NovelToon NovelToon

Nikahi Aku, Kak!

Bab 1

Arin hidup sebatang kara setelah seluruh keluarga nya meninggal dalam kecelakaan pesawat sepuluh tahun yang lalu. Ayah, ibu, kakek, nenek dan bibi tidak ada yang tersisa. Hanya harta benda yang berlimpah lah yang mereka tinggalkan untuk Arin. Sedangkan kakek buyutnya yang ia punya satu-satunya juga meninggalkannya sebulan kemudian setelah cucu dan menantunya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Menyisakan Arin sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan mereka.

Namun, apalah artinya harta kalau Arin harus hidup dalam kesepian. Setiap hari dia hanya bisa melihat keluarga nya dari album foto yang ada. Kadang bercerita dan mencurahkan isi hatinya hanya pada sebuah foto.

"Arin, ayo turun. Kita makan malam bersama," ajak Febby. Dilihatnya gadis cantik itu sedang memandangi foto keluarga nya. Hampir setiap hari, terlebih lagi jika ia sendiri. Febby kerap kali melihat Arin sedang melamun.

"Iya aunty, sebentar lagi aku turun." Arin tersenyum lembut pada Febby, wanita yang begitu baik yang sudah merawatnya selama ini.

Arin kembali meletakkan foto itu di atas nakas, lalu kemudian dia mengambil bingkai foto yang lain, dimana ada dia dan seorang laki-laki di dalamnya. Foto itu diambilnya saat ia lulus SMA. Dia juga sangat merindukan laki-laki itu karena sudah satu Minggu mereka tidak bertemu.

Di meja makan.

Arin beserta aunty dan uncle nya makan bersama seperti layaknya sebuah keluarga bahagia. Hanya saja Arin tetap selalu merasa kalau ia hanyalah beban keluarga Febby.

"Dad, apa besok Nathan jadi pulang?" tanya Febby pada suaminya.

"Iya, urusannya di Rusia sudah selesai dan dia mungkin akan mendarat besok." Mike, pria dingin dan tegas itu menjawab pertanyaan istrinya.

"Sayang, kau dengar? Kakak mu pulang besok. Aunty sudah sangat merindukan anak itu. Oh iya siapa yang menjemputnya besok Dad?"

"Assistennya mungkin, dia bisa mengurusnya sendiri."

"Uncle, bolehkah kalau aku saja yang menjemput kak Nathan ke bandara?" tanya Arin bersemangat, dia selalu tidak ingin kehilangan momen apapun yang menyangkut Nathan, putra dari Febby dan Mike.

Febby yang paham bagaimana keinginan Arin pun memberikan kode pada suaminya agar dia mengijinkan gadis itu yang menjemput putra mereka. Tentu saja Febby sangat bisa merasakan bagaimana perasaan Arin pada putranya. Dari cara Arin menatap pun sangat kelihatan. Dan Febby sangat berharap kalau mereka bisa menjadi pasangan.

"Boleh nak, nanti uncle akan bilang pada assisten Doni agar tidak usah menjemput Kenan," Ujar Mike. Kalau dia sendiri tidak pernah memaksakan apapun karena Mike tipe laki-laki yang cuek dan tidak terlalu peduli pada sekiranya hanya saja dia cukup perhatian pada Arin, mengingat gadis itu kini tidak punya siapa-siapa lagi.

Esok paginya.

Arin sudah bersiap-siap tampil semenarik mungkin untuk menjemput Nathan, putra dari Febby dan Mike. Mereka sudah saling mengenal sejak kecil bahkan mungkin sudah dalam kandungan karena orang tua Arin dan Nathan berteman dekat. Mike juga merupakan sekretaris mendiang ayahnya yang sekarang dipercaya mengurus perusahaan peninggalan ayah Arin.

Arin mengambil foto di meja riasnya, dimana di sana berjejer banyak foto-fotonya bersama orang-orang tersayangnya termasuk yang saat ini ia pegang. Fotonya waktu masih kecil bersama Nathan, lelaki dingin dan cuek seperti ayahnya.

"Kak Nathan akhirnya kita bisa bertemu lagi," gumam Arin.

Nathan adalah laki-laki yang kerap dipanggil kakak oleh Arin. Mereka sangat dekat menurut Arin sendiri dan karena itulah perasaan Arin yang semula menganggap Nathan sebagai kakaknya, seiring berjalannya waktu Arin mulai mengagumi sosok Nathan dan jatuh cinta padanya. Sudah satu bulan lamanya Nathan berada di luar negeri karena terjadi masalah dengan perusahaannya yang ada di sana. Ya Nathan telah mendirikan perusahaan sendiri dan kini sudah sangat sukses hampir menyaingi Fresh Group.

