di lumpuhkan dan mereka berhasil memenangkan pertarungan.

"All Eagle, move and clear." perintah Bara pada seluruh pasukan untuk maju karena target utama telah dilumpuhkan Fiki dan timnya, serta dua sandera telah diselamatkan dan aman.

Semua pasukan Tim Alpha bergerak maju untuk melumpuhkan kelompok pemberontak VTS.

Dan pertarungan fisik tak terhindarkan kala kelompok tersembunyi VTS menyerang Tim Alpha dari belakang. Senjata api tak lagi sempat digunakan, hanya mengandalkan ilmu bela diri, kecepatan, ketepatan, kekuatan dan ketangkasan.

Bara berhasil melumpuhkan beberapa lawan setelah ia mematahkan tulang belakang lutut, bahu, atau memukul keras tengkuk hingga para pria berbadan besar, tinggi dan berkulit hitam legam itu tak sadarkan diri. Begitu pun pasukannya yang lain, yang berhasil melumpuhkan lawan masing-masing, hingga kemenangan berada di tangan tim Alpha TNI AD dan diakhiri dengan sebuah ledakan di gubuk tempat persembunyian VTS.

Fiki berlari ke arah Bara yang tengah mengikat beberapa orang kelompok VTS dalam satu ikatan tali tambang besar, dibantu oleh pasukan.

"Hormat, Garuda. Gatot kaca dan tim Eagle berhasil melumpuhkan target, dan menyelamatkan sandera," lapor Fiki pada Bara saat dirasa situasi sudah cukup aman. Nafas pria yang seringkali bertingkah konyol bahkan aneh itu masih ngos-ngosan. Ia menatap Bara penuh tanya.

"Apakah ada yang terluka?"

"Siap, tidak ada!"

"Bagus. Bantuan akan segera datang, pasukan Tentara AFK tengah akan datang membawa mereka ke markasnya, melakukan interogasi secara diam, dan tugas kita selesai sampai di sini," jelas Bara sambil merapikan senjata apinya kembali.

Fiki mengangguk mengerti, ia lantas bicara pada pasukan Letnan dua-bawahannya-untuk mundur. Misi selesai.

"Kau yang bertugas menulis laporan!" ucap Bara yang sontak membuat Fiki tercengang, tugas mengetik naskah adalah hal yang paling tak disukainya, tapi kesempatan bagi Fiki untuk menulis betapa hebatnya dia tadi dalam beraksi. Sehingga senyumnya yang tadi sempat hilang kembali mengembang.

"Siap, laksanakan."

***

BERTEMU SEORANG GADIS

Bersantai merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa bagi para Tentara termasuk Bara dan seluruh Tim Alpha, usai memenangkan pertarungan mereka melawan kelompok pemberontak VTS malam itu. Mereka akhirnya bisa sedikit bisa bersantai karena daerah konflik AFK tengah sedikit tenang.

Hari ini Bara dan Fiki berada di sebuah cafe pinggiran kota yang lumayan jauh dari desa terpencil tempat markas mereka tugas. Dua sahabat mereka yang berpangkat letnan dua berjulukan Semar dan Wiro Sableng entah pergi ke mana.

Beberapa pasang mata melihat mereka dengan tatapan yang sudah bisa dimengerti, karena mereka adalah warga asing yang berbalutkan seragam lapangan TNI AD dengan lambang garis hitam.

"Jika tidak ada konflik susulan, kita sudah bisa pulang bulan depan. Aku merindukan Sasmitha," ucap Fiki sambil menyesap kopi menyebut nama gadis yang dijodohkan orang tuanya padanya, namun mata liar Fiki justru terus melihat gadis berkulit eksotis yang mengenakan pakaian minim membawa nampan berisi minuman yang harus ia suguhkan ke meja para pelanggan.

Gadis yang meski memiliki kulit gelap namun wajahnya begitu manis, mata yang bulat disertai bulu tebal yang lentik nan panjang, hidung mbangir yang mancung dan bibir yang tebal sensual, rambut panjangnya hitam ikal bergelombang, sangat cantik seperti berlian hitam.

Bara mengulum senyum melihat bawahannya yang juga menjadi sahabatnya itu saat mata dan mulutnya bisa bekerja dua arah di waktu bersamaan. Mata melihat yang dekat, mulut menyebut nama yang berada jauh entah di mana.

