NovelToon NovelToon

LOVE ME, PLEASE!

Bab 1 Cerai, atau jadi yang kedua!

"Cerai, atau kamu mau jadi yang kedua!"

Deg

Aku mematung dengan degup jantung yang kurasakan berhenti berdetak.

Kak Arsen memberikan dua pilihan yang sama-sama menyakitkan bagiku, dan tentu aku tidak akan mampu memilih salah satunya, atau kalau pun harus itu pasti karena terpaksa.

Tanganku bergetar saat kuraih segelas air putih di atas meja makan, kami tengah sarapan bersama, tapi Kak Arsen tiba-tiba memberikanku sebuah serangan mematikan yang tak kusangka-sangka.

"Jawab, Elena! Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu," Kak Arsen jelas tidak sabar.

Kuletakkan kembali gelas air minumku ke tempat semula, menarik nafas yang terasa begitu sesaknya.

"Siapa dia?" tanyaku lirih memendam luka, membiarkan setetes air mata menitik begitu saja tanpa bisa kucegah.

"Itu bukan urusanmu," jawab Kak Arsen ketus, melanjutkan kembali makan sarapannya.

"Nindy?"

Kak Arsen berhenti menggerakkan pisau dan garpunya mendengar aku yang menebak, kemudian ia letakkan secara kasar kedua benda itu ke piring hingga menimbulkan suara berdenting.

"Katakan saja apa jawabanmu! Cerai, atau jadi yang kedua." Kak Arsen menatapku tajam, tatapan dingin yang mulai kudapatkan semenjak Nindy hadir dalam kehidupannya. Menepis tatapan hangat persahabatan yang dulu sempat kudapatkan di awal kami menikah, hingga aku mulai jatuh cinta padanya dan dia menjaga jarak dariku, begitupun dengan tatapannya yang berubah acuh.

"Kau tega, Kak. Aku sudah menunggumu selama dua tahun ini, dan kini kau justru mau menduakanku?" tangisku benar-benar membanjir, tak dapat kututupi betapa sedihnya aku, betapa sakitnya hatiku, dan betapa hancurnya perasaanku.

"Kau salah, Elena. Bukan kau yang kuduakan, tapi kau yang akan menjadi nomor dua."

"Apa maksudmu? Bagaimana bisa begitu? Aku yang lebih dulu menikah denganmu,"

"Tapi aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini," teriak Arsen sambil berdiri menggebrak meja dengan kasar.

"Dan jangan lupa, kita hanya menikah siri." lanjutnya.

Aku terkejut, merasakan sakit begitu parah yang lebih dalam lagi.

"Selain itu, aku tidak mau jika Nindy yang menjadi nomor dua,"

Nyes,,, hatiku remuk.

"Tidak ada bantahan, Nindy akan menjadi yang pertama bagiku, jadi cepat katakan padaku apa kau mau jadi yang kedua? Atau kita bercerai."

Hening. Kupejamkan kedua mataku meloloskan buliran-buliran bening itu membasahi pipi. Menarik nafas dalam bersiap menjawab apa yang menurutku menjadi pilihan yang terbaik.

"Kedua."

"Bagus, pilihan yang bagus!"

***

Aku dan Kak Arsen menikah karena persahabatan ayah kami yang berjanji ketika mereka muda dulu, untuk menjodohkan kami saat dewasa.

Awalnya kami sama-sama menolak, namun setelah papahku meninggal saat aku masih duduk di bangku kelas 11-menjadikanku seorang yatim piatu- Kak Arsen setuju, oleh paksaan ayahnya tentu saja. Dan aku pun terpaksa menerima perjodohan itu karena wasiat terakhir papah agar aku menikah dengan Kak Arsen.

Aku dan Kak Arsen belajar menerima keadaan, namun kami bersembunyi dibalik ikatan sebuah persahabatan, Kak Arsen menyayangiku layaknya seorang teman, adik, dan dia menjagaku dengan baik.

Perlahan perasaanku mulai berubah seiring berjalannya waktu, aku jatuh cinta, aku mencintai Kak Arsen dan aku ingin dia melihatku sebagai seorang wanita.

