Seorang wanita sedang berkutat dengan peralatan dapur, dia sedang menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya. Namanya Maysa, seorang ibu rumah tangga sekaligus pekerja di sebuah butik ternama di kota ini.
Setelah masakannya matang, dia menyiapkan semuanya di meja makan. Maysa memanggil suami dan anaknya agar segera menikmati sarapannya.
“Sayang, ini gajiku bulan ini,” ucap Rafka sambil menyerahkan uang lima ratus ribu dihadapan Maysa—istrinya.
“Kok, segini, Mas? Ini mana cukup.”
“Kamu cukup-cukupin saja," ucap Rafka tanpa merasa bersalah.
“Mas, kebutuhan kita juga banyak, susu Eira juga sudah habis!” ucap Maysa dengan penekanan. Sudah sering seperti ini dan dia selalu dituntut untuk mengalah. Tidak bolehkah dirinya memberontak?
“May, tolong jangan terlalu menuntutku. Aku pusing dengernya!”
“Kamu pusing? Bagaimana denganku yang mengelola uang lima ratus ribu sebulan? Kamu bisa mikir nggak, sih? Itu cukup untuk dua Minggu saja, aku sudah bersyukur. Bagaimana dua Minggu selanjutnya?”
“Makanya kamu jangan boros. Belajarlah berhemat, aku juga nggak pernah makan malam di rumah, kan? Teman-temanku selalu mentraktirku.”
“Boros? Kamu bilang boros dengan uang lima ratus ribu sebulan? Coba kamu tanya temanmu, berapa mereka memberi istrinya uang belanja hingga cukup satu bulan? Kalau dari mereka ada yang mengatakan lima ratus ribu, katakan pada temanmu, aku akan berguru pada istrinya!”
Rafka yang melihat istrinya kesal pun mencoba membujuknya. Dia tahu Maysa wanita baik, pasti akan mengerti keadaannya. Pria itu memang pandai bersilat lidah hingga membuat sang istri percaya padanya.
“Kemarin mama ngeluh nggak punya uang. papa tidak bekerja seminggu karena sakit. Sebagai seorang anak aku mana tega membuat mama kesusahan, kamu ngerti, kan? Lagian kamu juga sudah bekerja. Bulan depan mudah-mudahan aku bisa ngasih kamu lebih. Kamu tolong ngertiin aku, ya!” bujuk Rafka.
Maysa masih terdiam dengan segala kekesalannya. Dia memang sudah menganggap mertuanya seperti orangtuanya sendiri, tetapi bukan berarti dirinya harus terus mengalah. Wanita itu juga memiliki anak yang masih butuh susu formula dan kebutuhan lainnya.
“May, tolong ngertiin aku. Mudah-mudahan bulan depan aku bisa memberimu lebih, tapi kamu harus sabar, ya?” lanjut pria itu.
Maysa hanya bisa mengangguk dengan terpaksa. Selalu seperti ini. Memang apalagi yang bisa dia perbuat. Suaminya hanya karyawan biasa dengan gaji pas-pasan. Selain itu juga Rafka harus membayar uang cicilan mobil jadi, wanita itu harus menerimanya.
Bisa saja Maysa protes pada sang suami, tetapi wanita itu tidak mau menambah masalah. Apalagi Rafka juga memberikan uang gaji pada ibunya yang memang masih kewajibannya. Namun, dengan uang segitu hanya cukup untuk beli susu dan popok untuk putri kecil mereka. Bagaimana untuk kebutuhan pokok mereka?
“Nanti malam aku lembur, kamu tidur saja duluan. Aku tidak mau melihat kamu sakit,” ucap Rifka setelah menghabiskan sarapannya.
“Iya, Mas. Kalau pekerjaannya sudah selesai, langsung pulang, ya, Mas. Jangan ke mana-mana.”
“Iya, Sayang. Aku berangkat dulu,” pamit Rafka.
Maysa mencium punggung tangan suaminya yang dibalas ciuman di kening wanita itu. Rafka juga berpamitan pada putri kecil mereka yang masih berusia tiga tahun.