"Kau menerima perjodohan kalian?" tanya Bara sambil menyesap cappucino panas miliknya.

"Yah, tentu saja, Sasmitha gadis yang cantik, dia juga memiliki pekerjaan yang baik sebagai guru SD. Aku menyukainya, sikap anggun dan malu-malunya, membuatku sangat gemas hingga rasanya ingin memerasnya sampai susunya,"

"Plak!" Bara memukul kepala Fiki, yang langsung membuat Fiki terdiam mengeram sakit sambil mengusap kepalanya beberapa kali.

"Apa Sasmitha juga mencintaimu?" tanya Bara kemudian, membicarakan wanita memang selalu menjadi topik menarik mengisi kekosongan mereka.

"Entahlah, tapi dia tidak menolakku saat aku mengajaknya makan mie ayam," jawab Fiki tanpa melepas pandangannya dari gadis berlian hitam yang juga sesekali melirik ke arahnya.

"Kenapa? Apa orang tuamu juga sudah mempersiapkan seorang gadis untuk dijodohkan padamu?" tebak Fiki asal.

"Aku tidak akan menikah dengan cara perjodohan, aku akan menikahi gadis pilihanku sendiri, gadis yang aku cintai dan juga mencintaiku, karena ini adalah hidupku, aku yang akan menjalaninya." jawab Bara yakin.

Fiki tak begitu menanggapi karena gadis berlian hitam itu kini memberikan seulas senyum yang sangat manis untuknya.

"Sial, aku akan meninggalkan sementara Sasmitha di sana, di sini ada yang begitu indah memberikanku harapan." celoteh Fiki membuat Bara menggelengkan kepala, hingga teriakan seseorang membuyarkan ketenangan mereka.

Dari dinding kaca kafe, Bara dan Fiki dapat melihat seorang pria tua berbadan tambun mengejar seorang anak laki-laki yang masih sangat muda berlari sambil menyembunyikan sesuatu di balik kaosnya.

"Dief,,,, arresteer hom,,,,hy het gesteel,,,," teriak pria tua berbadan tambun yang nampak engap tak sanggup lagi mengejar anak laki-laki muda itu.

Kalimat yang ia teriakkan adalah Pencuri,,, tangkap dia,,,, dia mencuri,,,, dalam bahasa negara AFK.

Tanpa basa-basi, Bara dan Fiki bergerak cepat keluar dari kafe melompati beberapa meja, dan Fiki sempat menolong gadis berlian hitam yang ia tatap tadi saat nampan yang dibawanya hampir saja terjatuh karena terkejut akan aksi Fiki dan Bara yang tiba-tiba, Fiki meraih pinggang ramping gadis itu dengan tangan kiri hingga tubuh mereka menempel sempurna, tangan kanan Fiki memegang erat nampan agar tak jatuh tanpa melihat benda itu, karena netranya mengunci manik coklat gadis berlian hitam.

"Jaga dirimu baik-baik, sayang, aku tidak akan sanggup jika melihatmu terluka," gombal Fiki menggunakan bahasa setempat sambil mengedipkan sebelah matanya, membuat gadis berlian hitam itu sampai menganga saking terpesonanya, dan Fiki kembali bergerak cepat mengikuti langkah Bara yang sudah terlebih dulu mengejar anak laki-laki.

Entah bagaimana Bara sudah berada di atap roof top sebuah bangunan yang hanya satu lantai, mengejar anak laki-laki yang berlari di jalan raya di bawah sana, dan saat dirasa target sudah dekat. Bara melompat merangkul sebuah tiang listrik lalu ia memerosostkan tubuhnya begitu mudah seperti tengah melakukan gerakan menurun saat panjat pinang.

Anak laki-laki yang masih remaja itu melewati Bara saat kaki Bara baru menapak tanah.

Tak jauh dari tiang listrik ada sebuah botol kosong bekas minuman, Bara mengambil botol itu dan dengan titik fokus yang matang, ia melempar botol kosong bekas minuman tepat mengenai betis anak laki-laki.

"Aaahh,,,," teriak anak remaja laki-laki merasakan sakit yang teramat pada kakinya hingga ia terjatuh ke tanah.

Fiki melesat melewati Bara yang baru berdiri, ia langsung membekuk anak itu, menekuk kedua tangannya ke belakang tubuh ringkihnya, dan Fiki menduduki kaki anak remaja laki-laki yang tengkurap di tanah.