Hingga pada suatu malam saat Kak Arsen pulang terlambat dan kudapati bekas lipstik di kerah kemejanya, aku merasa cemburu, sakit, lalu dengan bodoh dan tanpa pertimbangan, aku menyatakan perasaanku padanya, aku menyatakan cintaku dalam kemarahan. Dan apa yang bisa kuharapkan?

Kak Arsen tidak mencintaiku, dia hanya menganggapku seperti adiknya, temannya, atau anak dari teman ayahnya. Tidak lebih.

Dia mulai berubah, tidak mengajakku bicara, tidak lagi peduli padaku, mulai dingin dan acuh. Ia hanya memenuhi nafkahnya padaku secara materi. Tidak ada cinta maupun kasih.

Tapi, salahkah aku jika aku mencintainya? Jika aku telah jatuh cinta padanya? Pada suamiku sendiri?

***

Aku tidak sadar telah melamun lama, Sisca datang mengagetkanku yang tak menyadari kehadirannya.

"Elena, nglamun aja, nanti kesambet gimana?" Sisca menepuk pundakku sambil menyodorkan sebuah kertas berisi catatan. Nota belanja.

Aku tersenyum tipis, melihat nota yang diberikan Sisca.

"Ini sudah semuanya, Sis?"

"Sudah, kalau ada yang kurang, bilang saja. Nanti aku tambahin."

"Ya udah, kamu berangkat belanja minta anterin Yoyo, ya? Nanti aku transfer uangnya."

"Siap...."

Sisca adalah pegawai Cafe milik ayah mertua, dan semenjak ayah mertua tiada, aku yang mengelolanya.

Cafe cukup ramai Minggu ini, seperti akhir pekan biasanya. Dan di sana, di pintu kaca keluar masuk, kulihat wanita cantik itu yang menjadi alasan utamaku patah hati oleh Kak Arsen, melangkah memasuki Cafe bersama ketiga temannya, sepertinya mereka memang pelanggan setia tempat ini, bahkan mungkin sebelum aku ada.

Nindy, dia adalah teman sekolah Kak Arsen, seorang wanita cantik yang baru kembali ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri. Dan dia bekerja di perusahaan milik Kak Arsen, sebagai sekretarisnya.

Awalnya aku tidak mengenalnya, namun seiring berjalannya waktu, aku menghafal nama dan wajah cantik itu, yang setiap hari memenuhi layar ponsel Kak Arsen saat sedang menghubungi bosnya. Dan satu pesan yang membuatku hampir mati berdiri saat kubaca dari tampilan notifikasi layar atas.

"Arsen, bagaimana jika aku hamil?"

Ya Tuhan,,,, mereka bahkan sudah melakukan hubungan suami istri, sedangkan aku yang menjadi istri sahnya saja belum pernah Kak Arsen sentuh. Meski kami hanya menikah secara agama.

"Pelayan! Pelayan!" teman Nindy mengangkat tangan ke arahku sambil memanggilku dengan sebutan pelayan. Sesekali ia menepuk kedua tangannya membuyarkanku dari lamunan.

Aku kembali tersadar, betapa besar pengaruh Nindy dalam hidupku sampai aku kehilangan konsentrasi setiap detiknya.

Kuraih pena dan buku catatan untuk segera menemui mereka.

"Mbak, biar saya saja." Hadi mencegahku namun aku menggeleng.

"Tidak apa-apa, kamu lanjutkan saja pekerjaan kamu, biar aku yang mencatat pesanan mereka." tolakku halus, setelah itu aku melangkah cepat ke meja mereka.

Ini itu ini itu pesanan yang mereka sebutkan bergantian. Aku menggerakkan jemariku dengan lincah menulis pesanan mereka, namun pandanganku justru tertuju pada Nindy yang sibuk dengan ponselnya, senyum manis yang sangat cerah melengkung di bibir tipisnya itu menggambarkan jika ia sedang bahagia.

"Sudah," ucap salah seorang teman Nindy sambil menggerakkan tangannya mengusirku.

"Baik, tunggu sebentar." balasku sopan, kemudian berbalik.

"Dih,,,, yang sebentar lagi nikah, senyum-senyum sendiri!" seloroh salah satu teman Nindy yang sukses menghujam hatiku bagai tertusuk ribuan hunusan pedang.