Setelah kepergian Rafka, Maysa membereskan semua bekas sarapan pagi dan bersiap untuk pergi bekerja. Mengenai Eira—putri Maysa, biasanya akan dia titipkan di rumah ibunya. Wanita itu bersyukur ibunya mau menjaga Eira jadi dia bisa bekerja untuk menutupi kekurangan uang dapurnya.
Maysa pergi dengan menggunakan motor butut miliknya yang dia beli sebelum menikah. Wanita itu tidak pernah malu memakainya, meski semua teman-temannya semua memakai mobil. Maysa bekerja di sebuah butik ternama dengan gaji yang cukup besar.
“Selamat pagi,” sapa Maysa pada teman-temannya.
“Pagi, Maysa.”
“May, Bu Nadia nyari kamu. Tadi dia bilang kamu disuruh ke sana. Ada sesuatu yang ingin dia katakan,” ucap salah seorang temannya.
“Iya, terima kasih. Aku temui Bu Nadia dulu." Maysa pergi ke ruangan atasannya.
Dia mengetuk pintu beberapa kali, hingga terdengar sahutan dari dalam dan memintanya untuk masuk. Wanita itu tersenyum saat melihat Nadia yang sedang menatapnya.
“Ibu memanggil saya?”
“Iya, duduklah dulu. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan.” Nadia mengambil sebuah kertas dan memberikannya pada Maysa.
“Apa ini, Bu?” tanya Maysa dengan kening mengkerut.
“Ini adalah deskripsi gaun pengantin dari klien kita. Dia ingin gaun seperti yang ada di tulisan itu dan aku mempercayakan padamu untuk mengerjakannya. Kalau kamu berhasil membuat klien kita puas, tentu saja akan ada bonus yang besar untukmu karena klien kita ini termasuk VVIP.”
Memang tawaran yang sangat menggiurkan. Apalagi di tengah kesulitan ekonominya. Maysa berpikir sejenak mengenai tawaran ini dan memutuskan untuk menerimanya.
“Baiklah, Bu. Saya akan mencobanya. Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan Anda.”
“Saya yakin dengan kemampuanmu. Kalau tidak, mana mungkin aku memberimu pekerjaan ini,” ujar Bu Nadia membuat Maysa merasa tersanjung.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Bu.”
“Kalau kamu butuh ruang privasi, kamu bisa menggunakan ruang sebelah yang kosong.”
“Iya, Bu, terima kasih.”
Maysa pergi meninggalkan ruang atasannya. Dia perlu memikirkan gaun seperti apa yang sesuai dengan deskripsi yang diinginkan kliennya. Setelah membaca beberapa kali, wanita itu mencoba untuk mulai menggambar. Teman-temannya yang mengerti jika Maysa ada pekerjaan penting pun tidak ingin mengganggu.
Wanita itu memang sering diminta Bu Nadia membantu pekerjaannya membuat pesanan penting. Kadang malah memberikan pekerjaan itu pada Maysa sepenuhnya, seperti hari ini. Pekerjaan wanita itu memang sangat memuaskan.
Dari dulu Maysa sangat ingin kuliah jurusan design, tetapi keadaan ekonomi ibunya membuat dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih bekerja. Ayahnya sudah meninggal sejak dirinya kecil. Wanita itu juga memiliki adik yang masih sekolah saat itu. Maysa hanya mempelajari semua nya lewat buku yang dia baca. Kadang juga majalah bekas yang diambil dari para pengepul.
Saat jam makan siang, Maysa sudah selesai dengan dua gambar di tangannya. Wanita itu ingin memperlihatkan dulu pada atasannya kira-kira mau yang mana. Sebelum melapor, dia sempat meminta pendapat pada teman-temannya dan mereka bilang keduanya bagus.
“Kamu kembali dulu, saya akan bertanya pada klien kita. Kamu juga belum makan, kan? Makanlah dulu, jangan karena pekerjaan kamu melupakan tubuhmu sendiri,” ucap Bu Nadia.
“Baik, Bu. Saya permisi.”
Setelah kepergian Maysa, Bu Nadia mengamati kedua gambar itu. Bibirnya tertarik ke atas, dia puas dengan hasil kerja Maysa yang tidak pernah mengecewakannya. Kalaupun nanti klien tidak ingin menggunakannya. Gaun ini bisa dibuat untuk dipajang di depan. Dia tidak ingin pekerjaan Maysa sia-sia.