Bara berjalan dengan santai, karena meski tanpa Fiki melakukan itu pun, anak remaja laki-laki itu tidak akan lagi bisa berlari, Bara telah melumpuhkan saraf pergelangan kakinya, setidaknya butuh waktu untuk bisa kembali sembuh seperti sedia kala.

"Aahh,,,, aahh,,, lepaskan aku! Sakit,,,," teriak anak itu dengan bahasa AFK.

Beberapa orang mulai berkerumun melihat aksi heroik Bara dan Fiki, dua pria berseragam TNI AD yang nampak gagah dan karismatik. Berjaya melumpuhkan seorang pencuri yang hanyalah seorang bocah.

Pria tua berbadan tambun yang mengejar juga nampak mulai mendekat.

"Benar,,,, dia pencurinya, tangkap dia!" teriak pria tua berbadan tambun itu yang masih tergopoh.

"Lepaskan dia, Gatot kaca, dia tidak akan bisa lari ke mana-mana lagi." perintah Bara.

"Siap, laksanakan, Garuda." Fiki melepas tangannya yang membekuk tangan anak itu, lalu Fiki turun dari tubuh ringkihnya dan berdiri.

Anak laki-laki remaja yang diteriaki pencuri itu terus merintih mengaduh memegangi kakinya saat ia sudah duduk, ia menangis karena sakit yang ia rasakan pada pergelangan kakinya sangat luar biasa. Sakit sekali.

"Dasar pencuri,,,, berapa kali kau sudah mencuri di tokoku?" pria tambun yang akhirnya sampai di dekat mereka hendak melayangkan pukulan dengan sebuah tongkat yang dibawanya pada anak laki-laki, namun dengan sigap Bara memegangi tongkat itu hingga anak laki-laki itu tak sampai menerima pukulan.

"Haaahh,,,," Pria tambun berusaha melepaskan tongkat yang dipegang Bara, namun tentu ia tak dapat melepaskannya meski sudah berusaha keras, karena Bara menggengamnya erat, Dan setelah menatap sorot mata Bara yang menatapnya tajam, pria itu berhenti berontak.

"Dia mencuri di tokoku setiap hari, kenapa aku tidak boleh memukulnya?" teriak pria tua berbadan tambun yang tak terima oleh cegahan yang dilakukan Bara.

"Dia memang bersalah telah mencuri dari tempatmu, Tuan. Tapi satu bungkus roti yang ia curi demi memberi makan adik-adiknya terlalu tidak pantas jika kau hadiahi dengan sebuah pukulan." suara lembut seorang perempuan cantik berkulit bersih, bertubuh tinggi langsing, dengan rambut lurus yang tergerai menyita perhatian semua orang, termasuk Bara. Gadis cantik yang ternyata warga negara Indonesia itu-melihat dari card id yang terpasang di lehernya. Ia adalah salah satu relawan petugas medis yang dikirim oleh PBB. Itu artinya, gadis itu juga termasuk salah satu tim operasional dalam gerakan yang sama dengan Bara. Hanya saja, mereka belum saling mengenal karena titik lokasi tugas mereka berbeda.

"Kau baik-baik saja?" tanya Gadis itu pada anak remaja laki-laki yang masih menangis merintih kesakitan.

"Biar kulihat," Gadis itu memeriksa pergelangan kaki anak itu yang sudah membiru karena bengkak.

"Sakit sekali,,,," rintihnya.

Gadis cantik mengangguk menanggapi, memahami seolah ia ikut merasakan sakit yang dirasakan.

"Akan aku obati, siapa namamu?"

"Tody,"

Gadis itu mengelus rambut ikal Tody yang Kumal, lalu angkat bicara.

"Kita harus segera membawanya untuk memberikan perawatan, atau kakinya bisa mengalami infeksi dalam." Gadis itu berbicara pada Fiki. Namun tentu Fiki tak langsung bertindak, karena ia harus mendapat persetujuan atau perintah terlebih dulu dari Bara, atasannya.

Gadis itu mengikuti arah pandang Fiki yang melihat Bara, dan dia pun menajamkan sorot matanya yang cerah.

"Bawa dia," perintah Bara pada Fiki yang langsung sigap.

"Hormat, Garuda. Siap, laksanakan." setelah mengatakan aba-aba penghormatan, Fiki lekas mengangkat tubuh ringkih Tody.