"Sama bos lagi, siapa yang nggak mau coba?" sahut teman Nindy yang lain. Tawa mereka menggema membuatku tidak tahan, aku melangkah cepat menuju pantry sambil menahan tangisan.

Kak Arsen bahkan akan menikahi Nindy secara terbuka, dan mungkin akan secara sah hukum negara, sedangkan pernikahannya denganku? Kami harus menyembunyikannya dari teman-temannya sampai dua tahun ini.

Sakit, lelah, kecewa, sedih, marah, itu yang aku rasakan namun tak mampu kuungkapkan, dan hanya dapat kupendam dalam diam.

Tak jarang teman-temanku atau orang-orang dekat seperti sepupu-sepupunya yang mengetahui pernikahanku dengan Kak Arsen dan bagaimana hubungan kami mengataiku bodoh, tolol, goblok, bucin tak tertolong, dan masih banyak lagi, karena masih bertahan sampai sekarang dalam ikatan pernikahan kami yang sangat menyiksa ini, aku akui jika aku memang senaif itu. Sebodoh itu karena cinta.

Aku terlalu sangat mencintai Kak Arsen, aku takut kehilangan dirinya. Jika kami sampai berpisah, kepada siapa lagi aku bisa mengadu? Kepada siapa lagi aku bisa berharap? Sedangkan aku tak lagi memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya.

***

"Malam ini aku tidak pulang, sampai tiga hari ke depan, aku akan ke luar kota." satu pesan kuterima dari Kak Arsen yang membuatku kepikiran, apakah dia akan pergi bersama Nindy?

kuletakkan gawaiku di atas nakas setelah balasan yang kukirim hanya centang satu, menandakan jika ponsel Arsen sudah tidak aktif, aku lantas meringkuk menarik selimut membenamkan diri menangis tanpa suara.

***

#2 Hengky

Pagi ini aku datang ke cafe lebih pagi dari biasanya, Kak Arsen masih belum pulang padahal ini sudah 3 hari ia pergi.

Yoyo datang bersama Sisca sambil membawa tentengan beberapa kresek belanjaan.

"Pagi, baby...." seru Sisca yang menyita perhatianku. Aku lekas menoleh ke arah pintu kaca keluar-masuk.

"Pagi, mbak Elena," ucap Yoyo sopan.

"Pagi,,,," jawabku sambil melempar senyum ke arah mereka.

"Rajin amat, masih pagi gini udah datang aja, mana langsung lap meja lagi," celoteh Sisca sambil melangkah menuju meja pantry, meletakkan barang belanjaan di atas sana diikuti oleh Yoyo.

Aku tidak menjawab, hanya memberikan senyum manis sebagai tanggapan, kemudian aku kembali mengelap kursi dan meja.

Pintu dibuka kembali, Hadi yang datang.

"Wah,,,, sudah pada datang, perasaan aku nggak kesiangan, deh." Hadi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Dan dia memang belum terlambat.

"Pagi, mbak Elen," sapa Hadi saat ia melewatiku.

"Pagi, Hadi."

Hadi melanjutkan langkah memasuki ruang khusus karyawan untuk berganti pakaian dan mengenakan celemek. Sedangkan Sisca dan Yoyo seperti biasa, mulai ribut akan hal kecil yang tidak penting. Dan aku membiarkannya saja, toh meski begitu nyatanya mereka saling menyayangi satu sama lain sebagai sahabat.

"Mbak Elen istirahat saja, sini kain lapnya, biar saya yang kerjain." Hadi mengambil alih kain lap di tanganku, aku memberikannya. Dia salah satu karyawan yang paling rajin dan serius dalam bekerja.

"Ada apa, mbak? Tumben sekali pagi gini udah datang, biasanya kan rada siangan?" tanya Hadi yang menggerakkan kain lap maju mundur di atas meja.

"Menyambut hari Senin guys,,,, ya kan, mbak?" seloroh Yoyo menyahuti.

"Sok tahu, lu!" sewot Sisca sambil melempar paper box kosong bekas kopi tepat mengenai muka Yoyo.

"Ape, lu? Ngajak ribut?"

Aku hanya tertawa saja melihat tingkah mereka. Cukup menghibur hatiku yang sebenarnya sedang galau.