.
.
.
Bu Nadia menghubungi klien yang memesan gaun itu. Wanita itu memperlihatkan dua gambar dan meminta klien untuk memilihnya. Di luar dugaan, klien itu malah meminta dibuatkan dua-duanya padahal waktu yang diberikan sudah pasti tidak akan cukup. Akan tetapi, klien tersebut tetap memaksa dan Nadia pun berkata akan mengusahakannya, tetapi tidak bisa berjanji.
"Hah ... dua-duanya, Bu?” tanya Maysa yang terkejut saat diberi tahu jika klien itu minta dibuatkan dua gaun. Padahal dia menggambar dua sebagai bahan pertimbangan, tetapi malah diminta membuat keduanya.
“Iya, sepertinya kita harus bekerja sama dalam membuatnya. Kamu sebagai designer sekaligus pemberi instruksinya," ucap Nadia. "Kamu tenang saja, kalau memang tidak memungkinkan, kita buat satu saja. Putrinya Bu Rina juga tidak memaksa karena waktu kita juga terbatas."
"Iya, Bu. Akan tetap saya usahakan."
Maysa sangat senang karena karyanya disukai klien, tetapi jika keadaannya mendesak seperti ini, dia tidak yakin dengan hasilnya. Wanita itu hanya bisa berdoa semoga saja semua bisa berjalan dengan lancar.
Pekerjaan pun dimulai saat itu juga. Dimulai dari pemilihan kain dan warna sesuai keinginan klien. Untung saja stok di sana masih ada jadi dia tidak perlu pergi membelinya. Maysa mengerjakan semua bersama dengan Nadia dengan hati-hati. Hingga tidak terasa waktu sudah sore.
“May, sudah sore, kita lanjut besok saja. Putrimu pasti sudah menunggu,” ujar Nadia membuyarkan konsentrasi Maysa.
“Iya, Bu. Saya sampai tidak sadar,” sahut Maysa yang kemudian membereskan peralatan yang dia pakai. Wanita itu pamit terlebih dahulu pada atasannya dan meninggalkan butik.
*****
Waktu telah berlalu, gaun buatan Maysa dan atasannya telah selesai. Anak Bu Rina pun senang dengan hasilnya. Nadia sebagai pemilik butik saja hampir tidak percaya jika keduanya selesai dengan hasil yang memuaskan.
“Terima kasih, Bu. Gaunnya bagus sekali,” ucap Bu Rina—klien Bu Nadia—sambil memperhatikan putrinya yang sedang mencoba mencoba gaun.
"Iya, Bu Nadia. Ini bagus sekali. Aku bakalan sering-sering datang ke sini."
"Silakan saja, justru saya sangat senang jika Mbak Nuri mau menjadi pelangg*n tetap di butik saya. Saya juga senang jika hasilnya memuaskan."
"Tentu saja, ini bagus sekali," sela Bu Rina.
“Iya, Bu, hasilnya memang bagus sekali. Maysa juga yang menjahitnya sendiri, saya hanya membantu sedikit."
"Benarkah?"
"Iya, Bu, sepertinya dia memang memiliki potensi."
"Bu Nadia, Anda beruntung memiliki pegawai seperti dia," ucap Bu Rina sambil menatap Maysa dan tersenyum.
"Benar, Bu Rina. Saya sangat bangga dengan kehadirannya. Butik saya jadi lebih ramai."
"Bu Rina sama Bu Nadia terlalu memuji. Saya hanya melakukan sebisa saya saja."
"Tidak, kamu benar-benar hebat. Bisa membuat gaun sebagus ini. Anak saya ini orangnya sangat pemilih soal pakaian, tapi saat melihat gambar kamu, dia langsung tertarik. Saya yakin suatu saat nanti kamu akan menjadi designer terkenal," ujar Bu Rina.
"Amin, mudah-mudahan, Bu. Terima kasih doanya."
Mereka pun berbincang sejenak sampai akhirnya Bu Rina dan putrinya undur diri. Tidak lupa juga wanita itu memberi tips untuk Maysa. Setelah kepergian klien butik itu, Bu Nadia memberikan gaji pada Maysa. Tidak lupa dia juga memberi tips untuk pegawainya itu.