Padahal Arin sudah meminta Nathan untuk mengurus perusahaan peninggalan ayahnya tapi pria itu tidak mau. Dia lebih memilih untuk memulai dari awal dan bukan menjalankan sesuatu yang bukan miliknya. Arin sama sekali tidak pernah berpikir begitu, rencananya bahkan dia enggan mengambil alih kursi kepemimpinan dan dia akan membiarkan Mike saja mengurusnya.

Arin punya impiannya sendiri sejak kecil, dia sangat suka melukis. Meski dari kecil ayah dan kakeknya selalu mengajarkan tentang bisnis tapi Arin sama sekali tidak tertarik.

Gadis Gadis berumur dua puluh tahun itu tampak cantik dengan dress selutut dan tas selempangnya. Tubuhnya mungil dan tidak terlalu tinggi seperti ibunya. Karena itulah dia kerap dianggap anak SMP, padahal dia sudah berkuliah di universitas impian jurusan seni.

"Cantik, kamu sudah mau berangkat?" tanya Febby yang melihat Arin menuruni tangga.

"Iya aunty, aku akan ke bandara sekarang. Takutnya kak Nathan sudah sampai duluan," ujar Arin.

"Baiklah, kamu hati-hati di jalan. Apa benar kamu tidak mau menggunakan sopir?" Febby terlihat cemas, baginya Arin itu gadis kecil menggemaskan jadilah ia selalu memanjakan Arin dan selalu tidak tega membiarkan ia pergi sendiri meski sekarang umurnya sudah cukup dewasa.

"Tidak Tante, Arin sudah punya SIM dan bukan anak kecil lagi yang mesti diantar kemana-mana. Arin tidak mau menjadi bahan ledekan kak Nathan lagi."

Febby mengusap lembut kepala Arin yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri.

"Aunty paham sayang. Putri aunty memang sudah dewasa dan cantik seperti ibunya. Aunty tidak akan melarang mu membawa mobil lagi, yang penting kamu harus hati-hati."

"Pasti aunty, daahhh... Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam."

Febby menatap kepergian Arin. Dia tersenyum lalu teringat pada orang tua Arin yang telah tiada.

'Rara, lihatlah putrimu sudah tumbuh dewasa dan dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil lagi. Tapi bagiku dia putriku yang masih sama menggemaskannya sejak pertama aku melihatnya. Dia juga sangat manis dan baik sepertimu dan dia pintar seperti ayahnya. Terimakasih, terimakasih karena kalian sudah menitipkan putri secantik Arin. Selama aku masih hidup, aku akan menjaganya sebaik mungkin.'

Tak terasa sepuluh tahun sudah sang sahabat pergi. Febby selalu sedih saat mengingatnya, bagaimana kebaikan mendiang ibunya Arin.

Bab 2

Dengan perasaan yang gembira, Arin mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Hari ini ia ingin membuktikan pada Nathan kalau dia sudah dewasa dan mandiri. Arin sangat ingin Nathan melihatnya sebagai wanita bukan adiknya dan dia juga tidak ingin dianggap sebagai gadis yang merepotkan lagi.

Saat kelas satu SMA tepatnya Arin pernah menyatakan cinta pada Kenan dengan memberanikan diri. Tapi sayangnya pria itu langsung menolaknya saat itu juga karena menganggap Arin anak kecil yang selalu merepotkannya. Sejak kecil Aira memang suka sekali menempel pada Nathan, apalagi dia termasuk anak yang pemalu dan penakut. Arin menganggap Nathan bak pangeran yang selalu membantunya saat terjadi apapun karena Arin juga gadis ceroboh.

Sampai di bandara, ternyata pesawat yang ditumpangi Nathan belum mendarat. Jadilah Arin menunggu di tempat duduk yang sudah disediakan.

Hampir satu jam lamanya Arin menunggu tapi belum ada tanda-tanda pesawat itu mendarat. Kenapa, apa mungkin dia salah. Bukankah kata Mike pesawat yang ditumpangi Nathan mendarat pukul sembilan tapi ini sudah pukul sepuluh lebih. Apa mungkin ada delay, hingga selama itu tapi kenapa Nathan tidak memberitahu sebelumnya.

