NovelToon NovelToon

Casanova Kepincut Janda

bab 1

Bab 1

Senangnya dalam hati

Kalau beristri dua

Seperti dunia

Ana yang punya

(Triad-madu tiga)

Seraya menuruni anak tangga dengan semangat yang membuncah aku bersenandung lagu favorit ku. Hidup ku sangat membahagiakan karena aku di kelilingi oleh banyak wanita, baik di luar maupun di dalam rumah.

Aku adalah anak sulung dari pasangan suami istri yang cukup religius, tapi keluarga kami bukan dari keturunan ustadz atau kyai atau sebagainya. Aku mempunyai satu adik perempuan yang masih kuliah, dia adalah Farah. Terlahir sebagai anak ke dua membuatnya super duper manja.

Aku tinggal bersama dengan ibu dan juga adikku saja. Ayah sudah meninggal saat aku masih duduk di bangku SMA. Duniaku terasa runtuh kala itu. Karena aku harus sekolah dan sedikit demi sedikit harus belajar mengenai pekerjaan Ayah. Aku harus menjadi penerus perusahaan ayah yang teramat sangat besar itu.

"Selamat pagi wanita-wanita ku," sapaku pada ibu dan Farah saat sampai di meja makan.

"Pagi," jawab mereka bersamaan.

Belum sempat aku menuangkan nasi ke dalam piring, benda kesayangan ku memanggil manggil meminta untuk segera di raih. Tertera nama beb Mira di layar mahal ku. Sengaja aku memberi embel-embel beb di depan nama wanita yang berperan jadi kekasih ku. Hanya satu alasannya, agar aku tak salah memanggil meraka. Maklum, aku adalah seorang pria yang memiliki banyak kekasih. Aku memiliki panggilan sendiri-sendiri untuk mereka.

"Sudah berapa kali ibu bilang jangan angkat telepon di meja makan. Taruh lagi apa ibu banting hape kamu, ibu rusak kartunya ibu tutup semua toko hape biar kamu nggak bisa beli," ancam ibuku yang sudah jengah dengan sikap ku yang seringkali mengangkat telepon di meja makan. Lebih tepatnya dengan diriku yang menjadi banggaan setiap wanita.

Dengan menghembuskan nafas panjang aku kembali meletakkan benda yang sangat berguna bagiku melebihi adikku sendiri. Aku sudah waspada jika ibu berbicara dengan kata-kata yang sederhana namun sangat mengancam.

Tidak ada kata peringatan yang tak jadi kenyataan jika bu Rahma mengeluarkan taringnya. Beliau memang tak marah dengan murka atau meluap-luap, hanya dengan kata-kata halus dan penuh penekan saja sudah termasuk seram bagi kedua anaknya.

Aku segera menyelesaikan sarapan dengan cepat. Agar aku bisa segera menghubungi kekasih ku, atau kalau tidak dia akan merajuk dan mendiami ku sepanjang hari.

Tak masalah sebenarnya bagi ku jika siapapun yang menjadi kekasih ku merajuk atau ngambek. Aku bisa mencari kesenangan dengan wanita lain diluar sana. Namun, aku sadar jika aku berdosa dengan aku memainkan banyak wanita, itu sebabnya aku akan berusaha untuk merayu mereka kembali agar tak marah padaku. Agar aku juga tak mencari wanita lain lagi di luar sana. Dengan begitu aku tak menambah dosa.

"Aku langsung berangkat ya bu. Ada meeting pagi soalnya," pamit ku pada ibu dengan mencium punggung tangannya yang halus.

Ibuku adalah wanita yang tegas dalam hal apapun, beliau mendidik anak-anaknya dengan keras, tegas dan mandiri. Sejak kecil, aku dan Farah selalu diajari apa-apa melakukan sendiri jika memang mampu, tidak sedikit-sedikit teriak bi bi dan bi.