"Bu Nadia, ini terlalu banyak, tadi Bu Rina juga sudah memberi saya tips," ucap Maysa sambil menunjukkan uang yang dia terima.
"Tidak apa-apa, ini sesuai sama pekerjaan kamu, jangan ditolak. Ini juga rezeki untuk Eira."
"Terima kasih, Bu. Bu Nadia selalu baik sama saya dan keluarga saya," ucap Maysa dengan mata berkaca-kaca. Dia terharu dengan kebaikan Bu Nadia.
"Kamu juga orang baik jadi, sudah sewajarnya kamu mendapat perlakuan selayaknya," sahut Bu Nadia. "Ya sudah, kamu hari ini boleh pulang lebih awal. Ajak Eira jalan-jalan. Kasihan kemarin dia bilang ayah dan ibunya sudah tidak pernah mengajaknya jalan-jalan lagi."
"Eira mengadu sama, Ibu, rupanya," ucap Maysa terkekeh sekaligus merasa malu.
"Begitulah anak-anak, siapa pun yang membuatnya nyaman, pasti akan jadi tempatnya mengadu."
Maysa mengangguk membenarkan ucapan atasannya itu. Akhir-akhir ini, dia memang jarang mengajak Eira jalan-jalan karena pekerjaannya. Dulu setiap satu minggu sekali, wanita itu pasti libur, tetapi semenjak sang suami mengurangi jatah bulanannya, Maysa harus bekerja keras untuk menutupi kekurangan.
"Terima kasih, Bu. Sudah mau mengerti. Saya pamit dulu kalau begitu. Saya juga mau belikan Eira mainan."
"Iya, kamu pulanglah."
Maysa pun memutuskan pergi ke supermarket terlebih dahulu. Dia ingin membeli kebutuhan pokok. Wanita itu membeli banyak bahan makanan. Maysa berpikir untuk menyenangkan anak dan suaminya dengan makanan enak. Sudah cukup lama mereka hanya makan seadanya karena harus mengirit pengeluaran.
Setelah selesai belanja, Maysa pulang ke rumah. Dia ingin membawa belanjanya pulang terlebih dahulu, setelah itu akan menjemput Eira di rumah mamanya. Usai menata semuanya, Maysa membersihkan tubuhnya terlebih dahulu.
Saat di dalam kamar, tanpa sengaja dia melihat kalender dan teringat jika tiga hari lagi sang suami ulang tahun. Wanita itu pun berniat untuk membelikan hadiah untuk suaminya, sekaligus memberi pesta kejutan. Maysa akan mengundang beberapa kerabat dekat saja. Meski hanya pesta kecil-kecilan, dia yakin Rafka pasti akan merasa senang.
Maysa pergi ke mall dengan menggunakan motor bututnya untuk membeli hadiah untuk sang suami. Dia sudah berniat untuk membelikan jam yang sebelumnya sudah menjadi incaran Rafka. Beberapa kali wanita itu melihat suaminya melihat-lihat jam yang ada di toko online. Maysa tersenyum dengan lebar saat berjalan memasuki mall.
Dia memasuki sebuah toko jam tangan. Tidak banyak yang datang mungkin karena masih jam kerja. Seorang pegawai mendekatinya dan menanyakan jam tangan keinginannya.
"Selamat datang di toko kami, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Ibu mau jam tangan yang seperti apa? Akan saya tunjukkan," ucap seorang pegawai perempuan dengan ramah.
"Saya ingin jam tangan laki-laki, Mbak. Seperti ini," ucap Maysa sambil menunjukkan gambar yang ada di ponselnya.
"Oh, itu, mari, Bu! Ada di sebelah sana."
Maysa pun mengikuti wanita itu. Dia terkejut melihat harga jam tangan. Akan tetapi, wanita itu sudah dua kali tidak memberi hadiah saat Rafka ulang tahun. Meski harus menguras dompetnya, Maysa tidak keberatan. Semua itu demi membahagiakan sang suami. Setelah itu dia berniat untuk membeli mainan untuk Eira dan ke rumah ibunya untuk menjemput putrinya.
Saat keluar dari toko jam tangan, wanita itu seperti melihat sang suami sekilas. Maysa pun mencoba untuk mencarinya untuk memastikan jika itu benar-benar Rafka. Dia sangat yakin dengan penglihatannya karena pakaiannya pun sama dengan milik sang suami.