Sudah puluhan lagu Arin dengarkan menggunakan earphone untuk menghilangkan kejenuhan. Sampai satu panggilan masuk dari nomor assisten Nathan memanggil.

"Ya hallo."

"Maaf sekali nona, saya lupa memberitahu kalau Tuan Nathan ganti penerbangan. Jadi mungkin pukul sebelas baru pesawat nya akan mendarat."

"Tidak apa-apa kak, aku akan menunggunya."

Kenapa mendadak sekali, kenapa tidak dari kemarin atau tadi pagi memberitahunya. Namun, Arin tidak ambil pusing karena pasti sudah tau jawabannya. Laki-laki itu memang kerap kali menghindarinya. Tidak mengapa Arin paham karena Nathan sering mengatakan hal itu. Arin ingat dulu saat pertama kali mereka bersekolah di sekolah yang sama.

Arin yang saat itu tidak mudah bergaul dan pemalu selalu mengikuti Nathan kemanapun anak laki-laki itu pergi, karena hanya Nathan yang ia kenal dan Arin juga merasa aman saat berada di dekat Nathan. Semenjak saat itulah Arin selalu berlindung di balik punggung Nathan hingga ke jenjang sekolah berikutnya pun Arin selalu memilih sekolah yang sama dengan Nathan.

Meski sikap Nathan begitu dingin, cuek dan galak tapi Arin sama sekali tidak pernah takut. Gadis itu malah suka sekali menggoda dan mengganggu Nathan. Sampai Nathan sering dibuat kesal dan merasa dibebani karena Arin terus menempel padanya.

Arin menghela nafasnya, melihat jam tangannya. Hampir dua jam tepatnya. Untunglah hari ini dia tidak ada jam kuliah.

"Maaf nona, boleh aku tahu sekarang jam berapa?"

Seseorang melambaikan tangannya di depan wajah Arin karena sejak tadi dia bertanya tapi gadis itu tidak mendengarnya.

Tersadar Arin dia pun menoleh dan menatap penuh tanda tanya pada orang itu karena ia tidak mendengar apapun tadi.

"Maaf nona, telingamu," ujar orang itu sambil menunjuk telinga.

Arin lupa kalau dia masih menggunakan earphone, pantas saja dia tidak mendengar suara apapun. Dia pun segera melepaskannya. "Ya tuan, apa anda perlu sesuatu?" tanya Arin.

"Boleh saya tau jam berapa sekarang? maaf ponselku mati." Orang itu menunjukkan ponselnya yang sudah tidak menyala.

"Ohh, tentu. Sebentar saya lihat." Arin melihat jam tangannya. "Sekarang pukul sebelas siang tuan," kata Arin.

"Terimakasih nona, apa anda menunggu seseorang?"

"Iya, apa anda juga?" tanya Arin.

"Iya, saya sedang menunggu seseorang juga. Seseorang yang sangat penting dalam hidupku," kata orang itu sambil melihat ke arah pintu keluar kedatangan dari luar negeri.

Arin paham, mungkin dimaksud orang itu adalah kekasihnya atau orang yang orang itu suka. Seperti dirinya yang sedang menunggu seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.

"Hai nona, kita belum kenalan. Namaku Galang, siapa namamu?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya dihadapan Arin.

Gadis itu tampak ragu karena tidak biasa berbicara pada orang asing. Arin sedikit takut juga.

"Tenang saja nona, saya bukan orang jahat. Disini juga banyak orang, kau bisa berteriak kalau saya berbuat jahat," ujar pemuda itu meyakinkan Arin.

Akhirnya Arin pun mau menyalami tangan pemuda itu. "Namaku Arin," ujarnya dengan senyum manisnya.

Tentu saja pemuda itu memaku melihat senyuman Arin yang begitu manis menurutnya. Sampai tak sadar kalau dia sudah memegang tangan Arin begitu lama.

"Maaf, bisa kau lepaskan tanganku." Arin sedikit kesusahan melepaskan tangannya dari pemuda itu.

"Ehh iya, maaf maaf. Aku tidak sengaja. Itu karena senyum kamu yang membuat ku lupa," goda pemuda itu.

Sementara Arin yang baru pernah mendapatkan pujian dari laki-laki tentu saja tersipu tapi dia langsung menutupinya saat teringat pesan Nathan kalau Arin tidak boleh gampang percaya pada orang asing.