Ibuku memberi ku nama Bari abdul jalil yang artinya seorang hamba Allah yang baik dan mulia. Tentu saja mereka berharap aku tumbuh sesuai dengan namaku. Dulu, waktu kecil aku selalu rajin sholat dan mengaji, bahkan aku paling pandai mengaji di antara teman-teman sebaya ku. Tentu saja hal itu membuat aku dan kedua orang tuaku bangga. Ternyata aku punya kelebihan lain selain ketampanan yang sempurna bak arjuna.

"Maaf ya sayang, aku tadi nggak angkat telepon kamu. Sedang di kamar mandi. Aku ingat kok kalau hari aku ada janji buat antar kamu kuliah. Bari tak pernah ingkar janji." Aku bercerocos seraya fokus pada jalanan. Sempat aku baca tadi pesan dari Mira yang mengingatkan aku untuk menjemputnya.

"Sejak kapan kamu panggil aku sayang?" tanyanya.

"Ha? Memang aku panggil apa tadi? Masak aku panggil sayang?" tanyaku lagi tak percaya.

"Iya, telinga aku masih waras dan berfungsi dengan baik. Kamu selingkuh ya? Ada wanita lain kamu?" cerca kekasih ku dengan nada curiganya.

Dalam hati tentu saja aku memaki diriku sendiri. Kenapa selalu salah panggil nama kesayangan, sudah puluhan kali berganti pasangan namun, selalu saja aku salah memanggil meraka.

"Nggak ada beb. Kamu kan tahu aku punya adik perempuan, aku biasa panggil dia sayang. Nggak mungkin aku punya pacar selain kamu, kamu aja nggak ada habisnya bikin aku repot ngapain nambah lagi. Yang ada bukan bahagia malah stress aku."

"Oh jadi kamu stress punya pacar kayak aku?"

Tuuuut tuuuuut. Sambungan terputus.

Mampus!

Sudah bertahun-tahun perperan menjadi penjamah wanita namun masih bisa-bisanya salah bicara. Tidak bisa dibiarkan, aku harus segera sampai di rumah kekasih ku yang paling mambuat aku puas dengan cumbuan-cumbuan panasnya. Di antara kekasih ku yang lain saat ini, Mira lah yang paling jago membuat masa depanku berdiri tegak dengan sempurna.

"Beb, udah nunggu lama? Maaf macet banget," ucapku dengan nada yang aku buat menyesal dan panik dengan keterlambatan ku.

"Iya." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Mira lalu masuk ke dalam mobil.

Hanya kata itu atau aku yang hanya mendengar kata itu, batinku mengira ngira.

"Mau sarapan dulu nggak?" tanyaku dengan menaik turunkan alis.

"Udah sarapan aku," balasnya ketus.

"Kan sarapan buat perut. Yang ini belum kan?" tanyaku dengan mengelus bibirnya pelan nan mesra.

Hanya dengan sentuhan yang halus dan lembut, kekasih ku sudah menampilkan senyumnya kembali. Ya, semudah itu memang membahagiakan wanita bagiku. Jika diluar sana ada yang mengatakan menghadapi wanita adalah hal yang sulit dan rumit, tentu saja karena mereka yang bodoh dalam hal itu. Mereka tak punya kemampuan untuk menaklukkan betina seperti ku.

Sebelum melajukan mobil, aku menghadiahkan Mira dengan sentuhan yang panas di bibirnya. Hal yang sering kami lakukan ketika memang ada kesempatan dalam kesempitan tentunya.

Perlu kalian tahu, aku memang memiliki banyak kekasih dan juga sering berganti pasangan. Aku juga sering membuat hari-hari kekasih ku panas dan hangat dengan sentuhan manja dari bibirku. Namun, tidak pernah sekalipun aku menjamah meraka lebih dari ciuman. Aku juga tak pernah pergi ke club atau tempat perkumpulan kupu-kupu malam. Sebejat apapun aku, aku tidak menyukai tempat itu.

Setelah puas dengan sarapan yang menggairahkan, aku mengantarkan Mira ke kampus dengan wajah sumringah darinya. Senyumnya bak angin yang bertiup pelan di hari yang terik, sangat menyejukkan.