"Nggak papa, aku cuma pingin datang pagi aja. Kak Arsen belum pulang,"

Para karyawan cafe mengetahui hubungan antara aku dan putra pendiri cafe ini, Mas Arsen kalau mereka memanggilnya, sebuah pernikahan yang dipaksakan dan tidak ada cinta, juga janji yang mengikat mereka para karyawan untuk merahasiakan hubungan kami yang sebenarnya dari teman-teman Kak Arsen, karena sejak masa sekolah dulu, banyak teman Kak Arsen yang datang ke cafe ini untuk sekedar nongkrong dan berkumpul. Termasuk Nindy dan ganknya.

Suasana hening seketika pasca ucapanku yang mengatakan Kak Arsen belum pulang. Ada rasa tidak enak dan kasihan di raut wajah mereka padaku, yang harus menikah dengan pria yang tak mencintai diriku, meski aku telah jatuh cinta padanya.

"Hei, ada apa? Kok malah pada diem? Ayo kerja, nanti kita tutup cepat, karena siang nanti aku mau ajak kalian semua jalan ke mall, kita makan siang bersama, lalu nonton."

"Serius, mbak?" teriak Yoyo excited. Aku mengangguk mengiyakan.

Senyum Hadi mengembang.

"Dalam rangka apa?" tanya Sisca yang merasa aneh.

"Aku ulang tahun," jawabku singkat.

"Wah,,,, selamat ulang tahun, mbak!" Yoyo dan Hadi bergantian menghampiriku, menyalim tangan memberikan ucapan selamat ulang tahun.

Lihatlah, mereka adalah orang-orang yang tak memiliki hubungan apapun padaku, tapi mereka begitu hangat memperlakukanku, sedangkan Kak Arsen? Sekedar memberikan ucapan selamat ulang tahun saja sama sekali tidak.

Sisca berlari haru, memelukku, kami menjadi sahabat semenjak satu tahun yang lalu, sejak aku yang mulai mengambil alih cafe ini karena ayah mertua meninggal.

"Selamat ulang tahun, semoga nanti kamu akan mendapatkan cinta yang pantas dan selayaknya untukmu, kamu berhak bahagia, cantik." lirih Sisca yang tak bisa menahan tangisnya.

Aku tertawa kecil, meski Sisca cerewet dan terkesan nakal, namun gadis yang seusia denganku itu memiliki hati yang lembut.

"Terimakasih,"

Kak Arsen, tidakkah dia mengingat hari ulang tahunku? Ah, bodohnya aku, memangnya siapa aku di mata Kak Arsen sehingga aku berharap mendapatkan perhatiannya meski sedikit saja.

Tapi tahun lalu, dia mengingatnya, saat kami masih begitu dekat sebagai sahabat dalam ikatan pernikahan, Kak Arsen memberikanku surprise dan kami merayakan bersama ayah mertua juga. Andai momen itu bisa diulang. Aku sungguh sangat bahagia.

Terkadang, aku menyesali perbuatanku yang terbakar api cemburu, hingga dengan bodohnya menyatakan perasaanku yang sebenarnya, karena sejak saat itu, aku justru kehilangan Kak Arsen, ia tak lagi peduli padaku dan terkesan benci, andai aku tak pernah mengatakan cinta padanya, pasti hubungan kami masih baik-baik saja. Dan menjadi sahabatnya itu lebih baik dari pada seperti sekarang ini. Membuatku merasa tersiksa seorang diri.

***

Cafe tak begitu ramai, selain karena hari Senin, di luar sana juga sedang hujan lebat, turun sejak siang saat kami semua sudah bersiap untuk pergi ke mall.

"Gimana nih, mbak? Hujannya nggak turun-turun," gerutu Yoyo lemas. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan kami terjebak hujan tidak bisa merealisasikan rencana untuk makan dan nonton.

Kami duduk melingkari meja, kulihat Yoyo yang ngedumel sambil menopang dagu dengan sebelah tangan.

"Iisshh kau nih, emangnya Elena ini pawang cuaca yang bisa mengendalikan hujan turun atau dipending dulu karena kita mau ke mall?" Sisca menimpali Yoyo dengan emosi. Aku? Seperti biasa, menikmati perdebatan mereka sambil tersenyum saja.