Pemuda itu terus mengajak Arin mengobrol tapi Arin hanya menjawab seperlunya dan sesekali hanya tersenyum tipis. Menurut Arin pemuda yang baru dikenalnya itu sangat cerewet dan banyak bicara yang tidak penting rasanya. Tapi cukup membuat Arin terhibur dan tidak merasa bosan menunggu. Sampai pesawat yang ditumpangi Nathan mendarat Arin malah tengah asyik mendengarkan ocehan pemuda itu.

"Itu dia yang aku tunggu akhirnya datang juga." Pemuda itu menunjuk pada seseorang yang baru saja keluar dari pintu bandara.

"Apa dia yang kamu tunggu?" tanya Arin.

"Iya, dia mamahku. Masih sangat cantik bukan," pujinya pada wanita yang sangat penting katanya. Rupanya wanita itu adalah ibunya, bukan seperti yang Arin pikirkan. "Mah, disini!" Pemuda itu berteriak memanggil ibunya.

Wanita itu pun berjalan menghampiri putranya. "Ya ampun sayang, maaf ya. Apa kau sudah menunggu lama?"

"Lama sekali sampai baterai ponselku mati. Untung saja ada Arin yang menemaniku tadi," ujarnya.

"Siapa Arin? Apa dia pacarmu?"

"Calon mah," bisik pemuda itu takut Arin mendengarnya.

"Hallo Tante." Arin menyapa wanita yang sepertinya sangat ramah itu.

"Hallo sayang, maaf ya. Putra Tante pasti merepotkanmu."

"Ehh tidak apa Tante. Aku juga jadi ada temannya," ujar Arin malu-malu.

"Ya ampun, kamu manis sekali sayang. Cantik dan baik, kamu pasti tidak akan mau punya pacar seperti anak Tante yang urakan itu kan."

"Mah ... ! Kenapa kau malah menjelekkan ku." Galang memutar bola matanya malas.

Sementara Arin sendiri bingung dengan apa yang mereka bahas. Dia hanya senyum sedikit untuk menghormati mereka.

Dan di sisi lain ternyata Nathan juga sudah turun dari pesawatnya. Dia sudah tau kalau yang datang menjemput adalah Arin. Nathan sudah malas duluan untuk bertemu gadis merepotkan itu. Itulah mengapa dia sengaja mengganti penerbangan, berharap kalau Arin akan bosan menunggu dan pergi dari sana. Tapi ternyata gadis itu gigih juga.

Nathan tak sengaja melihat bagaimana interaksi Arin dengan orang lain. Dia sedikit heran karena selama ini bukannya gadis itu tidak mudah akrab dengan orang lain apalagi orang asing. Tapi sekarang Nathan melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Arin bisa tersenyum dan tertawa lepas dengan orang lain.

"Nathan kau kau kemana?" tanya seseorang yang datang bersama Nathan.

"Tunggu sebentar, aku akan menghampiri gadis merepotkan itu," ujar Nathan lalu menyeret kopernya cepat.

"Tunggu kau ikut." Bergegas pergi menyusul Nathan.

Sementara Arin.

"Ohh ya Arin, apa boleh aku minta nomor telepon mu. Bukannya sekarang kita teman," ujar Galang sambil menyodorkan ponselnya. "Tulis disini," ujarnya lagi.

Arin menatap ragu karena untuk pertama kalinya juga ada yang berani meminta nomor teleponnya. Dan pria itu dia juga tidak kenal. Tapi apa mungkin ini saatnya Arin membuka diri agar mempunyai banyak teman. Tangan Arin baru saja mau mengambil ponsel itu tapi suara seseorang menghentikannya dan membuat semua orang berbalik.

"Apa ini yang kau pelajari selama aku tidak ada? Menggoda laki-laki asing." Suara dingin Nathan membuat Arin menunduk.

"Tidak kak, tadi aku hanya mengobrol sedikit dengannya." Arin takut.

"Kalau begitu teruskan saja mengobrol nya."

Nathan langsung pergi menjauh sambil menyeret kopernya dari sana setelah berkata seperti itu.

Sedangkan wanita yang tadi bersama Nathan menatap tidak suka pada Arin. Kemudian dia segera pergi menyusul Nathan.

Arin menghela nafasnya, lalu segera pamit ada teman barunya. "Maaf, aku harus segera pergi," ujarnya seraya membungkukkan tubuhnya.

"Ehh tunggu kau belum memberanikan nomor ponselmu." Galang mencegat tangan Arin.

Tidak mau membuat Nathan menunggu lama, akhirnya Arin segera mengetikkan nomor ponsel nya. Setelah itu dia segera pergi dari sana.