Tak berselang lama, kami sampai di kampus yang cukup menjadi favorit di kota kami. Mira turun dari mobil dengan berjalan anggun bak model. Tubuhnya yang berisi namun seksi itu selalu menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dapat mengundang hasrat kaum adam yang jelalatan macam aku.

*

"Selamat pagi tuan," sapa beberapa karyawan yang berpapasan denganku.

"Pagi juga," jawabku dengan ramah serta senyum yang sempurna membuat ketampanan ku bertambah seratus kali lipat. Sesuatu yang wajar jika aku menjadi casanova, bukan?

"Meeting di mana kita hari ini?" tanyaku pada sekretaris ku yang satu ruangan dengan ku, meja kami hanya dipisahkan dengan sekat dari kaca.

"Di restoran cabe-cebe an tuan," jawab Firdaus dengan santainya.

"Waow. Mudah-mudahan isinya nggak hot ya. Pacar gue udah tiga soalnya."

"Apa hubungannya?"

"Ya kalau isinya hot terus tergoda, ntar gue gimana bagi waktu buat istri-istri gue. Tiga aja kalau weekend udah pusing gue."

"Istri? Cuman modal gombalan sama ciuman aja dibilang istri," gumam Firdaus yang terdengar lebih ke sindiran.

"Eh daus mini. Kita sebagai lelaki harus memilih wanita yang terbaik. Kita nggak akan tahu wanita itu baik atau nggak kalau kita nggak dekati dan mencoba mereka."

"Tuan, dimana mana jodoh itu cerminan dari diri kita. Tuan aja kerjaannya main sana sini, ya nanti istri tuan begitu."

Plak!

Aku lempar sekretaris kurang ajar itu dengan satu bolpoin. Dia memang beda dari sekretaris lain, jika sekretaris lain sangat tunduk dan takut pada atasannya, maka tidak dengan dirinya. Dia selalu saja berani menjawab dan mengejekku dengan terang-terangan.

Tapi aku tak pernah marah padanya, meskipun dia termasuk orang yang songong dan berani padaku, aku suka dengan cara kerjanya yang cekatan, cepat dan tepat sasaran.

Bersambung

Bab 2

Bab 2

Terdengar suara adzan dhuhur saat aku selesai meeting. Restoran tempatku meeting kebetulan cukup dekat dengan sebuah masjid, hanya berjarak beberapa meter saja.

Waktu kecil aku tak pernah melupakan sholat, jangankan melupakan, terlambat untuk sholat pun rasanya tidak pernah. Namun, semua berubah saat aku mulai masuk SMA.

Ketampanan yang sudah melekat sejak lahir dibuat bullyan oleh ke dua sahabat yang dihadirkan sebagai setan dalam kehidupan ku. Bagaimana tidak? Mereka tak henti-hentinya berusaha untuk membuat aku seperti mereka yang punya banyak pacar.

Mereka selalu mengatakan bahwa aku harus memanfaatkan apa yang aku punya, wajah rupawan tapi jomblo. Mati aja sono. Kalimat yang selalu di ucapkan saat aku menolak untuk berpacaran, karena saat itu memang aku sama sekali tak berminat.

Kedua sahabat somplak ku tidak akan menyerah sebelum apa yang merekan inginkan aku kabulkan. Maklum, mereka berusaha mengotori telingaku sejak kami memgenyam bangku SMP.

Semua berubah ketika ada seorang siswi baru dari desa. Ya, ternyata gadis desa tak kalah cantik dari gadis-gadis kota yang pernah aku temui. Bahkan mereka lebih cantik alami dari gadis-gadis yang sering aku lihat.

Hal itu di jadikan kedua sahabat ku untuk meracuni ku kembali dengan kalimat-kalimat syaiton. Lama-kelamaan aku terpengaruh juga ke dalam lembah kenistaan yang meraka buat. Dan sejak saat itu, jadilah Bari yang sekarang. Aku dan sahabat ku selalu berlomba untuk mendapatkan perempuan paling cantik di sekolah.