Tiba-tiba pintu kaca dibuka, kami semua kaget karena cafe sedang sepi.

"Maaf, apa masih buka?" tanya seorang pria yang baru masuk.

Pria tinggi berbadan tegap dengan jaket kulit hitam yang basah karena tersiram air hujan.

"Oh, iya. Kami masih buka, selamat datang, silahkan duduk!" Sisca lekas berdiri menyambut pelanggan tampan itu.

"Loh, mas ini? Kok seperti pernah lihat, ya? Kayak nggak asing," Sisca terlihat berpikir saat sudah berada di hadapan pria yang baru datang.

"Hengky, temannya Arsen di bangku sekolah, sesekali pernah datang kemari dulu." jawab pria itu yang membenarkan ingatan Sisca.

Hadi lekas berhambur ke dapur, sedangkan Yoyo menuju meja pantry, tinggallah aku yang masih duduk seorang diri.

"Oh,,,, iya, bener. Saya baru ingat sekarang, ah,,,, ingatan saya memang selalu 4G untuk urusan cowok ganteng," cengir Sisca senang. Pria yang bernama Hengky itu hanya tersenyum menanggapi Sisca.

"Silahkan duduk, Mas Hengky. Mau pesan apa? Ini menunya, silahkan dilihat, dipesan, diminum, dibayar, lalu pulang, kalau mau ajak jalan berdua dulu, juga boleh." goda Sisca seperti biasa pada pelanggan tampan apalagi yang sudah ia kenal.

Tawa Hengky terdengar renyah, aku sudah tidak memperhatikan mereka lagi, tapi tetap saja tawanya memenuhi telingaku.

"Cappuchino latte saja, panas."

"Oke, siap! Silahkan ditunggu." Sisca lekas pergi menuju dapur setelah ia menerima pesanan dari Hengky.

Aku kembali fokus mengotak-atik ponsel. Melihat laman pesan Kak Arsen yang sudah aktif beberapa menit yang lalu, pesan-pesan yang kukirim centang duanya sudah berubah warna menjadi biru, itu artinya Kak Arsen sudah membacanya, namun satu balasan pun tak kuterima.

Ku geser layar berpindah pada laman Twitter, rasanya tanganku gatal untuk membuat status perasaanku. Namun aku takut Kak Arsen marah seperti biasanya dan mengataiku alay, jadi aku hanya update sebuah foto cake ulang tahunku tahun lalu. Hadiah dari Kak Arsen. Tanpa Caption.

"Khem, sorry, boleh gua duduk di sini?"

Aku mendongak, menatap pria bernama Hengky yang datang menghampiri mejaku, ia meminta untuk bergabung.

"Oh, silahkan!" ucapku seramah mungkin, selain karena dia adalah seorang pelanggan, Hengky juga nampak seperti orang baik dan sopan.

"Sendiri?" tanyanya.

"Tidak, sama temen-temen."

Hengky celingukan, mencari orang-orang yang kumaksud.

"Di mana? Ke toilet?"

Aku tersenyum saat Sisca sudah datang menyajikan kopi pesanan Hengky.

"Dia pemilik Cafe ini sekarang, mas. Dan teman-teman yang dia maksud ya kita-kita ini." sahut Sisca menjawab pertanyaan Hengky.

Nampak jelas gurat heran penuh tanya, dan juga bingung di garis wajah Hengky.

***

#3 Ulang tahunku

"Oh, jadi kamu masih keluarganya Arsen?" tanya Hengky setelah aku menjelaskan padanya, kenapa aku yang kini menjadi pemilik cafe ayahnya Kak Arsen.

"Iya," jawabku menunduk, ada rasa malu sebab tak bisa mengatakan yang sejujurnya tentang hubunganku dengan Kak Arsen sesungguhnya pada Hengky.

Hengky mengangguk mengerti, ia menyeruput kopinya yang tinggal sedikit lagi, asap yang semula mengepul sudah hilang, menandakan kopinya telah dingin.

"Aku dan Arsen sahabat dekat, hanya saja, karena sekarang kami sudah sama-sama sibuk, jadi jarang bisa ketemu,"

Aku mendengarkan, sesekali mengulas senyum sebagai tanggapan.