"Tunggu, bagaimana dengan kerugianku?" teriak pria tua berbadan tambun.

Gadis cantik itu berdiri mendekat, melihat dalam penuh arti pada Bara seolah mengatakan.

'Ayo bayar!'

Dan Bara menghela napas kasar mengeluarkan dompet untuk mengambil beberapa lembar uangnya yang akan diberikan pada pria tua sebagai ganti rugi roti-roti yang telah dicuri oleh Tody.

Selesai, orang-orang yang berkerumun membubarkan diri sambil berbisik, membicarakan kehebatan dua tentara Indonesia dan juga seorang tenaga medis cantik yang berhati bak malaikat.

Gadis cantik itu berlari cepat menyusul Fiki yang menggendong Tody menuju pos kesehatan setempat, tempat gadis itu bertugas, dan tentu Bara pun mengikuti langkah mereka.

Kisah cinta dimulai.

***

Masa kecil Bara

Fiki dan dua anggota Letnan dua yang berjulukan Semar dan Wiro Sableng, mengantar anak remaja laki-laki yang tadi mencuri roti setelah usai diobati oleh gadis berparas cantik yang ternyata seorang Dokter.

Nama yang tertera di kalung name tag Dokter cantik itu cukup panjang belum lagi dengan gelar-gelarnya, jadi, Bara, yang memperhatikan kalung name tag itu sekilas hanya mengingat nama depannya saja.

Kanaya, rangkaian huruf yang mengingatkan Bara dengan nama adik perempuannya yang sangat ia sayangi, Nayaka, hampir sama.

"Jadi, bagaiamana kau bisa tahu jika anak itu mencuri roti untuk diberikan pada adiknya yang lapar?" Bara mendekati Kanaya yang tengah merapikan beberapa alat medis yang sudah kering setelah di bersihkan, memasukkannya kembali ke dalam beberapa wadah berbeda sesuai tempatnya.

"Ada begitu banyak hal yang terjadi di sini, jika tidak melebarkan mata dan menajamkan pendengaran, maka kita akan dibutakan dan ditulikan seolah semua baik-baik saja," jawab Kanaya yang membuat Bara merasa harga dirinya sedikit tergores. Pasalnya, Bara adalah yang terbaik dalam anggotanya, tapi karena satu pertanyaan kecil yang dilayangkan pada Dokter cantik itu malah mendapat jawaban yang cukup tajam. Seolah Bara bukanlah pengamat yang baik.

Bukan tanpa alasan Kanaya bicara sedikit pedas, ia sudah melihat begitu banyak penderitaan orang-orang selama di sini, dan mengingat Bara yang membuat Tody terluka cukup parah, Kanaya jadi merasa kesal.

"Maaf, tapi aku baru datang ke tempat ini hari ini," bela Bara jujur.

Kanaya berhenti sesaat, melirik lambang yang terdapat pada bahu seragam militer yang Bara kenakan, lambang dua garis hitam. Ia lantas kembali meneruskan pekerjaannya, menata peralatan medis.

"Aku beberapa kali melihatnya, dan mengikutinya sampai ke tempatnya mengungsi, di sana mereka semua kelaparan, tidak ada cukup makanan. Dan anak itu mempunyai dua adik perempuan." Kanaya melangkah pergi meninggalkan Bara setelah mengatakan itu, Bara hanya melihatnya yang semakin menjauh dalam diam.

Fiki dan dua anggota letnan dua, Semar dan Wiro Sableng belum juga kembali dari mengantar Tody, padahal hari sudah sangat sore, seharusnya mereka semua sudah kembali ke Markas. Bara masih menunggu ketiga bawahannya di pos kesehatan.

Selama berada di pos kesehatan, Bara duduk di atas batu, memperhatikan Dokter Kanaya yang mondar-mandir bersama beberapa temannya untuk memeriksa atau memberikan penanganan pada pasien yang sedang di rawat di pos kesehatan.

Dan tanpa Bara duga, Kanaya berjalan mendekat ke arahnya dengan membawa dua gelas teh hangat di atas nampan.

"Silahkan, kau sudah cukup lama berdiam diri di sini tanpa makan dan minum, tapi hanya ini yang bisa kuberikan." ucap Kanaya saat menyodorkan nampan di hadapan Bara, dan Bara mengambil salah satu dari dua gelas teh hangat itu.