"Tuan mau sholat?" tanya Firdaus dengan bodohnya. Padahal dia tahu aku sudah lama meninggalkan ibadah wajib ku. Tapi dia selalu menanyakan hal itu ketika kami di luar kantor dan adzan berkumandang. Mungkin dia ingin aku tobat.

"Sekali lagi lo nanya gitu ke gue. Gue kasih seragam baru."

"Apa?"

"Pembantu di rumah gue."

"Nggak apa-apa, ada bidadari surga di rumah tuan. Dengan senang hati akan saya terima tawaran tuan."

Tuing

Satu toyoran aku suguhkan di kening sekretaris gilaku itu. Sejak Farah datang ke kantor beberapa bulan lalu, secara terang-terangan Firdaus mengagumi sosok adikku yang lemah lembut.

"Sholat sana, gue tunggu di mobil." Aku melangkah dengan langkah yang berwibawa meskipun sebenarnya tanpa melakukan itupun semua mata pasti tertuju padaku.

Saat akan masuk mobil tak sengaja mataku melihat sosok wanita yang memakai pakaian sangat tertutup, bahkan wajahnya pun ia tutup dengan cadar. Wanita idaman ibu, batinku.

Ya, ibu selalu mengatakan padaku untuk mencari wanita yang sholeha meskipun ibu tahu bahwa aku ini bobrok luar dalam. Beliau tahu, aku memiliki banyak wanita dan melarang ku dengan keras untuk membawa ke rumah jika berniat tidak menikahinya. Dan hingga usiaku menginjak tiga puluh tahun sama sekali aku belum pernah membawa satupun wanita di hadapan ibu. Karena memang aku masih nyaman dengan peran ku dan juga masih menikmati hidup sebagai pria yang bebas. Belum ada kepikiran untuk menikah.

Meskipun usiaku sudah kepala tiga, wajahku masih tampan rupawan dan terlihat muda. Itulah sebabnya aku tak kesulitan mencari pasangan. Entahlah, aku sangat sulit untuk menjamin hubungan serius dengan seorang wanita. Padahal tak pernah sekalipun aku disakiti oleh mereka. Tapi rasanya sangat sulit untuk mencari wanita yang bisa aku jadikan istri.

"Bar, sudah cukup kamu begini Bar. Ibu pusing tiap hari lihat kamu keluyuran dengan perempuan di luar sana. Ibu nggak suka. Jika belum menemukan yang cocok lebih baik sendiri dulu. Jangan kamu coba semua wanita dengan mendekati mereka, mengumbar janji lalu pergi. Nggak sadar kalau kamu menyakiti hati ibu juga dengan kamu begini?" kata ibuku setahun yang lalu saat sedang terbaring di rumah sakit.

Jangan pernah mengira bahwa ibuku akan diam saja melihat aku seringkali berganti pasangan dan memacari banyak wanita. Ibuku selalu marah dan ngomel ketika beliau tak sengaja bertemu denganku di suatu tempat.

Entahlah, aku selalu menuruti apapun yang ibu minta, tapi tidak untuk berhenti memacari para wanita.

Seperti yang sudah aku bilang, sangat sulit bagiku untuk hidup tidak di kelilingi oleh wanita. Aku pernah mencoba dan hanya bertahan satu minggu saja. Setelah itu aku pacari lima wanita sekaligus.

Selama pacaran dengan puluhan wanita itu, sama sekali tidak ada yang bisa membuat aku jatuh cinta. Membuat jantungku bergemuruh atau setidaknya deg deg an, satupun dari mereka tidak ada. Entah bagaimana wanita yang ku cari aku pun tak tahu.

"Ada meeting lagi nggak?" tanyaku saat Firdaus masuk mobil.

"Tidak tuan, setelah jam makan siang tuan free."

"Ya udah balik kantor naik taksi aja lo. Gue mau kerumah istri kedua," usirku seraya keluar mobil.

Aku mendengar sekretaris kebanggaan ku itu menghembuskan nafas panjang. Dengan tak mempedulikan perasaannya aku tetap melajukan mobil ke luar halaman restoran.

Hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit saja, aku sudah sampai di kediaman pacar kedua ku. Siang-siang begini dia pasti sedang berada rumah. Karena dia bekerja malam hari di salah satu cafe ternama.