.
.
.
Maysa menelusuri jalan yang tadi dilewati pria yang mirip suaminya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan karena tidak ingin terlewat sedikit pun keberadaan dua orang tadi. Setelah cukup lama berkeliling, akhirnya dia menemukan orang yang dicarinya. Ternyata benar, itu adalah Rafka—suaminya—bersama dengan seorang perempuan yang bergelayut manja di lengan pria itu.
Hati Maysa begitu terluka melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain, apalagi ini di tempat umum. Tanpa terasa air mata menetes di pipinya. Selama ini dia begitu percaya pada sang suami, tetapi kini dengan mata kepalanya sendiri, Maysa melihat Rafka mengkhianatinya.
Tidak mungkin mereka tidak memiliki hubungan apa pun. Dapat dilihat sikap wanita yang bersama Rafka sangat manja. Bahkan dia tidak sungkan mencium pipi suami Maysa. Rafka pun tidak keberatan akan hal itu, seakan sudah menjadi hal biasa bagi keduanya.
Ingin sekali Maysa mendatangi dan memberi pelajaran pada keduanya, tetapi Maysa bukanlah wanita seperti itu. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya dan sang suami. Bagaimanapun pria itu juga masih suaminya. Wanita itu tetap mengikuti ke mana pun Rafka pergi.
Maysa sengaja tidak memakai masker atau penutup lainnya agar sang suami sadar dengan keberadaannya. Namun, hingga mereka memasuki sebuah toko perhiasan, pria itu sama sekali tidak menyadari keberadaan istrinya. Semua perhatian Rafka selalu tertuju pada wanita yang ada di sampingnya. Hingga melupakan statusnya kini.
Maysa hanya bisa menatapnya dari jauh. Sesekali mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Dia tidak mungkin memasuki toko itu karena dirinya tidak membeli apa pun di sana.
Sementara Rafka bersama dengan seorang wanita yang bernama Vida sedang memilih perhiasan. Awalnya pria itu ingin membelikan sebuah cincin. Namun, wanita itu lebih tertarik dengan sebuah kalung berlian keluaran terbaru. Apalagi itu adalah model keluaran terbaru dan limited edition.
"Mas, ini bagus sekali! Aku mau yang ini," pinta Vida dengan menggoyangkan lengan pria itu.
Rafka terkejut melihat nominal yang tertera. Pria itu menelan ludahnya dengan susah payah. Bisa saja dia membelikannya untuk Vida, tetapi dompetnya sudah pasti akan kering.
"Aduh, Sayang, kita kan niatnya beli cincin, bukan kalung. Kapan-kapan saja, ya! Kalau sekarang beli cincin dulu," bujuk Rafka. Namun, Vida menolak. Dia bersikeras untuk membeli kalung itu karena itu termasuk benda limited edition.
"Lain kali belum tentu ada yang seperti itu. Aku tidak mau, Mas. Aku mau yang ini. Kamu janji mau turutin semua keinginanku."
"Iya, aku akan belikan, tapi nanti, ya! Sekarang beli cincin saja dulu."
"Nggak mau, Mas. Aku maunya yang itu."
Rafka manahan napas. Sangat susah mengubah pendirian Vida. Apa pun keinginannya harus segera dipenuhi. Mau tidak mau akhirnya Rafka yang mengalah.
"Baiklah, kalau begitu. Kamu pilih saja yang kamu mau."
"Benar, Mas? Aku mau kalung itu, ya?"
"Iya," jawab Rafka dengan terpaksa.
Padahal di rumah dia memberi Maysa belanja yang jauh lebih sedikit agar bisa memberikan sebuah cincin untuk Vida. Selebihnya untuk keperluannya hari-hari nanti, tapi sekarang dia harus menggunakan uangnya untuk membeli kalung berlian. Sudah pasti dompetnya akan terkuras. Mau menolak keinginan wanita itu, bukan hal yang baik bagi hubungan keduanya.
Memang benar, Rafka telah menjalin hubungan secara diam-diam dengan rekan kerjanya yang bernama Vida itu. Hubungan mereka sudah sekitar satu tahun, Maysa sama sekali tidak curiga pada sang suami karena dia tidak pernah berpikir sampai ke sana. Wanita itu selalu menganggap suaminya selama ini baik dan setia.