Bara mengulas senyum, di balik juteknya Kanaya, dia ternyata gadis yang perhatian.

"Terimakasih,"

Kanaya duduk pada salah satu batu lain di dekat Bara, meniupi tehnya lalu menyeruput nikmat.

Bara terus memperhatikan tindak-tanduk Kanaya yang terus mencuri perhatiannya, wajah cantiknya, kebaikannya, dan ketegasannya, rambut yang bergerak mengikuti angin yang bertiup sepoi, menutup sebagian wajah Kanaya, dan Bara merapikan rambut itu, Kanaya yang sempat kaget hanya membiarkannya saat Bara mengikat rambutnya dengan sebuah tali rumput yang Bara ambil dari tanah.

"Oh,,,, aku memang selalu lupa di mana menaruh jepit rambut, entah sudah berapa banyak aku menghilangkannya, terimakasih," ucap Kanaya setelah Bara selesai menyelesaikan permasalahan rambutnya.

"Apa tidak ada bantuan yang diterima di tempat pengungsian anak laki-laki itu?"

"Tody," kesal Kanaya karena Bara terus memanggil Tody dengan sebutan anak itu seolah dia tak punya nama.

"Yah,,,, Tody." Bara menyesap tehnya, meliha lurus ke depan pada para tentara AS yang sepertinya sedang berpatroli.

"Ada, tapi sering kali datangnya terlambat, karena, tempat itu jauh melewati hutan."

Bara mengangguk mengerti menanggapi penjelasan Kanaya, pantas saja jika ketiga anak buahnya belum juga kembali saat ini. Karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.

"Aku mendengar keberhasilanmu dan tim yang melumpuhkan kelompok pemberontak VTS, kau yang memimpin gerakan itu bukan? Beberapa tentara AS yang berada di sekitar sini terus membicarakan kehebatan kalian, aku turut bangga." ujar Kanaya yang membuat hati bara merasa senang atas pujian yang diberikan. Apakah ini lampu hijau? Ah, sepertinya terlalu cepat.

"Kami menjalankan tugas sesuai perintah," balas Bara menyembunyikan hati yang terasa mulai bergetar. Tanpa sengaja saat Kanaya menoleh, netranya dan Bara justru bertemu, dan saling mengunci, mereka tersenyum manis bersamaan dengan perasaan salah tingkah.

***

Sepanjang perjalanan kembali ke Markas, Bara terus tersenyum mengingat kebersamaan singkatnya dengan Kanaya, itukah yang dinamakan cinta? Ketika kita merasakan ada desiran dalam hati, sebuah perasaan yang membuat kita merasa senang dan ingin selalu berada di dekatnya, serta, tiba-tiba saja semua yang ada di sini terlihat begitu indah, padahal semua biasa-biasa saja sebelumya.

Langit malam yang hitam cerah berhiaskan jutaan bintang itu menjadi titik fokus pandang Bara.

Berbeda halnya dengan Fiki yang mengemudikan mobil Jeep yang mereka tumpangi, ia nampak lesu dan sedih setelah mengantar pulang Tody tadi.

Begitupun Semar dan Wiro Sableng yang berbisik-bisik di jok belakang, membicarakan ulang bagaimana menderitanya orang-orang yang berada di pengungsian.

"Tulang rusuk mereka sampai terlihat sangat jelas menonjol dari dalam kulit tipisnya." Fiki membuka suara, Bara tersadar dari pikirannya sendiri yang terlalu dalam menyelami Kanaya, mendengarkan dan memperhatikan apa yang ingin Fiki ceritakan, belum pernah Bara mendengar Fiki bicara dengan nada seserius ini.

"Aku tidak bisa memikirkan bagaimana mereka akan terus bertahan dalam keadaan krisis pangan, kesehatan, dan kesejahteraan seperti ini. Air yang mereka ambil dari aliran sungai yang mulai mengering itu tercium bau dan kotor, lalu mereka jadikan sebagai air minum, dalam satu Minggu mereka belum tentu bisa mandi satu kali, dan bantuan air bersih tidak dapat mencukupi. Aku akan membawakan mereka sesuatu saat nanti aku kembali mengunjungi mereka ke sana."

Bara mendengarkan dengan seksama.