"Aku akan menghubungi mu nanti," teriak Galang.

"Sudah nak, ayo pulang. Kau melupakan mamah saat menemukan gadis cantik."

"Dia bukan hanya cantik mah, tapi menarik dan menggemaskan," ujar Galang seraya tersenyum melihat punggung Arin yang semakin menjauh.

Bab 3

Di mobil.

Arin tampak diam dan tidak berani bertanya apapun pada Nathan, padahal saat datang ke bandara tadi dia sudah merencanakan apa saja yang ingin ia katakan pada laki-laki itu. Tapi tampaknya wajah Nathan saat ini sedang tidak bersahabat, maka dari itu Arin lebih memilih untuk diam. Terlebih di mobil itu juga ada orang lain yang entah siapa, Arin juga tidak kenal.

Arin sesekali melirik Nathan yang lebih memilih duduk di belakang bersama wanita itu. Laki-laki itu memandang keluar jendela tapi saat Arin melihatnya tak sengaja Nathan juga melihat ke arah spion sehingga pandangan mereka saling bertemu. Arin sadar dan segera membuang pandangannya ke depan dan fokus pada jalanan.

"Perhatian jalanmu!" titah Nathan. Dia tidak tau kalau gadis yang ia tinggalkan selama sebulan ini sudah banyak berubah. Sudah berani berbicara pada orang lain dan sudah bisa membawa mobil sendiri.

Arin sadar kalau ucapan Nathan tertuju padanya, dia pun tidak berani lagi mencuri pandang.

"Nathan, dia siapa? Apa dia sekretarismu? Lalu dimana assisten Jodi." Wanita yang sejak tadi di diamkan itupun tidak sabar ingin bertanya.

"Dia? Dia adikku."

"Ohh ... kenapa kau tidak bilang dari tadi. Aku belum berkenalan dengannya," kata wanita itu dengan senyum lega mendengar kalau Arin adalah adik dari laki-laki yang ia incar. Hampir saja ia mengira kalau Arin itu seseorang yang Nathan sukai karena laki-laki itu tampak kesal saat melihat Arin berbicara dengan pria lain.

Sementara Arin tersenyum getir, lagi-lagi ia hanya dianggap adik. Tidak bisakah pria itu memperkenalkannya pada orang lain dengan status yang lain. Kekasih misalnya atau wanita yang dekat dengannya. Dan wanita itu kenapa terlihat begitu senang saat Nathan memperkenalkan Arin sebagai adik, Arin tebak pasti wanita itu mungkin salah satu penggemar Nathan atau mungkin kekasihnya. Mengingat begitu banyak wanita yang mengejar pria itu, dan Nathan juga kerap kali bergonta-ganti pasangan. Tidak sampai sebulan mungkin dia sudah putus dengan para pacarnya.

"Hai, aku Jihan. Salam kenal," ujarnya pada Arin yang sedang menyetir.

"Salam kenal juga kak, aku Arin." Arin tersenyum ramah pada wanita bernama Jihan itu.

"Apa kau masih sekolah, wahh hebat sekali sudah boleh membawa mobil sendiri."

"Aku sudah kuliah kak," sahut Arin. Lagi-lagi orang yang tidak mengenalnya pasti mengira dia anak sekolahan. Padahal dia sudah bisa dikatakan dewasa.

"Ohh ... ya ampun, maaf. Tadi aku kira kamu masih SMA kelas satu. Kamu masih menggemaskan."

Arin hanya tersenyum tipis menanggapinya. Dengan perasaan yang sedikit dongkol tentunya.

"Kenapa kau tidak pernah cerita kalau punya adik secantik ini. Apa kau kesal karena adikmu tadi berbicara dengan pria. Come on Nathan, adikmu sudah bukan anak kecil lagi. Dia bisa saja berinteraksi dengan lawan jenis dan menjalin hubungan. Menurut ku kamu tidak perlu terlalu mengekangnya," ujar Jihan sok tau.

Sementara Arin yang mendengar hal itu justru merasa aneh. Ya dulu mungkin memang Nathan sering melarangnya dekat-dekat dengan orang asing, tapi ia pikir karena dulu Arin belum dewasa dan belum tau mana orang yang baik dan tidak. Tapi tadi kenapa pria itu harus marah dan kesal bukannya justru bagus kalau Arin bisa menunjukkan kemajuannya. Sudah tidak terlalu pemalu dan penakut seperti dulu. Tapi entahlah, pria berwajah dingin itu tidak mudah ditebak.