"Tumben ke sini siang-siang di jam kerja lagi," tanya Diana kekasih kedua ku di musim ini.

"Tadi ada meeting di dekat sini," jawabku seraya masuk ke rumah tanpa permisi.

Aku menduduki salah satu sofa polos berwarna merah maroon yang tertata rapi di sana. Lalu di susul Diana yang duduk di dekatku. Aroma tubuhnya yang selalu harum adalah hal yang paling aku rindukan dari Diana.

"Assalamu'alaikum Di," teriak sesorang dari luar, yang jika ditebak adalah suara seorang wanita.

"Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan. "Masuk aja mbak," lanjut Diana setengah berteriak.

Aku memandang pintu utama menanti siapa yang bertamu siang-siang begini, menggangu keromantisan ku saja, batin ku sedikit kesal.

Sosok wanita yang memakai pakaian tertutup dan menutup wajahnya dengan cadar masuk ke dalam rumah dengan sopan. Entah mimpi apa hari ini aku sudah bertemu dengan wanita yang berpakaian seperti sangat tertutup seperti itu dua kali.

Wanita itu seketika menundukkan kepala ketika tak sengaja menatap diriku yang tampan paripurna ini. Seketika aku melihat diriku sendiri, adakah yang salah dengan penampilan ku sampai dia langsung memalingkan wajah ke lantai? Tidak tahukan diriku ini menjadi dambaan setiap wanita? Disaat semua wanita yang tak sengaja menatap ku seketika tak mengedipkan mata dan terpesona dengan wajahku, tapi dia bertingkah sebaliknya.

"Ada apa mbak?" tanya Diana seraya berjalan mendekatinya.

"Ini tadi ada oleh-oleh dari ibu buat kalian. Ibu tari baru saja mengunjungi saudaranya yang menikah. Aku langsung pulang ya, assalamu'alaikum." Wanita bercadar itu langsung membalikkan badan dan pergi tanpa kembali melihatku.

"Wa'alaikumussalam."

"Siapa?" tanyaku

"Sepupu aku yang."

Aku hanya manggut-manggut saja. Entah kenapa aku jadi memikirkan dirinya. Jika sekilas aku melihat wanita itu, matanya nampak indah. Namun, sedetik kemudian aku membuang buang jatuh pikiran ku. Aku sama sekali tak menyukai wanita yang begitu tertutup begitu.

Bersambung.

Bab 3

Aku berdiri di depan cermin yang terdapat di lemari ku. Dengan style ku yang kekinian membuat aku tampak seperti pria yang baru menginjak dewasa. Aku semakin kagum dengan diriku sendiri, hanya dengan kaos putih polos yang aku padukan dengan hem flanel serta celana jeans berwarna hitam dengan sepatu yang berwarna senada dengan kaosku. Aku sudah terlihat bak artis Korea, meskipun aku tahu mungkin saja artis sana tak memakai pakaian seperti ku.

"Pulang lebih dari jam delapan ibu kunci pintunya," ucap ibuku yang mendengar langkah kakiku mendekati pintu utama.

"Astaga bu, udah kayak perawan aja jam segitu harus di rumah. Lagi pula ini sudah jam tujuh, bagaimana bisa aku hanya keluar rumah dalam waktu satu jam. Belum perjalanan, makan." Aku berjalan menghampiri ibu yang sedang menyalakan TV dan duduk di sampingnya.

Ibu tak merespon apapun, netra beliau fokuskan pada layar besar yang terpasang di depannya. Kalau sudah begini aku tak bisa membujuknya lagi. Jika boleh memilih, aku lebih memilih ibuku yang cerewet dan bawel saat melihat aku kelayapan begini. Namun, akhir-akhir ini jika aku perhatikan beliau tak pernah lagi ngomel padaku, hanya kalimat yang penuh penegasan dan penekan yang beliau perdengarkan.