'Glodak,' ban mobil sepertinya baru melewati bongkahan batu hingga mobil itu sedikit bergerak oleng, tubuh ke empat penumpangnya terhuyung-huyung, hari sudah malam, untuk kembali ke desa terpencil tempat markas mereka berada memang cukup jauh dari pinggiran kota yang mereka datangi tadi, dan jalanan tanah berbatu ini juga cukup buruk.

"Ceritakan!" ucap Bara memberi perintah pada Fiki untuk menceritakan keadaan di tempat yang baru saja tadi Fiki, Semar dan Wiro Sableng kunjungi, sebuah cerita sedih yang menemani perjalanan mereka untuk kembali ke Markas.

Fiki mulai menceritakan bagaimana kehidupan para warga sipil yang mengungsi di tempat pedalaman itu, yang kekurangan sandang, pangan, dan jauh dari kesejahteraan. Namun pikiran Bara justru menerawang jauh ke puluhan tahun silam saat dirinya masih bocah, saat dirinya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan bersama keluarga lamanya.

***

Masa kecil Bara.

Usia Bara baru menginjak 8 tahun waktu itu. Malam di mana ia mendengar teriakan demi teriakan bersahutan antara emak dan bapaknya dari kamar mereka, sedikit takut meski itu bukan kali pertama kedua orang tuanya bertengkar, dan biasanya berakhir dengan beberapa luka lebam di wajah serta tubuh emaknya, hasil karya tangan bapak Bara.

Sejenak Bara terdiam, menutup buku bahasa Indonesia kelas 2 SD yang sudah sangat lusuh yang ia baca, buku bacaan yang hampir rusak sepenuhnya karena Bara dapatkan buku itu dari bekas kakak kelasnya yang merupakan tetangganya.

Bara keluar dari kamar kecilnya yang pengap dan sumuk, berniat melihat ke kamar orang tuanya, namun langkahnya terhenti kala ia berpapasan dengan sang Bapak yang sudah keluar terlebih dulu dari dalam kamarnya yang berdekatan dengan kamar Bara.

Bapak Bara hanya menatap Bara dengan linangan air mata tanpa mengucapkan sepatah kata, setelah itu pria itu pergi meninggalkan rumah, awalnya Bara mengira jika Bapaknya akan pulang esok hari seperti biasanya, namun ternyata, itu adalah terakhir kalinya Bara melihat Bapaknya.

Bara memasuki kamar orang tuanya, di sana, emak Bara duduk di lantai tanah menekuk kedua lututnya sedada membenamkan wajahnya di antara kedua paha. Terdengar Isak tangis yang menyesakkan dada dari wanita itu. Pilu.

"Mak,,," Bara hendak memeluk emaknya, namun gerakan reflek yang dilayangkan Emak Bara membuat Bara mundur karena emaknya mendorongnya.

Kaget, Bara menatap wajah sembab emaknya dengan tatapan takut.

Terlihat sesal di wajah Emak Bara, ia lantas merengkuh tubuh kurus anak laki-lakinya, menangis dalam diam, dan Bara juga hanya diam, membiarkan emaknya menangis memeluknya.

Malam itu, Emak Bara meminta Bara menemaninya tidur di kamarnya, dan mereka berbaring beriringan di atas ranjang rotan yang berderit tiap kali ada pergerakan.

Bara tak kuasa melihat wajah emaknya yang terus menangis, lebam di ujung bibir dan pelipis emaknya menjelaskan semua, ia pun membenamkan wajah dalam pelukan emak yang berbaring menghadapnya.

"Bara, saat kelak kau dewasa, jadilah pria yang bertanggung jawab, menyayangi anak-anak dan melindungi perempuan, jangan pernah sekalipun kau mengangkat tanganmu pada seorang perempuan, dan setialah kelak saat kau sudah menikah." pesan yang emak Bara katakan saat perempuan yang perutnya buncit hamil 7 bulan itu mengelus rambut Bara, dengan suara lirih dan parau.

"Iya, Mak!" patuh Bara, padahal di usianya saat itu Bara masih belum mengerti benar apa yang emaknya katakan, Bara hanya merekam pesan itu dalam memori kecilnya, untuk selalu ia ingat.

Malam itu Bara tertidur sambil memeluk emaknya, berpikir jika semua akan baik-baik saja, Bapaknya yang pergi akan kembali esok hari, dan akan berbaikan lagi dengan emaknya, seperti biasa.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!