"Tadi aku kebetulan lewat, jalanan tidak jelas karena hujat lebat, jadi aku mampir, kemarin Nindy juga habis nongkrong dari sini katanya, oh, sorry. Apa kau mengenal Nindy?" tanya Hengky membuatku merasa gugup.

Nindy, hanya dengan mendengar namanya saja sudah mampu membuat hatiku ngilu seperti tertusuk jarum.

"Tidak, tapi aku tahu dia teman Kak Arsen."

"Begitu, ya!"

'Ting.' Satu notifikasi masuk. Pesan dari Kak Arsen.

"Aku otw pulang!"

Seketika kedua mataku membola membaca pesan yang kuterima. Aku lekas berdiri.

"Ada apa?" Hengky menahanku pergi.

"Aku harus pulang," jawabku singkat tanpa menoleh, memakai tas selempang yang ada di kursi lain. Tak menghiraukan bagaimana ekspresi Hengky yang melihatku pergi meninggalkannya begitu saja.

Aku Berlari kecil menuju meja kasir di mana Sisca berada.

"Sis, aku pulang dulu ya, Kak Arsen dalam perjalanan pulang, sampein maaf sama Yoyo dan Hadi, ya? Aku berhutang pada kalian. Kita pergi besok lagi saja, oke?"

"Oke, siip,,,, hati-hati, baby!" Sisca melambaikan tangan dan kubalas lambaian tangannya sambil berlari.

Sampai di luar aku segera menghampiri motor matic milikku yang terparkir di laman depan, memakai helm kemudian menyalakan motor dan melajukannya membelah jalan kota menuju rumah dengan kecepatan sedang, terkesan pelan, aku memiliki trauma masa kecil jika berkendara dengan kecepatan tinggi, karena Mamah meninggal kecelakaan saat aku masih kecil dulu.

Hujan sudah reda, menyisakan rintik gerimis kecil. Beberapa genangan air menjadi pemandangan sepanjang jalan, selain langit yang mendung, suasana sore juga semakin menambah kesyahduan, ralat, kesenduan, hawa dingin juga terasa menusuk tulang, dengan Angie yang bersemilir kencang.

Ada rasa bahagia karena Kak Arsen mengirimiku pesan singkat, dan dia sudah pulang, namun rasa rinduku yang kupendam seorang diri begitu membuncah, membuatku merasa sedih, karena 3 hari ini selalu diabaikan olehnya, aku ingin marah tapi tentu saja aku tidak bisa.

***

Sampai di rumah aku memarkir motor di garasi, kemudian berlari memasuki rumah di mana pintu utamanya sudah terbuka. Masing-masing dari kami memegang kunci rumah.

"Dari mana?" cercanya saat melihat aku yang baru datang dengan nafas terengah.

"Kakak sudah sampai rumah?"

Yah, tentu saja Kak Arsen sampai rumah lebih dulu, ia seperti seorang pembalap saat mengendara, sedangkan aku ibarat seekor siput melajukan motor maticku.

"Ditanya itu jawab, bukannya balik nanya. Kamu dari mana jam segini baru pulang?"

"Ehm, itu Kak. Aku dari cafe." Aku melangkah masuk, melewati Kak Arsen sambil menundukkan kepala, takut karena dia marah.

"Sesore ini?" Kak Arsen melirik jam tangan yang menghiasi pergelangan tangannya. Ini memang terlalu sore. Sudah lewat jam 5.

"Maaf," lirihku merasa bersalah.

Setelah itu tak ada lagi tanggapan, Kak Arsen masuk menuju kamarnya, yang berseberangan dengan kamarku.

Aku bersih-bersih, mandi, ganti baju dan bersolek sebisaku, berdiri di depan cermin mematut diri.

"Mah, aku tidak sejelek itu, kan? Sampai Kak Arsen tidak mau denganku? Aku cantik kan, Mah? Tapi kenapa Kak Arsen tidak mencintaiku?" gumamku lirih menatap pantulan diri dalam cermin.

"Elena!" teriak Kak Arsen dari luar kamar terdengar, membuyarkan pikiranku yang hanya berpusat tentangnya.