"Ibu nggak main-main ya Bar. Kalau kamu nggak berubah lebih baik ibu cabut semua fasilitas kamu, termasuk menjadi pemimpin perusahaan. Biar perusahaan di pegang sama kepercayaan ayah kamu dari pada kamu pegang tapi kamunya jadi lupa sama jati diri."

"Apaan sih bu. Kok jadi bawa-bawa perusahaan. Nggak ada hubungannya," protes ku tak terima.

"Ada, kalau kamu jadi gembel nggak akan ada yang mau sama kamu meskipun kamu punya wajah rupawan. Percuma ganteng kalau nggak bisa kasih makan."

"Ibu tega sama aku?" tanyaku dengan nada melas.

"Tega. Kamu sendiri juga begitu. Besok weekend, ikut sama ibu. Ibu mau kenalin kamu sama anak teman ibu. Nggak ada penolakan," tegasnya di akhir kalimat. Lalu ibu melangkah pergi.

"Ibu apaan sih, nggak mau aku di jodoh-jodohin. Iya janji aku akan berubah," teriakku namun tak dihiraukan oleh wanita yang melahirkan ku.

Aku kembali duduk dengan menahan pusing yang tiba-tiba saja menyerang. Mendengar kata mengenalkan kepada seseorang saja sudah membuat aku parno. Sungguh bukan keinginan ku mencari pendamping yang bukan dari pilihan hatiku. Ini duniaku, bukan dunia novel yang bersedia di jodohkan meskipun saling tak suka, terpaksa menikah lalu saling lontar kata menyakitkan dan berakhir dengan si pria yang menjadi budak cinta istrinya.

Tak mempedulikan dengan ancaman ibu tadi, aku melangkah keluar rumah. Aku sudah berjanji dengan Nilam, kekasih ketiga ku untuk mengajaknya belanja.

Malam ini langit terlihat lebih cerah dari biasanya, nampak bulan dan bintang berjajar dimana mana. Sengaja aku membuka sedikit cendela mobil ku untuk mendapatkan angin segar. Barangkali dengan begini otakku bisa lebih jernih dan bisa membujuk ibu agar tak menjodohkan aku dengan siapapun.

"Lama banget sih, udah nunggu lama juga," protes Nilam seraya masuk mobil.

"Maaf, biasa lah macet."

Tak ada lagi percakapan di antara kami. Hanya tangan kami saja yang saling menaut satu sama lain. Hal kecil yang selalu aku lakukan pada ketiga kekasih ku.

Ya, aku mempunyai satu kelebihan yang jarang pria lain punya. Selain punya banyak kekasih, aku adalah pria yang sangat mempedulikan hal-hal kecil. Karena aku tahu, dari sanalah wanita akan menambah rasa kasih sayangnya pada seorang pria.

Aku membawa Nilam ke mall yang paling dekat. Jika mencari mall yang paling besar, sudah dipastikan aku akan pulang tengah malam. Kalian tahu sendiri kan bagaimana wanita jika diajak belanja. Sebesar apapun pusat perbelanjaan tersebut pasti akan tetap dikelilingi nya juga.

Genggaman tanganku sengaja tak aku lepas, aku ingin membuat orang-orang yang berada di sana melihat betapa mesranya diriku pada kekasih ku. Selain itu, agar para kekasih ku nerasa bahwa meraka adalah satu-satunya dan cintaku terhadap meraka sepenuhnya dari hati, meskipun sebenarnya tidak sama sekali.

Sedang asyik membantu Nilam memilih tas, tak sengaja sudut bola mata ku melihat sosok wanita yang sangat aku kenal. Bahkan meskipun aku melihat dari belakang aku tahu pasti siapa sosok wanita yang sedang memilih pakaian itu.

"Bee, kita cari tas di tempat lain ya. Itu di sana, bagus-bagis kayaknya," ucapku seraya menggeret Nilam untuk sedikit menjauh.

"Jelek bee, aku suka yang di sana." Nilam dengan langkah entengnya kembali ke tempat semula.

Dan tanpa aku sangka, entah bagaimana ceritanya, Diana sudah ada di tempat yang sama. Aku menggaruk garuk kepala ku yang terasa pening mendadak.