"Oh iya Rin, apa kamu ada waktu besok. Aku sudah lama tidak pulang ke Indonesia, jadi aku merasa asing dengan tempat ini. Bisakah kau menemaniku berkeliling?" tanya Jihan. Dia ingin menggunakan kesempatan untuk mengambil hati adik Nathan. Dengan begitu mungkin saja si pria dingin itu bisa ia taklukkan.

"Emm ... i--itu ...," ragu Arin. Sebenarnya ingin menolak tapi ia tidak enak.

"Jangan mengganggunya saat sedang menyetir. Dia baru saja mendapatkan SIM, apa kau tidak takut celaka?!" Nathan memperingati Jihan dengan suara dinginnya.

"Akh maaf, aku tidak tau. Kalau begitu kau menyetir saja dengan hati-hati Arin."

Arin mengangguk lalu fokus pada jalanan lagi. Memang benar apa yang Nathan katakan tapi bukan berarti Arin begitu buruk kemampuannya. Dia mendapatkan SIM murni karena berhasil melewati ujian bukan karena sogokan. Terbukti bukan kalau dia sudah pandai, meski tidak sebanding dengan kemampuan sopir mereka.

Arin hanya menelinga apa yang Nathan dan Jihan itu bicarakan. Mereka seperti membicarakan bisnis tapi kadang-kadang diselipkan candaan atau rayuan dari masing-masing. Membuat Arin berpikir kapan Nathan bisa bersikap seperti itu padanya.

Sesuai perintah Nathan, mereka mengantarkan Jihan ke apartemennya terlebih dahulu. Tepat di depan gedung bertingkat itu Arin menghentikan mobilnya.

"Terimakasih kalian sudah mengantarkan ku. Maaf aku sudah merepotkan," ujar Jihan yang sudah turun dari mobil.

"Sama-sama kak," jawab Arin.

"Oh iya, Nathan besok kita akan bertemu lagi di kantor. Langsung pulang dan beristirahatlah, kau pasti kelelahan dengan banyaknya urusan di luar negeri yang harus kau urus."

"Hmm ... kau juga."

"Iya, aku juga akan langsung beristirahat di apartemen."

Arin sungguh merasa seperti obat nyamuk di antara mereka. Tidak bisakah mereka berhenti.

"Terimakasih sekali lagi Arin, kapan-kapan aku harap bisa berjalan-jalan denganmu," ujar Jihan.

"Iya kak." Padahal Arin ingin sekali berteriak dan mengatakan kalau dia bukanlah adiknya Nathan. Jadi wanita itu tidak perlu repot-repot mengambil hatinya karena itu percuma. Dan itu bukan hanya kali ini, tapi sudah sering. Para mantan kekasih Nathan pasti sering membuat Arin kewalahan.

Ya mungkin memang tidak banyak yang tau siapa Arin yang sebenarnya padahal dia adalah pewaris perusahaan nomor satu di Indonesia. Itu karena dulu ayahnya tidak pernah mengenalkannya ke publik dengan alasan keamanan. Tapi dulu tentu wajah Arin sempat terekspos media saat kematian keluarganya, hanya sekali itu setelahnya Mike tidak membiarkan hal itu terjadi lagi. Sampai sekarang pun media maupun para pebisnis bertanya-tanya tentang pewaris perusahaan itu. Arin sendiri sama sekali tidak pernah memamerkan apa yang ia punya bahkan saat teman-temannya membanggakan apa yang mereka punya pun Arin tetap tidak terpengaruh.

Mobil yang mereka tumpangi sudah meninggal kawasan apartemen elit itu. Kini di mobil itu benar-benar terasa mencekam bagi Arin. Dia hanya fokus menatap jalanan tanpa berani melihat ke kiri dan ke kanan apalagi ke belakang.

"Berhenti!"

"Hah? Kenapa kak? Apa kak Nathan butuh sesuatu?" tanya Arin sedikit terkejut.

"Aku bilang berhenti! Apa kau tidak dengar?" tegas Nathan dengan nada penuh penekanan.

Arin pun menepikan mobilnya tanpa bertanya lagi. ia tau kalau sudah seperti itu berarti Nathan tidak ingin dibantah. Arin pikir pria itu sudah tidak ingin berdua di mobil yang sama dengannya atau pria itu ingin pergi kemana saat mendengar suara pintu terbuka dan Nathan turun dari mobil.

Sampai sedetik kemudian dia terperanjat saat ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!