"Iya, Kak?" kubuka pintu kamar, Kak Arsen sudah berdiri di depan pintu kamarku mengenakan baju santainya saat di rumah, celana bokser dan kaos polos biasa yang kali ini berwarna biru. Sangat cocok dengan kulit putih tubuh atletisnya, membuat ia terlihat semakin tampan dan gagah.

"Aku lapar, tidak ada makanan di dapur."

"Ah, iya. Aku baru mau masak, Kak. Tunggu sebentar, ya?"

"Hem,,,,"

Dia berjalan mendahuluiku, aku mengikuti dari belakang, sementara ia menuju sofa ruang tengah, aku berputar hendak masuk dapur, namun mendengar ucapannya, langkahku kontan terhenti.

"Besok lagi sebelum aku pulang, makanan seharusnya sudah siap. Kamu niat nggak sih ngerawat suami?"

Hatiku nyeri mendengar komentarnya tentang diriku, aku hanya pulang terlambat sekali ini, dan dia sudah menganggapku seolah menjadi istri yang tidak berbakti.

"Iya, Kak. Maaf!" ucapku melanjutkan langkah menuju dapur untuk memasak.

Yah, hari ini aku memang sangat terlambat, karena biasanya aku pulang jam 3 dari cafe, dan Kak Arsen pulang saat pukul 5 sore. Dan saat dia datang, makanan sudah tersaji rapi di meja makan menyambutnya, ia biasa makan sebelum malam.

Sedangkan tadi, karena keasyikan ngobrol dengan Hengky, dan mengira Kak Arsen belum pulang, aku tetap di cafe sampai kesorean.

***

"Hari ini ulang tahun kamu?" tanya Kak Arsen tanpa melirikku, menggerakkan kedua tangan yang menggerakkan sendok dan garpu, fokus melihat makanan di piringnya.

"Iya," jawabku.

"Aku lupa, jadi aku tidak beli apa-apa."

Aku menahan sedih dan kecewa yang datang menyerbu perasaanku secara bersamaan, mungkin Kak Arsen melihat update tweetku yang ku posting siang tadi. Sebuah kue ulang tahun pemberiannya tahun lalu.

"Tapi aku ada ini,"

Aku mendongak, melihat Kak Arsen yang mengulurkan sesuatu di atas meja makan. Sebuah kotak kecil.

Senyumku langsung mengembang sempurna, ternyata dia tidak sejahat itu. Kak Arsen masih menyiapkan hadiah untukku meski tanpa ia bungkus dengan kertas kado.

Kuraih cepat benda itu lalu membukanya, sepasang anting kristal yang cantik. Aku sangat senang menerima hadiah yang Kak Arsen berikan.

"Aku membeli itu untuk Nindy, tapi dia tidak suka. Jadi kau bisa memilikinya sekarang."

Retak. Hatiku seketika patah mendengar penuturannya yang sangat menyakitkan.

Aku menatapnya nanar yang dengan santai melanjutkan makannya tanpa memikirkan perasaanku, mataku sudah berkaca-kaca dengan air mata yang menganak sungai.

Jadi, anting ini ia beli untuk Nindy? Bukan untukku?.

Kak Arsen berdiri, aku bersuara mencegah langkahnya.

"Aku tidak mau," kuletakkan kembali kotak berisi sepasang anting kristal itu dan berdiri hendak pergi.

"Kamu tidak menghargai barang pemberianku?"

Kedua mataku terpejam, meloloskan buliran-buliran bening yang sedari tadi berdesakan.

"Apa susahnya untuk menerima ini? Anting itu harganya mahal, kalau kamu tidak mau, ya sudah. Biar aku buang saja."

"Jangan!" aku lekas menyeka pipi yang basah, berbalik dan kembali meraih kotak anting yang Kak Arsen berikan sebagai hadiah, meski itu sebenarnya ingin ia berikan pada Nindy.

"Baik kamu nurut, aku nggak suka cewek yang suka ngebangkang."

Kak Arsen pergi setelah mengatakan kalimat itu, kalimat yang sudah sering kudengar sejak dulu, yang baru kusadari kini betapa kalimat itu ternyata mantra yang sangat menyakitkan.

'Brak!' suara pintu kamar Kak Arsen ditutup.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!