Sengaja aku membelakangi kedua kekasihku yang sedang memilih tas. Dalam hati aku tak berhenti berdoa pada yang maha Kuasa agar menunjukkan keajaiban nya. Entah do'aku di dengar atau tidak, yang penting aku berdoa saja. Di saat seperti inilah aku merasa menjadi mahluk yang paling tak tahu diri. Melupakan kewajiban, tapi meminta perlindungan pada sang maha segalanya.

Entahlah, padahal sudah beberapa kali aku di posisi seperti ini dan berakhir dengan putusnya hubungan dengan kedua kekasih ku secara bersamaan. Tapi rasanya tetap saja membuat aku deg deg an. Masalahnya saat ini kami sedang berada di tempat umum. Bagaimana jika kedua kekasih ku itu bertengkar dan memperebutkan aku. Saling menjambak satu sama lain hanya demi seorang Bari, pria yang ketampanan nya di akui oleh negara nyata dan gaib.

"Bee."

Mampus!

Sengaja aku membuat gerakan seperti sedang menelepon seseorang. Dengan harapan Nilam tak lagi memanggilku dan berjalan padaku. Di detik berikutnya, Nilam sudah ada di dekatku dengan sebuah tas di tangan kanannya.

"Maaf bee, ada telepon dari ibu. Ada apa?"

"Bingung, semuanya bagus. Kamu suka yang mana?"

Memang wanita itu unik bagiku, mereka punya karakter masing-masing. Jika Mira selalu bisa membuat hariku panas dengan bibirnya, Diana yang selalu tampil cantik dan membuatku tertawa karena selera humornya, lalu Nilam yang bersikap seakan aku suaminya, yang selalu meminta pendapat ku ketika ingin sesuatu. Dan lebih memilih benda-benda yang menjadi pilihan ku untuk setiap koleksinya.

"Kamu suka semua?"

Nilam mengangguk seraya tersenyum seakan ingin meminta keduanya untuk menjadi miliknya.

"Ambil semua aja bee kalau kamu mau."

Seperti yang ku duga, wajah Nilam seketika sumringah. Mungkin saja jika tidak banyak orang dia akan memelukku dengan erat.

Nertraku diam-diam melirik tempat dimana Diana tadi berdiri. Rupanya wanita itu masih betah di tempat yang sama. Kenapa dari sekian banyak mall dia harus belanja di tempat ini? Dari sekian banyak hari kenapa dia harus libur di hari yang sama dengan jadwal ku membelanjakan Nilam. Batinku bertanya tanya dengan kesal.

"Aku mau baju juga bee. Boleh?"

"Ambil apapun yang kamu mau bee."

Dengan senang hati aku membelanjakan para wanita ku. Entahlah, aku senang jika mereka juga senang. Namun sudah pasti aku tak memperistri mereka yang memoroti uangku dengan berlebihan. Seperti Nilam ini, dia selalu meminta barang lengkap saat aku mentraktir nya ke mall. Bukan masalah uangnya, tapi sikapnya yang boros tak patut jadi istriku.

Aku tak suka dengan wanita yang suka mengoleksi barang berlebihan. Jika itu bermanfaat tak apa, tapi jika hanya untuk ajang pamer aku tak suka. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa jika tak suka aku pacari? Hanya satu jawabannya, hanya untuk bersenang senang saja. Aku tidak akan berhenti memacari wanita degan model bagaimanapun sampai aku mendapatkan wanita yang benar-benar memang aku cari. Meskipun sesungguhnya aku sendiri tak tahu bagaimana wanita yang menurutku pantas aku peristri.

"Sayang kamu di sini? Sama siapa?" tanya Diana tiba-tiba yang entah sejak kapan dia berada di dekatku. Untunglah Nilam sedang berada sedikit jauh dari ku hingga dirinya tak melihat ku dan Diana.

"Eh kamu juga lagi di sini. Aku sama...sama temen ke sini," jawabku dengan gugup dan gagap.

Diana manggut-manggut.

"Bee ini bagus nggak?" tanya Nilam menghampiri ku dengan menenteng dress.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!