Kebaikan dan kepercayaan Maysa telah dimanfaatkan oleh Rafka. Wanita itu selalu percaya dengan apa yang dikatakan sang suami. Sedangkan pria itu sendiri sangat pandai memanipulasi keadaan dan sering menggunakan nama orang lain sebagai tameng kebohongannya.
Rafka membuka dompet dan menyerahkan kartu kreditnya. Maysa yang melihatnya dari jauh merasa terkejut saat tahu ternyata sang suami yang membayarnya. Itu artinya suaminya yang sudah membelikan untuk wanita itu. Dia juga baru tahu jika Rafka memiliki kartu kredit.
Maysa benar-benar tidak habis pikir, untuk uang belanja saja, pria itu memberinya lima ratus ribu. Sedangkan sekarang suaminya malah membelikan wanita lain sebuah kalung. Maysa yakin jika itu harganya sangat mahal.
"Kamu bener-bener keterlaluan, Mas. Aku di rumah banting tulang untuk menutupi kebutuhan rumah tangga kita, tapi kamu di sini seenaknya memberikan wanita lain sebuah kalung. Entah di mana perasaanmu," kata wanita itu dalam hati dengan air mata yang terus mengalir.
Maysa yang hatinya sudah dipenuhi dengan amarah tidak lagi memikirkan kondisi rumah tangganya. Wanita itu berniat untuk melabrak sang suami dan selingkuhannya. Dia berjalan cepat menuju tempat Rafka dan teman wanitanya. Sayangnya mereka berjalan lebih dulu sebelum Maysa sampai.
Banyaknya pengunjung mall membuatnya kesulitan berjalan, hingga akhirnya wanita itu kehilangan jejak. Maysa berusaha mencari ke seluruh mall. Namun, tak kunjung ditemukannya juga. Cukup lama dia berkeliling, akhirnya menyerah.
Tidak hilang akal, Maysa mencoba menghubungi sang suami untuk menanyakan keberadaannya. Hingga beberapa kali dia mencoba. Namun, tak kunjung diangkat. Wanita itu merasa frustrasi karena merasa dipermainkan.
Beberapa pengunjung mall menatapnya aneh karena Maysa memainkan ponsel dengan wajah sembabnya. Semua orang mengira jika dirinya habis bertengkar dengan pasangannya dan ditinggal begitu saja.
"Apa begitu sibuknya kamu dengannya, Mas! Hingga kamu tidak mengangkat panggilanku," gumam Maysa.
Tubuh wanita itu sudah terlalu lelah, hatinya pun juga lelah lelah. Maysa memutuskan untuk pulang dan akan menunggu Rafka di rumah. Dia ingin mendengar semua dari bibir suaminya. Wanita itu ingin tahu sejauh mana sang suami berbohong.
Maysa sudah sangat yakin jika suaminya telah selingkuh. Tidak mungkin mereka tidak memiliki hubungan jika saat berjalan di tempat umum sudah sangat mesra. Bahkan dengan tidak tahu malunya wanita itu mencium pipi Rafka. Sungguh wanita murah*n, batin Maysa.
Dalam perjalanan pulang, lagi-lagi Maysa meneteskan air mata. Hatinya benar-benar terluka. Dia sudah berusaha untuk mengusap air matanya agar tidak lagi keluar, tapi justru semakin deras dan itu membuat Maysa terlihat seperti wanita yang lemah.
Keadaannya yang hancur seperti ini, membuat Maysa teringat kebersamaannya dulu. Tentang semua janji yang sudah diucapkan sang suami. Tentang sumpah setia sehidup semati bersama. Semua tidak berarti lagi. Kini semua hanya tinggal kenangan dan menjadi sesuatu yang tidak seharusnya di kenang.
Jika diingat-ingat kembali, Rafka memang orang yang pandai membual. Apa saja akan dia jadikan alasan agar tujuannya tercapai. Meski harus menyalahi norma yang ada.
Terlalu larut dalam pikirannya, membuat Maysa tidak sadar sudah sampai di depan rumahnya. Padahal tadi dia berniat menjemput anaknya.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!